Showing posts with label Hanung Bramantyo. Show all posts

REVIEW : THE GIFT (2018)


“Setiap kali kamu cerita, imajinasi kamu membuat dunia semakin luas. Dan aku ingin menaklukkan itu.” 

Sejujurnya, saya lebih antusias tatkala Hanung Bramantyo menggarap film-film ‘kecil’ ketimbang film-film berskala raksasa. Saat menggarap film yang jauh dari kesan ambisius (dan tendensius), Hanung terasa lebih jujur, intim, dan mampu menunjukkan kepekaannya dalam bercerita sehingga emosi yang dibutuhkan oleh film berhasil tersalurkan dengan baik ke penonton. Tengok saja beberapa karya terbaiknya seperti Catatan Akhir Sekolah (2005), Jomblo (2006), Get Married (2007), dan Hijab (2015). Bangunan komediknya amat jenaka sekaligus menyentil di waktu bersamaan sementara elemen dramatiknya sanggup membuat baper manusia-manusia berhati sensitif secara berkepanjangan. Melalui film-film tersebut, kita bisa memafhumi statusnya sebagai salah satu sutradara tanah air terkemuka saat ini. Maka begitu Hanung bersiap untuk merilis proyek kecilnya yang mengambil genre drama romantis bertajuk The Gift – saya tidak tahu menahu mengenai film ini sampai diputar perdana di Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2017 – ada rasa penasaran yang menggelayuti. Lebih-lebih, dia mengajak turut serta sejumlah pemain besar yang terdiri atas Reza Rahadian, Ayushita Nugraha, Dion Wiyoko, beserta Christine Hakim untuk menyemarakkan departemen akting. Kombinasi maut yang terlalu menggoda untuk dilewatkan begitu saja, bukan? 

Dalam The Gift, Hanung memanfaatkan relasi dan interaksi dua manusia yang tidak mengenal cinta, Tiana (Ayushita Nugraha) dan Harun (Reza Rahadian), sebagai pemantik konflik. Perkenalan diantara mereka bermula ketika Tiana, seorang penulis novel asal Jakarta yang sedang mencari ilham untuk menuntaskan novel terbarunya, menyewa sebuah kamar kos di rumah Harun yang berlokasi di Jogjakarta. Mengingat akses ke rumah utama senantiasa tertutup dan Harun bukanlah pria yang gemar beramah tamah, hubungan baik tidak seketika terbentuk. Malah, kesan pertama bagi masing-masing individu terbilang buruk. Pangkal permasalahannya, Harun memutar musik keras-keras yang membuat Tiana merasa terganggu. Sebagai permintaan maaf, lelaki tunanetra ini pun berinisiatif mengajak tamunya tersebut untuk sarapan bersama yang sayangnya tidak berjalan mulus karena tukar dialog diantara mereka berujung pada pertikaian verbal lebih lanjut. Menilik karakteristik Harun dan Tiana yang sama-sama keras, sebetulnya agak sulit membayangkan keduanya dapat menciptakan koneksi tanpa harus saling menyinggung satu sama lain. Tapi baik Tiana maupun Harun mencoba untuk melunak, lalu berusaha untuk saling memahami. Di saat inilah, benih-benih asmara perlahan mulai bersemi sampai kemudian datangnya teman masa kecil Tiana, Arie (Dion Wiyoko), membuyarkan kisah cinta yang siap dirajut oleh Tiana dan Harun.


