Showing posts with label Ifa Isfansyah. Show all posts

DO(S)A: Miniseri Seru Kolaborasi Tiga Negara Garapan Ifa Isfansyah


Selepas menggarap Pesantren Impian dan Catatan Dodol Calon Dokter yang dilepas di bioskop pada tahun 2016 silam, Ifa Isfansyah seolah memilih untuk rehat sejenak dari kursi penyutradaraan (sebagai catatan, Hoax arahannya diproduksi di tahun 2012). Tak ada film baru besutannya yang menyapa para penikmat film Indonesia sepanjang tahun 2017 dan namanya lebih sering tercatat sebagai produser di film-film rilisan Fourcolour Films. Kemanakah perginya pembesut Sang Penari (2011) dan Garuda di Dadaku (2009) ini? Usut punya usut, ternyata Ifa tengah disibukkan dengan pembuatan miniseri bertajuk Do(s)a yang merupakan original series keluaran Tribe – sebuah aplikasi video streaming yang menyediakan tontonan asal Asia dan Hollywood secara legal. Dalam Do(s)a, Ifa tak sebatas berkolaborasi dengan nama-nama besar dari Indonesia. Sebagai bagian dari program KolaboraSEA yang dicanangkan Tribe, Ifa mengajak turut serta pelakon dan kru dari Malaysia beserta Singapura untuk membantu mewujudkan miniseri berjumlah 8 episode ini. Beberapa nama yang terlibat antara lain Salman Aristo sebagai penulis naskah, Cecep Arif Rahman sebagai penata laga, serta Hannah Al Rashid, Reuben Elishama, Maudy Koesnaedy dan Roy Marten sebagai pengisi departemen akting. Para pelakon asal Indonesia ini beradu akting dengan Ashraf Sinclair, Remy Ishak, dan Daniella Sya dari Malaysia, serta Shenty Feliziana dan Hisyam Hamid dari Singapura. Menarik sekali, bukan? 

Dan memang, Do(s)a terhitung sebagai miniseri yang terbilang menarik untuk diikuti. Kala menjajal menontonnya secara iseng-iseng melalui aplikasi Tribe beberapa waktu lalu, diri ini seketika dibuat terpikat. Kecanduan. Mengingat jumlah episodenya tidak banyak (hanya 8 dengan masing-masing episode berdurasi 49-56 menit), tidak membutuhkan waktu lama untuk menuntaskannya. Terlebih, miniseri ini telah membetot atensi sedari episode perdana yang mengalun secara bergegas. Do(s)a dibuka dengan adegan pembunuhan terhadap Jaafar (Arswendi Nasution), pemimpin organisasi kriminal kelas kakap bernama Gerbang Utara, di Lapas Cipinang. Siapakah pembunuhnya? Tidak ada yang tahu. Yang kemudian kita saksikan adalah anak angkat Jaafar, Arian (Reuben Elishama), dikirim ke Malaysia untuk menjumpai Pak Latif (Datuk M Nasir) yang memiliki hubungan baik dengan Jaafar. Akan tetapi, penolakan dari Pak Latif untuk menemui Arian justru membuat keadaan semakin bertambah rumit. Putri bungsu Pak Latif, Farah (Shenty Feliziana), berusaha mencari tahu mengenai rahasia yang disembunyikan oleh sang ayah dengan menemui Arian di Jakarta yang malah menjadikannya sebagai tawanan Marco Silalahi (Roy Marten), penguasa Gerbang Utara yang baru. Menyadari Farah telah hilang tanpa jejak, sang kakak, Fuad (Ashraf Sinclair) pun bertolak ke Indonesia dan meminta bantuan kepada Arian untuk melacak keberadaan Farah.


Segalanya kian bertambah pelik kala agen Interpol dari Singapura ikut turun tangan menangani kasus yang melibatkan Gerbang Utara. Alhasil, selama episode demi episode bergulir, fokus penceritaan pun bercabang menjadi tiga; Arian beserta Fuad dan adik-adiknya dalam misi menyelamatkan Farah, Marco yang berusaha memperkuat pengaruhnya sebagai pemimpin baru Gerbang Utara, dan kolaborasi agen Interpol Singapura dengan agen Bareskrim Polri dalam menuntaskan kasus pembunuhan yang mengantarkan mereka ke Gerbang Utara. Ketiga cabang cerita ini mempunyai daya tariknya masing-masing yang seketika meningkatkan rasa penasaran diri untuk mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya. Lebih-lebih, skrip racikan Salman Aristo tidak serta merta membeberkan mengenai latar belakang dari munculnya segala bentuk kekacauan yang menghiasi Do(s)a. Sebagai contoh, penonton tidak dibiarkan langsung tahu mengenai hubungan antara Pak Latif dengan Gerbang Utara di masa lalu. Jawab atas segala tanya yang memenuhi pikiran penonton dilepas satu demi satu secara perlahan-lahan sehingga kita senantiasa memiliki ketertarikan untuk mengikuti setiap episodenya yang memang acapkali menyodorkan kejutan. Seiring berjalannya episode, saya mendapati bahwa Do(s)a turut mempergunjingkan isu-isu berkenaan dengan korupsi, human trafficking, sampai bobroknya sistem hukum di tanah air. 

