Showing posts with label Ernest Prakasa. Show all posts

REVIEW : THE UNDERDOGS


“Kita dari SMA nggak berubah karena kita do nothing. Makanya sekarang kita harus do something." 

Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena Youtubers di tanah air telah meningkat secara drastis. Bisa dikata, saban hari adaaaa saja pengguna baru situs berbagi video Youtube yang menjajal peruntungannya di dunia maya. Bagi sebagian pihak, Youtubers layak untuk diidolakan. Kreativitas mereka dalam mengkreasi konten menjadi bahan santapan yang begitu menarik buat disimak sehingga berlangganan beberapa kanal lalu mantengin layar gawai berjam-jam pun rela dilakukan. Sementara bagi sebagian pihak lain, Youtubers layak untuk dicaci. Cukup sering saya mendengar beberapa orang (entah di dunia nyata atau netizen) mencibir kualitas konten dari video yang dibuat atau semata-mata menyerang kepribadian si pembuat tanpa pernah benar-benar memahami motivasi dibalik pembuatan kanalnya. Apa betul sesederhana ingin merengkuh popularitas? Bukankah mungkin saja mereka membuatnya karena disinilah letak passion mereka? Bidang ini memang memberi iming-iming surgawi berupa mendaki tangga popularitas secara instan. Namun dibalik itu semua, membutuhkan proses panjang yang juga tidak bisa dikata mudah. Seolah menyadari tingginya persepsi negatif publik terhadap para Youtubers, Adink Liwutang melalui The Underdogs yang menandai pertama kalinya bagi dia menduduki kursi penyutradaraan mencoba untuk mengklarifikasi dengan membagi perspektif positif mengenai Youtubers. 

Karakter utama dalam The Underdogs adalah empat sahabat sedari SMA yang tidak memiliki teman sebaya lain diluar lingkaran mereka sendiri serta kerap mengalami perisakan di sekolah; Ellie (Sheryl Sheinafia) yang dianggap aneh lantaran memiliki jiwa seni tinggi, Bobi (Jeff Smith) yang dikucilkan akibat sering melaporkan siswa-siswa pelanggar aturan, Dio (Brandon Salim) yang kesulitan berinteraksi disebabkan sifat pemalunya, dan Nanoy (Babe Cabita) yang telah berulang kali tinggal kelas. Selepas SMA, keempatnya berkeyakinan kehidupan sosial masing-masing akan berubah dan masyarakat akan mulai menerima mereka apa adanya. Tapi kenyataan ternyata berkata lain. Ditengah kekecewaan karena nasib yang masih begitu-begitu saja, sebuah ide gila pun tercetus usai menyaksikan wawancara trio Youtubers SOL (Ernest Prakasa, Young Lex, Han Yoo Ra) yang personilnya mempunyai riwayat seperti Ellie dan kawan-kawan. Mereka memutuskan untuk menjadi Youtubers. Yang tidak mereka antisipasi, mengkreasi konten untuk video tidaklah segampang kelihatannya. Berbagai percobaan dilakukan hanya berujung pada kegagalan yang membuat mereka nyaris menyerah. Dalam upaya terakhir, mereka nekat membuat video musik rap ditengah segala keterbatasan. Tanpa dinyana-nyana, video ini berhasil viral dan melesatkan grup mereka yang bernama The Underdogs. Popularitas memang akhirnya sanggup diraih, namun di lain pihak persahabatan mereka turut terancam dibuatnya.


