Archive for June 2017

REVIEW : JAILANGKUNG


“Jailangkung, jailangkung. Disini ada pesta kecil-kecilan. Datang gendong, pulang bopong.” 


Dilepas di bioskop tanah air pada tahun 2001 silam, film horor bertajuk Jelangkung yang diarahkan oleh duo Rizal Mantovani – Jose Poernomo memperoleh sambutan sangat antusias dari masyarakat Indonesia dan dianggap sebagai salah satu film yang berjasa dalam membangkitkan kembali perfilman Indonesia dari mati suri menahun bersama Petualangan Sherina serta Ada Apa Dengan Cinta?. Kesuksesan yang direngkuhnya lantas melahirkan dua sekuel (Tusuk Jelangkung, Jelangkung 3), sebuah spin-off (Angkerbatu), dan sebuah prekuel (Cai Lan Gong) yang sebagian besar memperoleh resepsi kurang memuaskan. Di tengah mengemukanya tren membangkitkan kembali film yang telah mempunyai ‘nama besar’ pada dua tahun terakhir dan menyadari bahwa masih banyak kisah yang bisa dieksplorasi lebih jauh khususnya berkenaan dengan mitologi permainan jailangkung, rumah produksi Screenplay Films bekerjasama dengan Legacy Pictures lantas memutuskan merekrut duo Rizal-Jose untuk menggarap versi terbaru dari Jelangkung yang diberi judul Jailangkung. Bukan sebentuk film kelanjutan melainkan lebih mendekati ke reboot, Jailangkung tidak memiliki keterkaitan dengan versi terdahulu disamping keterlibatan kedua sutradara yang dipercaya menahkodai proyek besar ini plus penggunaan permainan tradisional bernuansa mistis sebagai penggerak roda penceritaan.

Jailangkung menempatkan fokusnya pada keluarga Wijanarko yang mengalami kemalangan selepas sang kepala keluarga, Ferdi (Lukman Sardi), ditemukan dalam keadaan koma secara misterius. Tidak ada satupun dokter di rumah sakit yang dapat memberikan diagnosis pasti mengenai penyebab komanya Ferdi memantik salah satu putri Ferdi, Bella (Amanda Rawles), untuk menggali informasi seorang diri yang lantas menuntunnya pada seorang mahasiswa bernama Rama (Jefri Nichol). Menurut Rama yang menaruh minat tinggi terhadap hal-hal berkaitan dengan metafisik, penyebab paling masuk akal bagi kondisi Ferdi saat ini adalah ‘ketempelan’ makhluk gaib. Ada sesuatu yang telah dipanggilnya dari alam lain, namun tidak pernah diantarnya pulang. Guna menyelidiki lebih lanjut, Bella dan Rama meminta bantuan ke seorang pilot, Capt Wardana (Augie Fantinus), yang mengetahui keberadaan Ferdi sebelum jatuh koma. Ditemani Rama, Capt Wardana, serta kedua saudarinya, Angel (Hannah Al Rashid) dan Tasya (Gabriella Quinlyn), Bella pun bertolak ke Pulau Alas Keramat. Di sana, mereka menemukan sebuah rumah gedongan terbengkalai yang konon kerap disambangi diam-diam oleh Ferdi. Berbekal jailangkung, Rama, Bella, dan Angel pun mencoba mendapatkan jawaban atas segala tanya tanpa pernah memperhitungkan konsekuensi besar yang akan mereka terima seusai bermain jailangkung.



Di atas kertas, Jailangkung sebetulnya telah mempunyai segalanya untuk dimanfaatkan sebagai modal dalam mengulangi kejayaan dari versi lawasnya semisal gelontoran dana masif (menurut pengakuan sang sutradara sih, mencapai 10 miliar), barisan pemain berbakat, hingga rancangan teror menjanjikan yang salah satunya melibatkan lelembut dalam wujud sejumlah tenaga kesehatan yang membantu persalinan Angel (ngeri kan?). Namun seperti kita sering alami bersama, ekspektasi kerapkali enggan berjalan beriringan dengan realita. Jailangkung pun, sayangnya, berakhir demikian. Segala konsep menjanjikan yang hendak diusungnya mendadak mentah tatkala diterjemahkan ke bahasa gambar. Sebagai sebuah film yang mengambil fokus di jalur horor, Jailangkung jauh dari kata menakutkan. Alih-alih menyergap penonton dengan teror yang senantiasa membayangi – atau minimal menyebabkan bulu kuduk ini meremang – film lebih sering menempatkan penonton dalam perasaan hampa cenderung jenuh serta membangkitkan hasrat untuk tertawa geli akibat bermunculannya serentetan adegan konyol yang sejatinya tidak diniatkan si pembuat film. Ya, rentetan teror dalam Jailangkung tidak bekerja secara semestinya lantaran timing dalam menggeber penampakan yang kurang tepat guna dan duo Rizal-Jose seolah memandang sepele pentingnya penceritaan untuk membangun teror demi teror. Padahal, salah satu kunci utama dari keberhasilan suatu film horor terletak pada penceritaan hasil dari naskah yang mumpuni. 

Tanpa naskah yang mumpuni, film horor berakhir sebatas parade jump scares yang nihil esensi. Itulah yang dialami Jailangkung. Si pembuat film lebih memilih untuk menggeber penampakan-penampakan sebanyak mungkin yang hampir kesemuanya berlalu begitu saja ketimbang mengelaborasi mitologi seputar pemanggilan arwah menggunakan jailangkung, sejarah sang hantu utama, maupun latar belakang keluarga Wijanarko yang semestinya perlu diketahui oleh penonton guna memancing keterikatan dan ketertarikan. Bisa jadi, ini akibat dari keputusan untuk membatasi durasi hanya mencapai 86 menit yang berimbas pada laju penceritaan cenderung tergesa-gesa dan tidak tersedianya banyak ruang yang tersisa untuk bercerita serta membangun ketegangan. Saya curiga, instruksi untuk penggarapan Jailangkung tertulis begini: durasi tidak perlu panjang-panjang, cerita tidak perlu rumit-rumit, pokoknya asal ada hantu yang kemunculannya diiringi skoring musik mengagetkan saja penonton pasti sudah senang. Apabila memang betul demikian, alangkah mengecewakannya. Beruntunglah bagi Jailangkung mendapat suntikan dana jor-joran untuk mengembangkan visual yang tampak mahal dan memperoleh sumbangsih akting di level cukup dari jajaran pemainnya sekalipun terhalang karakterisasi cethek, sehingga film masih bisa buat dinikmati. Tanpa sokongan dari dua lini ini, maka Jailangkung hanya berakhir sebagai film dengan naskah yang guliran pengisahan berikut dialognya bikin garuk-garuk kepala, penyuntingan yang melompat-lompat kesana kemari menghasilkan adegan kurang koheren, dan jump scares yang sama sekali tidak istimewa. Sungguh sangat disayangkan.

Poor (2/5) 


REVIEW : SWEET 20



“Mbak, pernah ada nggak yang nyuruh kamu untuk ngebuang muka rombeng kamu?” 

Bagaimana jadinya saat seorang nenek berusia 70 tahun yang luar biasa bawel dan menjengkelkan memperoleh kesempatan kedua untuk memperbaiki hidupnya usai secara tiba-tiba berubah menjadi perempuan muda berusia 20 tahun? Premis menggelitik yang sejatinya bukan juga sesuatu baru dalam khasanah film komedi keluarga berbasis fantasi ini lantas diterjemahkan oleh sineas Korea Selatan, Hwang Dong-hyuk, ke dalam sajian berpenggarapan apik bertajuk Miss Granny. Dilepas di bioskop pada tahun 2014, Miss Granny memperoleh sambutan luar biasa hangat dari khalayak ramai dan berujung pada dipinangnya hak cipta pembuatan versi lokal untuk film keluaran CJ Entertainment ini oleh berbagai negara. Dimulai dari Cina yang mendaur ulangnya melalui 20 Once Again, berturut-turut negara lain mengikuti yakni Vietnam (Sweet 20), Jepang (Ayashii Kanojo), Thailand (Suddenly 20), Filipina (segera tayang) hingga Indonesia yang menggunakan judul serupa dengan versi Vietnam. Menunjuk Ody C Harahap (Kapan Kawin?, Me Vs Mami) untuk menduduki kursi penyutradaraan, Sweet 20 produksi Starvision dimeriahkan barisan pelakon papan atas tanah air seperti Tatjana Saphira, Slamet Rahardjo, Niniek L Karim, Widyawati, Morgan Oey, sampai Lukman Sardi yang bisa dikata merupakan salah satu kekuatan utama yang dimiliki film.

