Showing posts with label Disney. Show all posts

REVIEW : A WRINKLE IN TIME


“You’re going to be tested every step of the way. Have faith in who you are.” 

Tidak ada yang menyalahkanmu apabila menaruh minat untuk menyaksikan A Wrinkle in Time di layar lebar. Siapa sih tidak tergoda saat bintang-bintang besar seperti Oprah Winfrey, Reese Witherspoon, sampai Chris Pine beradu akting dalam satu film yang materi penceritaannya diadaptasi dari literatur klasik rekaan Madeleine L'Engle? Menariknya lagi, film ini diproduksi oleh Walt Disney Pictures, mengambil jalur fiksi ilmiah, dan dikemas sebagai tontonan keluarga. Entah dengan kalian, namun saya memiliki ‘titik lemah’ terhadap film keluarga keluaran Disney sehingga nyaris tidak pernah sanggup untuk menolaknya (meski tidak jarang pula ini berakhir dengan kekecewaan). A Wrinkle in Time yang ditangani oleh pegiat sinema Ava DuVernay (Selma, 13th) pun terlihat telah mengantongi sejumlah syarat yang memungkinkannya untuk menjadi tontonan baik menengok jejak rekam siapa-siapa yang terlibat. Di atas kertas, satu-satunya tantangan yang mesti ditaklukkan film ini adalah mentransformasikan materi sumbernya yang konon kerap disebut “sulit difilmkan” ke bahasa gambar. Dibawah pengarahan sutradara terampil, tantangan ini sebetulnya bisa jadi perkara sepele – tengok saja Life of Pi garapan Ang Lee. Akan tetapi bagi sutradara yang kurang lihai bercerita, belum lagi masih gagap menangani film bujet besar, tantangan ini jelas sebuah masalah besar. Dan sayang beribu sayang untuk A Wrinkle in Time, Ava DuVernay tergolong ke dalam sutradara jenis kedua yang tidak mahir menyampaikan kisah kepada penonton. 

Karakter utama yang mesti kita beri perhatian lebih dalam A Wrinkle in Time adalah seorang remaja perempuan dengan otak encer bernama Meg Murry (Storm Reid). Sebelum memutuskan untuk mengisolasi diri dari pergaulan dan memasang muka masam sepanjang waktu yang membuatnya mengalami perisakan, Meg memiliki pribadi yang ceria serta tergolong siswi teladan di sekolahnya. Perubahan karakteristik yang sangat bertolak belakang ini disebabkan oleh menghilangnya sang ayah, Dr. Alexander Murry (Chris Pine), dalam misi memperbaiki alam semesta. Alex yang menaruh minat terhadap astrofisika, ditengarai telah menemukan tesseract – sebuah perjalanan lintas dimensi ruang dan waktu – dan kini tersesat di dimensi lain. Mencoba untuk percaya bahwa sang ayah masih hidup, Meg akhirnya perlahan tapi pasti kehilangan kepercayaannya setelah selama empat tahun tak kunjung mendapat kejelasan. Upaya Meg dalam menekan rasa duka atas kehilangan lantas mengubahnya menjadi pribadi bermasalah dan terpinggirkan. Satu-satunya siswa yang bersedia menjalin ikatan pertemanan dengannya adalah Calvin (Levi Miller). Kehidupan Meg yang kacau balau ini mulai menjumpai titik terangnya tatkala adik angkatnya, Charles Wallace (Deric McCabe), memperkenalkannya kepada tiga perempuan misterius; Mrs. Which (Oprah Winfrey), Mrs. Whatsit (Reese Witherspoon), serta Mrs. Who (Mindy Kaling), yang belakangan diketahui sebagai pelancong astral. Melalui mereka, Meg mendapati fakta bahwa ayahnya masih hidup dan satu-satunya orang yang dapat menyelamatkannya adalah Meg sendiri.