Bukan sebatas berbicara mengenai kiat-kiat mencapai ketenaran menggunakan medium Youtube, penonton diajak untuk memahami betul fenomena Youtubers yang tengah merebak ketimbang sebatas menghakimi tanpa pernah mengerti apa yang sebetulnya terjadi. Si pembuat film menyodorkan para personil The Underdogs sebagai studi kasus. Keempatnya mempunyai masalah pribadi di rumah; orang tua Ellie senantiasa bertengkar, ayah Bobi menghendaki putranya melanjutkan bisnis keluarga, Dio masih dianggap anak kecil oleh sang ibu, sementara keluarga Nanoy menganggapnya aib, ditambah masalah bersama sebagai outsider yang kemudian melecut mereka untuk membuat video sebagai ajang pembuktian diri. Menunjukkan bahwa mereka bisa, menunjukkan bahwa mereka tidak sepatutnya dianggap sebelah mata. Proses yang melatari perjuangan grup ini sedari sebelum video pertama diunggah hingga memperoleh ketenaran turut mengingatkan kita bahwa menciptakan kanal pun memerlukan kombinasi antara keberanian, kreativitas, serta konsistensi. Tidak semudah “bikin ini yuk!” lalu rekam kemudian unggah dan sebar di media sosial. Ada lika-liku dalam perjalanan The Underdogs yang kemudian memberikan kesempatan bagi Alitt Susanto bersama Bene Dion Rajagukguk selaku penulis skenario untuk menyematkan pesan positif mengenai memaknai persahabatan, keberanian untuk mengekspresikan diri, kemauan untuk merubah diri ke arah lebih baik,  melawan perisakan hingga menyikapi perbedaan. 

Asyiknya, pesan tersebut tak pernah sekalipun terdengar menceramahi penonton dan berhasil melebur mulus ke dalam jalinan pengisahan yang dialirkan sangat baik menjadi bahasa gambar oleh Adink Liwutang. Ya, sekalipun membawa misi memupus persepsi negatif khalayak ramai terhadap Youtubers, The Underdogs tak melupakan hakikatnya untuk mengajak penonton bersenang-senang. Sedari babak introduksi sampai credit title yang disisipi bloopers usai, film secara konsisten melempar bom-bom humor yang sebagian besar diantaranya berhasil meledak tepat pada waktunya. Bentuk lawakannya bisa dibilang cukup kaya dan kreatif; ada slapstick, disulut situasi, pertukaran dialog komikal, plesetan hingga permainan referensi, sehingga memunculkan ketertarikan untuk mengetahui banyolan seperti apa yang dilontarkan kemudian. Keberhasilan humor mengenai para hadirin ini tentu tak bisa dilepaskan dari lakon barisan pemainnya. Masing-masing dari mereka – baik Sheryl Sheinafia, Brandon Salim, Jeff Smith, maupun Babe Cabita – tampil solid dan membentuk chemistry meyakinkan. Sheryl, Brandon, dan Jeff mampu mengimbangi Babe yang sekali ini tampil lebih liar dari biasanya. Peran dia sejatinya masih tipikal yakni karakter pesakitan, namun naskah, pengarahan, serta lawan main memungkinkannya untuk menggila habis-habisan tanpa pernah menjurus ke menyebalkan atau mengganggu. 

Kejutan lainnya, Babe juga bisa menangani momen dramatik. Oh ya, porsinya memang tidak sebesar Sheryl dan Jeff yang kentara sedari awal dipersiapkan untuk membuat hati penonton terenyuh, tapi tetap saja ini kejutan manis. Apiknya chemistry yang terjalin diantara pemeran utama membuat penonton tak merasa kesulitan untuk terhubung dengan persoalan pribadi masing-masing karakter yang salah satunya mungkin saja pernah (atau sedang) kamu alami. Pola penceritaannya memang masih menganut ‘from zero to hero’ yang bisa kamu tebak kemana muaranya, akan tetapi cara sang sutradara menuturkan kisah dan adanya ikatan yang terbentuk antara penonton dengan para karakter membuat kita tak keberatan mengikuti perjalanan grup The Underdogs menggapai puncak. Perjalanan ini bukannya terbebas dari masalah. Memasuki babak ketiga saat konflik berdatangan dari berbagai sisi, laju agak tersendat. Resolusinya pun tak seluruhnya terjabarkan dengan baik lantaran bisa dijumpai ada satu dua yang kesannya ujug-ujug dan sedikit banyak mengkhianati salah satu pesan film yang menyatakan bahwa tidak ada sesuatu yang instan di dunia ini bahkan mie instan sekalipun. Yang kemudian menghindarkannya dari problematika lebih dalam, The Underdogs menutup gelaran kisah dengan hangat dan lucu. Semangat bersenang-senangnya yang menghiasi sepanjang film tak bisa pula dikesampingkan. Bagaimanapun, The Underdogs telah berhasil menghadirkan sebuah tontonan yang sangat menghibur. Jika mengutip salah satu judul lagu yang dibawakan para karakter utama, The Underdogs itu AZQ (dibaca: asyik) sekali!

