Showing posts with label Raditya Dika. Show all posts

REVIEW : THE GUYS


“Gue percaya, kalau kita hidup dari apa yang kita cintai, kita akan mencintai hidup kita.” 

Beberapa waktu lalu, komika serba bisa Raditya Dika yang tahun kemarin berjasa menempatkan Hangout dan Koala Kumal di jajaran sepuluh film Indonesia paling banyak dipirsa mengumumkan melalui Vlog (video blog) kepunyaannya bahwa dia akan rehat sejenak dari dunia perfilman tanah air: tidak menulis naskah maupun menyutradarai untuk sementara waktu. Sebagai salam perpisahan, Dika melepas The Guys yang merupakan kolaborasi keduanya bersama rumah produksi Soraya Intercine Films pasca Single. Materi konflik seputar kesulitan Dika mencari pasangan pendamping hidup yang tepat memang masih dikedepankan sang komika buat jualan, namun yang membuatnya berasa segar lantaran sekali ini dikawinkan dengan office comedy yang mengulik soal mimpi serta persahabatan lalu sedikit memperoleh pelintiran tatkala problematika asmaranya menyasar ke dua generasi: melibatkan orang tua dari karakter utama. Tambahkan dengan keterlibatan Pevita Pearce, Tarzan, Widyawati, serta penampilan khusus dari aktris Thailand kenamaan, Baifern Pimchanok, harus diakui The Guys terlihat menggugah selera di atas kertas. 

The Guys menempatkan poros penceritaannya pada seorang karyawan di perusahaan yang bergerak di bidang periklanan bernama Alfi (Raditya Dika). Dalam catatan Alfi, setidaknya ada tiga mimpi yang ingin dicapainya dalam waktu dekat: mendapatkan pasangan, membahagiakan ibunya, dan menjadi atasan bagi dirinya sendiri. Alfi berusaha mewujudkan mimpi pertamanya dengan mendekati rekan sekantornya, Amira (Pevita Pearce). Usai sebuah insiden yang menyebabkan Alfi memperoleh ‘surat cinta’ dari bosnya yang galak, Jeremy (Tarzan), hubungan antara Amira dengan Alfi justru kian lekat dan menunjukkan tanda-tanda positif akan berlanjut ke hubungan percintaan. Akan tetapi, tentu saja tidak semudah itu bagi keduanya untuk dipersatukan. Persoalan besar menghadang ketika terungkap fakta bahwa ayah Amira adalah Jeremy – atasan Alfi – dan impresi pertama yang diberikan Alfi kepada Jeremy sama sekali tidak bisa dibilang bagus. Guna memupuskan kesan buruk, Alfi pun mengundang Amira beserta Jeremy untuk makan malam di rumahnya yang berujung pada persoalan lebih besar: Jeremy jatuh hati pada ibu Alfi, Yana (Widyawati). Tidak ingin kisah asmara mereka berlanjut, Alfi pun meminta bantuan teman-teman kontrakannya; Rene (Marthino Lio), Aryo (Indra Jegel), dan karyawan ekspat asal Thailand, Sukun (Pongsiree Bunluewong), untuk melancarkan misi penggagalan.


Guliran pengisahan utama The Guys terbagi ke setidaknya tiga cabang. Pertama, silang sengkarut asmara dua generasi yang menghambat bersatunya Alfi dengan Amira. Kedua, keinginan sang tokoh utama untuk membangun bisnisnya sendiri. Ketiga, suka duka persahabatan Alfi bersama teman-teman kontrakannya yang mendapat sebutan ‘The Guys’ dari Sukun. Terkesan penuh sesak, tapi tentu tak jadi soal apabila si pembuat film terampil dalam merajut tiga plot dengan nuansa berbeda ini menjadi satu. Sayangnya Dika tampak kewalahan untuk membuat ketiganya saling bersinergi satu sama lain sehingga alih-alih saling menguatkan, masing-masing persoalan malah terhidang setengah matang. Tidak semenggigit seperti yang diharapkan. Padahal jika Dika berkenan memilih salah satunya saja buat ditonjolkan entah menguliti lebih dalam problematika cinta beda generasi yang melibatkan ibu dengan calon mertuanya atau jika ingin patuh pada judul maka semestinya persahabatan Alfi bersama sahabat-sahabatnya yang ganjil, The Guys akan lebih ciamik terlebih barisan pelakon yang memperkuat departemen akting serta materi ngebanyol yang dilontarkan sejatinya telah mendukung The Guys untuk tampil maksimal. 