Menyodorkan problematika “benci jadi cinta” lalu menghadirkan orang ketiga dalam hubungan asmara yang bersiap untuk mekar, tidak bisa dipungkiri bahwa The Gift memang terdengar generik di permukaan. Akan tetapi, apa yang kemudian membuat film ini tidak lantas menjelma sebagai ‘film percintaan pada umumnya’ adalah cara Hanung Bramantyo mengemasnya. Tidak ada lontaran dialog-dialog rayuan puitis, melainkan bergantung pada interaksi yang terbentuk diantara Tiana dengan Harun. Guliran penceritaannya sendiri mengalun lambat demi memberi cukup waktu dan ruang bagi penonton untuk mengobservasi dua karakter utama lebih dalam. Mereka digambarkan sebagai dua manusia yang tak pernah terpapar hangatnya cinta dan justru memelihara luka, amarah, serta rasa putus asa. Guna mempertegas karakteristik, kilas balik pun kerap disisipkan yang mengajak penonton berkelana ke masa lampau dan menengok masa kecil Tiana yang sungguh kelam. Dari sana, kita bisa mengerti kenapa dia tumbuh sebagai perempuan yang dingin, kaku, dan cenderung antisosial. Harun, sayangnya, tak mendapat perlakuan serupa dan penjabaran mengenai masa lalunya hanya diucapkan melalui beberapa patah kalimat. Akan tetapi, sebuah momen kebenaran yang meninggalkan rasa pilu ketika Harun akhirnya bersedia diri kepada Tiana merupakan titik balik yang menyadarkan penonton bahwa kedua insan ini sebetulnya saling membutuhkan. Mereka adalah korban ‘pengkhianatan’ orang-orang terkasih yang hanya bisa disembuhkan dengan cinta yang tulus. 

Reza Rahadian (tanpa perlu dipertanyakan lagi) memeragakan karakter Harun yang dilingkupi kemarahan dan kekecewaan dengan gemilang. Bersama Ayushita Nugraha dalam akting terbaiknya sebagai penulis dengan masa lalu menyakitkan yang memiliki dunianya sendiri, mereka membentuk chemistry memikat yang menarik atensi penonton untuk menyimak interaksi ‘ajaib’ keduanya. Naskah racikan Ifan Ismail membekali karakter-karakter ini dengan dialog-dialog mengalir nan tajam yang akan membuat penonton terkadang ingin melempar botol air mineral ke mereka, menyunggingkan senyum, tersipu-sipu malu, sampai ingin memberikan pelukan hangat. Turut menguarkan nuansa romantis, interaksi dua insan ini jelas merupakan kekuatan utama yang dimiliki oleh The Gift. Tak jarang pula, interaksi keduanya tidak dibekali dialog melainkan hanya sebatas pada ekspresi atau sentuhan – mengingat Harun tak dapat memandang Tiana secara langsung. Iringan musik merdu dari Charlie Meliala serta sumbangan lagu tema dengan lirik menyayat hati bertajuk ‘Pekat’ yang dibawakan oleh Reza beserta Yura Yunita membantu memperkuat emosi yang sedianya telah hadir sekalipun tanpa disokong skoring menggebu-nggebu. Jika ada titik lemah The Gift, maka itu adalah kebetulan-kebetulan sukar dipercaya yang mengiringi di satu dua sudut penceritaan, utamanya jelang tutup durasi, demi mempermudah penyelesaian konflik (persoalan klasik film Indonesia!). Ada kalanya membuat diri ini meringis geli dan menggaruk-nggaruk kepala, tapi untungnya tak sampai berdampak signifikan pada keseluruhan film.


Pada akhirnya, terlepas dari kekurangan yang ada, The Gift tak saja layak untuk bertengger di deretan karya terbaik Hanung Bramantyo, tetapi juga memperkuat pernyataan saya di paragraf awal bahwa Hanung memang lebih bergigi kala menggarap film kecil. Mungkin ada baiknya Mas Hanung fokus mengerjakan film-film semacam ini saja ketimbang menangani film biopik atau adaptasi dengan bujet bombastis tapi seringkali minim rasa.

Exceeds Expectations (3,5/5)

REVIEW : BENYAMIN BIANG KEROK


“Suruh mereka bikin akses khusus ke hapenya Pengki. Kalau gue kontak, dia kagak bisa reject. Kalau dia matiin, gue bisa hidupin!” 