Exceeds Expectations (3,5/5)


REVIEW : STIP & PENSIL


Menjumpai film berbasis genre komedi buatan dalam negeri tidaklah susah sama sekali. Nyaris saban bulan, senantiasa ada judul-judul baru memeriahkan jaringan bioskop tanah air. Yang susah adalah menemukan film dengan kualitas dapat dipertanggungjawabkan diantara genre ini. Tidak ada yang salah memang dari film komedi yang sekadar ngebanyol tanpa mempunyai muatan cerita kuat dan cenderung ringan-ringan saja toh tujuan akhirnya lebih ke tontonan eskapisme. Namun ketika ini dijadikan sebagai pembenaran untuk menghasilkan sebuah gelaran sarat kelakar yang digarap secara serampangan tanpa mempunyai struktur cerita yang jelas, minim lakonan apik maupun alpa production value memadai yang membuatnya sebelas dua belas dengan program lawak di televisi, maka saat itulah kesalahan terbesar diperbuat. Lantaran saking seringnya disuguhi tontonan komedi di layar lebar yang bikin mengelus dada semacam ini – ditambah kepala pusing tujuh keliling akibat keriuhan Pilkada – jelas sesuatu membahagiakan begitu mendapati bahwa Stip & Pensil arahan Ardy Octaviand (Coklat Stroberi, 3 Dara) tergarap cukup apik, dibekali plot berisi dan memberi efek bungah usai menontonnya. Jarang-jarang ada, kan? 

Dalam Stip & Pensil yang merupakan rilisan terbaru dari rumah produksi MD Pictures, barisan karakter penggerak roda cerita antara lain Toni (Ernest Prakasa), Bubu (Tatjana Saphira), Saras (Indah Permatasari), dan Aghi (Ardit Erwandha). Keempatnya adalah siswa SMA yang berasal dari keluarga kaya raya dan masing-masing menghadapi bullying di sekolah karena status sosial mereka. Demi membuktikan bahwa mereka lebih dari sekadar ‘anak kaya manja’ sekaligus mempunyai kontribusi nyata ke masyarakat, tatkala sebuah tugas penulisan esai diajukan oleh Pak Adam (Pandji Pragiwaksono), Toro beserta kawan-kawan turut mendirikan sebuah sekolah darurat di pemukiman kumuh. Mendapat sambutan hangat dari petinggi setempat, Pak Toro (Arie Kriting), mulanya mereka menduga akan mudah saja bagi keempatnya untuk menggelar kegiatan belajar mengajar. Nyatanya, kenyataan jauh dari pengharapan terlebih program tidak pernah disosialisasikan dan mereka buta dengan demografi kampung tersebut karena kelupaan untuk menggelar survey di lapangan terlebih dahulu. Tidak ingin rencana mereka sia-sia belaka, direkrutlah seorang bocah bernama Ucok (Iqbal Sinchan) untuk mengorganisir bocah-bocah di kampung agar bersedia bersekolah dengan iming-iming sejumlah uang. 


