Showing posts with label 2016. Show all posts

REVIEW : PERFECT STRANGERS (2016)


“We have everything in here (mobile phone). It’s the black box of our lives. How many couples would split up if they saw each other’s phones?” 

Tanyakan kepada dirimu sendiri: seberapa jauh kamu mengenal orang-orang yang kamu sebut sebagai sahabat, kekasih, maupun suami/istri? Apakah kamu benar-benar yakin bahwa mereka bisa sepenuhnya dipercaya? Benarkah tidak ada rahasia beracun yang disembunyikan rapat-rapat oleh mereka darimu? Bagaimana kalau ternyata mereka sejatinya tidak lebih dari orang asing yang kebetulan saja mendapat sebutan ‘sahabat, kekasih, maupun suami/istri’? Hmmm. Pertanyaan-pertanyaan ‘baper’ yang bisa jadi sempat menggelayuti pikiran kita ini menjadi landasan utama bagi Paolo Genovese untuk menghasilkan film layar lebar terbarunya yang bertajuk Perfect Strangers (dalam bahasa Italia berjudul Perfetti sconosciuti). Paolo bersama empat rekannya memformulasikan sederet pertanyaan tersebut ke dalam skrip yang lantas diejawantahkannya menjadi bahasa gambar. Demi membuatnya terasa kian menggigit, si pembuat film menyelubunginya dengan komentar sosial terkait dampak negatif dari kemajuan teknologi. Dampak negatif yang dijlentrehkan Paolo melalui Perfect Strangers adalah bagaimana teknologi telah merenggut habis privasi masyarakat modern melalui aplikasi maupun situs pertemanan (ironis!) dan mampu menjelma sebagai bahaya laten bagi hubungan antar manusia apabila tidak dipergunakan secara bijak. Dramaaaaaa! 

Guliran penceritaan Perfect Strangers mempertemukan penonton dengan tujuh sahabat lama yang konfigurasinya terdiri atas tiga pasangan menikah dan satu duda. Pasangan pertama adalah Lele (Valerio Mastandrea) dan Carlotta (Anna Foglietta) yang tidak lagi saling berkomunikasi secara intens. Pasangan kedua adalah pengantin baru, Cosimo (Edoardo Leo) dan Bianca (Alba Rohrwacher), yang gairah seksual keduanya masih menggebu-nggebu. Pasangan ketiga adalah Rocco (Marco Giallini) dan Eva (Kasia Smutniak) yang menapaki fase sebagai orang tua dari seorang remaja. Sementara sang duda adalah Peppe (Giuseppe Battiston) yang telah memiliki kekasih baru. Ketujuh sahabat ini berkumpul dalam sebuah jamuan makan malam yang dihelat di apartemen milik Rocco dan Eva. Mengingat mereka telah cukup lama tidak saling bersua, maka setumpuk obrolan dengan berbagai topik yang amat acak pun terus mencuat sampai akhirnya Eva memutuskan untuk membuat sebuah permainan menarik sekaligus ‘berbahaya’. Eva meminta setiap personil yang hadir untuk meletakkan ponsel cerdas masing-masing di atas meja makan lalu membiarkan seluruh pesan atau telepon yang masuk ke ponsel mereka diketahui oleh semuanya, tanpa terkecuali. Mulanya, permainan ‘tak ada rahasia diantara kita’ ini berlangsung menyenangkan. Namun saat rahasia-rahasia besar mulai terungkap, kesenangan tersebut berubah menjadi tragedi yang seketika menggoyahkan ikatan pernikahan dan persahabatan yang telah terjalin selama bertahun-tahun. 



Perfect Strangers mengawali penceritaan dengan sekelumit babak introduksi yang menyoroti persiapan tiga pasangan sebelum menghadiri jamuan makan malam (Peppe baru diperkenalkan di lokasi acara). Tidak mendalam, tapi cukup untuk memberi kita gambaran mengenai hubungan yang terjalin diantara mereka; Lele-Carlotta dingin, Cosimo-Bianca menggelora, sementara Rocco-Eva cenderung berada di tengah-tengah. Begitu beranjak ke apartemen Rocco dan Eva yang akan menjadi panggung utama berlangsungnya ‘pertempuran’ sepanjang sisa durasi, Paolo lantas menyodori penonton dengan tek tokan remeh temeh antar sahabat yang berfungsi untuk menegaskan relasi ketujuh manusia ini sekaligus untuk menggelitik saraf tawa penonton. Dari obrolan-obrolan ini, kita pun menyadari bahwa guliran kisah Perfect Strangers bergantung sepenuhnya pada kekuatan dialog yang dikreasi oleh lima penulis naskah. Apabila materi pembicaraannya lembek, lalu chemistry antar pelakon tak bertenaga, dan penyuntingan kurang lincah, Perfect Strangers jelas berada dalam masalah besar. Beruntungnya apa yang terjadi justru sebaliknya. Obrolan ringan yang menghiasi belasan menit awal sedikit demi sedikit mengalami eskalasi, utamanya usai Eva memutuskan untuk memberikan bumbu pedas pada malam reuni kecil-kecilan ini. Disamping agar makan malam bersama ini terasa hidup (tentu tak akan ada tamu yang sibuk dengan ponselnya sendiri), tujuan Eva mencetuskan permainan ‘tak ada rahasia diantara kita’ ini adalah mengetes kejujuran – meski sejatinya telah melanggar privasi. Dia menantang, “jika memang tidak ada yang disembunyikan, kenapa harus takut?” 

Tentu saja, Paolo tidak membiarkan pesan atau telepon yang masuk ke ponsel para karakter berada di taraf aman. Kalau sebatas berhubungan dengan bisnis maupun panggilan dari kerabat atau sahabat, dimana asyiknya? Mesti ada ketegangan dong! Maka dari itu, si pembuat film menyelipkan rahasia pada masing-masing karakter. Tingkatannya beragam, ada yang biasa-biasa saja, sedang-sedang saja, sampai parah sekali yang seketika menciptakan ledakan hebat di meja makan dan memberi penonton suatu tontonan yang menarik – momen terbaik adalah ketika dua tamu bertukar ponsel yang tanpa disangka-sangka malah bikin geger karena dua pesan sederhana. Tidak ada yang terbebas dari konflik, tidak ada putih bersih di sini. Ketika kamu mengira bahwa satu persoalan telah cukup menggegerkan, tunggu sampai kamu mendengar rahasia lain yang siap diungkapkan. Yang jelas, Paolo tidak akan membiarkanmu terserang jenuh sampai jatuh terlelap di pertengahan durasi karena kolaborasinya bersama para penulis naskah yang mengkreasi dialog-dialog cepat nan tajam, penyunting gambar yang cekatan dalam menyusun ritme film, serta pemain ansambel dengan chemistry menyengat, memungkinkan Perfect Strangers untuk memiliki cita rasa mencekam dan mencengkram dari menit ke menit. Itulah mengapa menyaksikan Perfect Strangers yang dijual sebagai tontonan satir ini tak ubahnya menonton sebuah gelaran thriller. Kamu tidak akan rela memalingkan muka barang sejenak dari layar karena setiap percakapan yang meluncur dari mulut para karakter adalah kunci. 



Kunci yang akan menuntun para karakter untuk mengetahui ‘kebenaran beracun’ yang telah tersembunyi selama bertahun-tahun. Kunci yang akan melepaskan topeng yang selama ini dikenakan oleh tujuh manusia yang mengaku dirinya sebagai sahabat dan pasangan yang bisa dipercaya. Kunci yang akan membawa mereka pada keputusan penting; apakah hubungan (persahabatan dan pernikahan) penuh kepalsuan ini layak dipertahankan? Kunci yang akan mengusik pemikiran penonton dengan suatu pilihan; apakah kebenaran ini perlu dibeberkan sekalipun berpotensi merusak hubungan atau lebih baik disimpan erat-erat demi menjaga keutuhan hubungan sekalipun ini berarti ada ketidakjujuran? Dan kunci yang akan membuat kita bertanya-tanya; apakah kemajuan teknologi ini benar-benar telah membuat manusia tidak lagi peduli dengan privasi?

Outstanding (4/5)

REVIEW : IN THIS CORNER OF THE WORLD


“Thank you for finding me in this corner of the world.” 

Pada tanggal 6 Agustus 1945, sebuah bom atom uranium jenis bedil yang dikenal dengan nama Little Boy dijatuhkan oleh Amerika Serikat di kota Hiroshima, Jepang. Pengeboman yang menelan ratusan ribu korban jiwa tersebut – sebagian besar diantaranya adalah masyarakat sipil – memberikan pukulan telak bagi Jepang sehingga tidak berselang lama mereka pun menyerah kepada pihak sekutu yang secara otomatis mengakhiri berlangsungnya Perang Dunia II. Inilah salah satu peristiwa penting dan berpengaruh dalam sejarah umat manusia. Saking pentingnya, industri perfilman di Jepang pun tak ingin kelewatan untuk mengabadikannya melalui bahasa audio visual, baik berkenaan langsung dengan sejarahnya atau sekadar menjumputnya sebagai latar belakang penggerak kisah seperti dilakukan oleh film animasi pemenang beragam penghargaan berjudul In this Corner of the World (atau berjudul asli Kono Sekai no Katasumi ni). Ya, film arahan Sunao Katabuchi (Princess Arete, Mai Mai Miracle) yang disarikan dari manga bertajuk serupa ini bukanlah sebentuk rekonstruksi sejarah dengan alur kisah maupun karakter-karakter yang bisa dijumpai di buku teks melainkan sebentuk hikayat dengan bangunan cerita fiktif yang mencoba menawarkan perspektif perihal impak perang terhadap kemanusiaan. 