Kesuksesan luar biasa yang direngkuh oleh Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss (jilid pertamanya tercatat sebagai film Indonesia paling banyak ditonton sepanjang masa) ternyata menginspirasi Falcon Pictures selaku rumah produksi untuk sekali lagi ‘melestarikan’ karakter legendaris dalam perfilman Indonesia. Kali ini, pilihan mereka jatuh kepada karakter-karakter yang dimainkan oleh komedian sekaligus seniman kenamaan, mendiang Benyamin Sueb. Dua judul yang dipilih adalah Benyamin Biang Kerok (1972) dan Biang Kerok Beruntung (1973) garapan Nawi Ismail. Bukan berwujud remake maupun reboot, Benyamin Biang Kerok versi mutakhir ini sebatas meminjam judul beserta karakter saja tanpa ada kesinambungan perihal plot. Demi memperoleh hasil akhir yang ciamik, tidak tanggung-tanggung Falcon pun merekrut Hanung Bramantyo guna menempati posisi sebagai dalang dan aktor serba bisa Reza Rahadian sebagai pengganti posisi Benyamin Sueb. Di atas kertas, menyatukan dua nama besar di perfilman tanah air saat ini (keduanya mengoleksi lebih dari satu Piala Citra lho!) untuk menafsirkan ulang film komedi klasik memang terlihat menjanjikan. Akan tetapi, apa yang terlihat begitu menjanjikan di atas kertas sayangnya acapkali tidak sejalan dengan realita di lapangan dan (sayangnya lagi) ini berlaku pada Benyamin Biang Kerok versi 2018. Alih-alih mampu menjadi ‘pewaris’ yang layak, film ini justru memberi kita definisi dari frasa ‘kacau balau’. 

Dalam Benyamin Biang Kerok interpretasi Hanung, sosok Pengki (Reza Rahadian) tidak lagi digambarkan sebagai seorang supir yang kerap menjahili majikannya dan mempergunakan mobil sang majikan untuk tebar pesona kepada para perempuan. Di sini, dia dideskripsikan sebagai seorang pemuda kaya raya yang tidak berguna. Yang dikerjakannya setiap hari tidak pernah jauh-jauh dari melatih anak-anak di kampung sebelah rumahnya untuk bermain sepakbola serta melakoni misi rahasia bersama dua sahabatnya, Somad (Adjis Doaibu) dan Achie (Aci Resti). Bagi sang ibu, Nyak Mami (Meriam Bellina), yang menjalankan bisnis IT dengan sukses sampai-sampai memiliki hubungan baik dengan para pemangku jabatan, apa yang dilakukan oleh Pengki tidak lebih dari kesia-siaan belaka. Dia sejatinya ingin melihat putranya tersebut lebih menyerupai dirinya sebagai pebisnis ulung ketimbang menyerupai suaminya, Babe (Rano Karno), yang memilih untuk hidup sederhana. Ditengah upaya Nyak Mami melatih Pengki untuk menjadi pebisnis, Pengki justru terdistraksi dengan kehadiran seorang perempuan bernama Aida (Delia Hussein) yang merupakan simpanan dari mafia kelas kakap, Said (H. Qomar). Demi menyelamatkan Aida yang telah membuat Pengki jatuh hati dari cengkraman Said sekaligus membebaskan warga kampung sebelah dari penggusuran, Pengki bersama Somad dan Achie pun merancang misi pembobolan ke markas Said. Suatu misi yang lantas semakin memperkeruh hubungan antara Said dengan Nyak Mami yang memang tidak terjalin baik. 


