Showing posts with label Cinetariz. Show all posts

20 FILM TERBAIK DI TAHUN 2017 VERSI CINETARIZ


Bagi saya, tahun 2017 lalu adalah tahun terburuk dalam hal produktivitas menonton maupun mengulas film di blog di beberapa tahun terakhir. Dihadapkan pada suatu tanggung jawab besar untuk menuntaskan studi yang telah tertunda cukup lama, memaksa saya mengurangi segala bentuk aktivitas yang berkenaan dengan film. Terhitung hanya sekitar 220 film yang mampu saya lahap selama setahun terakhir (sebagai perbandingan, biasanya 240 hingga 260 judul bisa ditonton) dan tiga bulan terakhir mengalami penurunan dalam membuat ulasan yang sangat signifikan sampai-sampai kebingungan harus memulai menulis dari mana tatkala waktu luang telah kembali didapatkan. 

Meski janji untuk memulai menulis ulasan satuan kembali tertunda, saya mencoba untuk menebusnya dengan list tahunan yang merekapitulasi film-film paling membekas di hati bagi Cinetariz sepanjang tahun 2017. Sebagai permulaan, saya telah membuat daftar untuk film Indonesia secara terpisah (secara mengejutkan, banyak film dalam negeri yang ciamik tahun lalu!) dan kali ini melanjutkannya dengan daftar 20 besar keseluruhan yang mencakup film-film dari berbagai negara. Memutuskan untuk mengerucutkannya menjadi 20 film saja nyatanya bukan perkara mudah karena lagi-lagi ada banyak film yang membekas di hati. Alhasil, penilaian turut mencakup seberapa kuat keinginan untuk menontonnya kembali sekaligus seberapa besar kemungkinan untuk merekomendasikannya ke orang lain. 

Usai mengurasi ke dalam beberapa tahapan berdasar beberapa pertimbangan, berikut adalah beberapa judul yang (dengan sangat terpaksa) dihempas dari 20 besar: 

Honorable Mentions (in alphabetical order): 

# Beauty and the Beast


# Call Me by Your Name



# Get Out


# It


# Okja


# Split


# The Battleship Island


# Thor Ragnarok


# Three Billboards Outside Ebbing Missouri


# Toilet Ek Prem Katha


# War for the Planet of the Apes



# Wonder Woman


…dan inilah 20 film yang berhasil lolos ke dalam daftar 20 film terbaik di tahun 2017 versi Cinetariz: 

Top 20 

#20 John Wick Chapter 2


John Wick Chapter 2 menjalankan tugasnya sebagai sebuah sekuel secara semestinya. Sejak menit pertama, film telah menggila lewat geberan laga beroktan tinggi. Disamping muatan laga pekat yang akan membuat para penikmat film action mengalami orgasme di dalam bioskop, daya pikat John Wick Chapter 2 berada di world building-nya. Detilnya bangunan semesta dalam film ditambah kulikan pada sisi rapuh sang karakter utama, membuat kita sanggup berinvestasi lebih kepada franchise ini yang menjadikannya lebih dari sekadar tontonan eskapisme pengisi waktu luang semata. 

#19 A Taxi Driver


Rekonstruksi tragedi Gwangju di tahun 1980 ditampilkan A Taxi Driver menjadi suatu gelaran yang tidak saja mendebarkan, tetapi juga jenaka dan mengaduk emosi. Ada fase berdebar-debar tatkala si supir taksi bersama jurnalis asing mencari-cari celah untuk memasuki dan keluar dari Gwangju yang dikepung ketat oleh militer – ini masih belum ditambah saat mereka harus bertahan hidup ditengah-tengah kerusuhan yang sewaktu-waktu bisa terjadi. Ada fase terbahak-bahak saat menengok interaksi si jurnalis bule dengan penduduk setempat termasuk supir taksinya yang kagok berbahasa Inggris. Ada pula fase mengaru biru ketika kita melihat bagaimana tragedi ini berdampak sangat besar kepada warga sipil yang sejatinya tidak tahu apa-apa. 

#18 Pengabdi Setan


Jawaban dari tanya “apakah Pengabdi Setan versi Joko Anwar ini lebih ngeri atau tidak ketimbang pendahulunya?” memang akan sangat relatif, namun bagi saya secara pribadi, Pengabdi Setan versi 2017 ini mampu memberikan suatu mimpi buruk. Salah satu film horor Indonesia paling menyeramkan dalam beberapa tahun terakhir. Dalam perjalanan mengarungi wahana rumah berhantu ini, saya beberapa kali dibuat terperanjat dari kursi bioskop seperti pada adegan lempar selimut, ketok-ketok dinding di malam hari, mendengarkan drama radio, pipis di tengah malam, rekonstruksi adegan sholat yang ikonik itu, sampai tiap kali terdengar suara gemerincing lonceng Ibu. 