Si nenek berusia 70 tahun yang bawel pula bikin gregetan dalam Sweet 20 bernama Fatmawati (Niniek L Karim). Dia tinggal bersama keluarga dari putra semata wayangnya, Aditya (Lukman Sardi), yang berprofesi sebagai dosen. Fatmawati amat sangat menyayangi Aditya dan cucu laki-lakinya, Juna (Kevin Julio), namun begitu sinis terhadap menantunya, Salma (Cut Mini), yang dipandangnya kurang becus mengurus rumah tangga serta cucu perempuannya, Luna (Alexa Key), yang tak memiliki kegiatan. Selepas suatu insiden yang menyebabkan Salma terbaring di rumah sakit, Fatma tanpa sengaja mencuri dengar obrolan antara Aditya beserta kedua anaknya mengenai rencana memindahkan Fatma ke panti jompo. Merasa dikecewakan oleh putra kesayangannya, Fatma meninggalkan rumah tanpa pamit. Di tengah kesendiriannya dalam suatu malam, Fatma menemukan sebuah studio foto dan memutuskan untuk mengambil foto demi pemakamannya kelak. Terkesan seperti studio foto biasa dari tampilan luar, nyatanya selepas Fatma difoto, fisiknya mengalami transformasi hingga 50 tahun lebih muda. Demi menghindari kecurigaan, Fatma pun mengubah identitasnya menjadi Mieke (Tatjana Saphira) sesuai nama artis idolanya, Mieke Wijaya, dan menyewa sebuah kamar di rumah kawan baiknya, Hamzah (Slamet Rahardjo), yang diam-diam menaruh hati. Menjelma menjadi gadis berusia 20 tahun, Mieke lantas memanfaatkannya untuk mewujudkan mimpinya menjadi penyanyi sekaligus memperbaiki hubungan dengan orang-orang terdekatnya. 

Menilik statusnya sebagai remake (resmi ya, bukan jiplakan!), tentu sama sekali tidak bisa dihindarkan bahwa guliran pengisahan yang diusung oleh Sweet 20 akan memiliki banyak sekali keserupaan dengan materi sumbernya, Miss Granny. Keserupaan yang lantas menuntun pada bermunculannya tanggapan-tanggapan sinis di dunia maya mengenai menciutnya daya kreativitas si pembuat film. Tunggu dulu, siapa bilang bikin remake tidak butuh kreativitas? Yang kerap disalahpahami oleh netizen, remake berarti sekadar copy paste plek ketiplek tiplek dari versi terdahulu tanpa sedikitpun memberikan corak tersendiri bagi versi termutakhir. Kenyataannya tidak sesederhana itu, saudara-saudara. Ketika film yang disadur berasal dari era apalagi negara dengan kultur berbeda, penyesuaian perlu dilakukan demi menghindari ‘lost in translation’ (Yes, I am looking at you, Love You Love You Not!). Disinilah sutradara berikut peracik skrip mesti memutar otak – mengerahkan seluruh kreativitas yang dimiliki – sehingga film saduran dapat tertranslasi secara baik. Apabila kamu telah mencicipi setidaknya sebagian besar produk olahan baru dari Miss Granny, jelas bakal menyadari bahwasanya ada pembeda di setiap versi. Paling terpampang nyata terletak pada pemilihan tembang-tembang kenangan khas masing-masing negara yang dibawakan sang protagonis, sementara pembeda lainnya dapat dicecap lewat lontaran-lontaran humor yang disesuaikan dengan budaya atau ‘kearifan lokal’ dari negara si pembuat. Mudahnya, serupa tapi tak sama.


Dalam Sweet 20, Ody C Harahap dan Upi selaku penulis skenario menyelipkan keriuhan jelang sungkem Lebaran, meriahnya orkes jalanan, dan sinetron stripping yang episodenya tak berkesudahan sebagai bagian dari ‘kearifan lokal’ yang berfungsi untuk memantik tawa. Hasilnya? Tidak buruk sama sekali. Malah boleh dibilang berhasil terutama adegan Mieke yang menempelkan koyo di kepalanya tengah menonton sinetron bersama Hamzah. Perhatikan ekspresi pemain sinetron! Dengarkan dialog yang pemain sinetron lontarkan! Perhatikan pula bagaimana Mieke dan Hamzah ikut gregetan menunggu datangnya moment of truth dalam adegan di sinetron! Sangat, sangat kocak. Tanpa perlu dikomando, seluruh penonton di tempat saya menonton film ini serempak tertawa terbahak-bahak. Inilah momen paling pecah dalam Sweet 20, namun bukan satu-satunya yang mengundang gelak tawa heboh. Film yang nada penceritaannya telah menggila sedari mula ini juga mempersembahkan kegilaan maksimal tatkala anggota band Mieke beserta Juna berkunjung ke taman ria bersama Hamzah dan produser acara musik di televisi, Alan (Morgan Oey), lalu saat Hamzah menjelaskan kepada Aditya dan Salma mengenai perkembangan terbaru keberadaan Fatma, pertengkaran dua nenek-nenek genit memperebutkan Hamzah, makan malam pertama antara Mieke dengan Juna yang disisipi kesalahpahaman, dan masih ada beberapa adegan kocak lainnya yang rasa-rasanya sayang jika dijabarkan seluruhnya. 

Kejelian Ody C Harahap dalam mengatur timing yang tepat untuk melontarkan bom-bom humor memang telah terbukti di Kapan Kawin? dan Me Vs Mami. Akan tetapi melalui Sweet 20, kapabilitasnya kian terkonfirmasi. Beruntung bagi Ody karena dia dianugerahi pemain ansambel yang menyuguhkan lakon sungguh prima dalam Sweet 20. Dari Tatjana Saphira yang sanggup membuktikan bahwa hanya tinggal menunggu baginya untuk melesat ke jajaran pemain kelas A di perfilman tanah air dengan kecakapannya menghidupkan sosok Mieke yang merupakan nyawa bagi film sampai-sampai kita meyakini bahwa dia memang seorang nenek yang terjebak di tubuh seorang gadis, kemudian trio pemain senior Slamet Rahardjo-Niniek L Karim-Widyawati yang tampak begitu bersenang-senang dengan karakter yang mereka perankan, lalu kolaborasi pemain muda seperti Kevin Julio yang mengisi momen komedik dan Morgan Oey yang berkontribusi dalam momen romantik, ada pula Lukman Sardi yang ditugaskan untuk memberi sentuhan dramatik pada film khususnya di klimaks yang hangat pula mengharu biru, sampai penampilan singkat namun meninggalkan kesan mendalam dari Tika Panggabean, Alexa Key, Barry Prima, McDanny, Joe P Project, dan Aliando Syarief. 

Ya, pemain ansambel ini merupakan salah satu kekuatan utama yang dipunyai Sweet 20 disamping lontaran-lontaran kelakar yang tepat mengenai sasaran, tembang-tembang lawas pengiring film yang melebur mulus macam “Layu Sebelum Berkembang”, “Payung Fantasi”, dan “Selayang Pandang”, serta muatan emosional yang bekerja secara efektif. Dengan kombinasi maut semacam ini, tepatlah kiranya menyebut Sweet 20 sebagai sebuah tontonan hiburan menyenangkan untuk seluruh keluarga kala liburan sekaligus remake yang sangat pantas bagi Miss Granny. Bahkan, termasuk salah satu yang terbaik. Menghibur, lucu, dan hangat. Sungguh sebuah obat pelepas penat yang mujarab. Pecah! 

Outstanding (4/5)




REVIEW : TRANSFORMERS: THE LAST KNIGHT


“It has been said throughout the ages, that there can be no victory, without sacrifice.” 

Ladies and gentleman, Transformers is back. 