Sebetulnya, disamping kolaborasi Hanung dengan Reza, faktor lain yang membuat Benyamin Biang Kerok tampak menggoda di atas kertas adalah konsepnya yang menggugah selera. Coba dengarkan ini: satir sosial dengan sentuhan budaya Betawi ala Get Married (salah satu film terbaik garapan Hanung!) yang dibalut elemen laga dan fiksi ilmiah. Menarik sekali, bukan? Meski seperti bukan padupadan yang tepat, tapi ini sedikit banyak mampu membangkitkan ketertarikan terhadap film ini. Yang kemudian membuat Benyamin Biang Kerok ternyata tidak berjalan sesuai pengharapan adalah si pembuat film terjebak dengan konsep ambisiusnya sendiri sehingga mengalami kebingungan hendak membawa film ke arah mana. Sentilan sentilun terhadap isu sosial politik yang berkembang di tanah air seperti penggusuran, penyuapan, sampai jual beli perempuan, dimunculkan sekenanya saja tanpa pernah dipergunjingkan lebih mendalam. Elemen fiksi ilmiahnya dihadirkan tanpa pernah memberi signifikansi apapun kepada penceritaan selain berusaha membuat film terlihat keren. Unsur Betawi hanya dimanfaatkan sebagai penghias agar tuntutan ‘memboyong kearifan lokal’ bisa terpenuhi. Dan guliran laganya yang memperoleh sentuhan dari film spionase tidak sanggup memompa adrenalin penonton. Semua-muanya dimasukkan begitu saja sampai-sampai terasa saling tumpang tindih. Pokoknya yang penting meriah walau ini berarti kemeriahan yang kosong dan hambar. Dalam melontarkan canda tawa yang merupakan jualan utamanya pun, nyaris tak terhitung berapa kali Benyamin Biang Kerok terpeleset dan kesulitan mengenai target secara tepat. 

Ini dapat dikategorikan masalah besar lantaran Benyamin Biang Kerok memproklamirkan dirinya sebagai film komedi. Perlu diketahui bersama bahwa dosa terbesar dari sebuah film komedi adalah saat suara jangkrik di kebun sebelah malah terdengar lebih membahana ketimbang suara derai tawa penonton di dalam bioskop. Dalam artian, kegaringannya lebih nyata nan manja daripada kelucuannya. Benyamin Biang Kerok, sayangnya (menghela nafas panjang)….. merangkul erat dosa tersebut bak sahabat karib. Selama durasi merentang hingga 95 menit, total jendral hanya sebanyak dua kali dapat terkekeh-kekeh kecil sementara sisanya hanya bisa memasang muka datar plus kebingungan lantaran menerka-nerka dimana letak kelucuannya. Kebingungan juga dipersembahkan oleh tanya, “bukankah sutradara film ini adalah orang yang sama dengan pembuat Get Married yang lucunya ger-geran itu? Lalu kenapa di sini sensitivasnya dalam ngelaba bisa tiba-tiba raib? Apa karena (lagi-lagi) film ini keberatan konsep?”. Belum juga menemukan jawab atas pertanyaan tersebut, belum juga benar-benar bisa menikmati film, Benyamin Biang Kerok mendadak memberikan kejutan sangat menyakitkan: cliffhanger (ending menggantung karena bersambung). Tidak seperti Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss Part 1 yang memenggalnya dengan halus – bahkan menginformasikan melalui judul bahwa film terdiri lebih dari satu jilid, Benyamin Biang Kerok melakukannya secara kasar yang membuat penonton seketika heboh. Bahkan sinetron di layar beling yang tayang saban hari lebih halus dalam memberi cliffhanger (serius!). Jika memang diniatkan dibagi ke dalam dua jilid, kenapa tidak ada transparansi sedari awal sehingga penonton tidak merasa dicurangi? Lagipula, apa plot film memang sedemikian padatnya sampai harus dipaksa direntangkan ke dua judul? 

Kesemrawutan yang menghiasi sepanjang durasi Benyamin Biang Kerok semakin terasa sempurna berkat keputusan si empunya film untuk mengakhiri durasi secara semena-mena. Alhasil, sebelum melangkahkan kaki ke luar bioskop, saya mengoleskan minyak angin aromatherapy ke kepala terlebih dahulu agar tidak pingsan. Ini sungguh suatu ujian, Tuan dan Nyonya! Padahal, andaikata tidak diperparah oleh cliffhanger (serius, sakit hatinya seperti ditikung), Benyamin Biang Kerok sejatinya masih bisa (sedikit) dimaafkan. Penyelamatnya adalah performa tiga pemain utamanya; Reza Rahadian, Meriam Bellina, dan H. Qomar, yang cukup bagus ditengah segala keterbatasan. Meski lebih sering terlihat mengimitasi Benyamin Sueb daripada berlakon sesuai interpretasi pribadi, Reza tetap dapat memberikan energi tersendiri pada film berkat kehadirannya. Hal yang sama berlaku pula pada Meriam sebagai emak-emak galak yang interaksinya bersama Reza berikan dua adegan lucu yang membuat saya terkekeh dan H. Qomar sebagai villain jenaka nan mengancam. Tanpa performa mereka, tidak bisa dibayangkan betapa kering kerontangnya film ini. Bisa-bisa elemen musikal yang untungnya tergarap asyik – menampilkan Pengki berdendang dan berlenggak-lenggok bersama beberapa karakter pembantu – akan menjadi penyelamat tunggal Benyamin Biang Kerok.