Berkaca pada sinopsis di atas maupun materi promosi yang telah digeber selama ini – terutama trailer, mudah untuk mengira bahwa A Wrinkle in Time adalah gelaran petualangan fiksi ilmiah tulen yang bisa dikudap beramai-ramai bersama seluruh anggota keluarga di waktu senggang. Jika kamu memiliki ekspektasi semacam ini, dan berharap film dapat membuatmu terhibur, saya menyarankan untuk cepat-cepat menghempaskannya. Karena kenyataan yang ada, A Wrinkle in Time cenderung lebih menyerupai film pengembangan diri ketimbang film eskapisme. Tentu bukan menjadi soal sama sekali tatkala film berusaha untuk menyampaikan pesan mengenai kekuatan cinta, penerimaan diri, dan berdamai dengan kehilangan. Dalam penanganan yang tepat, pesan-pesan klise semacam ini dapat menyentuh hati sekaligus menginspirasi penonton. Masalahnya, Ava DuVernay berusaha terlalu keras agar pesan tersebut dapat mengena sampai-sampai dia tidak menyadari bahwa filmnya ini terasa begitu palsu. Dipaksakan. Dialog luar biasa ceriwisnya yang tidak jauh-jauh dari “kamu harus tetap menjadi dirimu sendiri!” atau “kamu itu penuh bakat!” muncul secara terus menerus seakan tidak tahu kapan harus berhenti. Alhasil, daun telinga serasa mau rontok saking capeknya mendengar pengulangan pesan. Ini mungkin tidak akan terdengar seburuk itu apabila A Wrinkle in Time memiliki guliran pengisahan mengikat maupun parade akting mumpuni yang memungkinkan kita seolah terlibat ke dalam film (ingat The Help?). Masalahnya (lagi! Film ini benar-benar penuh masalah!), dua-duanya tidak bisa kamu jumpai di sini. 

Ya, disamping dialog bak dilontarkan oleh motivator kelas teri, A Wrinkle in Time terasa sangat melelahkan untuk disimak lantaran penuturannya yang lambat dan hambar. Penonton cilik mungkin akan terkantuk-kantuk begitu mendapati laju film nyaris tak bergerak selama setengah jam awal, sedangkan penonton dewasa bakal garuk-garuk kepala ditengah-tengah upaya memahami kemauan si pembuat film sampai kemudian tiba pada kesimpulan: A Wrinkle in Time ini sungguh film yang pretensius. Berbicara kesana kemari, mengutarakan istilah-istilah rumit, hanya demi menegaskan tentang kekuatan cinta? Oh, come on! Ketimbang fokus pada “cara membuat film agar kelihatan pintar”, DuVernay semestinya lebih fokus pada “cara mempermainkan emosi penonton” karena A Wrinkle in Time hampir tidak mempunyainya yang sedikit banyak menyulitkan kita untuk menjalin ikatan kepedulian dengan karakter-karakternya. Terlebih lagi, barisan pemainnya pun tidak dapat berbuat apa-apa. Storm Reid sebagai remaja bermasalah dan Deric McCabe sebagai adik angkat yang jenius memang menyumbangkan lakon apik ditengah segala keterbatasan yang melingkungi, akan tetapi trio Oprah Winfrey-Reese Witherspoon-Mindy Kaling terlihat begitu kikuk sampai-sampai berulang kali memunculkan ‘awkward moment’ tanpa disengaja. Kalau sudah begini, apa yang bisa diharapkan? Menengok gelontoran bujet yang tidak main-main, jawaban dari tanya tersebut adalah visual. Itupun jangan diharapkan banyak-banyak karena tidak jarang visualnya hanya sedikit lebih baik dari pemandangan di screensaver.


Poor (2/5)

REVIEW : COCO


“Never forget how much your family loves you.” 

Melalui Inside Out (2015) yang amat inovatif baik dari sisi cerita maupun visual dan Finding Dory (2016) juga bisa dikatakan sebagai sekuel yang baik, Pixar membuktikan bahwa mereka masih mempunyai sentuhan magis. Namun kehadiran The Good Dinosaur (2016) dan Cars 3 (2017) yang kurang mampu memenuhi ekspektasi – untuk ukuran film kreasi Pixar, keduanya terhitung medioker – lagi-lagi menyurutkan harapan bahwa studio animasi terbesar di dunia ini masih bisa diandalkan. Apakah mungkin keajaiban ide dan presentasi yang ditawarkan oleh Inside Out bukan sebatas keberuntungan belaka? Bisa jadi memang sebatas keberuntungan. Itulah mengapa saya tidak terlalu meyakini produk terbaru mereka, Coco, yang guliran kisahnya didasarkan pada perayaan tahunan di Meksiko, Dia de Muertos (pada hari ini dipercaya mereka yang sudah tiada kembali ke dunia untuk mengunjungi sanak saudara yang masih hidup), sekaligus sedikit banyak mengingatkan ke The Book of Life (2014) yang mempunyai fondasi kisah senada. Jika ada yang kemudian membuat hati ini tergerak untuk menyimak Coco, maka itu adalah rasa ingin tahu terhadap bagaimana Pixar bermain-main dengan kultur Meksiko serta keterlibatan Lee Unkrich (sutradara film favorit saya, Toy Story 3) di kursi penyutradaraan. Memboyong sikap skeptisisme ke dalam gedung bioskop, tanpa disangka-sangka saya mendapatkan kejutan sangat manis dari Coco