Disamping penceritaan yang diselubungi misteri dengan laju bergegas, daya pikat Do(s)a bersumber juga dari tata laga kreasi Cecep Arih Rahman (The Raid) yang tak pernah absen menghiasi setiap episode – mengingat para karakter utama memiliki kemampuan tarung mumpuni, maka jangan heran jika kalian akan sering menyaksikan pertarungan tangan kosong – sehingga membantu meningkatkan excitement dalam mengikuti miniseri ini, dan tentu saja, permainan lakon dari jajaran pemainnya. Kuartet Ashraf Sinclair, Reuben Elishama, Remy Ishak, dan Hisyam Hamid yang menjadi sorotan utama memberikan dinamika menarik pada Do(s)a khususnya kala mereka memamerkan kemampuan bertarung masing-masing. Lalu Shenty Feiziana tampak handal dalam menangani momen dramatik beserta laga secara baik, sementara Roy Marten sebagai villain utama dari miniseri ini terlihat intimidatif dan Hannah Al Rashid sebagai anak buah Marco yang berada di ‘persimpangan jalan’ tampak badass sekaligus rapuh di saat bersamaan. Memiliki sejumlah departemen yang berkontribusi dengan baik seperti ini, tak mengherankan jika kemudian Do(s)a terasa seru untuk diikuti. Semoga saja setelah ini Ifa Isfansyah mendapat tawaran untuk mengarahkan film bergenre laga untuk konsumsi di layar lebar. Amin!


Apabila kalian ingin menyaksikan miniseri Do(s)a ini, kalian bisa terlebih dahulu mengunduh aplikasi Tribe di sini lalu menginstalnya di ponsel cerdas milik kalian. Bagi pengguna paket VideoMAX-nya Telkomsel, Tribe bisa diakses secara gratis. Disamping Do(s)a, serial lain dalam program KolaboraSEA yang layak ditonton adalah Gantung. Serial bergenre horor ini menampilkan Randy Pangalila, Brandon Salim, Mentari de Marelle dan Gita Sucia di jajaran pemain. Untuk informasi lebih jelas mengenai Tribe, kalian bisa mengunjungi akun @Tribe_ID di Twitter, Facebook, dan Instagram.

REVIEW : HOAX


“Apa yang bisa Mama lakukan supaya Adek betul-betul percaya bahwa ini benar-benar Mama? Mama asli.” 

Pada tahun 2012 silam, Ifa Isfansyah (Sang Penari, Garuda di Dadaku) memperkenalkan film terbarunya bertajuk Rumah dan Musim Hujan di Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF). Dalam film yang merekrut nama-nama besar seperti Vino G. Bastian, Tora Sudiro, Landung Simatupang, Jajang C. Noer, serta Tara Basro – kala itu masih terhitung pendatang baru – tersebut, Ifa mencoba sedikit bereksperimen dengan memecah jalinan kisah ke dalam tiga segmen yang masing-masing mewakili suatu genre seperti komedi, drama, dan horor. Disamping JAFF, Rumah dan Musim Hujan turut berkelana pula ke berbagai festival film bertaraf internasional tanpa pernah diketahui secara pasti apakah film produksi Fourcolours Films ini akan menyambangi bioskop komersil tanah air. Tidak lagi terdengar kabarnya selama bertahun-tahun – sampai saya mengasumsikan, film ini mungkin sebatas dipertontonkan khusus untuk festival film – tiba-tiba tersiar kabar yang menyatakan Rumah dan Musim Hujan siap dirilis di tahun 2018. Berbagai perombakan pun dilakukan demi membuatnya terlihat baru seperti mengubah desain poster, judul yang beralih menjadi Hoax (Siapa yang Bohong?), sampai menyunting ulang film sehingga memiliki susunan cerita yang lebih bisa diterima oleh kebanyakan penonton arus utama. 