Poor (2/5)

REVIEW : JOMBLO (2017)


“Waktu dapat menghapus luka di hati, tapi kenangan manis akan selalu membekas di hati.” 

Jomblo garapan Hanung Bramantyo yang didasarkan pada novel laris berjudul sama rekaan Adhitya Mulya dan dirilis pada tahun 2006 silam merupakan salah satu film Indonesia terbaik yang pernah dibuat. Tiga elemen utama penyusun film yang terdiri atas komedi, romansa, dan persahabatan bisa berpadu dengan sangat baik pula mulus. Siapapun yang pernah mengalami fase dibuat kesengsem oleh lawan jenis, lalu jatuh bangun dalam memperjuangkan cinta, ditolak seseorang yang telah lama didambakan, serta menjalin hubungan akrab bersama kawan-kawan yang setia mendampingi di kala susah dan senang, akan mudah untuk terhubung ke jalinan pengisahan yang digulirkan oleh Jomblo. Ditambah lagi, Jomblo versi 2006 mempunyai empat pelakon inti dengan chemistry ciamik; Ringgo Agus Rahman (dalam film perdananya), Christian Sugiono, Dennis Adhiswara, dan Rizky Hanggono, yang sanggup meyakinkan penonton bahwa mereka memang bersahabat dekat satu sama lain. Bisa dibilang nyaris sempurna di berbagai lini – film pun mampu mempermainkan emosi penonton sedemikian rupa – maka agak mengherankan tatkala Falcon Pictures memutuskan untuk menginterpretasi kembali tulisan Adhitya Mulya ke format film layar lebar hanya dalam rentang waktu satu dekade saja. Maksud saya, bukankah seorang bijak pernah berujar, “if it ain’t broke, don’t fix it”

Dalam Jomblo versi 2017, tidak ada perubahan berarti pada konfigurasi karakter utama. Keempat sahabat yang menggulirkan roda penceritaan masihlah Agus (Ge Pamungkas), Bimo (Arie Kriting), Olip (Deva Mahenra), dan Doni (Richard Kyle). Persahabatan empat mahasiswa di Universitas B ini dipertautkan oleh kesamaan nasib yaitu sama-sama menyandang status sebagai jomblo meski dengan alasan berbeda-beda. Agus cenderung pemilih karena mencari perempuan yang dapat diajaknya membina rumah tangga ideal, kemudian Bimo kerap mengalami penolakan dari perempuan yang ditaksirnya, lalu Olip tidak memiliki keberanian dalam menyatakan perasaannya kepada Asri (Aurellie Moeremans) yang telah membuatnya jatuh cinta sedari tahun pertama, sementara Doni yang memiliki ketampanan paripurna justru enggan untuk berkomitmen dan hanya memanfaatkan para perempuan demi memenuhi hasratnya semata. Persahabatan diantara empat jomblo-jomblo bahagia ini (jojoba) mulanya baik-baik saja sampai kemudian kehadiran sosok Rita (Natasha Rizky), Lani (Indah Permatasari), serta Asri di tengah-tengah kehidupan mereka mulai mengacaukan segalanya. Hubungan pertemanan yang telah dipupuk dengan baik selama bertahun-tahun terancam bubar jalan begitu saja akibat persoalan asmara.