Berkaca pada kualitas dari Transformers: Age of Extinction yang letoy, banyak pihak – terutama mereka yang bukan berasal dari kalangan penggemar – bertanya-tanya, “kenapa sih Michael Bay tidak berkenan membiarkan franchise Transformers beristirahat dengan tenang? Apa lagi sih yang hendak dikulik lewat pertempuran antar robot yang plotnya begitu-begitu saja?.” Well, sekalipun kritikus kerap mencibirnya sinis dan Bay seolah telah mengendur semangatnya dalam menggarap instalmen keempat, pihak studio tentu tak akan secara sukarela memberhentikan franchise tarung robot yang didasarkan pada produk mainan ciptaan Hasbro ini terlebih saat masih sanggup mengumpulkan miliaran dollar dari peredaran di seluruh dunia. Hey, bagaimanapun juga ini adalah bisnis sehingga ketika uang masih mengalir deras ke brankas, kenapa mesti berhenti? Dilandasi alasan “money talks” – yang secara implisit bermakna, banyak khalayak ramai yang tetap menginginkan Transformers berlanjut – dikreasilah jilid kelima oleh Paramount Pictures yang diberi subjudul The Last Knight. Konon kabarnya, The Last Knight akan menjadi salam perpisahan bagi Michael Bay kepada anak asuhnya ini. Jikalau benar demikian, maka The Last Knight merupakan salam perpisahan yang layak dari Bay untuk Transformers

Apakah Optimus Prime (Peter Cullen) adalah salah satu karakter favoritmu dalam franchise Transformers? Apabila jawabanmu ya, bersiaplah untuk sedikit menelan kekecewaan karena dia tak memperoleh banyak jatah tampil di The Last Knight. Pemicunya, perjalanan menjumpai Sang Pencipta ke Cybertron. Ketidakhadiran pemimpin Autobots di muka bumi berdampak pada kekacauan besar-besaran sehingga sejumlah pemerintah pun memutuskan untuk membentuk Transformers Reaction Force (TRF) untuk menghancurkan para Transformers tak peduli di faksi mana mereka berpihak. Hanya jagoan kita, Cade Yeager (Mark Wahlberg), yang masih menaruh kepercayaan pada para robot dan keputusannya tersebut harus dibayar mahal dengan menjadi buron pemerintah yang memaksanya untuk bersembunyi dari peradaban dunia. Keberadaan Yeager sendiri lantas terendus usai TRF bekerja sama dengan Decepticon untuk melacak Yeager beserta keluarga Autobots-nya. Dalam upayanya melarikan diri, Yeager memperoleh bantuan dari robot C-3PO kw, Cogman (Jim Carter), yang mengabdi pada seorang kaya ahli sejarah yang mengenal amat baik sejarah Transformers, Sir Edmund Burton (Anthony Hopkins). Menurut Burton, bumi tengah berada di ambang kehancuran akibat rencana busuk Cybertron dan disamping Optimus Prime, Yeager dan seorang profesor di Universitas Oxford bernama Viviane (Laura Haddock) merupakan harapan terbaik yang dimiliki bumi saat ini.


Dibandingkan Age of Extinction yang bagi saya secara personal adalah jilid terlemah dalam rangkaian film Transformers – dan sungguh teramat ‘zzz’ sampai-sampai ingin bobo di dalam bioskop – The Last Knight bisa dikata sebentuk peningkatan. Tentu saja Transformers adalah Transformers, jadi jika kamu memang tidak pernah benar-benar menyukainya sedari awal, atau malah justru membencinya, ini tidak berarti banyak. Peningkatan yang bisa dijumpai di The Last Knight adalah munculnya kembali sisi excitement yang sempat menguap di jilid sebelumnya. Untuk menjumpainya pun sebetulnya tidak mudah karena penonton mesti bertahan dibawah deraan satu jam pertama yang bisa dikata menjemukan pula bertele-tele. Adegan pembukanya memang seketika bang bang boom dengan latar menggugah selera pada zaman kegelapan Inggris dimana para Transformer rupa-rupanya telah mendarat di bumi dan mempunyai andil dalam berjayanya Raja Arthur, namun begitu film beralih ke era sekarang lalu guliran pengisahan berkutat pada relasi Yeager dengan remaja yatim piatu usia belasan, Izabella (Isabela Moner), daya cengkramnya merosot cukup drastis. Sarat akan obrolan-obrolan tidak terlalu enak buat dinikmati, sesak akan lontaran-lontaran humor yang kering, dan gelaran laganya pun direduksi. Damn. Andaikata Michael Bay memadatkannya, toh Izabella tak juga punya kontribusi penting pada penceritaan ke depan, The Last Knight bakal terasa lebih nyaman buat dinikmati. 

Terbukti semenjak kita mengucap ‘adios!’ pada Izabella dan diterbangkan ke Inggris, film mulai menggeliat. Selain film akhirnya memasuki inti penceritaan usai sebelumnya melulu berbasa-basi basi, pemicu lainnya yakni pemandangan indah Inggris (!) serta performa penuh suka cita dari Anthony Hopkins. Terbekatilah Bay beserta seluruh jajaran tim Transformers karena berhasil merekrut Hopkins yang menyuntikkan banyak sekali energi ke dalam The Last Knight dengan comic timing-nya yang jempolan. Interaksinya bersama Cogman menghadirkan derai tawa yang tulus dengan momen paling berkesan yang melibatkan keduanya adalah ketika Cogman memberi iringan musik drastis di tengah-tengah obrolan serius antara Yeager, Burton, dan Viviane. Lucu sekali. Performa enerjik Hopkins nyatanya turut berimbas ke Mark Wahlberg yang sekali ini membuat sosok Yeager tampak lebih berkarisma sebagai lead dan Megan Fox kw, maksud saya Laura Haddock, yang kehadirannya lebih dari sekadar pemanis maupun damsel in distress. Keduanya menampilkan chemistry dalam tataran bisa diterima sehingga alih-alih berharap mereka diinjak Decepticon, kita berharap mereka dapat menuntaskan misi menyelamatkan bumi secara sempurna dalam klimaks yang dihamparkan mengasyikkan serta gegap gempita oleh Michael Bay. Sebuah klimaks yang sedikit banyak membantu memosisikan The Last Knight sebagai sebuah spektakel menghibur, seru, dan lucu. 

Note : 1. The Last Knight memiliki sebuah adegan tambahan yang terletak di sela-sela bergulirnya credit scene. Tidak butuh waktu lama untuk menantinya.
2. Jika di kotamu menyediakan The Last Knight dalam format 3D, IMAX 3D, atau SphereX 3D, jangan ragu untuk memilihnya. Kualitas 3D-nya terbaik. 

Exceeds Expectations (3,5/5)


REVIEW : IN THIS CORNER OF THE WORLD


“Thank you for finding me in this corner of the world.” 

Pada tanggal 6 Agustus 1945, sebuah bom atom uranium jenis bedil yang dikenal dengan nama Little Boy dijatuhkan oleh Amerika Serikat di kota Hiroshima, Jepang. Pengeboman yang menelan ratusan ribu korban jiwa tersebut – sebagian besar diantaranya adalah masyarakat sipil – memberikan pukulan telak bagi Jepang sehingga tidak berselang lama mereka pun menyerah kepada pihak sekutu yang secara otomatis mengakhiri berlangsungnya Perang Dunia II. Inilah salah satu peristiwa penting dan berpengaruh dalam sejarah umat manusia. Saking pentingnya, industri perfilman di Jepang pun tak ingin kelewatan untuk mengabadikannya melalui bahasa audio visual, baik berkenaan langsung dengan sejarahnya atau sekadar menjumputnya sebagai latar belakang penggerak kisah seperti dilakukan oleh film animasi pemenang beragam penghargaan berjudul In this Corner of the World (atau berjudul asli Kono Sekai no Katasumi ni). Ya, film arahan Sunao Katabuchi (Princess Arete, Mai Mai Miracle) yang disarikan dari manga bertajuk serupa ini bukanlah sebentuk rekonstruksi sejarah dengan alur kisah maupun karakter-karakter yang bisa dijumpai di buku teks melainkan sebentuk hikayat dengan bangunan cerita fiktif yang mencoba menawarkan perspektif perihal impak perang terhadap kemanusiaan. 

