Showing posts with label Tatjana Saphira. Show all posts

REVIEW : SWEET 20



“Mbak, pernah ada nggak yang nyuruh kamu untuk ngebuang muka rombeng kamu?” 

Bagaimana jadinya saat seorang nenek berusia 70 tahun yang luar biasa bawel dan menjengkelkan memperoleh kesempatan kedua untuk memperbaiki hidupnya usai secara tiba-tiba berubah menjadi perempuan muda berusia 20 tahun? Premis menggelitik yang sejatinya bukan juga sesuatu baru dalam khasanah film komedi keluarga berbasis fantasi ini lantas diterjemahkan oleh sineas Korea Selatan, Hwang Dong-hyuk, ke dalam sajian berpenggarapan apik bertajuk Miss Granny. Dilepas di bioskop pada tahun 2014, Miss Granny memperoleh sambutan luar biasa hangat dari khalayak ramai dan berujung pada dipinangnya hak cipta pembuatan versi lokal untuk film keluaran CJ Entertainment ini oleh berbagai negara. Dimulai dari Cina yang mendaur ulangnya melalui 20 Once Again, berturut-turut negara lain mengikuti yakni Vietnam (Sweet 20), Jepang (Ayashii Kanojo), Thailand (Suddenly 20), Filipina (segera tayang) hingga Indonesia yang menggunakan judul serupa dengan versi Vietnam. Menunjuk Ody C Harahap (Kapan Kawin?, Me Vs Mami) untuk menduduki kursi penyutradaraan, Sweet 20 produksi Starvision dimeriahkan barisan pelakon papan atas tanah air seperti Tatjana Saphira, Slamet Rahardjo, Niniek L Karim, Widyawati, Morgan Oey, sampai Lukman Sardi yang bisa dikata merupakan salah satu kekuatan utama yang dimiliki film.

Si nenek berusia 70 tahun yang bawel pula bikin gregetan dalam Sweet 20 bernama Fatmawati (Niniek L Karim). Dia tinggal bersama keluarga dari putra semata wayangnya, Aditya (Lukman Sardi), yang berprofesi sebagai dosen. Fatmawati amat sangat menyayangi Aditya dan cucu laki-lakinya, Juna (Kevin Julio), namun begitu sinis terhadap menantunya, Salma (Cut Mini), yang dipandangnya kurang becus mengurus rumah tangga serta cucu perempuannya, Luna (Alexa Key), yang tak memiliki kegiatan. Selepas suatu insiden yang menyebabkan Salma terbaring di rumah sakit, Fatma tanpa sengaja mencuri dengar obrolan antara Aditya beserta kedua anaknya mengenai rencana memindahkan Fatma ke panti jompo. Merasa dikecewakan oleh putra kesayangannya, Fatma meninggalkan rumah tanpa pamit. Di tengah kesendiriannya dalam suatu malam, Fatma menemukan sebuah studio foto dan memutuskan untuk mengambil foto demi pemakamannya kelak. Terkesan seperti studio foto biasa dari tampilan luar, nyatanya selepas Fatma difoto, fisiknya mengalami transformasi hingga 50 tahun lebih muda. Demi menghindari kecurigaan, Fatma pun mengubah identitasnya menjadi Mieke (Tatjana Saphira) sesuai nama artis idolanya, Mieke Wijaya, dan menyewa sebuah kamar di rumah kawan baiknya, Hamzah (Slamet Rahardjo), yang diam-diam menaruh hati. Menjelma menjadi gadis berusia 20 tahun, Mieke lantas memanfaatkannya untuk mewujudkan mimpinya menjadi penyanyi sekaligus memperbaiki hubungan dengan orang-orang terdekatnya. 