Karakter utama yang dimanfaatkan In this Corner of the World untuk menggulirkan roda penceritaan adalah Suzu (disuarakan oleh Non), seorang perempuan polos dan kikuk yang menaruh minat tinggi pada menggambar. Dipaparkan secara episodik, penonton mengikuti kehidupan Suzu sedari dia masih kecil dan tinggal bersama keluarganya di Eba, Hiroshima, pada tahun 1930-an hingga tumbuh menjadi perempuan dewasa dan meninggalkan kampung halamannya untuk tinggal bersama keluarga suaminya di Kure yang menjadi markas utama bagi Angkatan Laut Jepang semasa Perang Pasifik pada tahun 1940-an. Kepindahannya ke Kure sendiri tidak pernah diantisipasinya karena sebelum berlangsungnya prosesi pernikahan di usianya yang ke-18, Suzu tidak mengenal pria yang tiba-tiba datang untuk melamarnya, Shusaku (Yoshimasa Hosoya). Segalanya berlangsung begitu cepat dan mendadak bagi Suzu sehingga belum sempat dia mengatasi keterkejutannya, sang karakter utama harus sesegera mungkin beradaptasi dengan rutinitas barunya sebagai ibu rumah tangga. Tidak mudah bagi Suzu untuk menjalani kehidupan barunya ini terlebih dengan adanya pembatasan jatah ransum yang memaksanya berpikir kreatif agar keluarganya dapat makan secara layak dan kehadiran kakak iparnya, Keiko (Minori Omi), yang kerap bersikap dingin kepadanya sekalipun sang putri, Harumi (Natsuki Inaba), menjalin hubungan akrab dengan Suzu. 

Dalam menghantarkan kisahnya yang berbincang soal cinta, kemanusiaan, dan harapan di tengah-tengah berkecamuknya perang akbar, In this Corner of the World mengambil pendekatan berbeda dengan sejawatnya, Grave of the Fireflies (1988, Ghibli), yang poros utama kisahnya berada di rentang waktu sama. Alih-alih bermuram durja – meletakkan fokus pada kepedihan hidup tak terperi dari si karakter utama – Sunao Katabuchi memilih untuk melantunkannya dengan nada penceritaan yang bertolak belakang. Tidak meletup-letup, optimis, serta positif dalam memandang kehidupan. Memang sih Suzu kerap dinaungi ketidakberuntungan dalam hidupnya; dari cinta tak sampai, perjodohan, kakak ipar yang jutek bukan main, stok makanan serba terbatas, sampai peperangan yang merenggut kebebasan maupun orang-orang yang dikasihinya, namun ketimbang menggambarkannya secara dramatis sarat air mata, Sunao mentranslasinya ke bahasa gambar secara tenang mengikuti cara Suzu menyikapi persoalannya dengan kepala dingin. Alhasil, In this Corner of the World tidak menjelma sebagai tontonan ‘horor’ (baca: menguras air mata) seperti kerap dibayangkan banyak pihak dan hentakan-hentakan emosi dalam film pun diminimalisir sedemikian rupa sampai pesawat Amerika Serikat menjatuhkan bomnya. Keputusan untuk tidak mengumbar emosi, sedikit banyak berdampak pada alur yang mengalun cenderung tenang-tenang menghanyutkan ala film berjalur slice of life dan bisa jadi akan terasa menjemukan bagi sebagian penonton.

Mengingat kehidupan Suzu sebagai ibu rumah tangga yang repetitif serta jauh dari kata hingar bingar kecuali dari suara gemuruh pesawat perang dan ledakan bom di sekitar tempat tinggalnya maka pilihan si pembuat film dalam menuturkan kisah ini sangat bisa dipahami. Penonton dimaksudkan dapat merasakan apa yang dirasakan oleh Suzu sehingga ada ikatan emosi yang terbentuk antara penonton dengan sang protagonis utama maupun beberapa karakter kunci yang memiliki peranan dalam kehidupannya. Menariknya, Suzu bukanlah sesosok karakter yang lempeng apalagi hambar. Dia terlihat sangat mudah disukai dengan penggambaran pembawaan yang periang, kikuk, dan agak ceroboh sampai-sampai kerap memantik kejadian-kejadian konyol di sekelilingnya seperti tanpa sengaja menyebabkan teman-temannya bergelimpangan atau salah dikira sebagai mata-mata karena menggambar armada angkatan laut Jepang. Rentetan humor-humor segar yang efektif dalam menghadirkan derai tawa ini mewarnai dua pertiga awal durasi yang hampir tidak mempunyai momen dramatik mengikuti garis konflik yang acapkali berada di posisi horizontal. In this Corner of the World mulai menunjukkan geliatnya dari sisi emosi ketika salah satu karakter kunci tewas akibat terkena bom waktu. Keceriaan yang menaungi tahap sebelumnya perlahan mengabur – walau tidak sepenuhnya – dan kemuraman menyelinap masuk. 

Sedari titik ini, kita bisa melihat seberapa besar impak perang terhadap kemanusiaan. Sikap optimis dan positif yang coba dipromosikan oleh In this Corner of the World juga semakin menunjukkan taringnya disini. Bagaimana para karakter bertindak dalam menyikapi duka yang menyelimuti, bagaimana cinta, pengampunan dan kebaikan hati dapat membantu memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan oleh peperangan sekaligus memunculkan harapan. Meski bukan berarti Suzu tidak pernah diperlihatkan terpuruk, namun dia secara cepat mampu bangkit begitu pula beberapa karakter penting yang berhasil selamat. Salah satunya bahkan sempat berujar kepada Suzu, “tidak ada gunanya menangis. Kamu hanya akan membuang-buang garam.” Ucapan yang singkat pula menampar bagi si protagonis, utamanya di kala dirundung kesulitan memperoleh bahan pangan. Tapi penonton tak perlu merasa risau akan dihalang-halangi untuk meluapkan emosi karena seperti disinggung di penghujung paragraf sebelumnya, babak ketiga merupakan awal mula bermunculannya momen-momen merobek hati. 

Kendati (lagi-lagi) tidak seperti Grave of the Fireflies yang sudah berada di tahapan tanpa ampun menghujam emosi, keberadaannya dalam In this Corner of the World akan tetap mengusik nuranimu. Tengok saja pada adegan seorang pria dengan tubuh terpanggang, orang-orang yang kebingungan mencari keberadaan sanak saudara selepas Hiroshima luluh lantak oleh bom, atau seorang bocah kecil yang kehilangan ibunya. Sulit untuk tidak menitikkan air mata, mengutuk keras peperangan, seraya berkontemplasi untuk menemukan jawab atas tanya, “mengapa sih harus ada peperangan? Adakah urgensi mendesak dibaliknya atau sekadar ajang unjuk ego?.” Pada akhirnya, In this Corner of the World adalah sebuah hikayat memikat mengenai tragedi yang dihamparkan secara indah berkat goresan-goresan gambar yang sederhana namun amat indah, jenaka mengikuti cukup tingginya asupan humor tatkala menyoroti kehidupan rumah tangga Suzu, serta tetap efektif dalam mempermainkan emosi ketika akhirnya keluarga Suzu mulai benar-benar terkena dampak dari peperangan yang sebenarnya sama sekali tidak mereka pahami.

Outstanding (4/5)


REVIEW : MINE


“My next step will be my last.” 

Coba bayangkan dirimu berada dalam situasi semacam ini: tersesat di padang gurun tanpa membawa persediaan hidup mencukupi, lalu tanpa sengaja menginjak sesuatu yang besar kemungkinan adalah sebuah ranjau. Apa yang akan kamu lakukan? Memutuskan berdiam diri hingga batas waktu tertentu seraya menunggu bala bantuan yang mungkin saja tidak akan pernah datang karena lokasimu amat terpencil dan berada di sekitar area konflik atau nekat memutuskan untuk melangkah dengan resiko akan kehilangan anggota tubuh tertentu? Situasi ini, kemudian pertanyaan-pertanyaan yang melanjutinya merupakan gambaran penceritaan secara garis besar dari film debut penyutradaraan duo Fabio Guaglione dan Fabio Resinaro (memakai nama panggung Fabio & Fabio), Mine, yang promonya mengisyaratkan akan berada di jalur survival thriller. Hanya saja, berbeda dengan film-film yang mempunyai pokok persoalan serupa mengenai bertahan hidup di alam liar semacam 127 Hours (2010), Buried (2010), hingga paling anyar The Shallows (2016), Mine tidak semata-mata berceloteh mengenai upaya sang protagonis untuk bertahan hidup. Si pembuat film turut sibuk menyisipinya dengan muatan filosofis yang membicarakan tentang bagaimana seharusnya menjalani kehidupan. 