Karakter utama yang dimanfaatkan In this Corner of the World untuk menggulirkan roda penceritaan adalah Suzu (disuarakan oleh Non), seorang perempuan polos dan kikuk yang menaruh minat tinggi pada menggambar. Dipaparkan secara episodik, penonton mengikuti kehidupan Suzu sedari dia masih kecil dan tinggal bersama keluarganya di Eba, Hiroshima, pada tahun 1930-an hingga tumbuh menjadi perempuan dewasa dan meninggalkan kampung halamannya untuk tinggal bersama keluarga suaminya di Kure yang menjadi markas utama bagi Angkatan Laut Jepang semasa Perang Pasifik pada tahun 1940-an. Kepindahannya ke Kure sendiri tidak pernah diantisipasinya karena sebelum berlangsungnya prosesi pernikahan di usianya yang ke-18, Suzu tidak mengenal pria yang tiba-tiba datang untuk melamarnya, Shusaku (Yoshimasa Hosoya). Segalanya berlangsung begitu cepat dan mendadak bagi Suzu sehingga belum sempat dia mengatasi keterkejutannya, sang karakter utama harus sesegera mungkin beradaptasi dengan rutinitas barunya sebagai ibu rumah tangga. Tidak mudah bagi Suzu untuk menjalani kehidupan barunya ini terlebih dengan adanya pembatasan jatah ransum yang memaksanya berpikir kreatif agar keluarganya dapat makan secara layak dan kehadiran kakak iparnya, Keiko (Minori Omi), yang kerap bersikap dingin kepadanya sekalipun sang putri, Harumi (Natsuki Inaba), menjalin hubungan akrab dengan Suzu. 

Dalam menghantarkan kisahnya yang berbincang soal cinta, kemanusiaan, dan harapan di tengah-tengah berkecamuknya perang akbar, In this Corner of the World mengambil pendekatan berbeda dengan sejawatnya, Grave of the Fireflies (1988, Ghibli), yang poros utama kisahnya berada di rentang waktu sama. Alih-alih bermuram durja – meletakkan fokus pada kepedihan hidup tak terperi dari si karakter utama – Sunao Katabuchi memilih untuk melantunkannya dengan nada penceritaan yang bertolak belakang. Tidak meletup-letup, optimis, serta positif dalam memandang kehidupan. Memang sih Suzu kerap dinaungi ketidakberuntungan dalam hidupnya; dari cinta tak sampai, perjodohan, kakak ipar yang jutek bukan main, stok makanan serba terbatas, sampai peperangan yang merenggut kebebasan maupun orang-orang yang dikasihinya, namun ketimbang menggambarkannya secara dramatis sarat air mata, Sunao mentranslasinya ke bahasa gambar secara tenang mengikuti cara Suzu menyikapi persoalannya dengan kepala dingin. Alhasil, In this Corner of the World tidak menjelma sebagai tontonan ‘horor’ (baca: menguras air mata) seperti kerap dibayangkan banyak pihak dan hentakan-hentakan emosi dalam film pun diminimalisir sedemikian rupa sampai pesawat Amerika Serikat menjatuhkan bomnya. Keputusan untuk tidak mengumbar emosi, sedikit banyak berdampak pada alur yang mengalun cenderung tenang-tenang menghanyutkan ala film berjalur slice of life dan bisa jadi akan terasa menjemukan bagi sebagian penonton.

Mengingat kehidupan Suzu sebagai ibu rumah tangga yang repetitif serta jauh dari kata hingar bingar kecuali dari suara gemuruh pesawat perang dan ledakan bom di sekitar tempat tinggalnya maka pilihan si pembuat film dalam menuturkan kisah ini sangat bisa dipahami. Penonton dimaksudkan dapat merasakan apa yang dirasakan oleh Suzu sehingga ada ikatan emosi yang terbentuk antara penonton dengan sang protagonis utama maupun beberapa karakter kunci yang memiliki peranan dalam kehidupannya. Menariknya, Suzu bukanlah sesosok karakter yang lempeng apalagi hambar. Dia terlihat sangat mudah disukai dengan penggambaran pembawaan yang periang, kikuk, dan agak ceroboh sampai-sampai kerap memantik kejadian-kejadian konyol di sekelilingnya seperti tanpa sengaja menyebabkan teman-temannya bergelimpangan atau salah dikira sebagai mata-mata karena menggambar armada angkatan laut Jepang. Rentetan humor-humor segar yang efektif dalam menghadirkan derai tawa ini mewarnai dua pertiga awal durasi yang hampir tidak mempunyai momen dramatik mengikuti garis konflik yang acapkali berada di posisi horizontal. In this Corner of the World mulai menunjukkan geliatnya dari sisi emosi ketika salah satu karakter kunci tewas akibat terkena bom waktu. Keceriaan yang menaungi tahap sebelumnya perlahan mengabur – walau tidak sepenuhnya – dan kemuraman menyelinap masuk. 

Sedari titik ini, kita bisa melihat seberapa besar impak perang terhadap kemanusiaan. Sikap optimis dan positif yang coba dipromosikan oleh In this Corner of the World juga semakin menunjukkan taringnya disini. Bagaimana para karakter bertindak dalam menyikapi duka yang menyelimuti, bagaimana cinta, pengampunan dan kebaikan hati dapat membantu memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan oleh peperangan sekaligus memunculkan harapan. Meski bukan berarti Suzu tidak pernah diperlihatkan terpuruk, namun dia secara cepat mampu bangkit begitu pula beberapa karakter penting yang berhasil selamat. Salah satunya bahkan sempat berujar kepada Suzu, “tidak ada gunanya menangis. Kamu hanya akan membuang-buang garam.” Ucapan yang singkat pula menampar bagi si protagonis, utamanya di kala dirundung kesulitan memperoleh bahan pangan. Tapi penonton tak perlu merasa risau akan dihalang-halangi untuk meluapkan emosi karena seperti disinggung di penghujung paragraf sebelumnya, babak ketiga merupakan awal mula bermunculannya momen-momen merobek hati. 

Kendati (lagi-lagi) tidak seperti Grave of the Fireflies yang sudah berada di tahapan tanpa ampun menghujam emosi, keberadaannya dalam In this Corner of the World akan tetap mengusik nuranimu. Tengok saja pada adegan seorang pria dengan tubuh terpanggang, orang-orang yang kebingungan mencari keberadaan sanak saudara selepas Hiroshima luluh lantak oleh bom, atau seorang bocah kecil yang kehilangan ibunya. Sulit untuk tidak menitikkan air mata, mengutuk keras peperangan, seraya berkontemplasi untuk menemukan jawab atas tanya, “mengapa sih harus ada peperangan? Adakah urgensi mendesak dibaliknya atau sekadar ajang unjuk ego?.” Pada akhirnya, In this Corner of the World adalah sebuah hikayat memikat mengenai tragedi yang dihamparkan secara indah berkat goresan-goresan gambar yang sederhana namun amat indah, jenaka mengikuti cukup tingginya asupan humor tatkala menyoroti kehidupan rumah tangga Suzu, serta tetap efektif dalam mempermainkan emosi ketika akhirnya keluarga Suzu mulai benar-benar terkena dampak dari peperangan yang sebenarnya sama sekali tidak mereka pahami.

Outstanding (4/5)


REVIEW : DETECTIVE CONAN: CRIMSON LOVE LETTER


Selepas The Darkest Nightmare yang merupakan salah satu seri terbaik dalam rangkaian film layar lebar Detective Conan, antisipasi terhadap jilid ke-21 yang diberi tajuk Crimson Love Letter pun seketika meninggi. Terlebih, dua karakter kesayangan para penggemar; Heiji Hattori dan Kazuha Toyama, yang terakhir kali menampakkan diri dalam Private Eye in the Distant Sea (2013) akan memiliki andil besar dalam penceritaan bukan sebatas numpang lewat untuk memeriahkan suasana. Terdengar menggoda, bukan? Tingginya antisipasi terhadap Crimson Love Letter arahan Kobun Shizuno (yang juga menyutradarai enam jilid terakhir) dapat dibuktikan melalui besarnya raihan pundi-pundi uang yang diperoleh selama masa pemutaran di bioskop-bioskop Jepang. Mengantongi $59 juta dalam 9 pekan, Crimson Love Letter tercatat sebagai seri film dari Detective Conan dengan pendapatan tertinggi melibas pencapaian jilid sebelumnya. Berkaca dari respon memuaskan yang diperolehnya ini, satu pertanyaan lantas terbentuk: apakah hype sedemikian kuat yang melingkungi instalmen ke-21 ini berbanding lurus dengan kualitas penceritaan yang diusungnya?