#17 Let’s Go Jets!


Didasarkan pada kisah nyata sebuah tim pemandu sorak dari Fukui Commercial High School yang berjaya dalam NDA National Championsip di negeri Paman Sam pada tahun 2009, Let’s Go Jets! adalah jawaban Jepang untuk Bring It On (2000). Film yang jenaka, inspiratif, dan penuh energi. Saat menontonnya, hati ini dibuatnya hangat dan bahagiaaaaa sekali. Memang sih bagaimana film ini menuntaskan guliran pengisahannya telah menjadi rahasia umum. Namun, itu sama sekali tak menjadi soal karena kenikmatan menyaksikan Let’s Go, Jets! tidak berada di tujuan akhir melainkan pada proses menggapai kejayaan yang akan menginspirasimu. 

#16 Wind River


Melalui Wind River, dua jebolan Avengers, Jeremy Renner dan Elizabeth Olsen, tidak bekerja sama untuk menyelamatkan dunia, melainkan memecahkan kasus pembunuhan seorang perempuan berdarah Indian. Putihnya salju yang menghiasi sepanjang durasi menebalkan nuansa dalam film yang meliputi misterius, depresif, dan dingin. Proses investigasi guna menemukan pelaku pembunuhan mampu tergelar seru serta memancing keingintahuan untuk mengikutinya lebih mendalam, sementara saat kita mendekat kepada karakter-karakter yang terlibat terutama orang tua korban, hati ini serasa dikoyak-koyak. 

#15 The Greatest Showman


The Greatest Showman menutup tahun 2017 dengan sebuah pertunjukkan yang megah dan mengesankan. Guliran kisahnya yang dicuplik dari sepenggal kisah nyata perjuangan seorang pendiri pertunjukkan sirkus legendaris sanggup menginspirasi sekaligus membuat hati terasa hangat. Barisan lagu antemiknya yang merupakan kekuatan utama dari film ini terasa begitu renyah untuk didengar sekaligus membuat kaki terus menerus menghentak. Hal pertama yang dilakukan usai menonton The Greatest Showman di bioskop adalah mendengarkan album soundtrack-nya berulang-ulang. 

#14 Sweet 20


Siapa bilang me-remake sebuah film itu perkara mudah? Susah sekali. Sweet 20 yang disadur dari film Korea bertajuk Miss Granny tergolong satu dari sedikit remake yang sukses. Pemain ansambel merupakan salah satu kekuatan utama yang dipunyai Sweet 20 disamping lontaran-lontaran kelakar dengan sentuhan kearifan lokal yang tepat mengenai sasaran, tembang-tembang lawas pengiring film, serta muatan emosional yang bekerja secara efektif. Dengan kombinasi maut semacam ini, tepatlah kiranya menyebut Sweet 20 sebagai sebuah hiburan untuk seluruh keluarga kala liburan sekaligus remake yang sangat pantas bagi Miss Granny. Sungguh sebuah obat pelepas penat yang mujarab. 

#13 Lion


Dalam Lion, penonton disuguhi plot yang menyoroti jatuh bangunnya Saroo untuk memperoleh kesempatan berjumpa kembali dengan keluarganya semenjak terdampar di kota yang sama sekali asing baginya. Ada kepiluan, kengerian, serta sedikit kejenakaan di dalamnya. Kepedulian kita terhadap si tokoh utama merupakan kunci keberhasilan dari Lion. Apabila penonton tidak pernah terhubung dengan Saroo, apa yang tersaji sepanjang film akan terasa hambar. Tapi jika penonton berhasil dibuat bersimpati pada Saroo – seperti telah dilakukan oleh Lion, apa yang tersaji di penghujung film akan menghajar emosimu sampai babak belur. 

#12 The Invisible Guest


Melalui The Invisible Guest, Oriol Paulo menyuarakan kritik terhadap keberpihakan hukum kepada mereka yang mempunyai uang dan kekuasaan. Dibubuhkan sesuai takaran, kritik pun terasa sangat relevan dan menyentil yang berjasa pula dalam membantu menempatkan The Invisible Guest sebagai film thriller papan atas. Ya, film ini berhasil menjerat atensi sedari awal mula dengan tuturan berintensitas tinggi yang tergelar rapi dan pada akhirnya membuat diri ini menggeleng-nggelengkan kepala lantaran kagum terhadap kapabilitas si pembuat film dalam mengkreasi suguhan mencekam yang sarat kejutan. 

