Showing posts with label Indonesia. Show all posts

REVIEW : THE GIFT (2018)


“Setiap kali kamu cerita, imajinasi kamu membuat dunia semakin luas. Dan aku ingin menaklukkan itu.” 

Sejujurnya, saya lebih antusias tatkala Hanung Bramantyo menggarap film-film ‘kecil’ ketimbang film-film berskala raksasa. Saat menggarap film yang jauh dari kesan ambisius (dan tendensius), Hanung terasa lebih jujur, intim, dan mampu menunjukkan kepekaannya dalam bercerita sehingga emosi yang dibutuhkan oleh film berhasil tersalurkan dengan baik ke penonton. Tengok saja beberapa karya terbaiknya seperti Catatan Akhir Sekolah (2005), Jomblo (2006), Get Married (2007), dan Hijab (2015). Bangunan komediknya amat jenaka sekaligus menyentil di waktu bersamaan sementara elemen dramatiknya sanggup membuat baper manusia-manusia berhati sensitif secara berkepanjangan. Melalui film-film tersebut, kita bisa memafhumi statusnya sebagai salah satu sutradara tanah air terkemuka saat ini. Maka begitu Hanung bersiap untuk merilis proyek kecilnya yang mengambil genre drama romantis bertajuk The Gift – saya tidak tahu menahu mengenai film ini sampai diputar perdana di Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2017 – ada rasa penasaran yang menggelayuti. Lebih-lebih, dia mengajak turut serta sejumlah pemain besar yang terdiri atas Reza Rahadian, Ayushita Nugraha, Dion Wiyoko, beserta Christine Hakim untuk menyemarakkan departemen akting. Kombinasi maut yang terlalu menggoda untuk dilewatkan begitu saja, bukan? 

Dalam The Gift, Hanung memanfaatkan relasi dan interaksi dua manusia yang tidak mengenal cinta, Tiana (Ayushita Nugraha) dan Harun (Reza Rahadian), sebagai pemantik konflik. Perkenalan diantara mereka bermula ketika Tiana, seorang penulis novel asal Jakarta yang sedang mencari ilham untuk menuntaskan novel terbarunya, menyewa sebuah kamar kos di rumah Harun yang berlokasi di Jogjakarta. Mengingat akses ke rumah utama senantiasa tertutup dan Harun bukanlah pria yang gemar beramah tamah, hubungan baik tidak seketika terbentuk. Malah, kesan pertama bagi masing-masing individu terbilang buruk. Pangkal permasalahannya, Harun memutar musik keras-keras yang membuat Tiana merasa terganggu. Sebagai permintaan maaf, lelaki tunanetra ini pun berinisiatif mengajak tamunya tersebut untuk sarapan bersama yang sayangnya tidak berjalan mulus karena tukar dialog diantara mereka berujung pada pertikaian verbal lebih lanjut. Menilik karakteristik Harun dan Tiana yang sama-sama keras, sebetulnya agak sulit membayangkan keduanya dapat menciptakan koneksi tanpa harus saling menyinggung satu sama lain. Tapi baik Tiana maupun Harun mencoba untuk melunak, lalu berusaha untuk saling memahami. Di saat inilah, benih-benih asmara perlahan mulai bersemi sampai kemudian datangnya teman masa kecil Tiana, Arie (Dion Wiyoko), membuyarkan kisah cinta yang siap dirajut oleh Tiana dan Harun.


Menyodorkan problematika “benci jadi cinta” lalu menghadirkan orang ketiga dalam hubungan asmara yang bersiap untuk mekar, tidak bisa dipungkiri bahwa The Gift memang terdengar generik di permukaan. Akan tetapi, apa yang kemudian membuat film ini tidak lantas menjelma sebagai ‘film percintaan pada umumnya’ adalah cara Hanung Bramantyo mengemasnya. Tidak ada lontaran dialog-dialog rayuan puitis, melainkan bergantung pada interaksi yang terbentuk diantara Tiana dengan Harun. Guliran penceritaannya sendiri mengalun lambat demi memberi cukup waktu dan ruang bagi penonton untuk mengobservasi dua karakter utama lebih dalam. Mereka digambarkan sebagai dua manusia yang tak pernah terpapar hangatnya cinta dan justru memelihara luka, amarah, serta rasa putus asa. Guna mempertegas karakteristik, kilas balik pun kerap disisipkan yang mengajak penonton berkelana ke masa lampau dan menengok masa kecil Tiana yang sungguh kelam. Dari sana, kita bisa mengerti kenapa dia tumbuh sebagai perempuan yang dingin, kaku, dan cenderung antisosial. Harun, sayangnya, tak mendapat perlakuan serupa dan penjabaran mengenai masa lalunya hanya diucapkan melalui beberapa patah kalimat. Akan tetapi, sebuah momen kebenaran yang meninggalkan rasa pilu ketika Harun akhirnya bersedia diri kepada Tiana merupakan titik balik yang menyadarkan penonton bahwa kedua insan ini sebetulnya saling membutuhkan. Mereka adalah korban ‘pengkhianatan’ orang-orang terkasih yang hanya bisa disembuhkan dengan cinta yang tulus. 

Reza Rahadian (tanpa perlu dipertanyakan lagi) memeragakan karakter Harun yang dilingkupi kemarahan dan kekecewaan dengan gemilang. Bersama Ayushita Nugraha dalam akting terbaiknya sebagai penulis dengan masa lalu menyakitkan yang memiliki dunianya sendiri, mereka membentuk chemistry memikat yang menarik atensi penonton untuk menyimak interaksi ‘ajaib’ keduanya. Naskah racikan Ifan Ismail membekali karakter-karakter ini dengan dialog-dialog mengalir nan tajam yang akan membuat penonton terkadang ingin melempar botol air mineral ke mereka, menyunggingkan senyum, tersipu-sipu malu, sampai ingin memberikan pelukan hangat. Turut menguarkan nuansa romantis, interaksi dua insan ini jelas merupakan kekuatan utama yang dimiliki oleh The Gift. Tak jarang pula, interaksi keduanya tidak dibekali dialog melainkan hanya sebatas pada ekspresi atau sentuhan – mengingat Harun tak dapat memandang Tiana secara langsung. Iringan musik merdu dari Charlie Meliala serta sumbangan lagu tema dengan lirik menyayat hati bertajuk ‘Pekat’ yang dibawakan oleh Reza beserta Yura Yunita membantu memperkuat emosi yang sedianya telah hadir sekalipun tanpa disokong skoring menggebu-nggebu. Jika ada titik lemah The Gift, maka itu adalah kebetulan-kebetulan sukar dipercaya yang mengiringi di satu dua sudut penceritaan, utamanya jelang tutup durasi, demi mempermudah penyelesaian konflik (persoalan klasik film Indonesia!). Ada kalanya membuat diri ini meringis geli dan menggaruk-nggaruk kepala, tapi untungnya tak sampai berdampak signifikan pada keseluruhan film.


Pada akhirnya, terlepas dari kekurangan yang ada, The Gift tak saja layak untuk bertengger di deretan karya terbaik Hanung Bramantyo, tetapi juga memperkuat pernyataan saya di paragraf awal bahwa Hanung memang lebih bergigi kala menggarap film kecil. Mungkin ada baiknya Mas Hanung fokus mengerjakan film-film semacam ini saja ketimbang menangani film biopik atau adaptasi dengan bujet bombastis tapi seringkali minim rasa.

Exceeds Expectations (3,5/5)

REVIEW : SAJEN


“Tiap orang yang bunuh diri di sini, pasti dikasih sajen.” 

Telah cukup lama rumah produksi Starvision tidak memproduksi film horor. Terakhir kali mereka bersentuhan dengan dunia memedi yakni melalui film dengan format omnibus bertajuk Hi5teria yang dilepas pada tahun 2012 silam. Sajen garapan Hanny Saputra – jejak rekam film horornya meliputi Mirror (2005) dan Dejavu: Ajian Puter Giling (2015) – menandai kembalinya Starvision ke ranah film seram setelah enam tahun terakhir memilih untuk fokus menghasilkan film bertemakan percintaan dan keluarga. Mengambil latar penceritaan di sebuah SMA swasta unggulan serta menampilkan barisan bintang-bintang muda bertampang rupawan yang masih segar seperti Amanda Manopo, Steffi Zamora, Angga Yunanda, Jeff Smith, serta Chantiq Schagerl, pada permukaannya Sajen memang sepintas tampak seperti “another Indonesian teen horror movie” yang gemar sekali mengambil lokasi teror di dua tempat: sekolah dan hutan belantara. Yang kemudian mengusik keingintahuan saya sehingga berniat mencicipi Sajen adalah tema yang diusungnya. Bukan sebatas ‘jangan masuki ruangan terlarang itu!’ atau ‘jangan langgar pantangan ini itu!’, film ini mencoba menguliti persoalan perundungan (bullying) yang memang marak terjadi di kalangan remaja berseragam putih abu-abu – bahkan belakangan merambah ke dunia maya. Perundungan menjadi cikal bakal munculnya sederet teror bernuansa supranatural yang menghiasi sepanjang durasi Sajen

Ya, perundungan yang terjadi dalam Sajen memang membawa korban jiwa. Penonton tidak pernah benar-benar diberi tahu identitas dari tiga korban pertama. Namun keberadaan tiga sajen di beberapa titik SMA Pelita Bangsa, yaitu toilet, perpustakaan, serta ruang komputer, menjadi semacam pengingat bahwa tragedi telah terjadi di sekolah ini selama beberapa kali. Keengganan pihak sekolah untuk mengusut tuntas kasus perundungan demi mempertahankan nama baik membuat arwah ketiga siswa tersebut tak tenang sehingga peristiwa-peristiwa seram masih kerap dijumpai. Alanda (Amanda Manopo), salah satu siswi paling berprestasi di SMA tersebut, menyadari penuh tentang hal ini dan berupaya untuk memutus rantai perundungan yang sekali ini dilakukan oleh Bianca (Steffi Zamora), Davi (Jeff Smith), beserta rekan-rekan satu geng mereka. Sayangnya, langkah Alanda ini tidak pernah mendapat dukungan penuh dari kawan-kawan terdekatnya sehingga Alanda yang berjuang sendirian pun akhirnya terseret menjadi korban. Dalam satu malam, Alanda dijebak dengan alkohol yang menyebabkan dia mabuk, lalu tindak tanduknya selama mabuk ini direkam, dan disebarkan ke setiap siswa di sekolah. Video tersebut tak hanya mencemarkan nama baiknya tetapi juga berdampak pada hilangnya kesempatan Alanda untuk mendapatkan beasiswa. Tak tahan dengan penderitaan ini, Alanda memutuskan bunuh diri. Arwahnya yang dilingkupi kemarahan pun menciptakan gelombang teror yang lebih besar di SMA Pelita Bangsa. 