Karakter utama dalam Coco adalah seorang bocah berusia 12 tahun bernama Miguel Rivera (Anthony Gonzalez) yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga pembuat sepatu serta mengharamkan permainan musik secara turun temurun. Larangan bermusik ini mencuat usai nenek canggah Miguel yang telah dikaruniai seorang putri bernama Coco (Ana Ofelia Murguia) ditelantarkan begitu saja oleh sang suami yang pergi berkelana demi menggapai mimpinya sebagai seorang musisi. Alhasil, Miguel yang memiliki bakat besar dalam hal memainkan alat musik serta berdendang ria pun mau tak mau mesti menjalani passion-nya ini secara sembunyi-sembunyi dan tidak pernah mengetahui identitas sebenarnya dari sang kakek canggah yang telah dihempaskan dari silsilah keluarga. Konflik internal dalam keluarga Rivera ini mencapai puncaknya pada perayaan Dia de Muertos kala Miguel mencoba untuk membuktikan kepada anggota keluarganya bahwa tidak ada yang salah dengan musik dan dia berupaya untuk berpartisipasi dalam kompetisi lokal. Keputusan Miguel yang membuat berang sang nenek (Renee Victor) sampai-sampai gitar miliknya dipatahkan ini membawa si bocah pada tindakan nekat, yakni mengambil gitar milik penyanyi legendaris Ernesto de la Cruz (Benjamin Bratt) di makamnya. Tindakan nekat tersebut seketika menghantarkan Miguel memasuki Dunia Orang Mati dan mempertemukannya dengan para leluhurnya.


Dibandingkan rekan-rekan sejawatnya sesama pembuat film animasi, Pixar memang bisa dibilang berada di level yang berbeda terutama dalam kaitannya memperhatikan detil-detil rumit dalam pembuatan animasinya sehingga terlihat amat nyata di mata penonton. Tengok saja bagaimana mereka mengkreasi helai bulu Sulley dalam Monsters University (2013), ekosistem bahari pada Finding Dory, atau beragam jenis mobil di Cars 3. Menakjubkan. Coco sebagai rilisan terbaru mereka pun tidak jauh berbeda. Sedari menit-menit pembuka, Coco telah membuat diri ini terperangah dengan keajaiban visualnya yang tergarap mendetail. Penggambaran sudut-sudut desa yang menjadi kampung halaman keluarga Rivera terlihat seperti dicuplik dari rekaman gambar yang diambil langsung di lokasi ketimbang rekaan para animator menggunakan komputer, kerutan-kerutan yang menghiasi kulit wajah nenek Coco, potongan adegan film klasik yang dibintangi Ernesto di televisi, sampai kelenturan jari jemari Miguel kala memetik senar gitar. Ini semua diperoleh, bahkan sebelum si protagonis menjejakkan kaki di Dunia Orang Mati yang menghadirkan tampilan visual yang lebih gila dan inovatif. Sulit untuk tidak berdecak kagum saat kamu melihat apa yang bisa diperbuat oleh para tengkorak dalam gerak langkahnya dan panorama penuh warna yang ditawarkan di Dunia Orang Mati. 

Bagusnya, Coco enggan untuk mengorbankan guliran pengisahannya demi mencapai visual yang berada di kelas premium itu. Racikan kisah dari Unkrich dan Adrian Molina yang mengusung tema utama seputar kematian serta keluarga dengan pendekatan yang cenderung riang (sehingga bisa dikudap oleh penonton cilik) sanggup menempatkan penonton Coco dalam tiga fase emosi seperti bersemangat, tertawa, hingga tersedu-sedu. Tiga fase emosi yang sukar dijumpai saat menyaksikan The Good Dinosaur maupun Cars 3 tempo hari. Fase bersemangat dipantik oleh guliran kisah petualangan Miguel menyusuri Dunia Orang Mati demi menjumpai sang idola, Ernesto, dan upaya para leluhurnya untuk membawanya pulang ke Dunia Orang Hidup yang dipenuhi lika-liku dalam prosesnya. Fase tertawa muncul berkat humor-humor kocak yang menyertai perjalanan Miguel, terutama dari Hector (Gael Garcia Bernal) yang membantunya melacak keberadaan Ernesto. Dan fase tersedu-sedu bersumber dari pesan klasik namun tetap relevan yang disodorkan oleh Coco; tidak ada yang lebih penting di dunia ini selain keluarga. Bangunan karakter yang mudah untuk diberikan simpati (penonton secara sukarela memberi dukungan penuh kepada Miguel untuk menggapai mimpinya) membuat setiap emosi yang tersemat dalam sejumlah momen dapat tersalurkan seperti semestinya. Kemampuan Coco untuk memanjakan mata penonton melalui visual dan membuai hati melalui tuturan kisahnya ini menjadi bukti bahwa Pixar memang masih belum kehilangan sentuhan magisnya sama sekali. Warbiyasak!