#11 The Salesman


Trauma dan amarah yang timbul akibat sebuah peristiwa penyerangan yang tak terduga menyingkap ‘warna’ sesungguhnya dari sepasang suami istri yang tampak memiliki kehidupan rumah tangga harmonis dalam The Salesman. Dengan pengarahannya yang gemilang, Asghar Farhadi sanggup mengubah drama domestik yang lebih menitikberatkan pada studi karakter ini menjadi sebuah gelaran menegangkan berdaya cengkram kuat. Dari menit ke menit, The Salesman terus mengalami eskalasi dalam menguarkan nuansa suspense sampai akhirnya menciptakan ledakan hebat di klimaks yang tak saja mendebarkan tetapi juga emosional. 

#10 The Big Sick


Kumail Nanjiani mengabadikan kisah perjumpaannya dengan sang istri yang begitu manis, hangat, dan menggelitik dalam The Big Sick. Yang tidak biasa dari hubungan mereka yakni fakta bahwa keduanya berasal dari dua dunia yang bertolak belakang. Kumail tumbuh besar dalam keluarga Pakistan Muslim yang konservatif, sementara istrinya adalah perempuan Amerika berjiwa bebas. Saat dua budaya berbeda ini saling berbenturan, hasilnya adalah tontonan yang membuatmu mengalami fase tersenyam-senyum, terpingkal-pingkal hingga terenyuh secara bergantian. Inilah film paling romantis di tahun 2017 lalu. 

#9 Baby Driver


Dibawah penanganan Edgar Wright yang memiliki jiwa nerd sejati, Baby Driver jelas tidak akan dijelmakan sebagai film hura-hura belaka yang sebatas mengedepankan pada laga seru penuh eksplosif seperti halnya Fast and Furious dan Transporter. Betul saja, si pembuat film lantas memadupadankannya dengan humor sarat rujukan ke budaya pop, barisan musik eklektik, romantika asmara muda-mudi, serta ketegangan ala heist film sehingga membuat Baby Driver bukan saja terasa begitu berwarna tetapi juga sangat bergaya. Baby Driver adalah kesempatan emasmu untuk menyaksikan ‘film musikal’ tanpa tari-tarian karena seluruh koreografi tari diimplementasikan ke dalam gerak gerik karakter maupun sekuens laga yang tertata rapi. 

#8 Bad Genius


Ruang ujian dalam Bad Genius tak ubahnya bank atau ruang brankas di rumah seorang kaya dalam heist film. Situasinya memang tidak sampai tahapan seekstrim hidup-mati dan sekadar berhasil-gagal, akan tetapi itu tetap tak berdampak pada berkurangnya kadar ketegangan terlebih jika kamu pernah melakukan praktik menyontek atau memberi sontekan semasa sekolah. Tak pernah sedikitpun terbayang dalam benak bahwa lembar jawab pilihan ganda saat ujian bisa membuat jantung berdegup begitu kencang kala ditampilkan dalam sebuah film layar lebar. Dalam Bad Genius, saya bisa merasakan itu. 

#7 Secret Superstar


Usai menonton Secret Superstar, diri ini reflek berteriak, “Aamir Khan memang gila!” Betapa tidak, dia berturut-turut menghasilkan karya yang mengangkat kembali nama Bollywood di peta perfilman dunia. Secret Superstar memang tidak semencengangkan 3 Idiots, PK, atau Dangal dalam bertutur, namun film kecil nan bersahaja ini sanggup mengobrak-abrik emosi penonton sedemikian rupa terlebih jika kamu memiliki hubungan dekat dengan ibu. Lebih dari itu, Secret Superstar adalah sebuah film yang ditujukan untuk para perempuan yang tidak memiliki kebebasan dalam bersuara, para perempuan yang memiliki keberanian untuk mewujudkan mimpi, dan para ibu yang rela melakukan apa saja demi kebahagiaan anak-anaknya. 