Sajen sejatinya memiliki potensi besar untuk menjadi tontonan yang menjanjikan. Di separuh awal durasi yang penampakannya hanya dihadirkan selintas lalu dan si pembuat film lebih banyak menekankan pada elemen drama yang menyoroti dampak perundungan, Sajen mampu tampil menggigit. Performa sangat baik dari Amanda Manopo sebagai siswi berprestasi yang tertindas membuat penonton dapat bersimpati kepadanya. Kita berharap misi Alanda untuk memberangus perundungan mencapai titik hasil, kita berharap dia berhasil menundukkan geng Bianca. Maka begitu kenyataan berkata lain, ada rasa pedih yang menggelayuti di dada. Dukungan akting tak kalah baiknya dari Nova Soraya sebagai sang ibu yang penuh duka (kehilangan suami dan anak semata wayang tercinta. Betapa pilunya!) membuat paruh awal ini terasa menyesakkan. Saking tak relanya kedua karakter ini ketiban apes, keinginan melihat datangnya momen-momen pembalasan dendam dari Alanda kepada rekan-rekannya di sekolah pun besar. Saya hanya ingin menyaksikan geng Bianca kena getahnya atas ulah mereka pada Alanda. Akan tetapi, semangat yang telah timbul dalam menanti apa yang akan dihadirkan oleh Hanny R Saputra beserta sang penulis skrip, Haqi Achmad, di sesi horor ini malah mendadak merontok begitu film telah menjejakkan diri pada ranah memedi secara resmi. Pemicunya, rentetan penampakan yang dihamparkan serampangan diiringi musik memekakkan telinga (masalah klasik!) ditambah tata rias hantu yang dikerjakan ala kadarnya, transisi antar adegan yang melompat-lompat tak karuan sehingga membuat sebagian adegan terasa tak berkesinambungan, dan akting sebagian besar pemain pendukung yang memprihatinkan. 

Saking memprihatinkannya, saya sampai tak kuasa menahan tawa berulang kali selama menyaksikannya. Tengok saja pada salah satu momen terepik dari film ini yang berlangsung di sebuah prom night. Alanda melampiaskan dendamnya bak Carrie White pada salah seorang siswi – termasuk melempar-lemparnya ke atas maupun ke samping – dan tak seorangpun (!) yang bereaksi melihat aktivitas gaib di depan mata ini. Mereka hanya berdiri mematung tanpa ekspresi seolah-olah apa yang mereka saksikan itu sesuatu yang sudah teramat sangat wajar. Jika ada yang menunjukkan reaksi, maka itu adalah saya yang melongo saking takjubnya dengan keberanian mereka yang luar biasa ini. Semestinya saya pun tidak usah setakjub itu karena ada satu momen dimana hantu Alanda merangkak ke luar dari televisi bak Sadako dengan maksud menakut-nakuti kepala sekolahnya yang berhati dingin, Bu Tanya (Minati Atmanegara), dan tanpa segan-segan, Bu Tanya mengusirnya begitu saja dengan cara melempar sebuah pensil (!) ke arah Alanda. Mengagumkan sekali, bukan? Saya cukup yakin bahwa salah satu persyaratan masuk di SMA Pelita Bangsa baik bagi siswa maupun staf mencakup poin, “Anda telah terbiasa berurusan dengan hal-hal mistis atau memiliki keberanian dalam mengadapi situasi supranatural.” Karena jika tidak, tentu mereka sudah panik tidak karuan saat menyaksikan empat hantu datang beriringan atau kepala nongol dari televisi, bukan? Gara-gara adegan ini, saya malah justru lebih merinding melihat para guru dan murid SMA Pelita Bangsa ketimbang hantu Alanda. Jangan-jangan mereka sebenarnya adalah alien berkedok manusia seperti dalam film Invasion of the Body Snatchers (1978) sehingga mustahil bagi mereka untuk memancarkan emosi. Bisa jadi, kan?

Poor (2/5)


REVIEW : ANANTA


“Kita dipertemukan karena ikatan jodoh yang kuat.” 

Para pembaca blog yang budiman, izinkanlah saya untuk menyampaikan satu kabar gembira sebelum mengulas Ananta keluaran MD Pictures. Kabar gembira tersebut adalah (jreng-jreng) Michelle Ziudith sudah terlepas dari film-film romantis picisan garapan Screenplay Films, saudara-saudara!... meski kemungkinan hanya untuk sementara sih. Tapi jangan langsung bersedih karena paling tidak, untuk sesaat kita tidak melihatnya memerankan perempuan tajir melintir yang hobi merajuk, remaja yang mengemis-ngemis cinta seolah dia akan tewas jika terlalu lama menjomblo, atau gadis yang gemar bersabda dengan kata-kata mutiara di setiap hembusan nafasnya. Ini tetap patut dirayakan. Kenapa? Karena saya selalu percaya bahwa Michelle Ziudith memiliki bakat dalam berakting (apalagi kalau sudah akting banjir air mata, saingan deh sama Acha Septriasa!) dan dia sangat perlu kesempatan untuk membuktikannya. Melalui Ananta yang didasarkan pada novel bukan horor bertajuk Ananta Prahadi rekaan Risa Saraswati (seri Danur), aktris yang akrab disapa Miziu ini mendapatkan kesempatan tersebut. Memang sih kalau ditengok dari segi genre, Ananta masih bermain-main di jalur andalan Miziu yakni drama percintaan yang sekali ini membawa muatan komedi cukup pekat. Hanya saja yang membuat film ini berbeda dan boleh jadi merupakan tiket emas baginya adalah Ananta mempunyai penggarapan beserta performa pemain yang baik sehingga menempatkannya berada di level lebih tinggi dibanding film-film Miziu terdahulu. 

Dalam Ananta, Michelle Ziudith berperan sebagai Tania yang dideskripsikan sebagai remaja SMA yang kesulitan dalam berinteraksi secara sosial sehingga dia memilih untuk membenamkan diri dengan dunianya sendiri: lukis melukis. Akibat sikapnya yang jauh dari kata bersahabat, Tania hidup dalam kesendirian. Dia tidak memiliki satupun teman bermain di sekolah, dia juga tidak memiliki satupun teman berbicara di rumah. Satu-satunya orang yang dipersilahkan Tania memasuki kehidupannya adalah Bik Eha (Asri Welas) – itupun sebatas berurusan dengan makanan. Kehidupan Tania yang terbilang sunyi dan monoton ini lantas mengalami perubahan saat Ananta Prahadi (Fero Walandouw), murid pindahan asal Subang yang memiliki logat Sunda kental, hadir di sisinya. Ini bisa diartikan secara harfiah karena Ananta duduk sebangku dengan Tania. Karakteristiknya yang periang jelas bertolak belakang dengan Tania yang muram. Pun begitu, Ananta berupaya memahami rekan sebangkunya ini termasuk memasakannya nasi kerak yang merupakan makanan favorit Tania dan membantunya menjual lukisan-lukisannya. Tania yang semula apatis perlahan tapi pasti bersedia membuka diri pada Ananta sehingga hubungan persahabatan sekaligus hubungan bisnis pun terbentuk. Kesedihan yang selama ini menggelayuti diri Tania pun memudar tergantikan oleh kebahagiaan sampai kemudian Ananta tiba-tiba menghilang tanpa kabar dan Tania menyambut datangnya pria lain dalam kehidupannya, Pierre (Nino Fernandez). 



Seperti halnya jutaan umat manusia di luar sana, saya pun sebetulnya menganggap sepele Ananta. Satu-satunya yang berkontribusi terhadap tergeraknya hati dan kaki ke bioskop untuk menjajalnya adalah sang sutradara, Rizki Balki, yang memulai debutnya dengan apik melalui Aku, Benci, dan Cinta (2017). Michelle Ziudith? Kepercayaan saya sudah mulai meluntur. Membawa sikap skeptis ke dalam ruang pemutaran, diri ini merasa tertampar saat tanpa disangka-sangka Ananta ternyata mampu tersaji sebagai tontonan yang jenaka (ya, film ini lucu sekali!) sekaligus hangat, manis, dan menyentuh di waktu bersamaan. Rizki yang gaya penuturannya terasa sekali terpengaruh dari film-film romantis asal Korea Selatan membuktikan bahwa debutnya tersebut bukanlah suatu kebetulan pemula belaka dan Michelle Ziudith menunjukkan bahwa dia memang layak untuk diberikan kesempatan. Lanjutkan, Miziu! Michelle Ziudith berhasil melebur dengan baik ke dalam sosok Tania yang ajaib, sengak, dan temperamental. Berada di pengarahan maupun interpretasi pemain kurang tepat, Tania berpotensi menjadi karakter yang sukar diberi simpati. Namun performa Michelle Ziudith ditunjang chemistry padu bersama Fero Walandouw sebagai karakter tituler membuat saya cukup mampu memafhumi karakteristiknya yang kian meletup-letup tak terkontrol karena faktor duka. Adegan Tania terpuruk lalu menangis di pundak Ananta usai melempar lukisan-lukisannya ke luar jendela menjadi momen terbaik di film ini yang sekaligus menandai pertama kalinya simpati dapat disematkan secara resmi pada kedua karakter utama tersebut khususnya Ananta yang kebaikan dan kepolosannya membuat diri ini ingin memberinya pelukan hangat.  