Karakter sentral dalam Mine adalah seorang marinir asal Amerika Serikat bernama Mike Stevens (Armie Hammer). Bersama rekannya, Tommy Madison (Tom Cullen), Mike ditugaskan untuk menjalani misi di padang gurun yakni membunuh pemimpin dari sebuah kelompok ekstrimis di wilayah Afrika Utara. Pertentangan batin lantas menyergap Mike begitu mendapati bahwa targetnya tengah mengantarkan putranya ke tengah gurun guna menjalani prosesi pernikahan. Keragu-raguan untuk melesatkan tembakan berujung pada gagalnya misi yang membuat posisi keduanya terdesak. Guna melarikan diri dari kejaran antek-antek si target dan menjumpai bala bantuan yang konon akan dikirimkan ke desa terdekat, Mike dan Tommy pun melakoni perjalanan selama berjam-jam melintasi padang gurun. Perjalanan ini mengantarkan mereka menuju ke sebuah area yang ditanami ranjau darat. Mengabaikan peringatan karena menganggap ranjau telah berada di sana selama puluhan tahun dan tak lagi berfungsi, ada harga yang harus mereka bayar mahal. Tommy kehilangan kedua kakinya usai ranjau yang diinjaknya meledak seketika, sementara Mike yang sedikit lebih beruntung, harus bertahan di posisinya sampai batas waktu tertentu apabila tidak ingin ranjau di bawah kakinya meluluhlantakkan tubuhnya seperti terjadi pada rekannya.


Mesti diakui, Mine memulai langkah awalnya secara meyakinkan. Adegan menanti datangnya sang buron yang dilanjut kegamangan hati Mike antara ‘menembak atau tidak menembak’ dikonstruksi oleh Fabio & Fabio dengan tingkatan intensitas cukup tinggi dan laju penceritaan yang melesat cepat. Meski kita mengetahui ujungnya – well, kegagalan misi adalah pemantik munculnya rentetan konflik di film dan telah pula dijabarkan di sinopsis – tetap saja muncul sensasi berdebar-debar kala menanti keputusan Mike lantaran was-was pula kalau-kalau keberadaan kedua marinir ini diketahui oleh musuh. Ketegangan yang terbangun dengan baik di adegan pembuka ini lantas berlanjut saat penonton digiring memasuki area penuh ranjau. Detik-detik jelang meledaknya ranjau pertama akan membuatmu mencengkram erat kursi bioskop, begitu pula menit-menit selepasnya tatkala sang karakter sentral mencoba untuk menyesuaikan diri dengan pijakan beserta ‘lingkungan barunya’. Hingga titik ini, Mine masih berada di lajur seperti tersirat dari materi promosinya: survival thriller. Kita melihat Mike berjibaku untuk mendapatkan radio yang posisinya beberapa senti di depannya untuk menghubungi markas yang malah memberi jawaban tak memuaskan, bertahan dari gempuran badai pasir, hingga meminum air seninya sendiri akibat kehabisan stok air. 

Seiring dengan hadirnya karakter lain tanpa nama (Clint Dyer) yang berasal dari desa sekitar, nada pengisahan Mine perlahan tapi pasti mulai beralih. Kilasan-kilasan masa lalu yang bercampur dengan halusinasi datang silih berganti untuk mengenalkan kita pada sosok Mike. Dari sini, film menjelma bak pedang bermata dua. Bagi penonton yang tidak keberatan mendengar lontaran dialog filosofis untuk kemudian diajak berkontemplasi (keengganan Mike memindahkan kaki dari pijakannya adalah metafora bagi ketidakberanian sang protagonis untuk mengambil resiko demi melanjutkan hidup), maka sisa durasi Mine tidak akan kesulitan mencuri perhatianmu. Namun jika pengharapanmu terhadap Mine adalah film ini mengikuti pola pengisahan dari Buried atau The Shallows (which is, bukan sesuatu yang salah), sisa durasi dari film berlangsung kurang mengenakkan. Intensitas menurun drastis, laju mengalun pelan, dan kilasan masa lalu tidak cukup menjerat. Apabila ada jeratan, itu berasal dari performa gemilang yang dipersembahkan oleh Armie Hammer. Kita bisa mendeteksi kegamangannya, ketakutannya, hingga kemarahannya sehingga paling tidak kita peduli terhadap nasib karakter yang dimainkannya. Seandainya keadilan benar-benar ada di dunia ini, rasa-rasanya mudah bagi Armie Hammer untuk bertransformasi menjadi aktor besar dalam beberapa tahun ke depan mengingat bakat yang dipunyainya.

Exceeds Expectations (3,5/5)


REVIEW : THE AUTOPSY OF JANE DOE


“All these mistakes, my mistakes, and you had to pay for them.” 

Seperti halnya Last Shift yang sempat mampir di bioskop tanah air tahun lalu, nasib The Autopsy of Jane Doe bisa dibilang apes. Betapa tidak, mengingat jajaran pelakon utamanya bukanlah nama sembarangan, sang sutradara punya jejak rekam membanggakan dimana karya sebelumnya yakni Trollhunter disambut sangat hangat oleh para pecinta film horor dunia, dan premis usungannya terdengar menggoda, film ini tidak pernah memperoleh kesempatan untuk dipertontonkan secara luas. Selepas diperkenalkan pertama kali ke khalayak melalui Toronto International Film Festival, The Autopsy of Jane Doe lantas menyapa penikmat tontonan seram hanya melalui rilisan secara terbatas di bioskop, streaming platform, dan home video. Nyaris tiada terdengar gaungnya. Dugaan yang lantas muncul, apakah ini berarti film arahan André Øvredal tersebut mempunyai mutu kurang baik sampai-sampai pihak distributor emoh menggelontorkan dana besar untuk promosi dan perilisan? Tapi, (lagi-lagi) seperti halnya Last Shift, kualitas bukanlah alasan utama yang melatarbelakangi karena kenyataannya kedua judul ini – khususnya The Autopsy of Jane Doe – merupakan harta karun tersembunyi yang sebaiknya tidak dilewatkan begitu saja oleh para pecinta film horor. 

Judul dari film ini merujuk pada sesosok mayat perempuan cantik tanpa identitas (Olwen Catherine Kelly) yang ditemukan setengah terkubur di ruang bawah tanah dari sebuah rumah yang menjadi TKP pembunuhan. Sheriff Sheldon (Michael McElhatton) yang ditugaskan untuk menyelidiki kasus aneh ini lantas membawa mayat si perempuan yang diberi nama Jane Doe pada ahli otopsi setempat, Tommy Tilden (Brian Cox) dan putranya Austin (Emile Hirsch), demi mengungkap penyebab kematiannya. Menguak pemicu tewasnya Jane Doe nyatanya tidaklah semudah membalikkan telapak tangan karena mayat Jane Doe jelas bukanlah mayat biasa. Setidaknya ada tiga kejanggalan yang berhasil diendus oleh Tommy. Pertama, tidak ditemukan adanya tanda-tanda luka atau trauma dalam tubuh mayat. Kedua, tubuh korban mengindikasikan bahwa waktu kematian baru saja terjadi sementara mata korban menyatakan bahwa waktu kematian telah berlangsung beberapa hari silam. Dan ketiga, beberapa bagian dalam tubuh mengalami kerusakan tanpa meninggalkan bekas luka di bagian luar. Tatkala mencoba menggali lebih dalam mengenai kebenaran dibalik tewasnya Jane Doe inilah baik Tommy maupun Austin harus menghadapi berbagai peristiwa yang sulit dijelaskan oleh nalar.


Dalam membangkitkan bulu kuduk penonton di The Autopsy of Jane DoeAndré Øvredal kerap bermain-main dengan atmosfir yang menciptakan rasa tidak nyaman. Sukar untuk bisa duduk di kursi bioskop tanpa dirongrong perasaan gelisah ketika pemandangan yang terhampar di layar adalah lift sempit yang menjadi akses satu-satunya untuk keluar masuk, lorong panjang dengan pencahayaan temaram, dan ruang otopsi penuh mayat yang bertempat di ujung dari sebuah basement. Belum apa-apa, si pembuat film telah menciptakan nuansa klaustrofobik yang mencekat. Lalu tambahkan semua hal-hal mengganggu ini dengan mayat Jane Doe. Yang belum dijabarkan di sinopsis – tapi bisa diketahui melalui poster – adalah mata si mayat yang senantiasa terbuka. Coba bayangkan dirimu dalam posisi keluarga Tilden: mengautopsi mayat yang matanya seolah-olah tengah memandang ke arahmu di suatu ruangan tertutup di bawah tanah. Mengerikan? Jelas. Terlebih, asal muasalnya belum diketahui secara pasti. The Autopsy of Jane Doe berasa sedap buat disimak bukan saja karena kepiawaian sang sutradara dalam menciptakan rasa ngeri akibat kegelisahan tetapi juga berkat pekatnya misteri yang melingkungi guliran pengisahan. 