Dalam Crimson Love Letter, Conan Edogawa (disuarakan oleh Minami Takayama) bersama keluarga Mori dan teman-temannya di klub Detektif Cilik bertolak ke Kyoto untuk menghadiri pertandingan Karuta, kartu berisi puisi-puisi tradisional Jepang, memperebutkan Piala Satsuki yang tengah dihelat di Nichiuri TV. Tatkala gladi bersih sedang berlangsung, pihak stasiun televisi menerima kabar mengenai ancaman bom yang disusul oleh sederetan ledakan-ledakan. Ledakan tersebut memerangkap Heiji Hattori (Ryo Horikawa) dan Kazuha Toyama (Yuko Miyamura) di dalam gedung sekaligus melukai pergelangan tangan salah satu finalis, Mikiko Hiramoto (Riho Yoshioka). Berbekal kemampuan serta peralatan canggih yang dimilikinya, Conan berhasil menyelamatkan kedua sahabatnya tanpa sedikitpun meninggalkan luka. Berakhir? Tentu saja belum. Dari sini, pengisahan bercabang menjadi tiga. Pertama, menyoroti kasus pembunuhan yang menimpa pemenang Piala Satsuki tahun sebelumnya. Kedua, kehadiran seorang perempuan bernama Momiji Ooka (Satsuki Yukino) yang secara tiba-tiba mengaku sebagai tunangan Heiji. Dan ketiga, upaya keras Kazuha yang menggantikan posisi Mikiko untuk memenangkan Piala Satsuki karena keberlangsungan klub Karuta di sekolahnya dan Heiji menjadi taruhannya.


Yang perlu dipersiapkan sebelum menyaksikan Crimson Love Letter adalah membekali diri dengan pengetahuan mengenai Karuta – saran saya, tonton film Jepang berjudul Chihayafuru – karena si pembuat film tidak memberikan penjabaran komprehensif terkait permainan tradisional ini berikut tata cara bermainnya. Keputusan yang jelas beresiko karena penonton yang tidak tahu menahu mengenai Karuta bisa jadi akan dibuat kebingungan serta mengalami kesulitan untuk menaruh atensi lebih terhadap pergerakan kisah apalagi basis persoalan dalam film bersumber dari permainan ini. Tatkala penonton telah ‘tersesat’ sedari awal, mengikuti langkah selanjutnya dari Crimson Love Letter tidak akan berlangsung mudah – bahkan mereka yang paham pun belum tentu bakal lancar-lancar saja. Pemicunya, tuturan yang terlampau berbelit-belit bahkan untuk standar film Detective Conan. Pembagian kisah menjadi beberapa cabang seringkali berasa tumpang tindih dan dimunculkannya setumpuk tersangka tanpa urgensi yang nyata kian menyebabkan segalanya terlalu rumit untuk dicerna. Ya, ada banyak sekali nama yang harus kamu hafalkan, saudara-saudara! Dengan kasus yang sebetulnya juga tidaklah seru-seru amat (well, bisa jadi karena kurang akrab dengan intrik di dalam dunia Karuta), menyaksikan film lebih sering digerakkan oleh percakapan-percakapan tentu memberi pengalaman kurang menyenangkan. 

Anehnya, Crimson Love Letter justru menunjukkan gregetnya saat penceritaan menaruh fokusnya kepada hubungan tanpa status yang naik turun antara Heiji dan Kazuha. Ketimbang menaruh ketertarikan terhadap kasus menjemukan yang diusut oleh Conan beserta Heiji, keingintahuan lebih besar malah berkisar pada identitas Momiji Ooka. Siapakah dia? Mengapa dia benar-benar sangat yakin bahwa dirinya adalah tunangan dari Heiji? Penonton tentu tidak lantas memperoleh jawabannya dengan mudah. Dari pertanyaan-pertanyaan ini, Kobun Shizuno kemudian mengembangkannya menjadi satu dua cabang konflik; Momiji menantang Kazuha bertarung di Piala Satsuki dengan Heiji sebagai taruhannya yang memacu Kazuha untuk berlatih Karuta habis-habisan dibantu oleh ibu Heiji, Shizuka (Masako Katsuki), lalu Ran Mori (Wakana Yamazaki) tanpa sengaja melihat sebuah foto di dompet Momiji yang menjadi bukti otentik atas pernyataan Momiji mengenai statusnya di sisi Heiji. Nah lho! Dengan pekatnya kelakar-kelakar lucu yang menghiasi disana sini, ditambah pula bisa dijumpainya elemen romansa di beberapa titik dan adanya intensitas dibalik persaingan sengit antara Kazuha dengan Momiji, konflik yang melingkungi Kazuha-Heiji ini pun menjadi nyawa bagi Crimson Love Letter. Kalau sudah begitu, tentu sah-sah saja dong jika saya kemudian lebih memilih menyebut Crimson Love Letter sebagai film komedi romantis ketimbang film detektif?

Note : Ada post-credits scene di penghujung film dengan durasi cukup panjang.

Acceptable (3/5)


REVIEW : MANTAN


“Pernah nggak kamu kepikiran, orang yang deket sama kamu itu jodoh yang dikasih Tuhan apa nggak?” 

Setiap mantan kekasih pastinya menggoreskan cerita dan pengalaman berbeda-beda untuk dikenang. Ada yang menyenangkan, memilukan, menjengkelkan, sampai biasa-biasa saja. Tatkala kenangan buruk lebih sering menghinggapi selama menjalin tali asmara, umumnya hubungan berakhir secara tidak baik yang berdampak pada keinginan untuk tidak lagi saling berkomunikasi demi menghempaskan memori-memori buruk. Kurang lebih, seperti diutarakan Geisha dalam tembang “Lumpuhkan Ingatanku”. Akan tetapi, pernahkah terlintas di pikiran bahwa jalan terbaik untuk berdamai dengan masa lalu agar dapat melanjutkan hidup tanpa ada beban di hati adalah memaafkan alih-alih melupakan? Gandhi Fernando (The Right One, Midnight Show) agaknya mempunyai pemikiran senada karena seperti apa yang dituangkannya dalam film terbaru keluaran Renee Pictures, Mantan, yang menampilkannya sebagai pelakon sekaligus penulis skrip, mantan tidak semestinya dihempas begitu saja dari ingatan terlebih jika menyisakan persoalan belum terselesaikan di masa lampau. Semestinya kita bersilaturahmi dengan mantan, lalu mengajaknya untuk berkonsiliasi. Siapa tahu soulmate yang sesungguhnya untuk kita ada diantara mereka. Dalam? Ya. Tapi jelas tidak mudah untuk dilakukan. 

Dalam Mantan, Gandhi Fernando memerankan Adi, seorang kolumnis majalah percintaan, yang mengunjungi kelima mantan kekasihnya di beberapa kota demi memastikan bahwa tunangannya memang benar-benar tambatan hatinya sebelum mereka mengikat janji pernikahan secara resmi. Mantan pertama yang dikunjunginya adalah Ella (Ayudia Bing Slamet) di Bandung. Keduanya menjalin hubungan semasa masih duduk di bangku SMA dan perpisahan diantara mereka berlangsung jauh dari kata mengenakkan. Mengingat ada masalah di masa lalu, reuni dengan Ella yang kini telah berumah tangga pun tidak berlangsung mulus. Mencuat pertikaian diantara mereka terlebih saat terungkap fakta dibalik alasan Adi dan Ella berpisah. Selepas permulaan yang buruk, Adi bertolak ke Jogja guna menemui mantan kedua, Frida (Karina Nadila). Ketimbang Ella, Frida lebih bisa menerima kehadiran Adi sekalipun argumentasi hebat tetap tak terelakkan. Dari Jogja, Adi meluncur ke Bali untuk melepas rindu bersama Juliana (Kimberly Ryder) lalu berlanjut menjumpai mantannya yang dulu beprofesi sebagai penyanyi, Tara (Luna Maya), di Medan. Perjalanan Adi yang melelahkan untuk menemui para mantan ini mencapai ujungnya di Deedee (Citra Scholastika) yang bermukim di Jakarta.