#6 Lady Bird


Lewat debut penyutradaraannya ini, Greta Gerwig berbicara tentang kisah pencarian jati diri seorang gadis SMA berusia belasan yang berharap dirinya dapat melepaskan diri dari kampung halamannya. Guliran kisah Lady Bird memang terkesan sederhana dan terdengar familiar, akan tetapi justru disinilah letak kekuatan film ini. Barisan karakternya yang membumi terasa begitu dekat karena kita mengenal cukup baik pribadi-pribadi seperti itu atau malah (tanpa disadari) merefleksikan diri kita sendiri. Kedekatan dengan topik obrolan inilah yang membuat saya mudah terhubung ke Lady Bird. Dari mulanya tertawa-tawa menyaksikan tingkah polah karakter tituler yang rada nyeleneh, Lady Bird perlahan tapi pasti mulai menyentuh emosi tatkala ‘jagoan’ kita terlibat konflik panas dengan sang ibu. 

#5 Hidden Figures


Sepanjang durasi mengalun, kita menyaksikan kisah inspiratif dari tiga perempuan kulit hitam dalam melawan sistem yang mengekang karir mereka di NASA pada era 60-an. Topik obrolan yang diusung Hidden Figures boleh saja berat menyoal rasisme, seksisme, dunia matematika, perancangan misi luar angkasa, dan sejarah. Namun jangan salah, Hidden Figures sanggup melantunkannya secara ringan, hangat dan menyenangkan tanpa pernah sedikitpun mengalienasi penonton yang tidak menaruh minat pada topik-topik tersebut. Malah, mereka bisa memperlihatkan betapa kerennya matematika di film ini. Sungguh sebuah film yang penting untuk ditonton. 

#4 Dangal


Bollywood memiliki cara yang berbeda dalam mengumandangkan women empowerment, lalu menyuarakan kritik keras terhadap budaya patriarki yang seksis dan konfederasi olahraga yang korup. Salah satu insan perfilman terkemuka di India, Aamir Khan, membalut itu semua dalam sebuah film biopik dunia gulat yang dapat ditonton oleh seluruh anggota keluarga bertajuk Dangal. Berceloteh soal perjuangan dua atlet gulat perempuan pertama di India untuk merengkuh medali emas di pertandingan bertaraf internasional, Dangal tentu menginspirasi. Tidak hanya itu, Dangal pun mampu tersaji sebagai sebuah tontonan yang menghibur, mengharu biru, sekaligus mengikat atensi penonton dengan sangat kuat sampai-sampai durasi 2,5 jam terasa berlalu begitu cepat. 

#3 Wonder


Jika kamu mendapat pilihan untuk berbuat benar atau berbuat baik, mana yang akan kamu pilih? Dalam Wonder, berbuat baik adalah pilihannya. Isu perisakan dikulik dengan pendekatan yang ringan dan mengikat alih-alih menghamparkannya secara merana. Yang juga menarik, penonton tak sebatas disuguhi cerita dari sudut pandang korban perisakan melainkan turut memperoleh cerita dari perspektif pelaku yang rupa-rupanya turut berada di posisi korban. Mengalun dengan hangat, jenaka, serta inspiratif, Wonder sanggup membuat diri ini terbahak lalu beruraian air mata berulang kali di beberapa titik. Bukan air mata karena sesuatu yang buruk, melainkan sesuatu yang baik. Sulit disangkal, Wonder jelas terhitung sebagai salah satu film terbaik tahun ini. 

#2 Paddington 2


Paddington 2 adalah satu dari segelintir sekuel yang mempunyai kualitas melampaui pendahulunya. Petualangan beruang yang bisa berbicara dalam memperjuangkan keadilan untuk dirinya ini tanpa dinyana-nyana mampu terhidang sebagai film keluarga yang sangat menghibur, mempunyai pesan moral bagus tanpa pernah terasa ceriwis, sekaligus memiliki sisi magis yang begitu kuat. Saat menyaksikan Paddington 2, jiwa kanak-kanak dalam diri ini mendadak hidup kembali dan bergembira. Sedikit banyak mengingatkan pada sensasi menonton film keluarga dari era 1990-an. Bersama dengan Wonder dan Coco, Paddington 2 yang menempatkan seekor beruang penjunjung tinggi kebaikan sebagai karakter sentral ini merupakan film paling indah yang saya saksikan di tahun 2017. 