Ditengah ketidaknyamanan, kita turut dibuat bertanya-tanya mengenai identitas dari Jane Doe. Siapakah dia sebenarnya? Apakah dia mempunyai keterkaitan dengan pembunuhan yang ditangani oleh Sheriff Sheldon? Apa penyebab utama kematiannya? Mengapa tidak ditemukan tanda-tanda semacam luka atau trauma yang umumnya muncul pada mayat? Rentetan pertanyaan ini merupakan pisau bedah utama yang dipergunakan oleh André Øvredal guna menjerat atensi penonton agar berkenan mengikuti jalannya film hingga tutup durasi. Munculnya sejumlah peristiwa ganjil di ruang otopsi seperti kanal radio yang mendadak berubah dengan sendirinya bisa dikata efektif membantu tingkatkan kengerian, namun begitu film lepas dari babak kedua yang ditandai tersibaknya misteri, The Autopsy of Jane Doe tidak lagi semencekam paruh awalnya. Penyebabnya, perpaduan antara penjabaran jawaban kurang memuaskan (sempat nyeletuk, “yah... begini lagi!”) dan kebergantungan André Øvredal terhadap jump scares receh. Bukannya buruk toh intensitasnya masih dapat dirasakan, hanya saja jauh dari kesan istimewa seperti langkah awalnya lantaran sejumlah trik menakut-nakutinya telah cukup sering diterapkan di film sejenis. Cukup mengecewakan memang, tapi untungnya tak sampai menodai film secara keseluruhan. The Autopsy of Jane Doe tetaplah salah satu ‘harta karun tersembunyi’ bagi penikmat tontonan seram.

Exceeds Expectations (3,5/5)


REVIEW : A SILENT VOICE


Didasarkan pada manga bergenre slice of life berbumbu romansa rekaan Yoshitoki Oima, A Silent Voice (Koe no Katachi) menjual dirinya sebagai film romansa untuk segmen young adult. Yang terbersit pertama di pikiran, film ini mungkin akan semanis dan semengharu biru Your Name yang telah berkontribusi dalam menetapkan standar tinggi bagi film anime asal Jepang. Mengingat materi promosinya memunculkan kesan demikian, tentu ekspektasi khalayak ramai tersebut tidak bisa disalahkan. Satu hal perlu diluruskan, A Silent Voice gubahan sutradara perempuan Naoko Yamada (K-On!) ini tidak semata-mata mengedepankan kisah kasih sepasang remaja sebagai jualan utamanya. Malahan sebenarnya, percintaan bukanlah bahan pokok buat dikulik. Topik pembahasan yang dikedepankan oleh A Silent Voice justru terbilang sensitif meliputi perundungan, kecemasan sosial, sampai bunuh diri berlatar dunia sekolah. Ya, ketimbang Your Name, A Silent Voice justru lebih dekat dengan film rilisan tahun 2010, Colorful, yang mengapungkan materi kurang lebih senada hanya saja tanpa mencelupkan elemen fantasi dan lebih realistis dalam bertutur. 

Karakter inti dari film adalah remaja laki-laki usia belasan bernama Shoya Ishida (Miyu Irino). Semasa duduk di bangku sekolah dasar, Ishida mempraktikkan tindak bullying terhadap seorang murid baru yang tuli, Shoko Nishimiya (Saori Hayami). Meski ditindas setiap hari, Nishimiya enggan melawan dan justru kerap melempar senyuman seraya mengucap “maaf”. Mengetahui sang korban tidak memberikan respon keras, Ishida dan kawan-kawannya justru makin getol menindas Nishimiya sampai kemudian tindakan mereka melampaui batas dan ibu Nishimiya pun memutuskan memindahkan putrinya ke sekolah lain. Semenjak kepergian Nishimiya, keadaan berbalik arah ditandai dengan status Ishida yang mengalami degradasi: dari penindas menjadi yang tertindas. Merasakan sebagai korban perundungan, Ishida menyesali perbuatannya dan memilih menjadi outsider di jenjang sekolah berikutnya. Kehidupan Ishida yang erat dengan ‘kesepian’ serta ‘penyesalan’ perlahan mulai berubah tatkala menapaki bangku SMA. Takdir mempertemukannya kembali bersama Nishimiya. Ishida menyadari bahwa perjumpaannya dengan Nishimiya merupakan kesempatan terbaik baginya untuk berdamai dengan masa lalu yang selama ini terus menghantui.


Sejalan dengan materi kupasannya, A Silent Voice pun berceloteh secara serius. Bisa dikata, mendekati depresif. Bukan perkara mudah menengok Nishimiya menghadapi perundungan di sekolahnya tanpa ada seorang kawan pun yang berpihak kepadanya – meski belakangan dia memiliki kawan baik bernama Miyoko Sahara (Yui Ishikawa) yang bersedia mempelajari bahasa isyarat. Ketika Nishimiya menghilang, lalu target berpindah ke Ishida, nada penceritaan pun kian muram. Akibat gangguan yang diterimanya, Ishida memilih jalur antisosial. Mengikuti materi sumbernya, si pembuat film pun menempelkan sebentuk silang besar menyerupai huruf X di wajah teman-teman sekolah Ishida yang mengisyaratkan adanya ketidakpercayaan atau keengganan si karakter utama berinteraksi lebih intensif dengan mereka. Kemuraman lantas sedikit mencair menyusul kemunculan Tomohiro Nagatsuka (Kensho Ono) yang memproklamirkan dirinya sebagai sahabat Ishida usai diberi bantuan. Nagatsuka memegang dua peranan penting dalam film; pertama, memberi asupan humor, dan kedua, mendorong Ishida untuk bersosialisasi serta membuka diri pada jalinan pertemanan yang selama ini dipandangnya sinis. Sampai pada titik ini, meski mood kerap diombang-ambingkan, film sejatinya masih enak untuk dikudap. 

Persoalan-persoalan pada film mulai mencuat ketika sejumlah karakter baru mulai hilir mudik memasuki arena penceritaan seiring kian terbukanya Ishida. Disamping Ishida, karakter-karakter lain di A Silent Voice tak pernah memperoleh jatah waktu memadai untuk memperkenalkan diri. Penonton hanya mengenal Sahara, Nagatsuka, kemudian ada pula Kawai (Megumi Han), Yuzuru (Aoi Yuki), Mashiba (Toshiyuki Toyonaga), serta Ueno (Yuki Kaneko) sambil lalu. Bahkan, Nishimiya pun sejatinya memperoleh perlakuan serupa. Tokoh-tokoh ini dikonstruksi dalam satu dimensi saja yang membuatnya berasa hampa. Sosok Nishimiya kelewat putih bersih, sementara Ueno berada di sisi seberangnya dalam tingkatan ekstrim pula. Lantaran tidak mampu terhubung kepada barisan karakter ini, rentetan konflik yang menyertainya pun sukar menjerat dan durasi yang merentang sampai 129 menit hanya menjadikannya kian melelahkan. Yang lantas menghindarkan A Silent Voice untuk bergabung dengan ‘film mudah terlupakan’ adalah pesan penting usungannya yang masih sanggup tersampaikan secara baik dan penutup manis nan hangatnya yang paling tidak mampu sedikit mengobati rasa lelah akibat tuturan berlarut-larut kurang mengikatnya.

Acceptable (3/5)


REVIEW : HIDDEN FIGURES


“Every time we get a chance to get ahead, they move the finish line. Every time.” 

Hidden Figures merupakan sebuah film inspiratif yang penting ditonton. Sajian dari Theodore Melfi yang diganjar tiga nominasi di helatan Oscars tahun lalu ini – terdiri dari Film, Aktris Pendukung, serta Naskah Adaptasi – secara tegas menyatakan bahwa keadilan beserta kebebasan semestinya diperjuangkan. Direngkuh. Mereka yang mengalami perundungan, tidak semestinya hanya melontarkan keluh kesah semata tanpa pernah sedikitpun berusaha untuk merubah nasibnya. Pembuktian diri adalah kunci. Guna menguatkan keyakinan penonton, si pembuat film pun menghadirkan studi kasus berdasar buku non-fiksi gubahan Margot Lee Shetterly, Hidden Figures, mengenai kontribusi penting dari tiga perempuan berkulit hitam terhadap pengiriman manusia ke luar angkasa untuk pertama kali kala rasisme beserta seksisme masih menjadi isu mengerikan di Amerika Serikat. Lewat studi kasus tersebut, Hidden Figures memberi pembuktian bahwa slogan “impossible is nothing” memang betul adanya. Selalu ada kesempatan untuk menjadi yang pertama apabila memang dilandasi keberanian untuk mewujudkan mimpi. 