Harus diakui, Mantan sebetulnya mempunyai premis menggelitik, menjual, sekaligus accessible bagi penonton kebanyakan terlebih jika mempunyai pengalaman menarik dengan mantan kekasih di masa lalu. Hanya saja, entah dilandasi oleh keterbatasan bujet atau murni pilihan kreatifitas si pembuat film, Mantan mengambil pendekatan penceritaan yang bisa dikata tidak umum bagi penonton awam walau metodenya sendiri telah diaplikasikan beberapa kali di sinema dunia dan sedikit banyak mengingatkan pada film perdana Renee Pictures, The Right One. Setidaknya ada dua hal yang perlu diketahui soal Mantan. Pertama, jalinan pengisahan dalam film digerakkan hampir sepenuhnya oleh dialog, dan kedua, sebagian besar durasi dihabiskan di kamar hotel yang menjadi tempat pertemuan antara Adi dengan mantan-mantannya. Sedari mantan pertama, penonton telah diboyong memasuki kamar hotel dan menyaksikan argumentasi antar dua manusia yang mengungkit-ungkit masa lalu. Siklusnya terus berulang hingga mencapai mantan keempat. Svetlana Dea selaku sutradara beserta Gandhi Fernando lantas sedikit membelokkannya begitu sampai di Deedee lantaran sang mantan tidak menyimpan duka lara dan Adi telah mempelajari kesalahan-kesalahannya dari keempat mantan yang ditemuinya terlebih dahulu. Melalui mantan-mantannya tersebut pula, penonton mempelajari karakteristik dari si tokoh utama. 

Menyimak adu mulut di hampir sepanjang durasi memang terdengar melelahkan apalagi sang sutradara masih terlihat kagok dalam mengeksekusi adegan yang menyebabkan intensitas tak menentu. Namun yang membuat setiap pertemuan yang umumnya berlanjut ke pertengkaran ganas dalam film terasa enak untuk diikuti serta ada kalanya terasa menghibur adalah dialog-dialog renyah sarat humor kreasi Gandhi dan performa memikat dari barisan pelakonnya. Beruntung bagi Mantan dapat merekrut Ayudia Bing Slamet, Kimberly Ryder, dan Luna Maya untuk bergabung ke dalam departemen akting karena film menunjukkan kekuatannya ketika berada di segmen Ella, Juliana, serta Tara. Penonton dapat merasakan adanya kemarahan mendidih dalam sosok Ella melalui intonasi, gestur, dan air muka yang diperagakan secara tepat sasaran oleh Ayudia, lalu Luna Maya dengan karisma seorang perempuan mapan yang memancar membuat kita bisa memahami mengapa Adi klepek-klepek kepada Tara, dan Kimberly Ryder yang menunjukkan performa amat luwes dan terbaik dalam karir berlakonnya (serius, dia semestinya bisa lebih besar dari sekarang!) mempersembahkan pertikaian paling memiliki intensitas dalam film yang dipicu oleh kompleksitas dari karakter Juliana. Tidak seperti keempat mantan lainnya yang menunjukkan posisinya secara gamblang, Juliana menunjukkan ambiguitas yang lantas membentuk satu kecurigaan: jangan-jangan, sebetulnya dia masih menyimpan rasa kepada Adi?

Note : Ada mid-credits scene di sela-sela bergulirnya credit title yang layak dinanti. Jangan buru-buru beranjak.

Acceptable (3/5)


REVIEW : THE MUMMY


“Welcome to a new world of gods and monsters.” 

Disamping keranjingan mengeruk pundi-pundi dollar melalui sekuel, remake, reboot, atau apalah-apalah itu sebutannya, studio-studio raksasa di Hollywood tengah menggemari cara lain untuk membentuk sebuah franchise yakni menciptakan shared universe yang menghubungkan sejumlah judul film menggunakan ‘tali pengait’ berbentuk karakter, plot, sampai bangunan dunianya. Semesta-semesta film yang mengemuka dalam beberapa tahun terakhir antara lain Marvel Cinematic Universe, DC Extended Universe, MonsterVerse, hingga paling anyar Dark Universe yang menyatukan sederet makhluk jejadian legendaris dari dunia fiksi semacam Dracula, Frankenstein, Invisible Man, serta Wolf Man. Diinisiasi oleh Universal Pictures, Dark Universe mencoba mengawalinya dengan versi paling mutakhir The Mummy yang menggaet Tom Cruise untuk menempati garda terdepan menggantikan posisi Brendan Fraser dari trilogi sebelumnya dan menempatkan Alex Kurtzman yang lebih berpengalaman sebagai produser di kursi penyutradaraan. Apakah ini berhasil? Well, sayangnya saya harus mengatakan bahwa The Mummy versi Tom Cruise yang mengawinkan beragam genre ini bukanlah suatu upaya yang berhasil untuk memperkenalkan penonton kepada sebuah semesta film baru. Tidak buruk, hanya saja jauh dari kata greget. 

Dalam The Mummy, Tom Cruise memerankan seorang tentara Amerika Serikat bernama Nick Morton yang tengah ditugaskan di Irak. Guna menghabiskan waktu luangnya (atau memang pada dasarnya dia tidak pernah menjalankan kewajibannya sebagai tentara? Dunno), Nick mengajak serta rekannya, Chris Vail (Jake Johnson), untuk berburu barang-barang antik bernilai tukar tinggi. Dalam perburuan terbaru, Nick mencuri peta dari seorang arkeolog, Jenny Halsey (Annabelle Wallis), yang mengantarkannya pada sebuah makam. Belakangan diketahui, makam tersebut menyimpan sebuah sarkofagus yang ‘dihuni’ oleh mumi Putri Ahmanet (Sofia Boutella) yang dibuang jauh-jauh dari Mesir selepas sang putri membunuh ayahnya yang notabene seorang raja berpengaruh dan adik tiri laki-lakinya lantaran tidak beroleh kesempatan untuk berkuasa. Keinginan untuk menyelidiki lebih jauh tentang Ahmanet membuat Jenny berinisiatif memboyong sang mumi ke London. Sebuah keputusan yang tidak bijak, tentu saja, karena perjalanan ini membangunkan Ahmanet dari tidur panjangnya. Ahmanet yang dikuasai amarah dan kebencian berencana melancarkan agendanya untuk menciptakan kekacauan di dunia berbekal pisau sakti milik dewa kegelapan, Set. Berpacu dengan waktu, Nick dan Jenny pun harus bekerjasama untuk menghentikan rencana Ahmanet atau kekuatan gelap akan menguasai dunia.


Apabila menengok presentasi yang digeber lewat trailernya, The Mummy seolah menjanjikan tontonan petualangan yang seru dan mendebarkan. Tidak juga sepenuhnya salah, toh kita mendapati kesan tersebut di separuh awal durasi yang gegap gempita. Bisa dikata, beberapa menit sekali ada kemeriahan yang menyeruak menghiasi layar bioskop. Mula-mula penonton diajak mengikuti ekspedisi penelusuran peta milik Jenny di Irak yang berlangsung mengasyikkan serta membangkitkan semangat untuk mengikuti lantunan kisah dalam film. Lalu berlanjut pada detik-detik jatuhnya pesawat yang sekalipun telah cukup sering disimak lewat materi promosi, masih berhasil memberikan ketegangan yang dibutuhkan. Inilah momen terbaik yang dipunyai oleh The Mummy sekaligus (sedihnya) momen puncak. Ya, selepas sekuens kandasnya pesawat dan latar penceritaan film dialihkan ke Britania Raya, daya cengkram berangsur-angsur mulai mengendur terhitung semenjak sang villain utama melahap mangsa-mangsanya. Ini tentu terasa ironis karena kebangkitan Putri Ahmanet yang seharusnya menjadi titik lontar dimana ketegangan mengalami eskalasi malah menjadi titik awal dimana film mengalami kemunduran. Seolah-olah sang mumi turut menghisap habis jiwa dari The Mummy sehingga sisa durasi pun berjalan gontai. 