#1 Coco


Sedari menit-menit pembuka, Coco telah membuat diri ini terperangah dengan keajaiban visualnya yang tergarap mendetail serta penuh warna. Bagusnya, Coco enggan untuk mengorbankan guliran pengisahannya demi mencapai visual yang berada di kelas premium itu. Racikan kisah si pembuat film yang mengusung tema utama seputar kematian (konon, landasan kisahnya bersumber dari perayaan tahunan di Meksiko, Dia de Muertos) serta keluarga dengan pendekatan yang cenderung riang sanggup menempatkan penonton Coco dalam tiga fase emosi seperti bersemangat, tertawa, hingga tersedu-sedu. Kemampuan Coco untuk memanjakan mata penonton melalui visual dan membuai hati melalui tuturan kisahnya ini menjadi bukti bahwa Pixar masih belum kehilangan sentuhan magisnya sama sekali. Warbiyasak!

20 FILM INDONESIA TERBAIK 2017 VERSI CINETARIZ


Menyusun daftar film Indonesia terbaik 2017 ini menyadarkan saya pada satu hal. Ternyata, cukup banyak film Indonesia yang mempunyai kualitas diatas rata-rata dalam setahun terakhir. Jika biasanya saya menyusun senarai 15 besar bagi film nasional tanpa mengalami kesulitan berarti, maka sekali ini membutuhkan sedikit waktu tambahan untuk menyortirnya sampai akhirnya diputuskan mengekspansi daftar menjadi 20 besar (dari rencana semula hanya terhenti di 15 besar)… dan itupun mesti merelakan beberapa judul untuk ditendang. Yang membahagiakan, menggelembungnya kuantitas film-film Indonesia berkualitas di tahun 2017 turut dibarengi oleh makin beragamnya tema yang ditawarkan. 

Beberapa sineas tampak sudah mulai berani menghadirkan tontonan beride segar seperti contohnya Night Bus yang mengusung genre thriller dengan latar area konflik (dan hampir sepanjang durasi berlangsung di dalam bis), Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak yang membicarakan isu jender di Indonesia Timur dengan pendekatan a la western movies, sampai Ziarah yang menawarkan road movie dengan gaya berbeda – menempatkan seorang nenek yang mencari cinta sejatinya sebagai poros utama kisah. Disamping peningkatan kualitas dan keberagaman tema, angka perolehan penonton untuk film Indonesia di tahun 2017 pun mengalami peningkatan. 

Hingga tulisan ini diturunkan, tercatat setidaknya 10 judul film berhasil menembus angka 1 juta penonton – atau setara dengan pencapaian tahun lalu bahkan ada kemungkinan bertambah – dan total penonton yang berduyun-duyun memenuhi gedung bioskop guna menyaksikan film Indonesia rilisan 2017 telah mendekati angka 40 juta. Ini berarti, meningkat dari tahun lalu yang berhasil mengumpulkan 34,5 juta penonton. Sungguh luar biasa. Semoga saja pencapaian gemilang yang ditorehkan perfilman Indonesia pada tahun 2017 ini kembali berlanjut (kalau perlu, kian berkembang) di tahun-tahun berikutnya. Mari kita ucapkan “Amin!” bersama-sama, saudara-saudara. 

Tanpa perlu berpanjang lebar lagi, inilah 20 film Indonesia terbaik yang dirilis sepanjang tahun 2017 versi Cinetariz, dengan terlebih dahulu menengok honorable mentions

HONORABLE MENTIONS

# 5 Cowok Jagoan


# Mata Batin


# Moammar Emka's Jakarta Undercover


# Naura dan Genk Juara


# Si Juki the Movie



TOP 20

#20 Susah Sinyal


Tidak sebaik Ngenest maupun Cek Toko Sebelah dalam hal bermain-main di ranah dramatik, Susah Sinyal garapan Ernest Prakasa masih berhasil menghadirkan tontonan menghibur kala liburan melalui rentetan momen komediknya yang cukup sering mengenai sasaran. Trio reporter dengan pertanyaan ajaib, cicik-cicik ceriwis, staf hotel konyol dan asisten rumah tangga ajaib adalah penyumbang gelak tawa terbesar di film yang bisa jadi akan membuatmu tergerak untuk berlibur ke Sumba ini. 


#19 Buka'an 8


Kesenangan yang dipenuhi gelak tawa telah membayangi penonton semenjak beberapa menit usai Buka’an 8 mengawali langkahnya. Dalam berkelakar, Angga Dwimas Sasongko banyak mengandalkan situasi kacau beserta sentilan-sentilun ke masyarakat Indonesia masa kini yang berkisar soal kebebasan berbicara yang diartikan kebablasan, kegemaran netizen menciptakan peperangan kata-kata dalam dunia maya, sampai maraknya pemanfaatan agama untuk melancarkan agenda politik. 