Ya, beruntung bagi The Guys diberkahi pelakon-pelakon yang mempertontonkan atraksi akting di level apik. Baik Marthino Lio maupun Pongsiree Bunluewong dari divisi ‘The Guys’ mempunyai comic timing jempolan yang memungkinkan karakter masing-masing tampil menonjol sekaligus senantiasa didamba-damba kemunculannya karena keduanya beberapa kali sumbangkan gelak-gelak tawa. Marthino Lio punya satu momen membekas tatkala Rene keracunan makanan di tengah-tengah presentasi penting ke klien, sementara Pongsiree senantiasa mencuri perhatian menyusul tingkah lakunya yang ajaib dan betapa seringnya Sukun salah ucap dalam Bahasa Indonesia. Bersama Raditya Dika beserta Indra Jegel, mereka jalin chemistry meyakinkan. Disamping keduanya, The Guys terasa enak buat dinikmati berkat performa Tarzan yang membuktikan kapasitasnya sebagai komedian senior tanah air (adegan makan malam pertama di rumah Jeremy dan kedua bersama keluarga Alfi itu lawak sekali!) dan Widyawati yang menghadirkan kehangatan di menit-menit akhir sebelum film tutup durasi. Adanya tunjangan rentetan humor yang tidak sedikit diantaranya sanggup mengenai target, turut membantu menaikkan derajat The Guys dan memosisikannya sebagai salah satu karya Dika yang menghibur.

Exceeds Expectations (3,5/5)


REVIEW : HANGOUT


Apakah kamu familiar dengan jalan penceritaan dari novel ternama Agatha Christie berjudul And Then There Were None (atau disini dikenal sebagai Sepuluh Anak Negro)? Apabila tidak, secara garis besar tuturannya berkisar pada sepuluh orang asing tanpa relasi satu sama lain yang memperoleh undangan dari seorang kaya nan misterius untuk berkunjung ke huniannya di sebuah pulau. Berharap memperoleh sambutan gegap gempita, nyata-nyatanya undangan ini tidak lebih dari sekadar jebakan yang menuntun kesepuluh tamu tersebut menemui ajalnya masing-masing. Nah, disamping belasan judul adaptasi resmi bersifat langsung – merentang dari film hingga miniseri televisi – And Then There Were None yang mengusung pola whodunnit (tebak-tebak manggis siapa pembunuhnya) pun telah diutak-atik puluhan sineas untuk diekranisasi secara lepas. Salah satu gelaran terbaru yang menerapkan jalinan kisah senada adalah Hangout, sebuah film bergenre komedi thriller arahan Raditya Dika. Hangout sendiri tampak begitu menggoda lantaran tiga faktor; premis, upaya memadupadankan genre komedi dengan thriller, serta fakta bahwa ini pertama kalinya Dika mencoba sedikit keluar dari zona nyamannya yang tidak jauh-jauh dari persoalan kegundahan hati.

Dari sisi gagasan utama, Hangout sejatinya memang serupa tapi tak sama dengan And Then There Were None. Pembedanya, hanya ada sembilan karakter yang menjadi korban disini, mereka mempunyai latar belakang mata pencaharian sejenis, serta telah aktif berinteraksi bersama-sama sebelumnya. Kesembilan karakter tersebut terdiri atas Raditya Dika, Soleh Solihun, Surya Saputra, Mathias Muchus, Titi Kamal, Dinda Kanya Dewi, Prilly Latuconsina, Bayu Skak, serta Gading Marten yang kesemuanya dikenal sebagai public figure. Mereka menerima undangan secara bersamaan dari seorang misterius yang meminta mereka mengunjungi kediamannya di suatu pulau. Tanpa menaruh kecurigaan apapun – malah Mathias Muchus berspekulasi, mereka akan memperoleh tawaran main film – Dika dan konco-konco pun bertolak ke lokasi dengan menaiki kapal. Tak ada sambutan apapun dari si empunya hajat begitu rombongan mencapai tempat tujuan, kecuali hidangan makan malam yang telah tertata rapi di atas meja makan. Kendati aneh, para artis mencoba untuk tetap berpikir positif sampai kemudian... Mathias Muchus meregang nyawa secara tidak wajar. Terjebak di pulau lantaran kapal jemputan baru berlabuh beberapa hari kemudian sementara para personil mulai berguguran satu demi satu akibat dibunuh, mereka yang tersisa pun akhirnya saling menaruh curiga mengingat besar kemungkinan bahwa salah satu dari mereka adalah sang pembunuh. 