Menilik statusnya sebagai remake (resmi ya, bukan jiplakan!), tentu sama sekali tidak bisa dihindarkan bahwa guliran pengisahan yang diusung oleh Sweet 20 akan memiliki banyak sekali keserupaan dengan materi sumbernya, Miss Granny. Keserupaan yang lantas menuntun pada bermunculannya tanggapan-tanggapan sinis di dunia maya mengenai menciutnya daya kreativitas si pembuat film. Tunggu dulu, siapa bilang bikin remake tidak butuh kreativitas? Yang kerap disalahpahami oleh netizen, remake berarti sekadar copy paste plek ketiplek tiplek dari versi terdahulu tanpa sedikitpun memberikan corak tersendiri bagi versi termutakhir. Kenyataannya tidak sesederhana itu, saudara-saudara. Ketika film yang disadur berasal dari era apalagi negara dengan kultur berbeda, penyesuaian perlu dilakukan demi menghindari ‘lost in translation’ (Yes, I am looking at you, Love You Love You Not!). Disinilah sutradara berikut peracik skrip mesti memutar otak – mengerahkan seluruh kreativitas yang dimiliki – sehingga film saduran dapat tertranslasi secara baik. Apabila kamu telah mencicipi setidaknya sebagian besar produk olahan baru dari Miss Granny, jelas bakal menyadari bahwasanya ada pembeda di setiap versi. Paling terpampang nyata terletak pada pemilihan tembang-tembang kenangan khas masing-masing negara yang dibawakan sang protagonis, sementara pembeda lainnya dapat dicecap lewat lontaran-lontaran humor yang disesuaikan dengan budaya atau ‘kearifan lokal’ dari negara si pembuat. Mudahnya, serupa tapi tak sama.


Dalam Sweet 20, Ody C Harahap dan Upi selaku penulis skenario menyelipkan keriuhan jelang sungkem Lebaran, meriahnya orkes jalanan, dan sinetron stripping yang episodenya tak berkesudahan sebagai bagian dari ‘kearifan lokal’ yang berfungsi untuk memantik tawa. Hasilnya? Tidak buruk sama sekali. Malah boleh dibilang berhasil terutama adegan Mieke yang menempelkan koyo di kepalanya tengah menonton sinetron bersama Hamzah. Perhatikan ekspresi pemain sinetron! Dengarkan dialog yang pemain sinetron lontarkan! Perhatikan pula bagaimana Mieke dan Hamzah ikut gregetan menunggu datangnya moment of truth dalam adegan di sinetron! Sangat, sangat kocak. Tanpa perlu dikomando, seluruh penonton di tempat saya menonton film ini serempak tertawa terbahak-bahak. Inilah momen paling pecah dalam Sweet 20, namun bukan satu-satunya yang mengundang gelak tawa heboh. Film yang nada penceritaannya telah menggila sedari mula ini juga mempersembahkan kegilaan maksimal tatkala anggota band Mieke beserta Juna berkunjung ke taman ria bersama Hamzah dan produser acara musik di televisi, Alan (Morgan Oey), lalu saat Hamzah menjelaskan kepada Aditya dan Salma mengenai perkembangan terbaru keberadaan Fatma, pertengkaran dua nenek-nenek genit memperebutkan Hamzah, makan malam pertama antara Mieke dengan Juna yang disisipi kesalahpahaman, dan masih ada beberapa adegan kocak lainnya yang rasa-rasanya sayang jika dijabarkan seluruhnya. 

Kejelian Ody C Harahap dalam mengatur timing yang tepat untuk melontarkan bom-bom humor memang telah terbukti di Kapan Kawin? dan Me Vs Mami. Akan tetapi melalui Sweet 20, kapabilitasnya kian terkonfirmasi. Beruntung bagi Ody karena dia dianugerahi pemain ansambel yang menyuguhkan lakon sungguh prima dalam Sweet 20. Dari Tatjana Saphira yang sanggup membuktikan bahwa hanya tinggal menunggu baginya untuk melesat ke jajaran pemain kelas A di perfilman tanah air dengan kecakapannya menghidupkan sosok Mieke yang merupakan nyawa bagi film sampai-sampai kita meyakini bahwa dia memang seorang nenek yang terjebak di tubuh seorang gadis, kemudian trio pemain senior Slamet Rahardjo-Niniek L Karim-Widyawati yang tampak begitu bersenang-senang dengan karakter yang mereka perankan, lalu kolaborasi pemain muda seperti Kevin Julio yang mengisi momen komedik dan Morgan Oey yang berkontribusi dalam momen romantik, ada pula Lukman Sardi yang ditugaskan untuk memberi sentuhan dramatik pada film khususnya di klimaks yang hangat pula mengharu biru, sampai penampilan singkat namun meninggalkan kesan mendalam dari Tika Panggabean, Alexa Key, Barry Prima, McDanny, Joe P Project, dan Aliando Syarief. 