#18 Chrisye 


Memulai langkahnya dengan goyah, film biopik dari Chrisye yang mencuplik sepenggal perjalanan karir sang penyanyi legendaris ini setapak demi setapak terus membaik seiring berjalannya durasi. Vino G. Bastian bermain meyakinkan sebagai Chrisye, begitu pula Velove Vexia yang berlakon sebagai sang istri. Chemistry lekat keduanya membantu terciptanya momen emosional jelang tutup durasi utamanya kala Chrisye gelisah dalam menciptakan lagu “Ketika Tangan dan Kaki Berkata”. Sebuah biopik yang pantas bagi sang legenda musik tanah air. 

#17 Salawaku 


Melalui Salawaku, Pritagita Arianegara menggugat tindak seksisme yang merebak luas di sekitar kita akibat kuatnya pengaruh budaya patriarki dengan pendekatan santai. Ada setumpuk humor dilontarkan oleh barisan pelakonnya yang bermain apik dan pasokan gambar membelalakkan mata dari Faozan Rizal yang niscaya akan membuat jiwa petualangmu tergugah seketika untuk menjelajahi Pulau Seram saking mempesonanya pemandangan yang terhampar di layar bioskop. 


#16 Filosofi Kopi 2: Ben & Jody


Filosofi Kopi 2: Ben & Jody menunjukkan urgensi dan kompleksitasnya sebagai sebuah film kelanjutan tanpa kehilangan sisi menghiburnya. Angga Dwimas Sasongko berhasil meyakinkan bahwa sekuel ini memang diperlukan. Seperti halnya film pertama, Filosofi Kopi 2: Ben & Jody pun bukan sebatas berbicara tentang nikmatnya menyesap kopi melainkan turut mengulik sekumpulan anak Adam yang mencoba berdamai dengan realita dan masa lalu pahit. 


#15 Galih dan Ratna


Galih dan Ratna manis bukan disebabkan kedua insan manusia yang tengah dimabuk asmara hobi saling melempar gombalan satu sama lain tiada berkesudahan. Manisnya terbentuk dari situasi dan keyakinan penonton bahwa kedua karakter memang saling jatuh cinta – atau dengan kata lain, chemistry ciamik. Refal Hady dan Sheryl Sheinafia mempersembahkan duet maut layak dikenang. Refal menguarkan aura misterius mengundang keingintahuan akan sosoknya, sedangkan Sheryl membuat sosok Ratna yang sepintas lalu tampak tipikal gadis rumahan terasa memiliki kompleksitas. 


#14 Night Bus


Perjalanan menaiki bis malam menyusuri area konflik jelas bukanlah suatu pengalaman yang menyenangkan. Akan tetapi dalam penanganan Emil Heradi, mimpi buruk para penumpang bis tersebut mampu disulap menjadi sebuah suguhan menegangkan yang mengikat atensi penonton. Elemen teknis Night Bus memang meninggalkan banyak catatan disana sini, namun kelancaran bercerita dan kemampuan menempatkan penonton dalam fase berdebar-debar membuat kekurangan tersebut dapat dimaafkan. 

#13 Ziarah


Premis yang diusung Ziarah dapat dibilang tergolong unik; seorang perempuan berusia hampir satu abad melakukan perjalanan untuk mencari keberadaan makam sang suami dengan harapan dapat dimakamkan di sebelahnya. Sepanjang film, penonton ikut bertanya-tanya perihal keberadaan suami nenek selama ini. BW Purbanegara mengejawantahkan premis ini menjadi sebuah road movie bersahaja, memikat dan merobek hati yang turut menyinggung tentang kebenaran dibalik cerita sejarah kemerdekaan tanah air. 

#12 My Generation


Apabila ada penghargaan untuk film Indonesia paling berani di tahun 2017, maka saya akan menobatkannya kepada My Generation. Bukan semata-mata soal tuturan kisahnya yang menyodorkan potret kehidupan empat remaja era serba gawai yang penuh dinamika, menjunjung kebebasan, dan kerap disalahpahami, tetapi juga karena keberaniannya memercayakan posisi pemeran utama kepada para pendatang baru. My Generation yang berhasil tampil enerjik dan menyenangkan ini memperkenalkan kita kepada Bryan Langelo, Lutesha, Alexandra Kosasie, dan Arya Vasco yang berpotensi besar memiliki masa depan cerah di perfilman Indonesia. 