Tidak hanya Michelle Ziudith yang membuktikan bahwa dia sanggup menunjukkan atraksi akting yang kejut nyata tatkala memperoleh peran beserta pengarahan yang tepat, tetapi juga Fero Walandouw. Merupakan kejutan terbesar dari Ananta, Fero adalah rekanan akting yang sesuai bagi Miziu. Chemistry yang dibina Miziu bersama Fero jauh lebih meyakinkan ketimbang saat dia beradu akting dengan Dimas Anggara maupun Rizky Nazar. Berkat performa keduanya, kita bisa menerima kenyataan bahwa Tania kelewat ngeselin dan Ananta kelewat mulia, lalu menikmati setiap momen kebersamaan mereka yang sebagian besar diantaranya mengundang gelak tawa – seperti berlari-larian di bawah guyuran ‘air hujan’ – dan menggoreskan rasa hangat di hati. Keberadaan Asri Welas yang kentara difungsikan sebagai comic relief jelas membantu meningkatkan level kelucuan yang sejatinya telah cukup kuat hanya dari interaksi Fero bersama Miziu. Sayangnya, segala kenikmatan menyaksikan Ananta yang ditimbulkan di satu jam pertama ini tak benar-benar bertahan hingga ujung durasi. Memang di separuh akhir masih ada sekelumit rasa manis dari benih-benih asmara antara Tania dengan Pierre atau terenyuh melihat kepedulian Ananta yang amat besar pada Tania, tapi upaya untuk menghadirkan kejutan yang membawa film ke ranah melodrama pada klimaks justru menurunkan greget. Andai si pembuat film (dan Risa sebagai pemilik materi sumber) tidak menjerumuskan Ananta pada tangis-tangisan klasik – plus misi Ananta tidak dipaksakan melibatkan perasaan – maka bukan tidak mungkin momen ‘perpisahan dan pertemuan’ di ujung film akan terasa lebih menohok. Andai ya…


Exceeds Expectations (3,5/5)

REVIEW : TERBANG MENEMBUS LANGIT


“Beranikan hati. Raihlah kebebasan kau. Terbang, terbang setinggi-tingginya.” 

Bagi sebagian masyarakat Indonesia, nama Onggy Hianata memang tidak terdengar familiar. Membutuhkan jasa teknologi canggih yang disebut Google untuk mengetahui latar belakang dan profesi dari pemilik nama tersebut. Dari hasil berselancar ke dunia maya – mengunjungi satu demi satu web dan blog yang membahas tentang Onggy – saya memperoleh satu kesimpulan bahwa Onggy merupakan seorang motivator keturunan Tionghoa asal Tarakan, Kalimantan Utara, yang menyebarkan pengalamannya selama merintis karir sebagai pebisnis melalui program bernama Value Your Life: A Life Changing Bootcamp. Beliau telah melanglang buana (ruang lingkupnya telah berada di taraf internasional) demi memotivasi para pebisnis pemula agar mereka mendapatkan kepercayaan diri dan keberanian dalam membangun kerajaan bisnis. Yaaaa kurang lebih seperti Merry Riana atau Mario Teguh lah. Kepenasaran saya untuk mengetahui sosoknya dilandasi oleh keputusan Demi Istri Production menitahkan Fajar Nugros (Moammar Emka’s Jakarta Undercover, 7/24) untuk menggarap film bertajuk Terbang: Menembus Langit yang guliran penceritaannya didasarkan pada kisah hidup Onggy Hianata. Saya dibuat bertanya-tanya, “apa sih yang begitu istimewa dari kehidupan sang motivator sampai-sampai dirasa perlu untuk diangkat ke dalam format film layar lebar?.” 

Well, jalan hidup Onggy Hianata (Dion Wiyoko) yang penuh lika-liku harus diakui merupakan sebuah materi yang seksi untuk difilmkan. Seorang pebisnis sukses yang memulai karirnya dari nol. Dia berasal dari sebuah keluarga keturunan Tionghoa yang miskin di Tarakan, memiliki delapan saudara, dan nyaris tidak dapat mengenyam bangku pendidikan karena kedua orang tuanya terhimpit secara finansial. Sang ayah (Chew Kin Wah) hanyalah pekerja di toko kelontong, sementara ibunya (Aline Adita) mengurus rumah tangga. Selepas meninggalnya sang ayah, kedua kakak Onggy (Baim Wong dan Delon Thamrin) yang bertugas dalam menafkahi keluarga. Onggy sendiri memilih untuk menyelamatkan dirinya dan keluarganya dari jurang kemiskinan dengan cara mencari peruntungan di perantauan. Bermodal nekat, Onggy pun meninggalkan kampung halamannya dan bertolak menuju Surabaya – suatu kota yang sering dijadikan sebagai destinasi andalan oleh para perantau di kotanya. Tanpa uang saku dari kedua kakaknya, Onggy membiayai kuliah sekaligus menyambung hidup dengan menjadi distributor apel ke toko buah, menjual jagung bakar, memproduksi kerupuk, sampai akhirnya bekerja sebagai pegawai di pabrik pembuatan benang. Penghasilan tetap yang diperolehnya di pabrik ini nyatanya tak lantas membuat Onggy bahagia karena dia menyadari bahwa menjadi budak korporat bukanlah mimpinya. Dia ingin memperoleh kebebasan penghasilan dari usaha yang dibangunnya sendiri, bukan bergantung dari usaha yang dibangun oleh orang lain.


Menyoroti sepak terjang Onggy dalam mengentaskan dirinya, keluarganya di Tarakan, dan keluarga kecil yang baru dibinanya bersama sang istri, Candra (Laura Basuki), dari penderitaan hidup yang disebabkan kemiskinan, bahan obrolan yang disodorkan Terbang: Menembus Langit berkisar pada keberanian dalam menggapai mimpi, kekuatan tekad, serta kerja keras. Ini adalah modal utama yang dibutuhkan untuk mengkreasi sebuah film biopik yang inspiratif. Entah kalian suka atau tidak dengan pilihan kata ‘inspiratif’ yang kerap digunakan secara sembrono oleh sineas-sineas Indonesia demi jualan film asal bikin, kata ini nyatanya terasa tepat untuk mendeskripsikan seperti apa Terbang: Menembus Langit. Sebuah film yang akan menggugah semangatmu saat melangkahkan kaki ke luar bioskop untuk memperbaiki kualitas diri sekaligus mengoreksi etos kerja demi mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Penceritaannya memang tidak selalu mulus, seperti kehidupan subjeknya. Problematika paling mencolok kentara terasa kala menjelang klimaks yang cenderung tergesa seolah-olah ingin cepat tuntas sampai lupa menjabarkan satu pekerjaan baru yang dikejar-kejar oleh Onggy termasuk bagaimana sistem penggajiannya (karena ada kalanya dia tampak tak menerima hasil apapun) dan meminggirkan subplot terkait kerusuhan Mei 1998 yang sejatinya memiliki potensi dramatik menarik saat dikulik (semacam, apa impak peristiwa ini pada Onggy dan keluarganya?) terlebih film pun sejatinya ingin berceloteh soal kebhinekaan Indonesia. 

Andai Terbang: Menembus Langit berkenan memperpanjang durasinya, lalu mengupas ini lebih tuntas, memperlihatkan bagaimana Onggy sebagai keturunan Tionghoa dapat bertahan di masa orde baru yang sarat diskriminasi, dan memberi kita gambaran lebih utuh mengenai pekerjaan yang membawa Onggy pada masa kejayaannya, film bisa jadi akan tersaji lebih menggigit. Bahkan dengan adanya ganjalan di penghujung pun, Terbang: Menembus Langit masih mampu terhidang sebagai film biopik yang cukup memuaskan berkat kombinasi serba apik dari pengarahan Fajar Nugros, elemen teknis yang menyokongnya, serta performa jajaran pelakonnya. Di sini, kamu akan mendapati nuansa pekat dari era 80-90’an yang dipancarkan melalui pilihan busana, tata rias, sampai artistik, dan atraksi akting mengagumkan yang menggerakkan film. Dion Wiyoko sebagai Onggy yang dikenal gigih dalam memperjuangkan keinginannya adalah pilihan yang tepat karena dia sanggup membawa kita melewati berbagai fase emosi; kita kecewa dan terpuruk bersamanya, kemudian kita yakin dan bersorak kepadanya. Keinginan kita pun sejalan dengannya, yakni melihat Onggy mencicipi manisnya buah kerja keras. Beruntung bagi Dion, dia mempunyai lawan main yang mumpuni seperti Chew Kin Wah bersama Aline Adita sebagai orang tuanya yang menyuplai sisi haru berikut rasa hangat, lalu kuartet penghuni kos-kosan (Dayu Wijanto, Indra Jegel, Mamat Alkatiri, Fajar Nugra) yang memberi sejumput gelak tawa mengasyikkan pada film, dan Laura Basuki yang merupakan bintang sesungguhnya dari film ini.