Dalam upayanya untuk menyuguhkan tontonan menghibur bagi penonton, Hangout sebetulnya tidaklah bisa dikata gagal. Serentetan humornya masih bekerja secara semestinya dan tidak sedikit diantaranya tergolong efektif mengundang derai tawa. Memang sih ranah kelakar yang dijamah Dika disini masih belum jauh-jauh dari kisaran toilet jokes dan sebangsanya – salah satunya seperti bagaimana Dinda Kanya Dewi digambarkan sebagai artis yang luar biasa joroknya – yang boleh jadi terasa menjijikan pula mengganggu bagi sebagian orang. Bahkan, sifatnya yang cenderung repetitif juga ada kalanya agak menjengkelkan seolah-olah si pembuat film kehabisan ide dalam ngelaba. Namun satu hal yang menarik serta jarang dieksplorasi lebih jauh oleh Dika di film-filmnya sebelum ini adalah guyonannya dalam Hangout sarat akan referensi budaya populer. Mempunyai barisan karakter dimana kesemuanya merupakan public figure nyata adanya, memungkinkan dirinya untuk lebih bebas melemparkan materi ngebanyol berkenaan dengan dunia hiburan tanah air. Hampir setiap karakter kena tembak – paling habis-habisan nyaris tanpa ampun adalah Gading Marten – walau tidak kesemuanya juga tepat mengenai sasaran. Yang bagi saya terhitung berhasil yakni kala Prilly mengungkit-ungkit soal sinetron Ganteng-Ganteng Serigala atau lebih baik lagi saat Dinda membicarakan tentang Ada Apa Dengan Cinta? 3

Dan, untuk mencapai tahapan menghebohkan ini agak membutuhkan waktu. Hangout terhitung lambat memanas. Setidaknya pada 30 menit pertama sebelum pembunuhan pertama terjadi, film berlangsung agak hambar. Lawakannya banyak meleset, pengisahannya pun kurang mengikat apalagi menciptakan kesan misterius seperti diharapkan. Usai Marmut Merah Jambu, Single, serta Koala Kumal yang begitu lancar lantunan kisahnya, maka tentu mengecewakan (plus mengherankan) melihat Dika cenderung terbata-bata di Hangout. Apakah ini lantaran Dika masih belum terbiasa dengan sesuatu diluar area kekuasaannya? Bisa jadi. Begitu jatuh korban pertama, film perlahan mulai enak buat dinikmati meski tidak sampai pada tahapan benar-benar mulus. Perpaduan elemen komedi bersama thriller berulang kali terasa janggal. Sang sutradara tidak tampak kesulitan mengorkestrasi momen-momen pengundang tawa karena bagaimanapun juga inilah keahliannya, tapi berbeda halnya ketika menyajikan daya cekam. Sejumlah adegan yang seharusnya mampu membuat penonton tersentak, memegang erat bangku bioskop atau mengucurkan keringat dingin, berlalu begitu saja tanpa kesan. Malah memunculkan reaksi, “lho, kok begitu saja?,” khususnya di babak klimaks yang tensinya terus mengendor dan ini kian dilukai oleh momen pengungkapan si pelaku dengan motif jauh dari kata kuat. 

Kendati menghadapi serentetan problematika yang menghempaskan Hangout seketika dari jajaran film terbaik Dika, seperti telah disinggung di beberapa paragraf sebelumnya, ini bukanlah tontonan yang layak dilabeli “gagal” apalagi “buruk”. Usahanya untuk menghadirkan warna baru bagi perfilman tanah air (beserta filmografi Dika) tetap perlu mendapatkan angkat topi. Selain masih mampu memberikan penghiburan lewat gelak-gelak tawa, Hangout teramat sangat beruntung karena memiliki barisan pemain yang menghadirkan performa sangat memuaskan. Setiap pelakonnya terlihat begitu bersenang-senang dengan peran yang mereka mainkan. Dika memang masih tampak lempeng seperti biasa, namun Dinda Kanya Dewi, Surya Saputra, Prilly Latuconsina, Gading Marten serta Soleh Solihun membuktikan kelayakan masing-masing untuk mendapatkan peran di Hangout. Berkat mereka, banyak energi positif berhasil tersalurkan ke film. Kemunculan mereka memberi keriaan tersendiri khususnya Dinda dan Soleh yang senantiasa dinanti-nanti sepak terjangnya oleh penonton karena mampu memberikan tawa secara konstan.

Acceptable (3/5)