Ketiga perempuan kulit hitam yang menjadi sorotan utama dalam Hidden Figures, yakni Katherine Goble (Taraji P. Henson), Dorothy Vaughan (Octavia Spencer), dan Mary Jackson (Janelle Monae), yang bekerja di bagian komputasi untuk National Aeronautics and Space Administration atau NASA. Ya, sebelum segala bentuk kalkulasi dipercayakan kepada komputer, manusia-manusia berotak encer inilah yang dipercaya menjalankan tugas sebagai komputer. Mengingat pada era 60-an perempuan masih dipandang sebelah mata secara strata sosial belum lagi ditambah fakta adanya segregasi yang menyulitkan masyarakat kulit berwarna mendapatkan kesetaraan hak, tentu bukan persoalan mudah bagi Katherine, Dorothy, maupun Mary untuk meningkatkan jenjang karir. Katherine yang direkrut dalam tim penghitung ketepatan lintasan untuk mengorbitkan John Glenn (Glen Powell) ke angkasa luar kerap disepelekan rekan-rekan kerjanya yang seluruhnya adalah laki-laki kulit putih. Permohonan Dorothy untuk menduduki posisi supervisor ditanggapi dingin sekalipun beban kerjanya telah berada di tingkatan tersebut. Sedangkan Mary yang bertekad menjadi insinyur terhalang persayaratan di jenjang pendidikan. 

Alih-alih memandang sinis ke sistem yang mengekang tiga perempuan cerdas tersebut, Hidden Figures justru menempatkan fokusnya pada perjuangan Katherine, Dorothy, serta Mary untuk mendapatkan jalan keluar dari rentetan hambatan yang menghadang. Kalau perlu, sekalian saja merubah sistem. Tiga jurus mereka terapkan dalam pembuktian diri; kecerdasan, keberanian, dan determinasi. Sepanjang durasi mengalun selama 127 menit, kita menyaksikan ketiganya berproses dari mulai disepelekan, perlahan diterima, sampai diakui. Inspiratif! Masing-masing karakter dikondisikan untuk tetap membumi sehingga tiada kesan berjarak dengan penonton; Katherine berhati lembut, Dorothy berjiwa pemimpin, sementara Mary bertekad baja. Alhasil, kita dapat dengan mudah terhubung secara emosi ke setiap karakter. Ketika mereka tersandung, kita ikut nelangsa. Ketika mereka mencapai keberhasilan, kita ikut bersorak sorai. Demi memperkuat karakteristik ketiganya, tidak lupa si pembuat film turut melongok ke kehidupan personal mereka. Bisa dibilang, babak ini tak semenarik kala berkutat di kantor meski tetap menghadirkan satu dua momen menghangatkan hati.


Hangat? Betul. Topik obrolannya boleh saja berat menyoal ras, gender, matematika, luar angkasa, dan sejarah. Namun jangan salah, Hidden Figures sanggup melantunkannya secara ringan dan menyenangkan tanpa pernah sedikitpun mengalienasi penonton yang tidak menaruh minat pada topik-topik tersebut. Malah, mereka bisa memperlihatkan betapa kerennya matematika di film ini! Disamping memberikan rasa hangat berkat adanya kepedulian mendalam terhadap nasib ketiga perempuan ini, tidak sedikit pula humor diselipkan diantara rongga-rongga konflik yang hampir kesemuanya bertaji dalam mengundang gelak tawa penonton. Lihatlah pada adegan Katherine yang harus berlari hampir satu kilometer setiap harinya selama jam kerja demi menjangkau toilet bagi kulit berwarna yang tidak tersedia di gedung tempatnya bekerja. Lucu pula getir di saat bersamaan. Theodore secara cerdas menyematkan pesan besar film mengenai kesetaraan melalui adegan ini yang puncaknya memunculkan salah satu momen terbaik di film, “we all pee the same color.” 

Tentu Hidden Figures tidak akan semencengkram ini tanpa sokongan barisan pemain yang berlakon meyakinkan. Keputusan tepat bagi Screen Actor Guild Awards menganugerahi film lewat kategori “Outstanding Performance by a Cast” karena ansambel pemainnya memang suguhkan atraksi akting ciamik. Lini utama diwakili oleh Taraji P. Henson, Octavia Spencer, dan Janelle Monae, sementara garda pendukung dijaga oleh Glen Powell, Kevin Costner yang memerankan atasan Katherine bernama Al Harrison, Jim Parsons sebagai rekan kerja Katherine yang kerap memandangnya rendah, Kirsten Dunst adalah supervisor yang menghalangi majunya Dorothy, dan Mahershala Ali memerankan pendamping hidup Katherine. Jelas mereka adalah tim yang solid. Kala diminta berdiri sendiri, sorotan pun mengarah pada Taraji yang mempunyai jangkauan emosi paling luas, Octavia yang tegas, Janelle yang memancarkan karisma, Jim yang luar biasa bikin dongkol, dan Kevin yang berwibawa. Masing-masing dari mereka mempunyai momen yang mempersilahkan karakter untuk bersinar. Bagi saya pribadi, selain adegan toilet, momen paling membekas di Hidden Figures adalah ketika Al menyerahkan kapur kepada Katharine. Sebuah pertanda bahwasanya kepercayaan telah didapat. Pembuktian diri menunjukkan hasilnya.

Outstanding (4/5)


REVIEW : LION


“I'm not from Calcutta... I'm lost.” 

Jelang mengularnya credit title, Lion beberkan sebuah informasi yang bikin hati serasa teriris. Informasi tersebut memuat statistik miris di India terkait bocah-bocah menghilang tanpa kabar setiap harinya yang mencapai angka 80 ribu serta para anak jalanan yang jumlahnya telah menyentuh 11 juta. Lewat Lion, sutradara Garth Davis yang baru sekali ini menggarap film layar lebar mencoba membahasagambarkan fenomena yang boleh jadi umum terjadi di negara-negara berpopulasi lebih dari ratusan juta jiwa ini. Bukan menggunakan sudut pandang keluarga ditinggalkan, melainkan dari kacamata korban. Ndilalah, ada satu penyintas bernasib mujur yang pernah berada di posisi terpisahkan dari keluarga maupun terlunta-lunta di jalanan semasa cilik, namanya Saroo Brierly. Pengalaman luar biasa yang memaksanya putus kontak selama 25 tahun lamanya dengan keluarga biologisnya ini dituangkan Saroo ke sebuah buku nonfiksi bertajuk A Long Way Home. Buku yang merupakan cikal bakal dari lahirnya film ‘keji’ pengoyak emosi berjudul Lion

Saroo cilik (Sunny Pawar) tinggal di sebuah perkampungan terpencil bersama kakaknya, Guddu (Abhishek Bharate), ibunya (Priyanka Bose), beserta adik perempuannya yang masih balita. Bersama Guddu, Saroo kerap mencuri batu bara dari kereta api yang melintas dekat perkampungan mereka guna ditukar dengan susu maupun makanan. Kehidupan keluarga miskin namun bahagia ini sontak berubah setelah Saroo memaksa ikut Guddu yang mencoba mencari pekerjaan di suatu malam dan keduanya terpisahkan. Saroo terjebak selama dua hari dalam sebuah kompartemen kereta api kosong yang menghantarkannya ke Kalkuta – hampir dua ribu kilometer jauhnya dari kampungnya – dan mengalami kesulitan untuk kembali. Berbagai cobaan lantas menghampirinya dari nyaris terjerembab dalam sindikat perdagangan anak, bertahan hidup di bawah kolong jembatan, sampai diboyong ke panti asuhan. Keengganan Saroo untuk menyerah mendorongnya berjumpa dengan nasib baik. Pasangan asal Australia, Sue (Nicole Kidman) dan John (David Wenham), mengadopsinya. Setelah 25 tahun, Saroo dewasa (Dev Patel) mencoba melacak kembali keberadaan keluarga biologisnya bermodalkan Google Earth dan ingatan-ingatan samar masa kecil. 

Lion terbagi menjadi dua babak besar. Babak pertama menaruh fokusnya kepada Saroo kecil, sementara babak kedua menggambarkan Saroo di usia dewasa. Kedua babak mempunyai kekuatannya masing-masing, meski separuh awal film bisa dikata adalah bagian terbaik dari Lion lantaran pergerakkan kisahnya lebih memiliki dinamika. Penonton disuguhi plot yang menyoroti jatuh bangunnya si bocah untuk memperoleh kesempatan berjumpa kembali dengan keluarganya semenjak terdampar di kota yang sama sekali asing baginya. Ada kepiluan, kengerian, serta sedikit kejenakaan di dalamnya. Tangguhnya paruh utama film dipersembahkan oleh materi cerita dan performa menakjubkan dari barisan pemainnya. Priyanka Bose hanya tampil sekejap tanpa banyak dibekali dialog, namun pancaran matanya sanggup menegaskan bahwa dia mencintai anak-anaknya. Pendatang baru Abhishek Bharate pun impresif sebagai kakak yang mengayomi adik-adiknya. Akan tetapi, Lion tidak akan mengaum selantang ini tanpa sokongan dari Sunny Pawar yang mempesembahkan salah satu akting terbaik dari seorang aktor cilik debutan (bahkan, Jacob Tremblay dari Room pun dibuat keok olehnya!).