Laura bertransformasi dengan amat meyakinkan sebagai Candra – lengkap dengan aksen Cina Suroboyoannya – yang menyediakan harapan hidup bagi Onggy. Sesosok perempuan kuat yang senantiasa memberi dorongan untuk suaminya sekalipun keputusan Onggy yang berani (kalau tak mau disebut nekat) seringkali menempatkan mereka pada posisi sulit. Adegan yang berlangsung di kontrakan, seperti saat Candra meluapkan kekecewaannya yang begitu mendalam atas pilihan suaminya atau ketika kandungannya bermasalah atau kala Rich (putra mereka yang masih bayi) merengek kepanasan, menunjukkan range emosi seorang Laura yang luas. Apakah ini akting terbaik sepanjang karirnya? Dapat dikatakan demikian. Chemistry yang dirajutnya bersama Dion pun tak kalah apiknya. Membuat kita cukup bisa memaafkan pergerakan kisah yang tergesa di paruh akhir (sungguh ini sayang sekali), membuat kita bersedia mendengarkan kisah hidup Pak Onggy beserta Bu Candra, membuat kita rela dihanyutkan ke dalam kisah mereka yang terkadang hangat terkadang lucu terkadang pilu, membuat kita berharap mereka berhasil menggapai mimpi mereka, dan pada akhirnya membuat kita terinspirasi untuk mencetak kisah sukses yang serupa. Performa Dion-Laura yang mempunyai emosi sedemikian kuat jelas berkontribusi banyak terhadap Terbang: Menembus Langit sehingga film dapat terbang cukup tinggi meninggalkan film-film sejenis seperti Menebus Impian (2010) atau Merry Riana: Mimpi Sejuta Dolar (2014) misalnya.

Exceeds Expectations (3,5/5)

REVIEW : REUNI Z


“Halo, ini kita lagi di reuni. Tiba-tiba temen-temen kita pada mati semuanya. Minta tolong kirimkan pasukan kemari, Pak.” 

“Ndak mau diselesaikan secara kekeluargaan? Kita orang Indonesia, menjunjung tinggi musyawarah untuk mufakat.” 

“Nggak bakal sampai mufakat, Pak. Yang ada, musyawarah sampai akhirat.” 

(Ulasan ini mungkin mengandung spoiler) 

Sosok peneror dalam film seram berwujud mayat hidup yang berjalan gontai dan gemar memangsa manusia yang dikenal sebagai zombie, dapat dikatakan kalah pamor (sangat jauh) dibandingkan pocong, sundel bolong, atau kuntilanak di perfilman Indonesia. Bisa jadi, ini disebabkan oleh statusnya sebagai memedi impor sehingga masyarakat kurang memiliki ikatan kuat dengan mereka sehingga menjadikannya kurang menyeramkan. Alhasil tidak banyak film buatan dalam negeri yang mempergunakan jasa zombie untuk menakut-nakuti khalayak ramai. Beberapa yang terlintas di kepala hanyalah Pengabdi Setan (1980, 2017), segmen ‘The Rescue’ dalam Takut: Faces of Fear (2008), Kampung Zombie (2015), serta 5 Cowok Jagoan (2017), yang sebagian besar diantaranya memperoleh resepsi tak menggembirakan dari penonton film Indonesia. Meski pasar kurang memberi sambutan positif, duo Soleh Solihun dan Monty Tiwa (Mau Jadi Apa?), nekat menempatkan zombie di posisi peneror utama dalam film terbaru mereka yang mengambil jalur komedi horor, Reuni Z. Di sini, para zombie mendadak berkeliaran di satu gedung sekolah saat sebuah reuni tengah berlangsung. Pemicunya, beberapa pengisi acara yang tanpa sengaja terkontaminasi virus misterius selepas mereka makan bakso di pinggir sekolah. 

Sebelum film menenggelamkan diri sepenuhnya pada teror mayat hidup, film mengajak penonton untuk melongok sejenak ke masa lalu beberapa karakter sentral lalu menengok bagaimana kehidupan mereka saat ini. Dalam kilas balik, kita mengetahui bahwa persahabatan Juhana (Soleh Solihun) dan Jeffri (Tora Sudiro) merenggang usai performa band mereka di pensi sekolah berakhir buruk. Juhana lantas berkarir di dunia hiburan sebagai bintang iklan dan pemain film kelas ecek-ecek, sementara Jeffri yang kini menikahi rekan bandnya, Lulu (Ayushita Nugraha), menjalani rutinitas sebagai pria kantoran seraya sesekali mengunggah permainan gitarnya di Youtube. Dua sahabat yang tak lagi saling bicara ini lantas dipertemukan kembali dua puluh tahun kemudian dalam reuni SMA Zenith angkatan 1997. Mereka, termasuk Lulu, bertemu pula dengan Marina (Dinda Kanyadewi) yang tak dikenali oleh siapapun, Raina (Fanny Fabriana) yang kini menjadi EO kondang, serta Jody (Surya Saputra) yang tak pernah berhenti merundung kawan-kawannya yang lemah. Reuni yang diwarnai segala kecanggungan ini perlahan tapi pasti berubah menyeramkan setelah sejumlah cheerleader yang mengisi acara menjelma sebagai zombie dan memangsa peserta reuni satu demi satu.


Materi cerita yang diusung oleh Reuni Z harus diakui tergolong menggelitik rasa penasaran. Memanfaatkan acara reunian yang acapkali dipenuhi basa-basi belaka (dan kepalsuan) sebagai latar utama untuk melepas serangan zombie. Dari sini lantas muncul satu pertanyaan, “akankah manusia-manusia yang sudah tidak lagi berinteraksi secara intensif selama sekian tahun akan saling bahu membahu untuk menyelamatkan diri atau justru mementingkan keselamatan masing-masing?.” Menarik sekali, bukan? Disamping melontarkan materi yang jarang dikupas dalam film produksi Indonesia, Reuni Z turut menghadirkan pemain ansambel menjanjikan seperti Tora Sudiro, Soleh Solihun, Ayushita Nugraha, Dinda Kanyadewi, Surya Saputra, Fanny Fabriana, Cassandra Lee, Kenny Austin serta pasangan bapak-anak Henky Solaiman dan Verdi Solaiman, yang kian meningkatkan daya jualnya. Membuat Reuni Z terlihat seperti film yang patut dimasukkan ke daftar tontonan wajib. Menetapkan ekspektasi bagus kala melangkahkan kaki ke bioskop, nyatanya lagi-lagi membawa saya pada kekecewaan besar begitu keluar dari gedung bioskop. Reuni Z berakhir sebagai sajian yang serba tanggung. Sebagai film komedi, dia kurang mampu menghadirkan gelak tawa. Sebagai film horor, dia kurang berhasil memberikan daya cekam yang sanggup membuat penonton meringkuk di kursi bioskop. 

Tidak terhitung berapa banyaknya lontaran humor yang meleset dalam Reuni Z. Ketimbang tergelak-gelak, saya justru berulang kali dibuat mencari-cari letak kelucuannya. Garing euy! Dari seabrek pelakon yang dikerahkan, satu-satunya yang cukup berhasil membawa keriuhan di gedung bioskop secara konsisten hanyalah Dinda Kanyadewi sebagai si perempuan misterius. Memiliki comic timing yang bagus (seperti ditunjukkannya dalam Hangout dimana dia juga menyelamatkan film), celetukan dan tingkah lakunya yang ajaib mampu mengundang tawa renyah – bahkan cara dia mengucapkan “Marinaaa…” masih terngiang sampai sekarang. Tanpa kehadirannya, bisa jadi tawa akan semakin jarang terdengar dalam Reuni Z. Elemen horor yang dijadikan tumpuan selepas elemen komedi yang anyep pun tidak berjalan secara semestinya. Ada satu dua momen yang membuat diri ini berdebar-debar, seperti saat serangan pertama kali terjadi, tapi secara keseluruhan film terasa melelahkan buat disimak. Pemicunya, aturan main dalam menjadi atau membunuh zombie yang sama sekali tak jelas sehingga meminimalisir pertaruhan. Meminimalisir ketegangan.  Ada yang tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan bagi seseorang untuk menjelma menjadi zombie? Karena Reuni Z tidak pernah memaparkannya secara konsisten (terkadang sekejap, terkadang butuh waktu beberapa menit). Lalu bagaimana bisa merasakan ketegangan saat zombie bisa dibunuh atau dikelabui dengan cara apapun? Bayangkan, kamu tak perlu repot-repot mencari benda tajam atau meminta bala bantuan dari polisi karena sebetulnya kentut sudah lebih dari cukup untuk membuat para zombie menjauh.


Jika demikian, kenapa berita membahagiakan ini tidak segera disebarkan kepada para penyintas? Memangnya bau kentut memiliki tingkatan yang berbeda-beda ya sehingga hanya orang tertentu yang bisa mengeluarkan bau tak tertahankan? Jika tidak, seharusnya para penyintas ini tidak perlu repot-repot menjangkau aula demi memainkan musik rock untuk membunuh para zombie yang pada akhirnya mengorbankan beberapa karakter inti, dong? Tinggal kentut bareng lalu sisanya memberi perlawanan menggunakan pecahan gelas, kelar perkara. Lagipula misi utama mereka hanya untuk meninggalkan sekolah bukan memusnahkan zombie, to? Disinilah saya merasa pusing. Andai sedari awal Reuni Z telah menetapkan satu solusi untuk membasmi zombie, daya cekam itu mungkin masih ada (sekalipun keputusan untuk mengubah beberapa karakter inti menjadi zombie lalu menghempaskan mereka begitu saja juga membuat garuk-garuk kepala). Sayangnya, naskah yang juga kekurangan materi humor lucu ini terlampau sering mengambil jalan pintas demi mengurai masalah yang berdampak pula pada terurainya ketertarikan untuk mengikuti film. Padahal, Reuni Z telah mengajukan materi menarik dan bersedia memberi backstory mencukupi yang membuat satu dua karakter layak diberi dukungan. Sungguh disayangkan.

Acceptable (2,5/5)

REVIEW : JELITA SEJUBA


“Ternyata berat menjadi seorang istri. Apalagi menjadi istri seorang tentara.” 