#11 Banda the Dark Forgotten Trail


Banda: The Dark Forgotten Trail berceloteh tentang bagaimana situasi Banda selepas diduduki Belanda, bagaimana nasib pala usai perdagangan bebas dihentikan, sampai bagaimana Banda di masa sekarang. Dengan bahan obrolan seberat dan sekompleks ini, nyatanya Banda: The Dark Forgotten Trail tak pernah sekalipun membuat penonton merasa kelelahan sampai terkantuk-kantuk. Justru, menimbulkan keingintahuan lebih besar untuk menelusuri kepingan-kepingan sejarah negeri ini. Mengikat dan memikat. 


#10 Posesif


Edwin menawarkan alternatif bagi penonton yang jenuh dengan kisah percintaan remaja yang serba manis melalui Posesif. Dalam film ini, kita diajak melongok ke sisi kelam sebuah hubungan yang sejatinya jamak dijumpai di kalangan muda mudi. Mulanya sih, Posesif bertutur seperti film romantis pada umumnya kala bunga-bunga asmara diantara dua protagonis mulai bermekaran. Terasa manis. Namun film yang menghadirkan akting ciamik dari Adipati Dolken dan Putri Marino ini perlahan tapi pasti berganti haluan menjadi berdaya cekam tinggi yang seringkali membawa penonton ke dalam fase ‘harap harap cemas’ menyaksikan kisah kasih Lala dan Yudhis. 


#9 Kartini 


Di tangan seorang Hanung Bramantyo, Kartini menjelma sebagai sebuah film biopik yang menghibur, emosional, sekaligus mempunyai cita rasa megah. Hanung agaknya memahami, garis dramatik dalam kehidupan Kartini seringkali berada di posisi horizontal. Maka dari itu, si pembuat film secara cerdik menyelipkan cukup banyak kelakar sehingga membuat film terasa ringan untuk diikuti. Tidak semata-mata bergantung pada elemen komedik, imajinasi sang sutradara beserta visualisasi cantik hasil bidikan gambar dari Faozan Rizal yang berpadu mulus bersama kostum indah, iringan musik melodius, dan tata artistik ciamik turut membantu hadirkan ‘gelombang rasa’. Ciptakan pula sensasi megah. 


#8 Bid’ah Cinta


Ketimbang semata-mata membawa penonton pada sajian roman religi mengharu biru yang sarat akan tangis menangis akibat jalan terjal yang harus dilalui protagonisnya dengan elemen religi ditempel sekenanya saja, Bid’ah Cinta justru sodorkan potret nyata, menyentil nan mengusik pikiran atas situasi bermasyarakat di tanah air dalam beberapa tahun belakangan yang kerap diwarnai perseteruan antar umat Islam dengan warna kelompok berlainan. Nurman Hakim tak bermaksud menyanjung kelompok tertentu lalu menyudutkan kelompok seberang karena film sejatinya hendak mempromosikan pesan mengenai toleransi yang agaknya mulai dilupakan oleh masyarakat Indonesia yang majemuk ini. 


#7 Critical Eleven


Disamping mempunyai bangunan karakter memikat dan konflik mengikat, kekuatan Critical Eleven turut bersumber dari chemistry intim Reza Rahadian dan Adinia Wirasti yang menguarkan kesan kuat bahwa keduanya adalah suami istri betulan sehingga mudah bagi penonton untuk terjerat baik kepada Ale maupun Anya. Critical Eleven merupakan sebuah balada tentang cinta, duka, serta penerimaan yang dikemas dengan begitu manis, hangat, sekaligus emosional. Emosi penonton telah disentuh sedari awal dan momen-momen dramatik dalam film ini secara konstan memberikan guncangan kepada emosi penonton hingga jelang ‘pendaratan’. 

#6 Dear Nathan


Ditemani skeptisisme kala melangkahkan kaki memasuki gedung bioskop demi menyaksikan Dear Nathan, sebuah tamparan hebat mendarat ke diri ini begitu lampu bioskop dinyalakan pertanda pertunjukkan telah usai. Rupanya, Dear Nathan bukanlah film percintaan penuh gombalan berlebihan seperti disangkakan dan malah justru sebaliknya. Ini adalah tontonan remaja yang tergarap dengan sangat baik dan mampu mendatangkan gelak tawa, mengundang rasa gregetan serta menghadirkan kehangatan secara organik. Dear Nathan tak saja membuat saya terkenang ke masa-masa SMA yang manis, tetapi juga merupakan kejutan terbesar di perfilman Indonesia pada tahun 2017. 