Alex Kurtzman tampak kebingungan dalam menentukan nada penceritaan yang jelas bagi film. Elemen laga petualangan, horor, serta komedi dicampurbaur sesuka hati yang berdampak pada masing-masing tersaji setengah matang. Sisi laganya kurang menghentak (tak ada momen berkesan seperti badai gurun membentuk wajah di The Mummy terdahulu), sisi horornya tidak meneror (errr.. lebih banyak zombie ketimbang mumi di sini), dan sisi komedinya seringkali mentah sampai-sampai sulit mengundang derai tawa lepas. Alhasil, The Mummy terasa sungguh melelahkan nan menjemukan buat disimak. Pengarahan sang sutradara yang kurang efektif turut diperparah pula oleh susunan naskah berantakan dari trio David Koepp, Christopher McQuarrie, dan Dylan Kussman sampai-sampai tidak menyisakan ruang bagi perkembangan karakter. Jangan harap kamu bisa bersorak memberikan semangat kepada Tom Cruise, Annabelle Wallis, maupun Jake Johnson seperti yang bisa kamu lakukan kepada Brendan Fraser, Rachel Weisz, serta John Hannah dari The Mummy gubahan Stephen Sommers keluaran tahun 1999 (yang sungguh mengasyikkan itu!) karena tidak ada chemistry diantara mereka. 

Bahkan, karakter masing-masing pun amat hampa. Tom Cruise ya Tom Cruise yang terbantu karisma kuatnya sehingga penonton masih berkenan untuk peduli pada sosok Nick, Annabelle Wallis tidak lebih dari sekadar damsel in distress, dan Sofia Boutella sebagai villain pun lebih sering terbantu oleh make-up ketimbang benar-benar menguarkan aura berbahaya terlebih motivasi atas tindakannya serasa dibuat-buat. Jika ada yang sanggup menandingi Tom Cruise, maka itu adalah Russell Crowe (memerankan karakter ikonik) yang seperti halnya Cruise, terhalangi potensinya oleh naskah. Pada akhirnya menonton ulang The Mummy versi Fraser untuk kesekian kalinya masih terasa lebih menyenangkan ketimbang menyaksikan The Mummy versi Cruise. Sayang sekali. Semoga saja instalmen berikutnya dalam Dark Universe mampu menebus kesalahan dari tontonan ini.

Acceptable (2,5/5)


REVIEW : MINE


“My next step will be my last.” 

Coba bayangkan dirimu berada dalam situasi semacam ini: tersesat di padang gurun tanpa membawa persediaan hidup mencukupi, lalu tanpa sengaja menginjak sesuatu yang besar kemungkinan adalah sebuah ranjau. Apa yang akan kamu lakukan? Memutuskan berdiam diri hingga batas waktu tertentu seraya menunggu bala bantuan yang mungkin saja tidak akan pernah datang karena lokasimu amat terpencil dan berada di sekitar area konflik atau nekat memutuskan untuk melangkah dengan resiko akan kehilangan anggota tubuh tertentu? Situasi ini, kemudian pertanyaan-pertanyaan yang melanjutinya merupakan gambaran penceritaan secara garis besar dari film debut penyutradaraan duo Fabio Guaglione dan Fabio Resinaro (memakai nama panggung Fabio & Fabio), Mine, yang promonya mengisyaratkan akan berada di jalur survival thriller. Hanya saja, berbeda dengan film-film yang mempunyai pokok persoalan serupa mengenai bertahan hidup di alam liar semacam 127 Hours (2010), Buried (2010), hingga paling anyar The Shallows (2016), Mine tidak semata-mata berceloteh mengenai upaya sang protagonis untuk bertahan hidup. Si pembuat film turut sibuk menyisipinya dengan muatan filosofis yang membicarakan tentang bagaimana seharusnya menjalani kehidupan. 

Karakter sentral dalam Mine adalah seorang marinir asal Amerika Serikat bernama Mike Stevens (Armie Hammer). Bersama rekannya, Tommy Madison (Tom Cullen), Mike ditugaskan untuk menjalani misi di padang gurun yakni membunuh pemimpin dari sebuah kelompok ekstrimis di wilayah Afrika Utara. Pertentangan batin lantas menyergap Mike begitu mendapati bahwa targetnya tengah mengantarkan putranya ke tengah gurun guna menjalani prosesi pernikahan. Keragu-raguan untuk melesatkan tembakan berujung pada gagalnya misi yang membuat posisi keduanya terdesak. Guna melarikan diri dari kejaran antek-antek si target dan menjumpai bala bantuan yang konon akan dikirimkan ke desa terdekat, Mike dan Tommy pun melakoni perjalanan selama berjam-jam melintasi padang gurun. Perjalanan ini mengantarkan mereka menuju ke sebuah area yang ditanami ranjau darat. Mengabaikan peringatan karena menganggap ranjau telah berada di sana selama puluhan tahun dan tak lagi berfungsi, ada harga yang harus mereka bayar mahal. Tommy kehilangan kedua kakinya usai ranjau yang diinjaknya meledak seketika, sementara Mike yang sedikit lebih beruntung, harus bertahan di posisinya sampai batas waktu tertentu apabila tidak ingin ranjau di bawah kakinya meluluhlantakkan tubuhnya seperti terjadi pada rekannya.


Mesti diakui, Mine memulai langkah awalnya secara meyakinkan. Adegan menanti datangnya sang buron yang dilanjut kegamangan hati Mike antara ‘menembak atau tidak menembak’ dikonstruksi oleh Fabio & Fabio dengan tingkatan intensitas cukup tinggi dan laju penceritaan yang melesat cepat. Meski kita mengetahui ujungnya – well, kegagalan misi adalah pemantik munculnya rentetan konflik di film dan telah pula dijabarkan di sinopsis – tetap saja muncul sensasi berdebar-debar kala menanti keputusan Mike lantaran was-was pula kalau-kalau keberadaan kedua marinir ini diketahui oleh musuh. Ketegangan yang terbangun dengan baik di adegan pembuka ini lantas berlanjut saat penonton digiring memasuki area penuh ranjau. Detik-detik jelang meledaknya ranjau pertama akan membuatmu mencengkram erat kursi bioskop, begitu pula menit-menit selepasnya tatkala sang karakter sentral mencoba untuk menyesuaikan diri dengan pijakan beserta ‘lingkungan barunya’. Hingga titik ini, Mine masih berada di lajur seperti tersirat dari materi promosinya: survival thriller. Kita melihat Mike berjibaku untuk mendapatkan radio yang posisinya beberapa senti di depannya untuk menghubungi markas yang malah memberi jawaban tak memuaskan, bertahan dari gempuran badai pasir, hingga meminum air seninya sendiri akibat kehabisan stok air. 

Seiring dengan hadirnya karakter lain tanpa nama (Clint Dyer) yang berasal dari desa sekitar, nada pengisahan Mine perlahan tapi pasti mulai beralih. Kilasan-kilasan masa lalu yang bercampur dengan halusinasi datang silih berganti untuk mengenalkan kita pada sosok Mike. Dari sini, film menjelma bak pedang bermata dua. Bagi penonton yang tidak keberatan mendengar lontaran dialog filosofis untuk kemudian diajak berkontemplasi (keengganan Mike memindahkan kaki dari pijakannya adalah metafora bagi ketidakberanian sang protagonis untuk mengambil resiko demi melanjutkan hidup), maka sisa durasi Mine tidak akan kesulitan mencuri perhatianmu. Namun jika pengharapanmu terhadap Mine adalah film ini mengikuti pola pengisahan dari Buried atau The Shallows (which is, bukan sesuatu yang salah), sisa durasi dari film berlangsung kurang mengenakkan. Intensitas menurun drastis, laju mengalun pelan, dan kilasan masa lalu tidak cukup menjerat. Apabila ada jeratan, itu berasal dari performa gemilang yang dipersembahkan oleh Armie Hammer. Kita bisa mendeteksi kegamangannya, ketakutannya, hingga kemarahannya sehingga paling tidak kita peduli terhadap nasib karakter yang dimainkannya. Seandainya keadilan benar-benar ada di dunia ini, rasa-rasanya mudah bagi Armie Hammer untuk bertransformasi menjadi aktor besar dalam beberapa tahun ke depan mengingat bakat yang dipunyainya.

Exceeds Expectations (3,5/5)


REVIEW : WONDER WOMAN


“I used to want to save the world, this beautiful place. But the closer you get, the more you see the great darkness within. I learnt this the hard way, a long, long time ago.” 