Kehidupan perwira dengan segala suka dukanya, termasuk saat menjalin asmara, sejatinya bukan bahan kupasan baru dalam film Indonesia. Setidaknya dalam beberapa tahun terakhir, kita bisa menengoknya melalui Merah Putih (2009), Doea Tanda Cinta (2015), serta I Leave My Heart in Lebanon (2016). Hanya saja, mengingat film-film tersebut mengambil sudut pandang penceritaan dari perwira, tak ayal ada satu yang absen dan tidak pernah tergali mendalam. Kehidupan para perempuan yang mendampingi mereka. Para perempuan memang memiliki peranan di film-film ini, tapi sebatas sebagai karakter sekunder dengan karakteristik satu dimensi yang tugasnya hanyalah memotivasi si karakter utama. Tidak pernah lebih dari itu. Padahal ada satu pertanyaan menarik yang sempat beberapa kali terbersit di benak, “bagaimana cara perempuan-perempuan ini menjalani hari demi hari yang dipenuhi dengan penantian tanpa kepastian?.” Ray Nayoan yang sebelumnya lebih aktif di pembuatan film pendek, agaknya menyadari posisi mereka yang cenderung terpinggirkan dalam film Indonesia. Melalui film panjang pertamanya bertajuk Jelita Sejuba yang mengambil latar di Natuna, Kepulauan Riau, Ray bercerita mempergunakan perspektif seorang istri perwira. 

Istri perwira yang dimaksud dalam Jelita Sejuba adalah Sharifah (Putri Marino). Putri sulung dari seorang nelayan (Yayu Unru) dan pemilik warung (Nena Rosier) ini menjalankan bisnis warung makan kecil-kecilan bersama dengan kawan-kawan baiknya yang dinamai Jelita Sejuba. Di warung makan inilah Sharifah berjumpa untuk pertama kalinya dengan Kapten Jaka (Wafda Saifan Lubis) yang sedang ditugaskan oleh batalionnya di Natuna. Telah ada saling pandang dan saling lirik diantara keduanya, tapi belum muncul keberanian untuk mengutarakan isi hati. Apakah ini sebatas kekaguman atau memang ada rasa bernama cinta? Selepas pertemuan pertama tersebut, Jaka dan Sharifah kembali bertemu – baik sengaja maupun tidak – beberapa kali yang sedikit demi sedikit menebalkan rasa diantara mereka. Belum sempat mereka saling menyatakan rasa, Jaka dipindah tugas ke tempat lain. Dalam penantian tersebut, Sharifah mulai menyadari bahwa cintanya memang hanya untuk Jaka. Maka begitu Jaka menjejakkan kaki lagi di Natuna dan mengajaknya untuk menikah, senyum bahagia mengembang di bibirnya. Yang tidak disadari oleh Sharifah kala itu, bukan perkara mudah menjadi istri seorang tentara. Sharifah kerap mengalami fase ditinggal pergi sang suami untuk bertugas selama berbulan-bulan lamanya tanpa pernah ada kepastian kapan dia bisa kembali ke rumah. Tanpa pernah ada kepastian apakah dia bisa kembali ke rumah dengan selamat atau tidak.


Berpatokan pada sinopsis di atas, mudah untuk menyebut Jelita Sejuba memiliki plot yang amat generik. Ya mau bagaimana, pola penceritaannya masih tidak jauh-jauh dari pertemuan seorang perwira yang kaku dengan seorang perempuan desa yang lugu, lalu benih-benih asmara menyeruak hadir ditengah-tengah keduanya, dan mereka pun memutuskan untuk menikah. Jika ini ditangani secara serampangan, kemungkinan besar film akan berakhir sebagai melodrama murahan yang lebih cocok disimak di layar beling. Tapi sensitivitas Ray Nayoan dalam mengarahkan ditunjang oleh skrip renyah garapan Jujur Prananto, elemen-elemen teknis seperti skoring musik beserta sinematografi yang baik sekali, dan performa mengesankan dari jajaran pelakonnya, sanggup membuat Jelita Sejuba berada di kelas yang berbeda. Bahasa kerennya sih, classy. Pilihan Ray untuk melantunkan Jelita Sejuba dengan nada penceritaan cenderung ringan nan jenaka alih-alih penuh ratapan sekalipun Sharifah kerap berjuang seorang diri dalam mengurus rumah tangga terbilang tepat guna. Bahkan, dia mengaplikasikan cara penuturan yang bergaya sekaligus unik (paling menonjol dalam adegan Sharifah-Jaka mengajukan berkas untuk pernikahan. Serius, ini ketje!) sehingga masa-masa berseminya cinta antara dua karakter utama yang sejatinya minim letupan konflik terasa sangat nyaman buat diikuti. Penonton berulang kali dibuat tergelak-gelak oleh tingkah polah para karakter di film, dan sempat pula dibuat menyerukan ‘awww’ berjamaah ketika Jelita Sejuba mencapai titik termanisnya: Jaka melamar Sharifah menggunakan teropong. 

Ini tidak mungkin bisa dicapai apabila penonton sedari awal mengalami kesulitan untuk menginvestasikan emosi kepada film. Naskah ramuan Jujur Prananto memungkinkan kita untuk terhubung pada Sharifah-Jaka. Dia memberi latar belakang mencukupi untuk Sharifah dan Jaka, merepresentasikan mereka sebagai karakter yang mudah kita jumpai di kehidupan sehari-hari, dan menghadirkan dialog-dialog yang mengalir secara natural. Selain itu, performa mengesankan dari Putri Marino beserta Wafda Saifan Lubis pun membantu. Wafda adalah sesosok pria bentukan militer yang kaku, sementara Putri adalah perempuan desa yang polos. Tampak cerah ceria di paruh pertama, Putri berubah menjadi sosok yang lebih kalem di paruh selanjutnya tatkala beban hidupnya menggelembung. Kita bisa mendeteksi adanya tekanan karena kesepian, ketidakpastian, serta himpitan ekonomi. Melalui atraksi akting yang diperagakannya dalam Jelita Sejuba, kita bisa pula merasakan perkembangan akting Putri yang cukup signifikan terlebih nyawa film bergantung penuh kepadanya (dia berhasil, film berhasil. Dia gagal, film gagal). Beruntung, Putri mempunyai rekanan akting yang tidak kalah mengesankannya seperti Wafda, Yayu Unru, Nena Rosier, sampai Aldy Maldini sebagai adiknya yang bengal sehingga amat membantunya menghidupkan sosok Sharifah. Alhasil, selama menonton Jelita Sejuba kita pun ikut tertawa, tersipu, sekaligus terharu.

Exceeds Expectations (3,5/5)


REVIEW : PARTIKELIR


“Kita kan detektif partikelir sejak SMA. Kasus ini yang akan membuat kita menjadi detektif partikelir beneran.” 

Komika ngocol di atas panggung yang disiarkan oleh stasiun televisi nasional jelas sudah biasa. Berakting di film layar lebar pun sudah biasa. Tapi mengarahkan sebuah film layar lebar? Ini baru sesuatu yang tidak biasa (meski sebentar lagi akan menjadi sesuatu yang umum). Tren menjajal karir di bidang penyutradaraan dari kalangan komika pertama kali dimulai dari Raditya Dika yang mencoba peruntungannya di Marmut Merah Jambu (2014). Setelahnya, berturut-turut menyusul Kemal Palevi melalui Youtubers (2015), Ernest Prakasa dalam Ngenest (2015), sampai paling segar di ingatan yakni Soleh Solihun lewat Mau Jadi Apa? (2017). Rata-rata memperoleh resepsi memuaskan dari khalayak ramai sehingga tidak mengherankan jika kemudian produser memberi kepercayaan kepada para komika ini untuk mengkreasi sendiri film-film mereka. Salah satu komika yang juga mendapat kepercayaan untuk mencicipi kursi penyutradaraan adalah Pandji Pragiwaksono yang menjajal genre komedi laga dengan elemen ‘buddy cop film’ dalam debut pengarahannya yang bertajuk Partikelir. Sebuah pilihan yang harus diakui (terlalu) berani mengingat rekan-rekannya sesama komika lebih memilih jalur aman di film perdana garapan mereka; menyoal perjalanan hidup atau ranah yang mereka pahami betul. Tidak ada yang salah dengan pilihan ini. Hanya saja, sebagai sebuah karya perkenalan, Partikelir terasa kelewat ambisius. Idenya menarik, potensinya ada, akan tetapi sayang beribu sayang kurang berhasil dihantarkan dengan baik. 

Melalui Partikelir, penonton diperkenalkan kepada seorang detektif swasta bernama Adri (Pandji Pragiwaksono) yang kerap menangani kasus tidak jauh-jauh dari urusan perselingkuhan. Karirnya bisa dibilang jalan di tempat sampai kemudian dia mendapat kesempatan emas dari klien barunya, Tiara (Aurelie Moeremans), yang meminta Adri untuk menyelidiki gerak gerik ayahnya yang mencurigakan. Kasus ini memang tampak sepele saja di permukaan. Namun setelah Adri mendengar adanya suara tembakan dan kata ‘rantau’ kala tengah mencuri dengar perdebatan ayah Tiara dengan seorang misterius, Adri menyadari bahwa ayah Tiara terlibat dalam suatu persoalan besar yang berbahaya. Suatu persoalan yang bisa diselesaikan lebih mudah jika menggunakan lebih dari satu otak. Maka dari itu, Adri pun mengajak serta Jaka (Deva Mahenra), sahabat baiknya semasa SMA, yang dulunya bermimpi menjadi detektif tapi belakangan memilih berprofesi sebagai pengacara. Mulanya sih Jaka menampik ajakan Adri, tapi hati kecilnya berkata lain sehingga dia memutuskan untuk bergabung dengan Adri. Hasil kerja keras mereka berdua dalam mengorek informasi dari beberapa sumber menghadapkan mereka pada fakta bahwa rantau adalah narkoba jenis baru yang sedang naik daun di kalangan pesohor tanah air. Dibantu oleh detektif gadungan, Geri (Ardit Erwandha), beserta kawan-kawan lama Adri-Jaka, penyelidikan lebih jauh mengenai rantau dan keberadaan ayah Tiara pun dilakukan yang tanpa disadari ternyata turut mengancam keselamatan mereka.