#5 Turah


Turah mengantarkan penonton memasuki Kampung Tirang di Tegal yang merupakan miniatur Indonesia lengkap dengan segala intrik sosial politik yang melingkunginya. Terdapat penguasa bermulut manis, penjilat oportunis, pemalas bermulut besar, sampai wong cilik yang pasrah menerima keadaan. Sebuah potret kelam negeri ini yang digeber secara jujur, tak pretensius, menyentil, sekaligus memiliki daya pikat kuat oleh sutradara debutan Wicaksono Wisnu Legowo dan disokong performa sangat baik dari para pemainnya – kredit khusus bagi Slamet Ambari sebagai Jadag yang kehadirannya senantiasa membuat penonton gerah karena polahnya yang tak pernah berbanding lurus dengan mulut ceriwisnya. 

#4 Istirahatlah Kata Kata


Dalam memvisualisasikan kisah pelarian Wiji Thukul, Yosep Anggi Noen memilih untuk lebih sering mengistirahatkan kata-kata dan membiarkan gambar-gambar puitisnya berbicara dengan sendirinya. Bukan kesunyian menenangkan, melainkan kesunyian menggelisahkan yang didalamnya sarat akan misteri. Dikomando oleh performa jempolan Gunawan Maryanto yang air muka dan gesturnya senantiasa menyiratkan rasa gusar, ketidaknyamanan pun mengusik penonton habis-habisan dalam beberapa titik. Pada akhirnya, tanpa harus banyak berkata-kata, hanya dalam kesunyiannya, Istirahatlah Kata Kata mampu pancarkan rasa cekam dan goreskan rasa pilu yang cukup dalam. 


#3 Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak


Tidak ada tembak-tembakan seru dalam film yang dijuluki sebagai ‘satay western’ ini dan sebagai gantinya, terdapat seorang janda yang memenggal kepala seorang perampok dan membawanya berkelana menuju kantor polisi. Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak dimanfaatkan sebagai wadah bagi Mouly Surya untuk menyalurkan keresahannya terhadap budaya patriarki yang mengekang perempuan serta bobroknya sistem peradilan di Indonesia. Penyampaiannya ringan tanpa perlu membebani pikiran penonton namun tetap menohok sampai ke ulu hati. Bolehlah kiranya menyebut duo Marsha Timothy dan Dea Panendra sebagai perempuan paling badass di perfilman Indonesia tahun 2017 lalu. 

#2 Pengabdi Setan


Jawaban dari tanya “apakah Pengabdi Setan versi Joko Anwar ini lebih ngeri atau tidak ketimbang pendahulunya?” memang akan sangat relatif, namun bagi saya secara pribadi, Pengabdi Setan versi 2017 ini mampu memberikan suatu mimpi buruk. Salah satu film horor Indonesia paling menyeramkan dalam beberapa tahun terakhir. Dalam perjalanan mengarungi wahana rumah berhantu ini, saya beberapa kali dibuat terperanjat dari kursi bioskop seperti pada adegan lempar selimut, ketok-ketok dinding di malam hari, mendengarkan drama radio, pipis di tengah malam, rekonstruksi adegan sholat yang ikonik itu, sampai tiap kali terdengar suara gemerincing lonceng Ibu. Gara-gara Pengabdi Setan, sosok Ibu tidak lagi terlihat sama.


#1 Sweet 20


Siapa bilang me-remake sebuah film itu perkara mudah? Susah sekali euy. Terbukti, jarang sekali ada remake yang berhasil apalagi jika materi sumbernya sudah terhitung bagus. Sweet 20 yang disadur dari film Korea bertajuk Miss Granny tergolong satu dari sedikit remake yang sukses. Pemain ansambel merupakan salah satu kekuatan utama yang dipunyai Sweet 20 disamping lontaran-lontaran kelakar dengan sentuhan kearifan lokal yang tepat mengenai sasaran, tembang-tembang lawas pengiring film macam “Layu Sebelum Berkembang”, “Payung Fantasi”, dan “Selayang Pandang”, serta muatan emosional yang bekerja secara efektif. Dengan kombinasi maut semacam ini, tepatlah kiranya menyebut Sweet 20 sebagai sebuah hiburan untuk seluruh keluarga kala liburan sekaligus remake yang sangat pantas bagi Miss Granny. Sungguh sebuah obat pelepas penat yang mujarab. Pecah dan meriah!