Sulit untuk tidak membanding-bandingkan Jomblo versi anyar yang tetap ditangani oleh Hanung Bramantyo ini dengan versi terdahulu mengingat rilisan 2006 memiliki kualitas penggarapan diatas rata-rata dan setiap adegannya pun masih melekat erat di ingatan sampai sekarang. Satu pertanyaan lalu terlontar, “mungkinkah si pembuat film mampu melampaui pencapaian dari rilisan sebelumnya?.” Pertanyaan tersebut coba dijawab oleh Hanung dengan menghadirkan warna berbeda ke versi 2017. Jika versi 2006 cenderung lebih kalem dalam bertutur dan banyak memberi ruang pada kisah persahabatannya, maka sekali ini aspek komedi lebih ditekankan dengan ritme penceritaan yang cenderung upbeat mengikuti barisan lagu beraliran EDM yang mengiringinya. Disamping itu, Agus yang masih bertindak selaku narator turut kebagian jatah tampil lebih banyak dari sebelumnya dengan pertimbangan kisah percintaan njelimetnya bersama Rita dan Lani memiliki potensi terbesar dalam memicu tawa sekaligus mudah bagi generasi muda sekarang untuk terhubung kepadanya. Imbas dari keputusan ini, konflik asmara yang dihadapi Bimo-Olip-Doni tidak pernah tergali secara mendalam dan plot mengenai persahabatan empat sekawan jojoba yang sejatinya merupakan kekuatan utama dari Jomblo terpaksa dikesampingkan. Dari sini saja sudah terjawab bahwa Jomblo versi 2017 tidak lebih baik ketimbang versi terdahulu.

Kalau ditanya menghibur atau tidak, Jomblo masihlah cukup menghibur. Beberapa kali diri ini dibuat tertawa melihat hubungan Agus dengan Rita yang tidak sesuai ekspektasi, walau saya sendiri merasa cukup terganggu lantaran peralihan nada hubungan dua sejoli ini terlampau cepat serta ujug-ujug. Adegan Rita marah-marah kepada Agus di kafe karena sang kekasih tidak berhasil memberi jawaban memuaskan perihal proporsi tubuhnya itu terasa sangat dipaksakan. Setidaknya dalam versi terdahulu, saya bisa mengetahui darimana munculnya pertanyaan jebakan tersebut dan sikap Rita yang sangat menyebalkan. Bertahap, tidak sekonyong-konyong terlontar. Jomblo versi anyar ini terasa kurang halus dalam melantunkan penceritaannya, terkadang terburu-buru terkadang berlarut-larut, yang menjadikan sejumlah konflik tidak memiliki impak benar-benar kuat dan barisan leluconnya pun menyerupai kumpulan sketsa. Alhasil, sekalipun Jomblo masih sanggup memancing tawa di beberapa bagiannya, film cukup mengalami kesulitan dalam menggoreskan kesan di hati lantaran minimnya emosi yang berhasil diinjeksikan ke dalam penceritaan. Disamping pengarahan dan naskah, faktor lain yang menyebabkan Jomblo terasa hambar adalah jajaran pemainnya. 

Ge, Arie, serta Deva bermain baik saat berlakon secara terpisah, tetapi saat disatukan, chemistry-nya mengawang-awang di udara. Saya bisa meyakini bahwa mereka adalah teman sekampus yang memiliki hubungan baik, tetapi saya tidak bisa meyakini bahwa mereka adalah teman sekampus yang memiliki ikatan persahabatan sangat erat. Itulah mengapa saat muncul pertengkaran besar yang berpotensi memecah belah keempatnya, saya tidak bisa merasakan apapun. Berlalu begitu saja.

Acceptable (2,5/5)



REVIEW : KARTINI


“Tubuh boleh terpasung, tapi jiwa dan pikiran harus terbang sebebas-bebasnya.” 