Partikelir mesti diakui mempunyai gagasan menarik yang berpotensi besar untuk diterjemahkan menjadi tontonan mengasyikkan apabila memperoleh penanganan yang tepat. Film ini bisa menjadi Bad Boys (1995), Hot Fuzz (2007), atau 21 Jump Street (2011) dengan kearifan lokal – meski saya sudah puas jika film ini berada di kelas yang sama dengan buddy cop film asal Malaysia, Polis Evo (2015). Akan tetapi, Pandji Pragiwaksono nyatanya justru kelimpungan dalam menyatukan tiga komponen krusial yang wajib dimiliki film jenis ini, yakni komedi, laga, dan chemistry kuat duo pelakon utama. Dari ketiga komponen tersebut, satu-satunya yang masih bisa dikatakan berjalan dengan baik adalah komedi. Menilik latar belakang Pandji yang berkecimpung di dunia stand up comedy, ini tentu bukan sesuatu yang mengherankan. Partikelir memang wajib hukumnya mampu membuat penonton tergelak-gelak di dalam bioskop selama durasi mengalun. Bagaimanapun juga, film ini pada dasarnya berada di teritori komedi, to? Jika tidak ada tawa menggema sama sekali, maka jelas Partikelir tergolong gagal total. Jika ada sedikit tawa, maka yaaaa, bolehlah agak dimaafkan. Partikelir, untungnya, berada di kategori kedua. Mengandalkan materi lawakan receh (seperti lulur tai, puting menyala, sampai perdebatan soal makanan), Pandji masih bisa melontarkan beberapa guyonan dengan cukup baik sehingga mampu mengundang derai tawa sekalipun hanya sesekali saja terdengarnya dan sisanya acapkali meleset dari sasaran lalu menyisakan kegaringan yang nyata nan manja. 

Sementara itu, komponen krusial lainnya, laga dan chemistry dua pelakon utama, nyaris tak terdeteksi detaknya dalam Partikelir. Total jendral, Partikelir hanya memiliki adegan laga sepanjang tidak lebih dari 20 menit atau memenuhi seperlima durasi saja. Itupun baru disodorkan di menit-menit terakhir dan dikemas dengan level ketegangan yang cukup minim. Tak memunculkan perasaan harap-harap cemas maupun menggelorakan semangat. Seolah-olah keberadaannya hanya untuk memenuhi persyaratan sebagai buddy cop film. Nasib yang tidak lebih baik dialami oleh jajaran pemainnya yang dipenuhi dengan nama-nama menjanjikan seperti Deva Mahenra, Lala Karmela, Ardit Erwandha, Cornelio Sunny, Dodit Mulyanto, Cok Simbara, Gading Marten, Tio Pakusadewo, Bisma Karisma, Epy Kusnandar, sampai Luna Maya, yang sebagian besar diantaranya tersia-siakan. Gading sih masih mujur, mencuri perhatian di satu adegan paling kocak dalam film. Namun pemain lainnya, seandainya mereka diganti oleh pemain lain pun tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pergerakan kisah. Yang juga sangat disayangkan, Deva yang beberapa kali mengundang tawa melalui celetukan polosnya kala bermain solo malah terasa anyep begitu disandingkan dengan Pandji. Naskah kurang memberi kesempatan bagi Adri-Jaka untuk bekerja sama, kurang dibumbui gesekan-gesekan yang mempertegas karakter, atau sebatas interaksi seru. Alhasil, tidak muncul percikan-percikan persahabatan diantara keduanya yang bisa membuat penonton bersorak-sorai kepada mereka ketika bersatu padu. Jaka malah lebih sering terlihat seperti asisten Adri ketimbang rekanannya.

Acceptable (2,5/5)


REVIEW : ARINI


“Kenapa kamu selalu optimis, Nick?” 

“Karena kamu selalu pesimis. Dan karena itu pula Tuhan menciptakanku untuk mendampingimu.” 

Ada banyak alasan mengapa seseorang memiliki ketertarikan untuk menyaksikan rilisan terbaru dari MAX Pictures, Arini. Bisa jadi dia memang menyukai film-film percintaan yang membuat baper. Bisa jadi dia penasaran karena strategi promosinya amat gencar apalagi trailernya memang bagus. Bisa jadi dia ingin melihat garapan terbaru dari seorang Ismail Basbeth selepas dibuat terkesima oleh Mencari Hilal (2015), salah satunya seperti saya. Bisa jadi dia adalah penggemar sejati dari duo pemain utama, Aura Kasih-Morgan Oey. Bisa jadi dia terpikat oleh premis ceritanya yang terbilang tidak umum untuk ukuran film romansa tanah air terkait hubungan asmara dua sejoli yang memiliki perbedaan umur cukup jauh. Dan bisa jadi pula, dia adalah generasi lawas yang ingin menyaksikan interpretasi baru dari novel rekaan Mira W bertajuk Masih Ada Kereta yang Akan Lewat yang sebelumnya telah diadaptasi ke format film layar lebar di tahun 1987 dengan bintang Widyawati dan Rano Karno. Ya, Arini memang memiliki banyak sekali alasan untuk menarik perhatian seseorang sehingga saat digoreskan di atas kertas membuatnya tampak seperti tontonan percintaan yang menjanjikan… sampai kamu melihat sendiri hasil akhirnya yang penuh dengan masalah. Alhasil, materi bagus dan tim dengan jejak rekam tidak main-main yang diusungnya pun tersia-siakan begitu saja. 

Duo sejoli yang dimabuk asmara dalam Arini adalah Arini (Aura Kasih) dan Nick (Morgan Oey) yang bertemu untuk pertama kalinya dalam sebuah perjalanan menggunakan kereta api di Jerman. Nick yang tidak membawa tiket mencari celah agar tidak bermasalah dengan kondektur dan melihat Arini sebagai dewi penyelamat. Lebih dari itu, Nick yang masih menimba ilmu di London sebagai mahasiswa, jatuh hati pada pandangan pertama dengan Arini yang usianya 15 tahun diatasnya. Berbagai topik obrolan dilontarkan demi menarik minat Arini yang senantiasa menanggapi setiap celotehan Nick secara dingin. Dari pertemuan perdana yang janggal tersebut, berharap bisa melihat dua manusia ini bersatu memang tampak mustahil. Terlebih, Arini menyimpan luka lama akibat dikhianati oleh mantan suaminya, Helmi (Haydar Saliz), dan sahabatnya, Ira (Olga Lydia), sehingga dia tidak lagi mempercayai apa yang disebut dengan ‘cinta’. Meski kerap mendapat penolakan dari Arini yang ketusnya bukan main ini, Nick tidak menyerah begitu saja. Segala upaya dia kerahkan agar hati perempuan pujaannya ini luluh termasuk mendatangi apartemennya, mengajaknya jalan-jalan, mengobrol panjang lebar (lebih tepatnya menggombal sih), sampai menghadapi langsung Helmi yang tiba-tiba kembali masuk ke dalam kehidupan Arini setelah sebuah rahasia besar terbongkar.


Menengok siapa-siapa yang berkontribusi terhadap Arini – berkaca pula pada materi sumber dan versi lawasnya yang disambut amat antusias baik oleh penonton maupun pengamat film – sudah barang tentu ada antusiasme tersendiri kala hendak menonton film ini. Terlebih, saya memang ‘kecanduan’ film romansa dan menggemari karya-karya Ismail Basbeth (termasuk film pendek buatannya). Akan tetapi, segala rasa bungah yang menyelimuti diri kala melangkahkan kaki ke dalam bioskop seketika rontok serontok-rontoknya hanya beberapa menit usai film memulai guliran pengisahannya. Cara si pembuat film mempertemukan kita dengan Arini dan Nick terasa janggal yang seketika menimbulkan pertanyaan, “kok si kondektur tidak mengecek toilet tempat Nick bersembunyi ya? Dan kenapa Nick mesti minta tolong ke Arini dengan menitipkan tas dan sebagainya jika pada akhirnya Arini juga tidak membantu apapun?”. Jangan harap pertanyaan ini akan terjawab dan jangan harap pula akan mendapat penjelasan memuaskan soal siapa mereka berdua karena film melaju secara tergesa-gesa. Apa benar saya sedang menonton Arini? Ini bukan remake dari Speed yang dulu dibintangi oleh Keanu Reeves dan Sandra Bullock kan? Oke, membandingkan Arini dengan Speed memang sangat berlebihan. Tapi mau bagaimana lagi, laju pengisahan dua film ini sama-sama ngebut. Wusss, wusss, wusss. Menonton Arini bak tengah menyaksikan film bergenre laga yang mengajak penonton melompat-lompat dari satu sekuens laga ke sekuens laga yang lain tanpa benar-benar memperhatikan perkembangan karakter. 

Belum sempat kita memahami sosok Arini, belum sempat kita memahami sosok Nick, kita ujug-ujug sudah diseret menuju sekuens rayu-rayuan atau marah-marahan yang lain tanpa ada kesinambungan berarti. Itulah mengapa ngikik dan “lha kok?” menjadi semacam reaksi langganan lantaran film sesak dengan adegan yang tidak sedikit diantaranya ‘kehilangan garis penyambung’ atau dieksekusi terlampau konyol (adegan telepon bocor. Ehem!) sampai-sampai sulit menganggapnya serius. Bahkan, hingga Arini mencapai penghujung durasi, saya masih belum kunjung mendapat jawaban atas pertanyaan, “apa sih yang membuat Nick sebegitu kesengsemnya dengan Arini?.” Arini memang paripurna dari segi fisik, tapi masa iya sih motivasi Nick untuk mendapatkan perempuan pujaannya ini (dia nguebet banget lho!) sedangkal itu? Jika ya, berarti keinginannya lebih didorong oleh hasrat semata dong? Saya kemudian benar-benar meyakininya setelah mereka berdua bertengkar hebat karena Arini menolak untuk diajak tidur bersama. Disamping naskah tipis dan penceritaan tergesa dari Ismail Basbeth yang membatasi pergerakan karakter, performa Aura Kasih yang cenderung datar juga tidak membantu sama sekali. Di tangannya, sosok Arini hanya terlihat seperti perempuan judes yang cemberut melulu, sangat menyebalkan dan sulit diberi simpati. Tidak pernah menunjukkan kompleksitas sedikitpun yang kemudian membuat kita mafhum atas tindakan-tindakannya. Morgan Oey yang tampil enerjik sebagai si berondong kasmaran sedikit banyak membantu menyelamatkan film, meski sebetulnya dia turut menjadi korban naskah. 