Ketika menyambangi bioskop guna menyaksikan Stip & Pensil, ekspektasi yang ditanamkan tidaklah muluk-muluk: asal bisa bikin tertawa, kelar urusan. Yang kemudian tiada dinyana, tiada disangka, urusan telah dituntaskan sedari menit-menit pertama oleh Ardy Octaviand. Adegan pembuka dengan humor yang bisa dikata ‘receh’, efektif mengundang gelak tawa dari penonton. Mau tahu kabar baiknya? Tawa ini terus ada, berkelanjutan dan hampir enggan mengendur sampai film mengakhiri durasinya. Kunci keberhasilan terletak pada tiga poin. Pertama, kejelian si pembuat film memanfaatkan momentum. Kedua, naskah menggelitik gubahan Joko Anwar. Ketiga, barisan pemain yang mempunyai comic timing juara. Dengan ketiga poin ini saling bersinergi, tidak mengherankan jika lantas Stip & Pensil sanggup tersaji sebagai tontonan komedi menyenangkan yang akan membuat penontonnya keluar bioskop dengan ceria. Keempat bintang utamanya lihai mengutarakan kembali rentetan humor yang dibisikkan Ardy bersama Joko kepada mereka, terutama Ernest Prakasa yang kian mengukuhkan posisinya sebagai komika berbakat dan Tatjana Saphira yang diam-diam memiliki bakat ngelaba. Kemunculan Tatjana sendiri kerap mencuri perhatian hasil dari melimpahnya momen ‘ger-geran’ di dalam bioskop yang dipicu oleh sosok Bubu yang digambarkan agak absent-minded. Yakin deh, lagu Yamko Rambe Yamko tidak akan lagi terdengar sama. Tak kalah mencuri perhatian dari Tatjana yakni Gita Bhebhita sebagai Mak Rambe yang garang dan Yati Surachman dalam penampilan singkat berkesan sebagai pemilik warung yang gemar mendramatisir derita hidupnya. 

Stip & Pensil kian menarik berkat jalinan pengisahan yang diutarakan Joko. Apabila mengenali jejak rekamnya, Joko enggan sekadar bermain-main sekalipun di dalam film komedi yang mengisyaratkan main-main belaka. Keberadaan kritik sosial bisa dicecap melalui karya-karyanya terdahulu – seperti Arisan!, Janji Joni, serta Quickie Express – tak terkecuali Stip & Pensil. Konten pembicaraan dalam film ini relevan dengan situasi Indonesia masa kini menyoal perundungan di sekolah, pemberitaan buruk di media tanpa konfirmasi, sampai kesenjangan sosial yang salah satunya diperlihatkan dari pemberian pendidikan yang belum merata. Terdengar berat? Tak perlu risau. Joko cerdik menyiasatinya ditambah lagi pendekatan Ardy untuk melantunkan film secara ringan serta penuh canda tawa memungkinkan pesan-pesan yang terkandung tergolong berhasil menyentil tanpa pernah sedikitpun terkesan menceramahi. Berceloteh dengan solid, setidaknya sampai pertengahan durasi, Stip & Pensil agak tersandung begitu menapaki babak ketiga. Subplot asmara segirumit beserta penggusuran seolah-olah disisipkan di menit-menit akhir hanya demi memperpanjang durasi. Kemunculannya tak mulus, penyelesaiannya terlampau sepele. Andaikata subplot tersebut dihempaskan, niscaya film akan makin renyah buat disantap karena bahkan dengan kelemahan yang menyertainya, Stip & Pensil tetap teramat sayang untuk dilewatkan. Kocak sekali dan... penting!

Exceeds Expectations (3,5/5)


REVIEW : CEK TOKO SEBELAH


"Nggak usah janji dulu kalau nggak yakin bisa menepati."