Kita iba melihat bocah sekecil ini terkikis masa kanak-kanaknya yang semestinya dilalui penuh canda tawa, kita juga takjub menyimak ketangguhan usahanya agar bisa kembali ke pelukan sang ibunda – bayangkan, dia hanya sesekali menitikkan air mata tanpa pernah sekalipun merengek berkepanjangan. Seperti halnya para pelakon lain, Sunny Palwar membicarakan perasaannya melalui mata. Dari pancarannya, penonton bisa mendeteksi kesedihan, kebingungan, ketakutan, kebahagiaan, hingga harapan. Berkatnya, kita mampu teresonansi secara emosi dengan kisah hidup menakjubkan Saroo. Sekalipun kita telah mengetahui sesuatu yang baik telah menanti Saroo cilik di depan, namun tetap saja fase harap-harap cemas sempat menghampiri diri karena kepedulian terhadap jalan hidupnya membentuk keinginan untuk melihatnya berbahagia. Maka sulit untuk tidak merasakan kegundahan melihatnya terombang-ambing di jalanan tanpa kepastian, melihatnya didekati seorang pria misterius bernama Rama (Nawazuddin Shiddiqui) yang mempunyai agenda terselubung, dan melihatnya berakhir di panti asuhan tanpa fasilitas memadai. 

Dibandingkan babak pertama, babak kedua cenderung lebih tenang. Saroo dewasa telah memperoleh kehidupan yang layak dengan keluarga baru penuh kasih sayang, pekerjaan mapan, dan kekasih cantik, Lucy (Rooney Mara) yang mendukung keputusan-keputusannya. Gejolak konflik pada titik ini bersumber dari adik Saroo yang pemarah, Mantosh (Keshav Jadhav), serta relasi menghambar antara Saroo dengan orang-orang terdekatnya menyusul obsesinya untuk menemukan kampung halamannya. Dev Patel meng-handle babak kedua ini secara menawan dengan memunculkan kerapuhan berwujud penyesalan mendalam yang membawanya pada kemarahan-kemarahan, obsesi melampaui batas, serta kerinduan tak terbendung sehingga kepedulian penonton pada sosok Saroo pun tak terputus. Masih terus berlanjut. Kepedulian kita terhadap si tokoh utama merupakan kunci keberhasilan dari Lion atau berdasarkan konteks babak kedua, momen klimaks. Apabila penonton tidak pernah terhubung dengan Saroo, apa yang tersaji di penghujung film akan berakhir sia-sia belaka. Tapi jika penonton berhasil dibuat bersimpati pada Saroo – seperti telah dilakukan oleh Lion, apa yang tersaji di penghujung film akan menghajar emosimu sampai babak belur. Sebuah kisah 'pulang kampung' yang begitu hangat, mendebarkan, sekaligus menyentuh. Bagus!

Outstanding (4/5)


REVIEW : BALLERINA


“Never give up on your dreams.” 

Plot mengenai anak muda yang berkelana ke kota besar untuk merealisasikan mimpi-mimpinya sejatinya telah berulang kali dibongkar pasang oleh para sineas dunia. Bahkan baru beberapa hari lalu kita menjumpai penceritaan segendang sepenarian dalam film musikal jempolan, La La Land. Bagi mereka yang mudah bersikap sinis, tentu akan melabelinya dengan “klise” atau “mudah ditebak”. Tapi seperti kita buktikan bersama melalui La La Land, tak peduli seberapa familiar kisah yang kamu bagikan ke khalayak ramai, eksekusi dari sang sutradara lah penentu segalanya. Di tangan Damien Chazelle, film beraroma klise ini berhasil memberi cecapan rasa segar pula magis bagi penontonnya. Belajar dari pengalaman tersebut yang menunjukkan bahwasanya gagasan sederhana maupun usang tidak selalu berkonotasi buruk, saya membawa sikap positif saat memutuskan menyimak film animasi 3D produksi kerjasama antara Kanada dengan Prancis, Ballerina (akan dipasarkan menggunakan judul Leap! di Amerika Utara), yang memiliki jalinan kisah yang senada dengan La La Land. Hasilnya, kepercayaan saya tak dikhianati. Malahan Ballerina lebih menyenangkan dan membahagiakan melebihi ekspektasi. 

Karakter utama dari Ballerina adalah seorang perempuan belia yatim piatu bernama Félicie (Elle Fanning) yang telah bermimpi menjadi penari sedari masih kecil. Terbelenggu oleh peraturan ketat panti asuhan yang juga mendikte pemikirannya kalau mimpi bukanlah realita, Félicie kesulitan mewujudkan mimpinya. Sampai suatu hari segalanya berubah usai sahabatnya, Victor (Dane DeHaan), yang bercita-cita menjadi penemu membawanya kabur dari panti dan bertolak ke Paris. Tidak mempunyai kerabat maupun tujuan jelas, keduanya sempat terkatung-katung lalu berpisah jalan. Tapi mereka tidak menyerah begitu saja dan bermodalkan kenekatan, Félicie mengikuti audisi dalam pertunjukkan The Nutcracker yang digelar Paris Opera Ballet menggunakan identitas Camille Le Haut (Maddie Ziegler) yang dicurinya. Tanpa adanya dasar tari balet, Félicie jelas kelimpungan menjalani audisi ini hingga Odette (Carly Rae Jepsen), penjaga misterius di sekolah tari terkemuka tersebut, memutuskan mengajarinya beberapa teknik dasar yang kudu dikuasai para balerina. Bukan perkara mudah bagi Félicie untuk bisa mencapai garis akhir. Disamping balet tergolong sulit dipelajari, Camille Le Haut tentu tidak begitu saja tinggal diam mengetahui identitasnya dicuri. 

Dari permukaan, Ballerina memang tak ubahnya film animasi yang dipasarkan untuk perempuan cilik menilik sorotannya pada dunia tari balet. Tapi percayalah, Ballerina bukan sekadar film yang diproyeksikan ke pemirsa berusia dan bergender tertentu sehingga mengalienasi penonton dewasa yang menemani penonton cilik ke bioskop atau mereka yang memilih Ballerina sebagai tontonan karena alasan tertentu. Duo sutradara Eric Summer dan Eric Warin mengupayakan agar seluruh anggota keluarga dapat menikmati keriaan yang dihadirkan oleh Ballerina. Bahkan pesan inspiratif yang diusungnya yakni “jangan pernah menyerah dalam mewujudkan mimpimu” maupun “jalani apapun di kehidupan ini dengan menggunakan hati” bersifat universal yang pastinya akan mengena bagi siapapun yang mempunyai angan, harapan, serta impian. Ya, pada dasarnya ini adalah film untuk para pemimpi. Seperti versi animasi dari La La Land hanya minus momen-momen musikal, tidak terlalu mengakrabi elemen romansanya, dan meninggikan unsur gegap gempita berbalut petualangannya demi menambat perhatian penonton belia. 

Dalam perjalanannya, Ballerina agak kikuk mula-mula. Untung desain animasinya yang ciamik pula detil khususnya dalam penggambaran setting tempat, telah mencuri perhatian sedari awal. Dengan babak perkenalan yang teramat singkat, membutuhkan waktu untuk bisa betul-betul masuk ke dalam dunia Félicie yang berlatar tahun 1880-an. Ketertarikan mulai timbul begitu si karakter utama menjalani hari-hari penuh ujian di Paris Opera Ballet. Dari sini kita mulai mengenal Félicie. Perlahan tapi pasti, Ballerina mulai menguarkan charm-nya terlebih saat Odette turun tangan memberikan bantuannya pada Félicie. Diiringi tembang-tembang pop kekinian yang renyah di telinga dan didukung sumbangan bernyawa dari para pengisi suara – kredit khusus bagi Carly Rae Jepsen yang menyimpan kehangatan dibalik sikap dinginnya dan Maddie Ziegler yang sungguh menjengkelkan – Ballerina pun enak dinikmati. Terlebih lagi proses Félicie dalam menggapai mimpinya dijlentrehkan penuh humor menggelitik yang bersumber dari setiap tokoh (interesting, huh?), guliran konflik mengikat, dan menghangatkan hati. Jika ada keluhan berarti, maka itu terkait cara si pembuat film mengakhiri Ballerina yang cenderung tergesa-gesa dan kurang menghentak. Selebihnya, ini adalah tontonan keluarga yang menyenangkan.

Exceeds Expectations (3,5)

REVIEW : PATRIOTS DAY


“Welcome to Watertown, motherfuckers!” 