Ketiadaan motivasi yang jelas membuat Nick kadangkala lebih menyerupai seorang penguntit yang menyeramkan ketimbang pemuda yang charming. Bayangkan, dia ada dimanapun Arini berada (sekalipun telah ditolak!) termasuk menyelinap ke rumah pujaan hatinya tersebut yang berada di belahan dunia berbeda setelah sebelumnya mereka bertengkar hebat (yang kemudian diselesaikan begitu saja). Ini masih belum ditambah fakta bahwa dia selalu bisa menemukan keberadaan Arini tanpa menjumpai kesulitan berarti. Seram banget, nggak sih? Mempunyai dua karakter utama yang ajaib – masih ada pula karakter pendukung yang lagi-lagi jika diperhatikan akan mengundang kerutan lain di jidat – belum apa-apa telah menciptakan jarak antara penonton dengan film. Bisakah kita dibuat jatuh hati dengan dua karakter yang judesnya amit-amit (serius malah jadi pengen getok!) dan menyerupai seorang psikopat? Apabila didukung oleh performa berkelas dengan chemistry ciamik dan naskah yang tergarap baik, bisa saja. Tapi masalahnya di sini, ‘judes’ dan ‘psikopat’ itu sendiri muncul karena suatu kesalahan, bukan semata-mata diniatkan demikian. Sosok Arini dan Nick menjadi seperti itu akibat naskah yang tidak memberi latar belakang dan motivasi memadai. Tidak terlalu jelas, kalau tak mau disebut buram, penggambaran kedua karakter ini lebih-lebih Nick yang tidak pernah dijlentrehkan seperti apa kehidupan pribadinya sehingga dia bisa terobsesi kepada Arini. Yang lebih disayangkan lagi, Aura Kasih dan Morgan Oey pun tidak mampu menghadirkan chemistry yang membuat penonton yakin bahwa ada benih-benih cinta yang siap bermekaran dalam diri keduanya. Tidak ada pancaran di mata mereka yang menunjukkan rasa bernama cinta. Apabila hubungan ini sebatas nafsu belaka, masih agak bisa dipercaya. Namun jika dilandasi ketulusan hati? Masih sangat dipertanyakan.
 

Maka begitu mereka bermesra-mesraan, diri ini justru merasa geli-geli janggal ketimbang tersenyum-senyum gemas. Begitu pula saat big moment datang, tak ada rasa apapun yang hinggap kecuali rasa datar. Ya mau bagaimana lagi, lha wong kunci keberhasilan dari suatu film percintaan itu terletak pada dua karakter utama yang mampu membuat penonton bersedia untuk memberikan restunya. Jika kita tidak pernah benar-benar terhubung secara emosional dengan mereka lantas bagaimana mungkin sebuah restu bisa diberikan? Yekannn? Sayang banget lho ini. 

Poor (2/5)

REVIEW : TEMAN TAPI MENIKAH


“Cinta pertama itu susah dilupain. Apalagi kalau cinta pertama lo itu sahabat lo sendiri.” 

Apakah kamu pernah jatuh cinta dengan sahabat terdekatmu sendiri? Pernah? Tidak? Kalau saya pribadi sih belum pernah merasakannya dan mengingat saat ini masih bujangan (hello, ladies!), hanya Tuhan yang tahu apakah diri ini nantinya akan melangkahkan kaki ke pelaminan bersama seorang kawan baik atau seorang lain. Ehem. Satu yang jelas, beberapa hari silam, mata kepala saya menjadi saksi atas terwujudnya ‘teman tapi menikah’ di kehidupan nyata. Dua teman akrab saya sedari 10 tahun lalu yang tidak pernah terdeteksi menjalin hubungan asmara – semua orang tahu mereka bersahabat dekat – tiba-tiba menikah. Dari sini saya tersadar bahwa kisah kasih seperti ini sejatinya lumrah terjadi karena sebelumnya saya mendengar cerita serupa dari kakak kandung. Tak mengherankan jika novel rekaan Ayudia Bing Slamet dan Ditto Percussion yang mempopulerkan istilah ‘teman tapi menikah’ banyak diserbu khalayak ramai. Dalam novel tersebut, mereka berdua berbagi pengalaman nyata tentang bagaimana hubungan persahabatan keduanya yang telah dibina selama 12 tahun justru berlanjut ke jenjang pernikahan. Pengalaman nyata yang rupa-rupanya memiliki kedekatan representasi bagi banyak orang. Menyadari bawah novel ini memperoleh resepsi begitu hangat, pihak Falcon Pictures pun memutuskan untuk memvisualisasikannya ke bentuk film layar lebar dengan tajuk Teman Tapi Menikah, lalu menunjuk Rako Prijanto (Sang Kiai, 3 Nafas Likas) sebagai sutradara, dan mendapuk Vanesha Prescilla dan Adipati Dolken untuk menempati posisi pelakon utama.  

Dalam Teman Tapi Menikah versi layar lebar, kedua karakter sentralnya tetaplah Ayudia Bing Slamet (Vanesha Prescilla) dan Ditto (Adipati Dolken). Mereka diceritakan telah menjalin hubungan persahabatan sedari duduk di bangku SMP. Awalnya sih Ditto sebatas mengagumi Ayu yang sedari kecil telah dikenal sebagai aktris. Namun seiring berjalannya waktu, Ditto ingin memperlakukan Ucha – sapaan akrabnya untuk Ayu – sebagai seorang teman istimewa. Dimana ada Ditto, maka disitu ada Ayu. Mereka berdua sulit untuk dipisahkan sampai-sampai acapkali dikira berpacaran saking lengketnya satu sama lain. Persahabatan mereka terus berlanjut sampai ke jenjang SMA dimana Ditto mulai menunjukkan potensinya sebagai pemusik sekaligus playboy kelas teri. Pada titik ini, sebetulnya kedua belah pihak telah menyadari ada setitik rasa antara satu dengan lain. Namun mereka berdua memilih untuk tak terlalu mengindahkannya. Ayu memutuskan untuk berkencan dengan anak band bernama Darma (Rendi John) sementara Ditto terus berganti-ganti pacar seiring berjalannya waktu. Adanya rasa tidak bahagia tatkala menjalin hubungan dengan sejumlah perempuan perlahan menyadarkan Ditto bahwa hatinya sebetulnya hanya untuk Ayu. Masalahnya, bagaimana cara mengungkapkan isi hatinya ini? Terlebih Ayu seolah sebatas menganggapnya sebagai teman curhat belaka dan sepertinya tidak pernah menyadari bahwa segala kerja keras yang dilakukan oleh Ditto seperti membeli scooter menggunakan uang tabungan sendiri adalah upayanya untuk membahagiakan Ayu. Hubungan yang terjalin diantara keduanya ini semakin terasa rumit saat pilihan menimba ilmu di universitas memaksa mereka untuk berpisah jalan. 


Ditengok dari premis, Teman Tapi Menikah sejatinya sederhana saja (kalau tak mau disebut klise ya). Tidak terhitung lagi sudah berapa banyak film romansa yang berceloteh mengenai hubungan persahabatan dua muda mudi yang berkembang menjadi hubungan percintaan. Dari zaman baheula sampai sekarang, kamu setidaknya akan menjumpai minimal satu film yang pokok kupasannya berkisar soal ‘teman tapi mesra’. Ya mau bagaimana lagi, kisah kasih semacam ini selalu memiliki sudut pandang baru untuk diceritakan sekalipun sudah teramat sering disampaikan. Teman Tapi Menikah pun demikian. Plotnya yang kelewat umum bisa saja membuat sebagian penonton memandangnya remeh, tapi film ini sanggup membuktikan bahwa jalinan penceritaan yang begitu sederhana dan terasa sangat familiar akan tetap menghasilkan tontonan yang meninggalkan kesan mendalam apabila mendapat penanganan yang tepat. Teman Tapi Menikah tidak berusaha mati-matian untuk tampil sophisticated demi menarik perhatian publik, melainkan hanya bergantung pada guliran kisahnya yang membumi dan tidak membentuk jarak terlampau jauh dengan penonton. Pertanyaan yang dilontarkan si pembuat film kepada penonton semacam “apakah kamu pernah jatuh cinta dengan teman baikmu sendiri?” dan “apakah kamu pernah melihat seseorang di dekatmu yang memiliki kisah seperti Ayu dengan Ditto?” merupakan bekal untuk membentuk keterikatan penonton kepada film. Kita merasa terikat karena kita pernah (atau sedang) berada di fase tersebut. Bukankah selalu mengasyikkan mendengar cerita mengenai pengalaman seseorang yang sama dengan kita? 

Ndilalah, tukang cerita Teman Tapi Menikah pun mampu menyusun potongan-potongan kisah kasih Ayu dengan Ditto sedari mereka masih belia sampai menikah di usia 20-an dengan amat baik. Rako Prijanto membuat kita tertambat lalu bersedia menyaksikan bagaimana hubungan dua sejoli ini mengalami transisi dari persahabatan menuju percintaan. Rako beruntung mendapat suplai naskah bagus yang dirancang oleh Johanna Wattimena beserta Upi. Rentetan konflik yang muncul secara silih berganti terhidang wajar namun tetap memikat, dialog-dialog yang dilontarkan terasa mengalir selayaknya percakapan sehari-hari namun tetap manis (tidak mencoba untuk berpuitis-puitis ria yang justru membuatnya janggal), dan karakterisasi untuk tokoh-tokoh sentral pun terbilang kuat. Sosok Ditto dan Ayu bukanlah karakter satu dimensi dengan perangai terlalu sempurna atau terlalu ajaib seperti kerap muncul di film-film percintaan. Mereka tidak ubahnya penonton yang sedang duduk di kursi bioskop seraya mencemil berondong jagung dan menyeruput minuman bersoda. Mereka adalah kita. Jika ada yang membuat Ayu terlihat agak berbeda dari perempuan sebayanya, itu karena dia menjalani profesi sebagai aktris sinetron. Tapi saat dia berada di lingkungan sekolah lalu berinteraksi dengan Ditto, dia tak ubahnya perempuan sebelah rumah yang kita kenal. Ditto yang dideskripsikan sebagai playboy pun senada, dia tidak lantas menjelma menjadi prince charming seutuhnya. Dia merasakan kegagalan, dia juga bekerja keras untuk menggapai mimpinya. Bukan tipe laki-laki berharta melimpah yang bisa memperoleh apapun yang dia mau dengan mudah.