Dalam Cek Toko Sebelah, kita diperkenalkan kepada seorang pemilik toko kelontong bernama Koh Afuk (Chew Kin Wah). Memasuki usia senja yang menyebabkan dirinya sering sakit-sakitan, Koh Afuk berniat mewariskan tokonya ke putra bungsunya, Erwin (Ernest Prakasa). Mendengar keputusan ini, si sulung, Yohan (Dion Wiyoko), tentu naik pitam karena merasa dilangkahi terlebih lagi dia dan istrinya, Ayu (Adinia Wirasti), selama ini telah banyak mendedikasikan waktu mereka untuk merawat Koh Afuk. Bukannya tanpa alasan Koh Afuk lebih memilih Erwin ketimbang Yohan sebagai penerus kepemilikan toko. Masa lampau si sulung yang carut marut serta sifat cenderung temperamentalnya menyebabkan sang ayah sulit mempercayakan bisnis keluarga ke Yohan. Satu kalimat berbunyi, “mengurus hidup kamu sendiri saja belum bener, bagaimana kamu mengurus karyawan-karyawan toko?,” bentuk penegasan keputusan Koh Afuk. Di lain pihak, Erwin yang memperoleh kepercayaan justru mengalami kebimbangan. Karirnya tengah meroket dan kekasihnya, Natalie (Gisella Anastasia), terang-terangan menunjukkan keberatan menyusul kebersediaan Erwin untuk menjajal mengurus toko selama sebulan. Tak bisa terelakkan lagi, konflik dalam keluarga kecil ini yang sejatinya telah tersulut sedari bertahun-tahun silam pun akhirnya meledak juga. 

Cek Toko Sebelah merupakan bukti kematangan Ernest Prakasa sebagai seorang sineas. Dia menunjukkan bahwa langkah awalnya yang sangat meyakinkan dalam Ngenest – membuahkan dia banyak trofi dari beragam ajang penghargaan film – bukan semata-mata keberuntungan pemula. Seperti halnya film debutannya, laju pengisahan dalam Cek Toko Sebelah pun dialirkannya secara lancar, gesit, pula dinamis sehingga tak mempersilahkan kejenuhan menyergap penonton barang sedetik pun. Perpaduan antara momen komedik dengan dramatiknya melebur mulus dengan masing-masing berhasil hadir sama kuatnya. Oleh karena itu, ketika kamu akhirnya memutuskan untuk menonton film ini di bioskop, jangan lupa membawa persediaan tissue karena Cek Toko Sebelah akan membuat pelupuk matamu basah berulang-ulang kali sepanjang durasinya mengalun. Bukan semata-mata air mata haru berkat kehangatan plotnya yang menyinggung soal betapa berharganya sebuah keluarga, tetapi juga air mata akibat terlalu banyak tertawa lantaran rentetan humor yang dilontarkannya bekerja sangat efektif. Ada lebih banyak momen-momen dimana bom kelakar berhasil diledakkan sempurna yang menghasilkan derai-derai tawa berkepanjangan ketimbang berakhir melempem sampai terdengar bunyi “krik krik” teramat jelas dari kebun sebelah. 

Pendayagunaan rekan-rekan komika untuk memanggul pilar-pilar komedi mula-mula memang bikin hati cemas mengingat formasinya terhitung besar. Apa mungkin tidak akan saling tumpang tindih atau malah membuat filmnya menjadi terlalu konyol dan berdampak ke mengaburnya fokus penceritaan? Lagi-lagi kelewat mendeskreditkan kapabilitas Ernest, karena kenyataannya, bagian komedi mampu berjalan semestinya tanpa pernah mendistraksi elemen lain dalam film. Memang sih saya berharap ada beberapa bagian lawak yang dipangkas demi memberi ruang lebih bagi tumbuh berkembangnya momen emosional termasuk menggali lebih dalam satu dua karakter inti, namun guyonan-guyonan yang dikedepankan Cek Toko Sebelah memiliki level kocak terhitung tinggi sampai-sampai memupuskan keluhan lebih lanjut. Ya, ketepatan mengatur kemunculan guyonan (karena komedi juga soal timing yang pas!), beragamnya materi kelakar yang dilemparkan dari sesederhana ledek meledek, lalu sesekali bermain-main dengan isu seperti pelecehan seksual hingga menggunakan referensi (ehem, Keluarga Cemara?), serta pemilihan pelaku sesuai dengan kebutuhan adalah kunci dari bernyawanya elemen komedi disini. Sulit untuk tidak terpingkal-pingkal setiap kali Dodit Mulyanto, Adjis Doaibu, Awwe, Yusril Fahriza, sampai paling juara hebohnya, Asri Welas, menampakkan diri di layar. Mereka sangat mencuri perhatian di setiap kemunculan masing-masing. 