Kartini garapan Hanung Bramantyo bukanlah kali pertama bagi kisah pahlawan nasional asal Jepara, Raden Adjeng Kartini, dalam memperjuangkan kesetaraan hak untuk para perempuan pribumi diboyong ke layar perak. Sebelumnya, sutradara legendaris tanah air, Sjumandjaja sudah menguliknya terlebih dahulu melalui R.A. Kartini (1982), dan Azhar Kinoi Lubis dibawah bendera MNC Pictures sempat pula memadupadankannya dengan tuturan fiktif lewat Surat Cinta Untuk Kartini (2016). Telah mendapatkan dua gambaran berbeda, sedikit banyak membuat kita bertanya-tanya, apa yang lantas hendak dikedepankan oleh Hanung Bramantyo di versi terbaru Kartini? Ketertarikan untuk mengetahui interpretasi Hanung Bramantyo terhadap sang pejuang emansipasi perempuan inilah salah satu yang melandasi keinginan untuk menyimak Kartini. Alasan lainnya, barisan pemain ansambel yang direkrutnya. Bukankah amat menggoda kala pelakon-pelakon papan atas tanah air seperti Dian Sastrowardoyo, Acha Septriasa, Christine Hakim, Ayushita Nugraha, Deddy Sutomo, Djenar Maesa Ayu, Denny Sumargo, Adinia Wirasti, serta Reza Rahadian berkolaborasi dalam satu film? Terlebih rekam jejak sang sutradara yang dikenal piawai mengarahkan pemain-pemainnya, Kartini jelas tampak menjanjikan. Dan memang, di tangan seorang Hanung Bramantyo, Kartini menjelma sebagai sebuah film biopik yang menghibur, emosional, sekaligus mempunyai cita rasa megah. 

Dalam menyampaikan tuturannya, Kartini mengunduh referensi utama dari “Panggil Aku Kartini Saja” buah karya Pramoedya Ananta Toer, buku kumpulan surat “Habis Gelap Terbitlah Terang” milik Armijn Pane, serta catatan Tempo bertajuk “Gelap Terang Hidup Kartini”. Periode yang dicuplik berada di satu dasawarsa terakhir sebelum Kartini (Dian Sastrowardoyo) tutup usia pada tahun 1904, atau dengan kata lain, setelah pemilik nama kecil Srintil ini cukup usia untuk dipingit. Menurut tradisi Jawa kuno, perempuan yang berada dalam fase dipingit, harus berdiam diri di dalam rumah sampai seorang pria datang untuk mengajaknya melangkah ke pelaminan. Guna menghabiskan waktunya, Kartini kerap menenggelamkan diri ke buku-buku serta majalah-majalah keluaran Belanda atau bermain-main bersama kedua adiknya, Roekmini (Acha Septriasa) dan Kardinah (Ayushita Nugraha). Tidak seperti perempuan sebaya lainnya, ketiga bersaudari ini mempunyai pemikiran berbeda mengenai pernikahan dan longgarnya batasan yang diberlakukan oleh sang ayah, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat (Deddy Sutomo), memungkinkan mereka berkawan akrab dengan keluarga Belanda yang mengagumi tulisan Kartini, lalu mendirikan sekolah untuk masyarakat kurang mampu, sekaligus membantu meningkatkan taraf hidup para pengrajin ukiran di Jepara. 

Menerjemahkan kisah perjuangan Raden Adjeng Kartini ke bahasa gambar sebetulnya bukan perkara mudah. Malah cenderung beresiko tinggi. Betapa tidak, Kartini tiada pernah bersinggungan dengan peristiwa-peristiwa akbar yang mempunyai tingkat kegentingan tinggi dan cenderung lebih dikenang atas sumbangan pemikiran-pemikirannya mengenai kedudukan perempuan yang melampaui zaman. Dengan latar penceritaan yang juga terbatas, Kartini lebih berpeluang untuk terjerembab sebagai film biopik sejarah menjemukan ketimbang menyenangkan. Dua film terdahulu mengenai sang pahlawan adalah bukti konkritnya. Sempat was-was versi anyar ini akan bernasib serupa mengingat perpaduan Hanung dengan film biopik acapkali kurang menyatu (mohon maaf, Sang Pencerah dan Soekarno kesulitan mengetuk sanubari ini), alangkah terkejutnya diri ini tatkala mendapati bahwa Hanung Bramantyo sanggup mempresentasikan Kartini sebagai tontonan yang menghibur. Tunggu, tunggu dulu... menghibur? Betul. Hanung dan Bagus Bramanti yang merancang skrip agaknya memahami, garis dramatik dalam kehidupan Kartini seringkali berada di posisi horizontal. Apabila melulu dilantunkan serius, penonton dapat tergeletak kebosanan di dalam bioskop. Maka dari itu, setidaknya di paruh awal, si pembuat film secara cerdik menyelipkan cukup banyak kelakar sehingga membuat film terasa ringan untuk diikuti.