Duo Ayu-Ditto ini dimainkan dengan sangat asyik oleh Vanesha Prescilla dan Adipati Dolken. Saat dipersatukan dalam satu layar, mereka membentuk ikatan kimia yang amat meyakinkan. Mencuat rasa percaya bahwa keduanya adalah sahabat baik yang saling peduli satu sama lain. Ini ditonjolkan melalui pertukaran dialog yang seru diantara keduanya sampai-sampai kita merasa betah untuk berlama-lama di dekat mereka. Seiring bergulirnya kisah, kita perlahan tapi pasti dapat mendeteksi bahwa sejatinya tersembunyi rasa lain dibalik hubungan persahabatan ini. Sesuatu yang tidak akan mungkin bisa kita rasakan apabila dua pelakon utamanya tidak memberi performa dan chemistry diatas rata-rata. Chemistry Vanesha-Adipati adalah aset berharga yang dimiliki oleh Teman Tapi Menikah. Berkat mereka, kita bisa bersimpati lalu memberikan restu kepada hubungan Ayu-Ditto. Siapapun telah mengetahui bagaimana kisah mereka akan berakhir di penghujung film, tapi penampilan bagus jajaran pemainnya – termasuk Denira Wiraguna sebagai mantan Ditto dan Refal Hady sebagai mantan Ayu – ditunjang oleh naskah berisi, pengarahan yang lancar, penyuntingan yang dinamis, tangkapan kamera yang cantik nan bergaya, serta iringan musik beraroma jazz yang melebur mulus ke setiap adegan sekaligus membantu menciptakan nuansa romantis-menggemaskan, membuat proses menuju bersatunya Ayu-Ditto terasa sangat mengasyikkan untuk diikuti. Kita ikut tertawa, tersenyum-senyum gemas, sampai menyeka air mata haru. Jarang-jarang ada film percintaan tanah air yang penceritaannya bisa sedemikian mengalirnya. Teman Tapi Menikah jelas merupakan salah satu film percintaan terbaik yang pernah dibuat di Indonesia.

Outstanding (4/5)

REVIEW : DANUR 2: MADDAH


“Apa yang tidak terlihat bukan berarti tidak ada.” 

Pada kuartal pertama tahun lalu, Danur yang diadaptasi dari buku bertajuk sama rekaan Risa Sarasvati dilepas ke jaringan-jaringan bioskop tanah air. Guliran kisah yang didasarkan pada pengalaman nyata Risa kala bersentuhan dengan dunia gaib tersebut, nyatanya berhasil mengumpulkan 2,7 juta penonton sekaligus membangkitkan kembali tren film horror di perfilman Indonesia. Tidak mengherankan sebetulnya mengingat materi sumbernya laris manis di pasaran, pelakon utamanya adalah Prilly Latuconsina yang telah membentuk basis penggemar cukup besar, dan film arahan Awi Suryadi ini sendiri tergolong memiliki teknis penggarapan cukup baik. Satu hal yang lantas membuat saya terganggu sehingga Danur tidak pernah benar-benar meninggalkan kesan mendalam adalah trik menakut-nakutinya yang kelewat receh. Penggunaan skoring musik dan kemunculan si hantu terasa serampangan yang justru bikin sebal alih-alih ketakutan. Pokoknya penonton kaget, maka sudah selesai perkara (duh!). Gagal memperoleh pengalaman menonton sesuai pengharapan inilah yang lantas membuat saya kurang bersemangat untuk menonton jilid keduanya yang bertajuk Danur 2: Maddah. Namun rasa penasaran yang telah meredup itu perlahan mulai bangkit usai menengok materi promosinya (baca: trailer) yang tampak menjanjikan sampai-sampai satu pertanyaan pun terbentuk: apa mungkin si pembuat film telah belajar dari kesalahan sehingga sekuelnya ini mampu tersaji lebih baik? 

Dalam Danur 2: Maddah, teror yang dialami oleh Risa (Prilly Latuconsina) tidak lagi berlangsung di rumah sang nenek yang kini dikisahkan telah berpulang ke Yang Maha Satu. Kali ini, Risa mencium bau danur tatkala bertandang ke rumah Tante Tina (Sophia Latjuba) dan Om Ahmad (Bucek) yang dikisahkan baru saja pindah ke Bandung. Semenjak kedua orang tuanya dinas ke luar negeri, Risa beserta adiknya, Riri (Sandrinna Michelle Skornicki), memang kerap mampir ke rumah kerabat mereka ini demi membunuh sepi. Yaaa, sekalian hitung-hitung menjaga tali silaturahmi. Namun ketenangan Risa mulai terusik tatkala sepupunya, Angki (Shawn Adrian), menaruh kecurigaan ada sesuatu yang tidak beres di rumah mereka apalagi ayahnya mulai bertingkah tidak wajar termasuk menanam bunga sedap malam di pekarangan rumah. Risa bisa merasakan itu, tapi anehnya, dia tidak bisa melihat apapun. Justru dia melihat Om Ahmad pergi berduaan bersama perempuan lain. Siapa dia? Apa dia ada keterkaitannya dengan semua keanehan yang terjadi di rumah? Benarkah Om Ahmad selingkuh? Demi mengetahui kebenaran di baliknya, Risa pun mulai mengorek informasi mengenai si perempuan misterius ini. Akan tetapi upayanya untuk mendapatkan informasi senantiasa mengalami hambatan karena sebuah kekuatan jahat yang entah darimana asalnya tiba-tiba memancar kuat di rumah kerabatnya ini dan tidak segan-segan melukai para penghuni rumah.


Menjawab pertanyaan yang tertinggal di penghujung paragraf pertama, saya bisa mengatakan bahwa Danur 2: Maddah adalah sebuah sekuel yang baik. Tidak ada tipu-tipu dalam materi promosinya. Dibandingkan dengan instalmen pertama yang terbilang berisik namun hampa, seri kedua ini mempunyai daya cekam yang lebih kuat. Kentara terlihat, si pembuat film telah mempelajari kesalahan-kesalahan apa saja yang telah mereka perbuat dari film terdahulu dan berusaha untuk memperbaikinya di sini. Ucapkan selamat tinggal kepada iringan musik yang memekakkan telinga serta hantu banci tampil yang tiap beberapa detik sekali memberi ‘cilukba’ kepada penonton. Sekali ini, Awi Suryadi menunjukkan sensitivitasnya dalam menangani film horor dengan lebih bersabar dalam membangun teror setapak demi setapak (bukan lagi asal ‘jrengggg!’ tanpa relevansi yang jelas) dan banyak mengandalkan atmosfer yang mengusik rasa nyaman. Pilihan ini mungkin akan terasa asing bagi penonton yang doyan dikageti dengan bejibun penampakan sekalipun tanpa makna, namun pilihan ini harus diakui tepat karena sejumlah jump scare di Danur 2: Maddah justru terasa cukup efektif. Memang sih tak sepenuhnya mulus – ada beberapa yang kemunculannya kurang diperlukan kecuali semata-mata demi membuat penonton terlonjak dari kursi bioskop – tapi paling tidak, terornya tak sampai kelewat repetitif dan berakhir menggelikan seperti film pertama yang seketika meruntuhkan rasa takut. 

Danur 2: Maddah juga memiliki satu dua adegan yang menggoreskan kesan baik seusai menontonnya di layar lebar. Salah satu paling membekas adalah sesosok hantu perempuan yang bersuka cita mengikuti lantunan dzikir Tante Tina. Ngeri nggak sih bayangin kita lagi berdzikir lalu di depan kita ternyata ada makhluk halus yang bergoyang-goyang mendengar dzikir kita? Kalau bagi saya sih, creepy as hell! Kemampuan Awi dalam menciptakan rasa ngeri ini mendapat sokongan bagus dari sinematografi yang menguarkan nuansa “ada sesuatu tak beres di sekitarmu”, rias wajah yang membuat kita enggan berlama-lama menatap wajah si hantu, dan performa ciamik dari Prilly Latuconsina yang kian menegaskan bahwa dia adalah salah satu aktris muda berbakat saat ini. Di tangannya, kita mampu merasakan kegundahan hati Risa lalu menyematkan setitik simpati kepada karakternya. Yang kemudian menghalangi Prilly untuk berkembang lebih jauh dan menghalangi pula kengerian untuk mencapai level maksimal adalah naskah yang sungguh tipis. Karakterisasi untuk Risa, Riri, Tante Tina, Om Ahmad, Angki, apalagi hantu-hantu sahabat Risa (masih dibuat bertanya-tanya dengan kontribusi mereka pada penceritaan), berjalan di tempat dan cenderung ‘satu nada’. Kita tidak pernah benar-benar mengenal mereka maupun membentuk ikatan emosi dengan mereka. Maka ketika satu dua karakter tertimpa bencana, rasa was-was urung hadir yang sedikit banyak menurunkan intensitas. Andai saja Danur 2: Maddah ini berkenan memperhatikan sisi naskah lebih mendalam lagi – tak sebatas trik menakut-nakuti sekalipun ini perlu juga – bukan tidak mungkin film akan tersaji lebih mencengkram dan mencekam karena potensinya sendiri terpampang nyata.



Acceptable (3/5)