Hanya berselang tiga bulan sejak dilepasnya Deepwater Horizon – sebuah film berbasis peristiwa nyata mengenai kebakaran hebat pengeboran kilang minyak di lepas pantai – yang menandai kolaborasi kedua antara Peter Berg dengan ‘male muse’-nya, Mark Wahlberg, seusai Lone Survivor (2013) hadir film lain yang juga dicuplik dari kejadian penghias tajuk utama media-media Amerika Serikat beberapa waktu lampau yang sekali lagi (!) mempertemukan Berg bersama Wahlberg yakni Patriots Day. Didasarkan buku nonfiksi gubahan Casey Sherman dan Chris Wedge, Boston Strong, serta beberapa materi yang pernah ditayangkan oleh program televisi 60 Minutes, Patriots Day soroti tragedi pengeboman di Boston kala helatan tahunan Maraton Boston pada 2013 silam. Berbeda halnya dengan baik Lone Survivor yang luar biasa mencekam maupun Deepwater Horizon yang separuh awalnya cenderung lempeng jaya, Wahlberg tidak memerankan karakter betulan dalam Patriots Day. Sosok Tommy Saunders yang dimainkannya hanyalah tokoh bentukan untuk film yang terinspirasi dari sejumlah petugas-petugas kepolisian Boston. Keberadaan Tommy Saunders sendiri dimanfaatkan Berg sebagai ‘mata’ bagi penonton sekaligus demi menggenjot efek dramatis. 

Melalui Saunders, kita ikut merasakan, mengamati, serta menyelidiki kekacauan yang disebabkan oleh peristiwa pengeboman yang meminta tumbal tiga jiwa tersebut. Keterlibatan lebih jauh Saunders dalam menuntaskan kasus Tragedi Boston dimulai kala dirinya diminta bekerja sama dengan Agen Khusus FBI, Richard DesLauriers (Kevin Bacon), lantaran dianggap mengenal baik setiap sudut kota Boston. Berkat ketajaman daya ingatnya akan keberadaan CCTV, wajah kedua pelaku dapat teridentifikasi secara cepat dan identitas mereka, Tamerlan (Themo Melikidze) serta Dzhokhar (Alex Wolff), pun mengemuka beberapa saat setelahnya. Telah memiliki modal lebih dari cukup untuk melakukan penangkapan, sayangnya tidak semudah itu melacak keberadaan dua bersaudara tersebut. Tamerlan dan Dzhokhar yang sangat aktif mengikuti perkembangan berita lantas bergerak begitu pihak kepolisian berhasil mengendus identitas mereka. Ditengah-tengah pelarian yang melahirkan gesekan satu sama lain, keduanya berbuat blunder setelah memutuskan membajak mobil seorang mahasiswa. 

Bagi penonton yang getol mengikuti perkembangan berita pengeboman Boston – dari liputan di TKP sampai perburuan terhadap tersangka – yang ramai dibahas tiada habis-habisnya di beragam jenis media hampir empat tahun lalu, Patriots Day boleh jadi tidak memberikan informasi atau perspektif baru karena apa yang dipaparkannya merupakan rahasia umum. Bagaimana prosesnya, lalu bagaimana ujungnya telah dikupas secara menyeluruh oleh media. Daya tarik tersisa terletak pada cara Berg mepresentasikannya ke medium film. Baik gayanya merekonstruksi momen-momen memburu kedua tersangka, penekannya pada sisi humanis, sampai keleluasaannya untuk hadirkan suasana mencekam di TKP yang pastinya luput di pemberitaan sarat sensor. Dibumbui dengan dramatisasi disana sini, tentu masih ada sensasi berbeda kala menyimak Patriots Day sekalipun materinya amat familiar. Apalagi, kita tidak bisa melihat tubuh bersimbah darah, luka-luka menganga, sampai potongan-potongan tubuh menghiasi layar secara eksplisit saat kamera menjumpai korban-korban ledakan bom di pemberitaan televisi, bukan? Ya, muatan kekerasan yang eksplisit dalam Patriots Day memang cukup mengganggu utamanya jika kamu mudah ngilu atau mual, tapi tak bisa disangkal, ini menambah efek cekam untuk filmnya itu sendiri. 

Efek cekam akan semakin dirasa buat penonton yang tidak tahu menahu perihal pengeboman Boston atau sebatas tahu permukaannya saja. Dijlentrehkan menggunakan pendekatan prosedural, penonton mengikuti tahap demi tahap penyusunan strategi dari pihak kepolisian guna menangkap para pelaku dengan sesekali kita melihat dari kacamata Dzhokhar yang mulai blingsatan dalam pelarian. Sedari meledaknya bom, intensitas Patriots Day memang merapat dan hampir tidak memberikan ruang bagi penonton untuk sekadar menghembuskan nafas lega. Wahlberg bermain bagus, namun bintang sesungguhnya dari Patriots Day adalah Alex Wolff yang mempertemukan amarah dan ketakutan dalam satu tempat sehingga menghindarkan penggambaran karikatural dari sosok villain. Memperoleh sokongan mantap dari duo Trent Reznor-Atticus Ross dengan iringan musik menghentak-hentaknya plus gerak kamera tangkas nan dinamis, ketegangan Patriots Day terjaga stabil sampai klimaks mendebarkannya. Selepas meredanya ‘badai’ – mengikuti tradisi dari dua film kisah nyata Berg yang lain – adalah kesempatan memberi penghormatan untuk para pahlawan beserta korban yang (sekali lagi) tergolong efektif dalam menyentuh hati-hati sensitif. Menarik.

Exceeds Expectations (3,5/5)

REVIEW : LA LA LAND


“I'm letting life hit me until it gets tired. Then I'll hit back. It's a classic rope-a-dope.” 

Berkat Whiplash (2014), sebuah film musik tentang mimpi dari seorang penggebuk drum aliran Jazz yang intensitasnya amat kencang bak film laga, sutradara muda Damien Chazelle mendapat sorotan banyak pihak. Mumpung tengah menjadi bahan obrolan hangat, dia pun tidak menunggu waktu lama untuk melepas karya berikutnya – meski realitanya, butuh enam tahun buat meyakinkan para pendana dan rumah produksi! – yang masih berhubungan dengan musik Jazz dan tidak jauh-jauh dari pengalaman pribadi sang sutradara. Jika Whiplash terinspirasi dari gurunya yang luar biasa galak semasa menimba ilmu musik, maka karya terbarunya yang bertajuk La La Land diilhami oleh jatuh bangunnya selama merintis karir di Hollywood. Dalam La La Land, Chazelle mencoba lebih ‘besar’ dengan menggunakan pendekatan musikal yang secara khusus memberikan penghormatan terhadap film-film musikal era 50’an semacam Singin’ in the Rain (1952) atau The Band Wagon (1953) sekaligus merekrut bintang-bintang Hollywood kelas A seperti Ryan Gosling dan Emma Stone guna ditempatkan di lini utama. Hmmm... belum apa-apa sudah terdengar sangat menggiurkan, bukan? Dan kenyataannya, memang semenggiurkan apa yang tertuang di atas kertas. La La Land mempunyai jiwa di setiap hentak kaki, setiap alunan melodi, dan setiap untaian lirik yang menciptakan tawa, kekaguman, serta air mata. Sungguh magis!   

La La Land memulai hentakannya dengan meriah melalui nomor musikal “Another Day of Sun” yang menampilkan tarian dan nyanyian di tengah-tengah macetnya jalan bebas hambatan Los Angeles. Ujung dari adegan ini mempertemukan dua karakter utama film, Sebastian Wilder (Ryan Gosling) dan Mia Dolan (Emma Stone), untuk pertama kalinya meski bukan dalam situasi menyenangkan. Selama kurang lebih 30 menit berikutnya, keduanya tidak lagi saling berjumpa, tidak ada interaksi dalam bentuk apapun. Sebastian diceritakan sebagai musisi Jazz yang kelimpungan mencari sumber penghasilan tetap berdasar keahliannya lantaran idealismenya untuk memainkan musik Jazz tradisional seringkali berseberangan dengan visi pemilik klub, sedangkan Mia yang sehari-harinya memperoleh pemasukan sebagai barista terus berjibaku guna mendapatkan panggilan audisi demi mewujudkan mimpinya menjadi aktris. Mereka akhirnya betul-betul berjumpa kala keduanya menghadiri sebuah pesta. Berjalan bersama untuk beberapa waktu, baik Sebastian maupun Mia menyadari ada ketertarikan satu sama lain terlebih keduanya dipersatukan oleh satu hal: passion. Asmara pun merekah diantara mereka, hubungan penuh kemesraan terbentuk, lalu tiba-tiba ujian menghadang kala mimpi mereka saling berbenturan. 

Berkaca pada sinopsis tersebut, tampak jelas La La Land tak menawarkan guliran pengisahan yang membelalakkan mata. Sebatas menghidupkan premis sederhana mengenai kisah kasih dua sejoli yang diperjumpakan oleh kesamaan nasib. Namun jangan biarkan kesederhanaan ini mengecohmu karena La La Land tidaklah sesederhana itu utamanya jika kita membicarakan soal bagaimana Damien Chazelle mengatur konsep dari setiap jengkal film ini. Mengkreasi elemen musikalnya. Tengok saja nomor pembukanya yang enerjik nan ambisius dimana kurang lebih terdapat 100 penari berlenggak lenggok kesana kemari di tengah padatnya jalan tol. So much fun! Keputusan jitu menempatkan nomor ini di permulaan film karena terbilang sangat efektif untuk membangkitkan mood penonton dalam mengetahui keriaan serta keintiman seperti apa yang ditawarkan si pembuat film selama sisa durasi. Selepasnya, tidak ada lagi tembang heboh seperti ini – paling mendekati adalah “Someone in the Crowd” – lantaran mengikuti laju pengisahan yang kian intim, syahdu, pula merobek hati. Keberadaan lagu dan musik hasil gubahan Justin Hurwitz sendiri bukan sekadar pemeriah suasana melainkan dimanfaatkan betul oleh Chazelle sebagai medium bercerita. 