Hoax membawa kita mengunjungi rumah Bapak (Landung Simatupang) pada suatu hari di bulan Ramadhan yang jatuhnya bertepatan dengan musim penghujan. Ketiga anak Bapak, yakni Raga (Tora Sudiro), Ragil (Vino G. Bastian), dan Adek (Tara Basro), yang tidak lagi hidup di bawah satu atap yang sama diundang oleh Bapak untuk berbuka puasa bersama. Satu tamu lain yang turut memenuhi undangan adalah Sukma (Aulia Sarah), kekasih baru Raga. Selepas menyantap makanan, lalu bermain bersama di meja makan, tiga anak Bapak ini lantas berpisah jalan. Dimulai dari titik inilah, jalinan pengisahan dalam Hoax bercabang menjadi tiga yang masing-masing menyoroti permasalahan tiap karakter dan tidak memiliki keterkaitan antara satu dengan lainnya. Pada segmen Raga, persoalan yang dihadapi adalah kehamilan yang tidak diharapkan. Baik Raga maupun Sukma mencurigai adanya kemungkinan Sukma telah hamil setelah mereka melakukan kesalahan dalam berhubungan badan. Pada segmen Ragil, sang karakter mengalami dilema untuk menyampaikan kebenaran dibalik hubungan yang tengah dijalaninya kepada Bapak yang ingatannya telah menurun drastis. Sedangkan pada segmen Adek, unsur mistis mengambil alih tatkala Adek kesulitan untuk membuktikan bahwa Ibu (Jajang C. Noer) yang diajaknya mengobrol di rumah memang benar-benar ibunya alih-alih makhluk gaib yang menyerupai sang ibu.


Dalam Hoax, ketiga segmen berbeda warna ini – Raga lebih ke komedi, Ragil berada di drama, sementara Adek cenderung ke horor – tidak disampaikan secara bergiliran melainkan saling bersahut-sahutan. Dalam artian, ketiganya berjalan beriringan. Kita menyaksikan apa yang terjadi pada Raga, Ragil, maupun Adek di waktu bersamaan. Keputusan untuk menghadirkannya dalam susunan kisah semacam ini jelas membawa keuntungan sekaligus kerugian tersendiri. Bisa dibilang menguntungkan karena kebenaran dibalik setiap kisah bakal terungkap bersamaan di penghujung durasi yang secara otomatis mendatangkan ketertarikan bagi penonton untuk mengikuti film hingga menit terakhir. Terlebih lagi, setiap segmen yang masing-masing mengapungkan topik pembicaraan cukup sensitif di dewasa ini terkait perbedaan keyakinan dalam hubungan, kepercayaan terhadap agama leluhur, hamil diluar ikatan pernikahan, pemerkosaan, sampai hubungan sesama jenis, mampu disajikan oleh Ifa Isfansyah dalam guliran pengisahan yang mengikat atensi. Tagline yang diusung oleh Hoax pun menjadi terasa masuk akal, begitu pula dengan judulnya, karena saya berulang kali tergugah untuk melontarkan pertanyaan “siapa yang berbohong?” di setiap segmen, khususnya yang melibatkan Raga dan Adek. Kedua segmen ini merupakan kekuatan utama dari Hoax sementara segmen Ragil terasa kurang tergali. 

Dari sini kita sampai pada sisi merugikan dari menyusun tiga kisah berbeda tanpa benang merah dengan alur paralel. Yang paling kentara adalah adanya emosi yang terputus apalagi ketiga segmen ini mempunyai warna berbeda satu sama lain. Menjadi terasa ganjil saat kita sedang menyaksikan satu dua karakter tengah terisak-isak lalu sedetik kemudian menyaksikan satu karakter tengah merasa terteror, begitu juga sebaliknya. Penyuntingan semacam ini juga menyebabkan salah satu segmen terpaksa dikorbankan – dalam hal ini milik Ragil – yang penyampaiannya terkesan sepotong-sepotong sehingga saat kebenarannya terungkap, tidak ada impak pada emosi. Apakah keputusan ini dilandasi oleh isu sensitif yang dihembuskannya? Bisa jadi demikian. Pun begitu, mengesampingkan emosi yang ada kalanya tidak tersampaikan dengan baik plus bagaimana pencahayaan di sejumlah momen terasa kurang memadai (guelap euy!), Hoax masih bisa dikategorikan ke dalam tontonan yang apik. 

Setidaknya tuturan masih mengikat, iringan musiknya asyik, dan jajaran pemain yang meliputi Landung Simatupang, Vino G. Bastian, Tora Sudiro, Aulia Sarah, Tara Basro, sampai Jajang C. Noer mampu menampilkan performa diatas rata-rata. Yang paling membekas tentu saja penampilan Jajang C. Noer sebagai Ibu yang misterius. Intonasi dan tatapannya itu lhoooo… menyeramkan. Kalau bukan karena peristiwa traumatis yang baru saja dialaminya dan banjir di sekitar rumah, mungkin Adek sudah tunggang langgang meninggalkan rumah setelah mendengar ajakan Sholat Tarawih bersama dari sang ibu yang bikin bulu kuduk meremang.

Exceeds Expectations (3,5/5)