Sejujurnya, kepercayaan terhadap film-film hasil adaptasi komik keluaran DC Comics yang tergabung dalam DC Extended Universe (DCEU) telah menguap semenjak dikecewakan secara berturut-turut oleh dua film terakhirnya yang menjemukan serta sarat akan pesimisme, Batman v Superman: Dawn of Justice dan Suicide Squad. Kemuraman nada maupun pesan yang menghiasi kedua film tersebut nyatanya berimbas ke diri ini yang ditandai pupusnya harapan bakal memperoleh tontonan superhero berkualitas jempolan dari penghasil pahlawan-pahlawan fiktif berkekuatan mahadahsyat yang ikonik ini. Semacam, hanya keajaiban yang bisa menyelamatkan masa depan DCEU. Tatkala ekspektasi tidak lagi ditanamkan, keragu-raguan lebih sering mencuat, keajaiban yang didambakan justru datang menghampiri. Keajaiban yang diiringi setitik harapan tersebut dihantarkan oleh sutradara perempuan Patty Jenkins (Monster) melalui Wonder Woman yang menandai debutnya dalam mengarahkan film berskala blockbuster. Seolah telah belajar dari kesalahan film terdahulu, Wonder Woman menjauhkan diri dari nada penceritaan bermuram durja dan merangkul erat sikap optimistis yang menjadikannya terasa berenergi sekaligus menguarkan rasa beserta emosi yang kuat. Ya, Wonder Woman bukan saja akan membuatmu bersemangat oleh rangkaian aksi plus pesan positifnya tetapi juga tertawa oleh humornya dan tersentuh oleh sederet momen emosionalnya. 

Dalam menuturkan kisahnya, Wonder Woman menggunakan pendekatan origin story yang berarti membawa penonton untuk menelusuri jejak rekam sang heroine di masa-masa awal – atau jauh sebelum berkolaborasi dengan Bruce Wayne maupun Clark Kent guna memberangus Doomsday. Latar waktunya adalah ketika Perang Dunia I berkecamuk dengan lokasi berlangsungnya kisah terbagi ke empat tempat; Prancis, Inggris, Belgia, dan Themyscira. Yang terakhir disebut, merupakan sebuah pulau dimana Diana Prince (Gal Gadot) – sosok dibalik kostum Wonder Woman – bersama perempuan-perempuan bangsa Amazon lain tumbuh dan ditempa sebagai prajurit tangguh demi mengantisipasi kemunculan Ares, dewa perang, yang mungkin saja sewaktu-waktu menyerang. Konflik dalam film mulai mengemuka semenjak pesawat dari seorang pilot Amerika, Steve Trevor (Chris Pine), kandas di perairan Thermyscira. Cerita Steve mengenai perang besar antar negara yang tengah berkecamuk di dunia luar, menggugah Diana untuk meninggalkan kampung halamannya dan berjuang demi kemanusiaan. Diana sendiri meyakini, kekacauan ini ada sangkut pautnya dengan Ares. Berbekal intuisi tersebut dan pedang God-killer, Diana pun meminta bantuan Steve beserta rekan-rekannya untuk menemaninya melangkah ke garda terdepan karena satu-satunya cara mengakhiri peperangan adalah dengan menundukkan Ares. Dan satu-satunya orang yang mempunyai kemampuan untuk menundukkan Ares adalah Diana, darah daging Zeus sekaligus saudari tiri Ares.


Tidak membutuhkan waktu lama untuk jatuh hati, lalu terpikat pada Wonder Woman. Semenjak lanskap meneduhkan mata dari negeri utopia Thermyscira terhampar di layar, penonton telah terpanggil untuk menaruh atensi. Bukan sekadar pameran visualisasi indah hasil dari kinerja kolaboratif antara penata kamera, penata artistik, penata kostum serta tim efek khusus, ada penceritaan menarik buat disimak yang disiapkan oleh Patty Jenkins agar penonton mengenal lebih mendalam mengenai sosok Diana Prince. Mengenal asal usulnya, mengenal karakteristiknya, sampai mengenal motivasi atas segala keputusan-keputusannya. Dikondisikan untuk benar-benar terhubung pada sang karakter tituler, tidak mengherankan jika film melangsungkan durasi penceritaan cukup panjang di Thermyscira demi menampakkan tumbuh berkembangnya Diana. Tatkala dia melontarkan niatan untuk bergabung dengan Steve menuju ke ‘dunia luar’ yang berarti meninggalkan kampung halamannya seraya mengucap “how will I be if I stay?” kepada sang ibunda, Queen Hippolyta (Connie Nielsen), kita pun bisa memahaminya. Malah, tidak saja memahami, melainkan mendukung penuh keputusan besar yang diambilnya. Mengetahui fakta bahwa kemungkinan Diana berjumpa lagi dengan kaumnya amatlah kecil, adegan perpisahan ini pun menghasilkan momen emosional bagi film. Bukan kali pertama, karena sebelum mencapai titik ini, emosi penonton telah dibuat bergejolak terlebih dahulu oleh sebuah kehilangan yang turut melandasi mencuatnya niatan Diana untuk mengakhiri peperangan. 

Tunggu, tunggu, kehilangan dan perpisahan? Bukankah dua kata kunci itu melambangkan kemuraman? Memang betul, hanya saja dosis yang diinjeksikan dalam Wonder Woman masih dalam batas sewajarnya. Lagipula, Diana membawa harapan melalui kombinasi antara keberaniannya, kecerdasannya, dan kekuatan tekadnya demi mencapai misi utamanya untuk menegakkan perdamaian di dunia. Tidak ada pandangan pesimistis, Patty justru ingin pula mengedepankan soal women empowerment dalam tuturan kisah. Kita pun sempat juga menengok pertarungan seru pembangkit semangat dan lontaran humor-humor penggelitik urat syaraf sewaktu masih di Thermyscira. Kuantitasnya lantas dilipatgandakan begitu film berpindah latar tempat ke London. Derai-derai tawa banyak bermunculan di sini akibat menengok gegar budaya yang dialami oleh Diana. Lihatlah pada adegan emas saat Diana mencoba-coba pakaian bersama sekretaris Steve, Etta Candy (Lucy Davis), untuk dikenakannya dalam penyamaran. Lucu sekali! Komentar-komentar sosial mengenai seksisme dan rasisme sempat pula disisipkan secara efektif ke beberapa dialog yang sedikit banyak menambah daya tarik bagi Wonder Woman. Dan jika kita berbicara soal daya tarik film, maka sesungguhnya itu terletak pada performa penuh karisma dari dua pelakon utamanya, Gal Gadot dan Chris Pine, yang mempersembahkan chemistry menyengat sehingga secara otomatis penonton pun bersorak sorai untuk keduanya. 

Ikatan diantara mereka terbentuk secara bertahap dan meyakinkan dengan prosesnya tergambar jenaka yang seiring mengalirnya durasi terasa semakin romantis. Ketika keduanya secara resmi memproklamirkan adanya benih-benih asmara di pedesaan Belgia, muncul keinginan untuk melihat Diana dan Steve bersatu pada akhirnya. Tapi seperti halnya Steve Rogers dengan Peggy Carter dari Captain America, keduanya berasal dari ‘dunia’ berbeda. Jadi apakah mungkin harapan ini dapat terwujud? Sepintas terdengar cemen, namun sulit dipungkiri bahwa keberadaan elemen romansa yang cenderung sentimentil ini justru kian memperkaya rasa dan emosi dalam Wonder Woman. Sensitivitas sang sutradara menunjukkan kontribusi pentingnya disini. Turut membantu memperkaya elemen laga dari Wonder Woman yang terorkestra secara apik pula seru agar mempunyai impak lebih terhadap penonton terutama dalam pertempuran di bibir pantai Thermyscira dan momen pertama kalinya Diana memasuki medan peperangan dan turut membantu memberikan penutup yang layak, manis, sekaligus mengharu biru bagi Wonder Woman di kala konfrontasi akhir yang mempertemukan Diana dengan sang villain utama berlangsung kurang menggigit dan terlampau mengingatkan pada klimaks Dawn of Justice beserta Suicide Squad. Dengan pencapaian sebaik ini, satu doa lantas dirapalkan seusai film menutup gelarannya: semoga saja, Wonder Woman bukanlah anomali dalam rangkaian film di DCEU. 

Note : Wonder Woman tidak memiliki post-credits scene.

Outstanding (4/5)