Ketika rentetan dialog dianggapnya tidak cukup untuk mengungkapkan suatu maksud, musik adalah solusi terbaiknya. Itulah mengapa ada emosi menggelegak yang bisa dirasakan di dalam tiap tembang dan tiap melodi yang mengiringi La La Land, seperti “A Lovely Night”, “City of Stars”, dan “Audition (The Fools Who Dream)”, yang rasa-rasanya akan mengendap lama di benakmu. Musik yang berbicara bukanlah satu-satunya modal Chazelle untuk memberikan kehidupan pada La La Land. Dia beruntung mempunyai tim solid di setiap departemen. Dari pengambilan berikut penyuntingan gambar yang menguarkan nuansa jadul ala film musikal era 50-an, koreografi tari oleh Mandy Moore yang menawarkan beberapa ragam (ada tap, ballroom, hingga waltz) dengan setiap hentakannya berbalut rasa sehingga tanpa perlu adanya pendeskripsian panjang lebar kita telah dapat memahami perasaan dua manusia yang tengah dimabuk cinta ini, sampai tak kalah penting pula, pemain-pemain yang handal menerjemahkan emosi melalui gestur maupun air muka. Pemain dalam konteks ini tentu saja adalah Ryan Gosling bersama Emma Stone. Mereka tampil simpatik saat terpisahkan, sementara ketika berduaan, mesranya tiada ampun sampai-sampai burung-burung cinta pun dibuat iri olehnya. Lihat saat mereka saling lempar dialog, saat mereka menari bersama, saat mereka saling pandang, ughhh... greget!

Karisma kuat Gosling dan kecantikan paripurna Stone merupakan kombinasi sempurna guna menjerat atensi sehingga penonton pun tahu-tahu telah terhanyut pada jalinan kisah percintaan mereka. Just like magic. Ada semacam kebahagiaan tersendiri menyaksikan Sebastian menemukan Mia (begitu juga sebaliknya) karena kita mengetahui bahwa mereka akan saling menguatkan, akan saling melengkapi satu sama lain, lantaran mempunyai kesamaan pada tujuan, harapan, dan mimpi. Dari titik ini, penonton pun lantas disadarkan sejatinya La La Land bukan sekadar menjual dongeng manis semata mengenai kisah percintaan dua insan manusia yang dipertautkan oleh passion karena lebih dari itu, ini merupakan selebrasi bagi mereka yang berani bermimpi dan berani mewujudkannya sekalipun memahami betul ada harga yang harus dibayar mahal. Dihantarkan secara gegap gempita pula manis-manis nyelekit, La La Land akan membuatmu terpukau oleh bagaimana Chazelle mengkreasi setiap momen dalam film yang memiliki cita rasa megah, lalu merasakan kebahagiaan, dan pada akhirnya tertusuk begitu menyadari bahwa realita tidaklah seindah mimpi. Tidaklah semembahagiakan film-film musikal Hollywood. Aach, seandainya saja....

Outstanding (4,5/5)

REVIEW : AT CAFE 6


“Everyone has a similar youth, but a different life.” 

Popularitas menjulang You are the Apple of My Eye di kalangan pecinta film seantero Asia berkat guliran pengisahannya yang legit-legit nyelekit pula sangat mewakili banyak jiwa-jiwa muda yang gundah gulana akibat cinta, menciptakan sebuah tren di kalangan sineas setempat (baca: Taiwan) maupun seberangnya (baca: Cina daratan) berupa film-film romansa yang mengetengahkan tema nostalgia masa muda dengan latar era 1990-an. Beberapa judul yang tergolong berhasil mengikuti jejak dari You are the Apple of My Eye antara lain So Young, Cafe Waiting Love dan film kesukaan saya, Our Times, yang mengamini untaian lirik dari Yuni Shara, “memang benar apa kata pepatah, kalau jodoh tak lari kemanaaa...” Dengan Our Times menorehkan pundi-pundi yang ajegile selama masa penayangannya di bioskop, tentu bisa diterka tren ini pun tak akan lari kemana-mana. Benar saja, pertengahan tahun lalu, Cina daratan bersama Taiwan tandem untuk melahirkan film remaja unyu-unyu lainnya yang materinya bersumber dari novel si pembuat film, Neal Wu. Tajuk dari film tersebut adalah At Cafe 6

Di permulaan film, penonton dipertemukan dengan seorang perempuan yang tengah berjibaku dengan mobil mogoknya di tengah derasnya hujan. Tak berselang lama, seorang pria menghampirinya, menawarinya bantuan, lalu mengajaknya menyeruput secangkir kopi hangat di kedai miliknya seraya mengeringkan badan. Guna membunuh waktu, keduanya berbincang-bincang yang topik obrolannya dipantik dari pertikaian si perempuan dengan kekasihnya nun jauh disana. Si pemilik kedai kopi lalu terkenang ke masa mudanya bersama sahabat-sahabatnya dan cinta sejatinya. At Cafe 6 lantas melempar alur kisah bertahun-tahun ke belakang kala si narator masih duduk di bangku SMA. Ada empat karakter yang memegang peranan penting pada titik ini; duo sahabat yang kerjaannya setiap hari hanya bikin ulah, Min Lu (Dong Zijian) dan Bo Zhi (Lin Bo Hong), serta dua perempuan yang mereka taksir, Xin Rui (Cherry Ngan) dan Xin Yi (Ouyang Nini). Seperti halnya judul-judul diatas, terjalinnya kisah asmara diantara mereka pun terdengar mustahil pada mulanya menilik adanya kesenjangan pola pikir dan kepribadian. 

Tapi tentu saja kita mengetahui bahwa mereka akan bersatu dan tidak butuh waktu lama bagi Neal Wu untuk mengonfirmasinya karena memang bukan disitu poin utama dari At Cafe 6. Selepas masing-masing memproklamirkan hubungan asmara mereka ke dunia, film mendorong kita menapaki fase kuliah yang merupakan titik balik kehidupan keempat remaja ini. Baik Min Lu dengan Xin Rui maupun Bo Zhi dengan Xin Yi menjalani hubungan jarak jauh yang tampaknya baik-baik saja di beberapa bulan awal, namun perlahan tapi pasti mulai terbuka boroknya terlebih saat pemikiran telah berbeda jalan. Dengan diapungkannya pertanyaan, “kala long distance relationship tidak berjalan secara semestinya, apakah jarak adalah satu-satunya yang dapat dipersalahkan?,” nada film seketika beralih rupa dari semula cerah ceria penuh suka cita bak semangat remaja yang menggelora menjadi menyayat-nyayat kalbu. Konflik demi konflik lantas menyembul yang sekaligus menghadiahi penonton berupa kursus singkat mengenai ‘membina hubungan jarak jauh’ dengan kisah asmara Min Lu dengan Xin Rui sebagai studi kasus. Lebih dari itu, At Cafe 6 juga berbincang soal persahabatan, prioritas, pengorbanan hingga belajar dari kesalahan. 

Yang kemudian membedakan At Cafe 6 dengan, katakanlah Our Times, adalah film ini justru lebih kuat kala menempatkan fokusnya pada hubungan perkawanan Min Lu bersama Bo Zhi ketimbang saat berkutat dengan kisah kasih sang tokoh utama. Ya, At Cafe 6 memang lebih condong ke coming of age drama daripada romance drama yang tidak pernah benar-benar bisa menguarkan sisi charm-nya disebabkan dua faktor. Pertama, chemistry Dong Zijian dengan Cherry Ngan tidak sehidup ketika Zijian disandingkan bersama Lin Bo Hong semacam masih ada sekat, dan kedua, sosok Xin Rui cenderung berjarak sehingga cukup sulit untuk dapat menyukainya apalagi memahami motivasinya (...and she's annoying!). Menilik apa yang terhampar di klimaks, boleh jadi begitulah intensi dari pembuatnya karena jika mau sebetulnya hubungan percintaan unik antara Bo Zhi dengan Xin Yi lebih menyenangkan untuk diberi panggung lebih luas apalagi Xin Yi pun lebih mudah disukai. Walau pada akhirnya kadar manisnya jauh dibawah You are the Apple of My Eye serta Our Times plus penambahan sisi gloomy menjelang tutup durasi sangat salah tempat, At Cafe 6 masih memberikan tontonan mengikat dan cukup bernutrisi bagi otak maupun hati dengan muatan filosofisnya khususnya bagi mereka yang tengah menjalani hubungan percintaan jarak jauh.

Note : Jangan lewatkan post-credits scene dari film ini di penghujung yang memberi sekelumit info mengenai kehidupan masa sekarang dari salah satu karakter. 

Exceeds Expectations (3,5/5)