Ya, pemain ansambel ini merupakan salah satu kekuatan utama yang dipunyai Sweet 20 disamping lontaran-lontaran kelakar yang tepat mengenai sasaran, tembang-tembang lawas pengiring film yang melebur mulus macam “Layu Sebelum Berkembang”, “Payung Fantasi”, dan “Selayang Pandang”, serta muatan emosional yang bekerja secara efektif. Dengan kombinasi maut semacam ini, tepatlah kiranya menyebut Sweet 20 sebagai sebuah tontonan hiburan menyenangkan untuk seluruh keluarga kala liburan sekaligus remake yang sangat pantas bagi Miss Granny. Bahkan, termasuk salah satu yang terbaik. Menghibur, lucu, dan hangat. Sungguh sebuah obat pelepas penat yang mujarab. Pecah! 

Outstanding (4/5)




REVIEW : STIP & PENSIL


Menjumpai film berbasis genre komedi buatan dalam negeri tidaklah susah sama sekali. Nyaris saban bulan, senantiasa ada judul-judul baru memeriahkan jaringan bioskop tanah air. Yang susah adalah menemukan film dengan kualitas dapat dipertanggungjawabkan diantara genre ini. Tidak ada yang salah memang dari film komedi yang sekadar ngebanyol tanpa mempunyai muatan cerita kuat dan cenderung ringan-ringan saja toh tujuan akhirnya lebih ke tontonan eskapisme. Namun ketika ini dijadikan sebagai pembenaran untuk menghasilkan sebuah gelaran sarat kelakar yang digarap secara serampangan tanpa mempunyai struktur cerita yang jelas, minim lakonan apik maupun alpa production value memadai yang membuatnya sebelas dua belas dengan program lawak di televisi, maka saat itulah kesalahan terbesar diperbuat. Lantaran saking seringnya disuguhi tontonan komedi di layar lebar yang bikin mengelus dada semacam ini – ditambah kepala pusing tujuh keliling akibat keriuhan Pilkada – jelas sesuatu membahagiakan begitu mendapati bahwa Stip & Pensil arahan Ardy Octaviand (Coklat Stroberi, 3 Dara) tergarap cukup apik, dibekali plot berisi dan memberi efek bungah usai menontonnya. Jarang-jarang ada, kan? 

Dalam Stip & Pensil yang merupakan rilisan terbaru dari rumah produksi MD Pictures, barisan karakter penggerak roda cerita antara lain Toni (Ernest Prakasa), Bubu (Tatjana Saphira), Saras (Indah Permatasari), dan Aghi (Ardit Erwandha). Keempatnya adalah siswa SMA yang berasal dari keluarga kaya raya dan masing-masing menghadapi bullying di sekolah karena status sosial mereka. Demi membuktikan bahwa mereka lebih dari sekadar ‘anak kaya manja’ sekaligus mempunyai kontribusi nyata ke masyarakat, tatkala sebuah tugas penulisan esai diajukan oleh Pak Adam (Pandji Pragiwaksono), Toro beserta kawan-kawan turut mendirikan sebuah sekolah darurat di pemukiman kumuh. Mendapat sambutan hangat dari petinggi setempat, Pak Toro (Arie Kriting), mulanya mereka menduga akan mudah saja bagi keempatnya untuk menggelar kegiatan belajar mengajar. Nyatanya, kenyataan jauh dari pengharapan terlebih program tidak pernah disosialisasikan dan mereka buta dengan demografi kampung tersebut karena kelupaan untuk menggelar survey di lapangan terlebih dahulu. Tidak ingin rencana mereka sia-sia belaka, direkrutlah seorang bocah bernama Ucok (Iqbal Sinchan) untuk mengorganisir bocah-bocah di kampung agar bersedia bersekolah dengan iming-iming sejumlah uang. 