Berbeda dengan film dari genre seragam yang kerap memanfaatkan karakter sampingan sebagai comic relief, Kartini berani melibatkan sang karakter tituler untuk berpartisipasi dalam mengundang derai tawa penonton. Ini dimungkinkan lantaran Kartini tidak diglorifikasi sebagai perempuan Jawa cerdas yang anggun pula santun. Dalam interpretasi Hanung, sosoknya dimanusiawikan yang tampak dari lakunya yang tomboi, keisengannya, serta keengganannya untuk melulu sendiko dawuh (baca: tunduk patuh) utamanya kala bertentangan dengan apa yang diyakininya. Akibat tindakan sesuka hatinya, seorang pelayan di rumahnya bahkan beberapa kali kena semprot dan adegan ini ditampilkan menggunakan sentuhan komedi. Tawa canda lain di film mencuat pula dari interaksi lekat antara Kartini dengan kedua adiknya yang turut membantu sang kakak memperjuangkan kesetaraan bagi perempuan pribumi dan rakyat kecil. Tidak semata-mata bergantung pada elemen komedik, imajinasi sang sutradara beserta visualisasi cantik hasil bidikan gambar dari Faozan Rizal yang berpadu mulus bersama kostum indah, iringan musik melodius, dan tata artistik ciamik turut membantu hadirkan ‘gelombang rasa’ di separuh awal. Ciptakan pula sensasi megah. Dalam kaitannya dengan imajinasi, terlihat melalui adegan kala Kartini tengah membaca buku maupun surat. Ketimbang sekadar menarasikan isi bacaan, Kartini ditampakkan tukar dialog bersama sang penulis. Terkadang berlatar sekitar pendapa, belakangan mulai melemparkan Kartini jauh ke negeri Belanda – sesuai asal surat korespondensi yang diterimanya. 

Seiring menanjaknya konflik yang ditandai oleh kepasrahan Kardinah menerima dirinya ditaklukkan adat yang kokoh membelenggu budayanya, nada penceritaan Kartini yang semula mengalun ringan perlahan bertransisi ke ranah dramatik berintensitas cukup tinggi yang sanggup menghadirkan momen-momen emosional. Kecermatan tim kasting menunjuk pelakon dan kepiawaian Hanung arahkan pemain kian menunjukkan hasilnya pada titik ini. Dian Sastrowardoyo bermain apik sebagai Kartini dengan karismanya yang menguar kuat. Kita bisa pula merasakan pertentangan batinnya antara memilih menerima realita atau mempertahankan idealisme. Karakter-karakter pendukukung di sekelilingnya yang berkontribusi mengenalkan penonton pada sosok Kartini lewat beberapa sudut pandang, dimainkan secara solid oleh barisan pemain ansambel. Acha Septriasa dan Ayushita Nugraha adalah pasangan yang klop bagi Dian, Deddy Sutomo pancarkan kebijaksanaan seorang ayah sekaligus Bupati, Djenar Maesa Ayu tunjukkan kegetiran mendalam dari seorang istri muda yang luka dari masa lalu belum kunjung pulih, Denny Sumargo yang memerankan kakak tertua Kartini berikan performa terbaik sepanjang karir keaktorannya, Reza Rahadian tunjukkan kelasnya dengan memberi effort lebih sekalipun perannya terhitung amat kecil, dan Christine Hakim adalah bintang sesungguhnya dari film ini. Air mukanya siratkan beragam rasa. Akumulasi emosinya di puncak durasi amat mengena di relung hati yang turut membantu Kartini dapatkan sebuah penutup sempurna. Wuapik!

Outstanding (4/5)