Yang kemudian membuat Cek Toko Sebelah kian memikat adalah kemahiran Ernest mengorkestrasi sektor drama. Dibanding Ngenest, Cek Toko Sebelah memang mempunyai muatan drama lebih pekat mengingat lahan konfliknya berkisar pada keluarga. Penonton telah diberi aba-aba sedari awal seperti adegan Yohan meminjam uang ke Koh Afuk atau adegan makan bersama yang berlangsung dingin bahwasanya laju film tidak akan sepenuhnya hura-hura belaka. Ini menarik. Dengan umpan telah dilemparkan sejak menit-menit pertama, penonton pun tak kelabakan bingung kala masinis lantas membelokkan kereta ke arah lain. Apabila kamu memendam keraguan akan sulit terkoneksi ke tuturan kisah yang digulirkan oleh Ernest karena berkutat di persoalan keluarga keturunan Tionghoa, tak perlu risau. Pada dasarnya film ini mengapungkan konflik yang sifatnya universal sekaligus personal bagi sebagian besar penonton. Coba ingat-ingat lagi, pernahkah kita bertikai dengan orang tua? Pernahkah kita merasa telah berbuat apapun untuk orang tua tapi kemudian tak dianggap? Pernahkah kita mengiyakan permintaan orang tua semata-mata demi tidak membuat hati mereka kecewa meski itu berarti mengkhianati keinginan diri sendiri? Pernahkah kita dihantui penyesalan teramat dalam karena merasa belum bisa membahagiakan orang tua semasa hidup? Pernahkah kita merasa orang tua lebih menyayangi kakak/adik ketimbang kita? Kalau setidaknya satu diantaranya pernah kamu alami, mudah untuk memahami pergolakan batin Koh Afuk, Yohan, maupun Erwin. 

Pergolakan batin ini diterjemahkan ke bahasa visual secara subtil oleh Ernest dan memperoleh sumbangan akting jempolan dari Chew Kin Wah, Dion Wiyoko, serta Adinia Wirasti yang menyokong pilar-pilar drama. Chew Kin Wah memberi interpretasi jempolan untuk sosok ayah yang tampak tangguh di permukaan namun sejatinya menyimpan kegundahan hati mendalam, Dion Wiyoko tampilkan performa menyengat hebat sebagai anak sulung yang berharap dapat berekonsiliasi dengan sang ayah, sementara Adinia Wirasti berbekal karisma kuatnya menghadirkan keteduhan diantara panasnya perseteruan anggota-anggota keluarga lain. Mereka beresonansi menciptakan getaran-getaran emosi yang memang dibutuhkan di elemen drama. Simak pada adegan Ayu mencoba menenangkan suaminya yang meledak-ledak, pertikaian di rumah sakit, sampai adegan di kuburan. Tanpa akting-akting ciamik, kesemuanya sangat mungkin berlalu tanpa kesan. Namun berkat kombinasi lakonan berkelas premium dari ketiga pemain tersebut, momen-momen ini menciptakan hentakan hebat yang akan membuatmu tak ragu-ragu menyeka air mata. Sungguh mengejutkan memang melihat bagaimana Ernest sanggup meng-handle babak komedi dan drama dengan sama baiknya di Cek Toko Sebelah. Jika dia bisa terus konsisten seperti ini, bukan tidak mungkin dalam beberapa tahun ke depan namanya akan berada dalam jajaran “sineas Indonesia paling berpengaruh.” Luar biasa!

Noted : Coba perhatikan merek-merek barang yang ada di toko Koh Afuk. Detil yang kocak!

Outstanding (4,5/5)