Ketika menyambangi bioskop guna menyaksikan Stip & Pensil, ekspektasi yang ditanamkan tidaklah muluk-muluk: asal bisa bikin tertawa, kelar urusan. Yang kemudian tiada dinyana, tiada disangka, urusan telah dituntaskan sedari menit-menit pertama oleh Ardy Octaviand. Adegan pembuka dengan humor yang bisa dikata ‘receh’, efektif mengundang gelak tawa dari penonton. Mau tahu kabar baiknya? Tawa ini terus ada, berkelanjutan dan hampir enggan mengendur sampai film mengakhiri durasinya. Kunci keberhasilan terletak pada tiga poin. Pertama, kejelian si pembuat film memanfaatkan momentum. Kedua, naskah menggelitik gubahan Joko Anwar. Ketiga, barisan pemain yang mempunyai comic timing juara. Dengan ketiga poin ini saling bersinergi, tidak mengherankan jika lantas Stip & Pensil sanggup tersaji sebagai tontonan komedi menyenangkan yang akan membuat penontonnya keluar bioskop dengan ceria. Keempat bintang utamanya lihai mengutarakan kembali rentetan humor yang dibisikkan Ardy bersama Joko kepada mereka, terutama Ernest Prakasa yang kian mengukuhkan posisinya sebagai komika berbakat dan Tatjana Saphira yang diam-diam memiliki bakat ngelaba. Kemunculan Tatjana sendiri kerap mencuri perhatian hasil dari melimpahnya momen ‘ger-geran’ di dalam bioskop yang dipicu oleh sosok Bubu yang digambarkan agak absent-minded. Yakin deh, lagu Yamko Rambe Yamko tidak akan lagi terdengar sama. Tak kalah mencuri perhatian dari Tatjana yakni Gita Bhebhita sebagai Mak Rambe yang garang dan Yati Surachman dalam penampilan singkat berkesan sebagai pemilik warung yang gemar mendramatisir derita hidupnya. 

Stip & Pensil kian menarik berkat jalinan pengisahan yang diutarakan Joko. Apabila mengenali jejak rekamnya, Joko enggan sekadar bermain-main sekalipun di dalam film komedi yang mengisyaratkan main-main belaka. Keberadaan kritik sosial bisa dicecap melalui karya-karyanya terdahulu – seperti Arisan!, Janji Joni, serta Quickie Express – tak terkecuali Stip & Pensil. Konten pembicaraan dalam film ini relevan dengan situasi Indonesia masa kini menyoal perundungan di sekolah, pemberitaan buruk di media tanpa konfirmasi, sampai kesenjangan sosial yang salah satunya diperlihatkan dari pemberian pendidikan yang belum merata. Terdengar berat? Tak perlu risau. Joko cerdik menyiasatinya ditambah lagi pendekatan Ardy untuk melantunkan film secara ringan serta penuh canda tawa memungkinkan pesan-pesan yang terkandung tergolong berhasil menyentil tanpa pernah sedikitpun terkesan menceramahi. Berceloteh dengan solid, setidaknya sampai pertengahan durasi, Stip & Pensil agak tersandung begitu menapaki babak ketiga. Subplot asmara segirumit beserta penggusuran seolah-olah disisipkan di menit-menit akhir hanya demi memperpanjang durasi. Kemunculannya tak mulus, penyelesaiannya terlampau sepele. Andaikata subplot tersebut dihempaskan, niscaya film akan makin renyah buat disantap karena bahkan dengan kelemahan yang menyertainya, Stip & Pensil tetap teramat sayang untuk dilewatkan. Kocak sekali dan... penting!

Exceeds Expectations (3,5/5)