Note : Jangan datang terlambat karena sebelum film dimulai, terdapat sebuah film pendek bertema Natal yang menampilkan karakter-karakter dari Frozen berjudul Olaf's Frozen Adventure.

Outstanding (4/5)


REVIEW : PIRATES OF THE CARIBBEAN: SALAZAR'S REVENGE


“The dead have taken command of the sea. They're searching for a girl, a Pearl, and a Sparrow.” 

Ladies and gentleman, Jack Sparrow is back...!!! Setelah dibiarkan berhibernasi selama 6 tahun, salah satu franchise paling menguntungkan bagi Walt Disney, Pirates of the Caribbean, akhirnya dibangunkan dari tidur panjangnya. Mengingat raupan dollar dari franchise ini terbilang stabil, bahkan cenderung meningkat – instalmen keempat bertajuk On Stranger Tides sanggup menembus angka keramat $1 miliar dari peredaran seluruh dunia! – tentu tidak mengherankan jika pihak studio kekeuh memintanya berlayar sekalipun tiada lagi area tersisa untuk dijelajahi yang pada akhirnya menyebabkan tuturan terus berputar-putar di satu tempat. Repetitif. Memasuki jilid kelima yang diberi tajuk Salazar’s Revenge (atau Dead Men Tell No Tales di negara asalnya), tanya “apa lagi yang hendak dikedepankan sekali ini?” tentu tidak bisa terhindarkan. Agaknya belajar dari kesalahan On Stranger Tides yang kekurangan tenaga, duo sutradara Joachim Rønning dan Espen Sandberg (Kon Tiki) mencoba mengusung lagi semangat dari trilogi awal yang sempat pupus seraya merekrut kembali karakter kunci dari franchise ini; Will Turner (Orlando Bloom) beserta Elizabeth Swann (Keira Knightley), dengan harapan dapat mencegah franchise Pirates of the Caribbean ditenggelamkan oleh kritikus maupun penonton. 

Pirates of the Caribbean: Salazar’s Revenge memperkenalkan kita pada Henry Turner (Brenton Thwaites), putra dari Will dan Elizabeth yang kini telah tumbuh menjadi pria dewasa. Henry mempunyai satu misi besar dalam hidupnya, yakni membebaskan sang ayah dari kutukan yang mengikatnya bersama kapal Flying Dutchman. Dalam petualangannya untuk menemukan pusaka sakti, Trisula Poseidon, yang konon mampu memberi kekuatan kepada siapapun yang memilikinya termasuk mematahkan kutukan, Henry bertemu dengan seorang perempuan yang dituduh sebagai penyihir lantaran memiliki pengetahuan diatas rata-rata, Carina Smith (Kaya Scodelario), serta kawan lama sang ayah, Jack Sparrow (Johnny Depp). Perjumpaan Henry dengan Jack sendiri bukannya tanpa disengaja. Tatkala kapal armada Inggris yang dinaikinya kandas di kawasan Segitiga Iblis, Henry mendapat pesan dari Kapten Salazar (Javier Bardem) yang menyatakan niatnya untuk membalas dendam kepada Jack atas peristiwa di masa lalu. Mengetahui keselamatannya terancam, Jack pun ikut berpartisipasi mengarungi perairan dalam pencarian Trisula Poseidon bersama Henry dan Carina yang menginginkan benda tersebut agar dapat mengetahui keberadaan sang ayah yang selama ini menjadi misteri baginya.


Apabila disandingkan dengan On Stranger Tides, Salazar’s Revenge bisa dikata jauh lebih menghibur dan bisa dinikmati – walau ini juga tidak berarti banyak. Gegap gempita telah bisa diraba sejak menit-menit awal yang membawa penonton pada rentetan peristiwa seru pula lucu; dimulai dari pertemuan Henry dengan Salazar di Segitiga Iblis yang menguarkan nuansa mencekam, lalu berlanjut penyeretan bank (iya, BANK!) ala Fast Five oleh anak buah Jack yang menciptakan kekacauan besar, sampai guillotine berputar yang terus menerus ‘maju mundur cantik’ kala hendak memenggal kepala Jack. Hingga momen eksekusi Jack dan Carina di alun-alun yang justru berakhir petaka bagi para eksekutor, Salazar’s Revenge masih berasa renyah buat dikudap. Keriuhan semacam ini memang diidam-idamkan penonton pada film bercap ‘summer blockbuster’ sehingga tiada mengherankan derai-derai tawa penonton terdengar menggema dari berbagai titik di dalam bioskop. Namun segala bentuk kesenangan yang menghiasi babak perkenalan bersama beberapa karakter anyar ini sedikit demi sedikit mulai tergerus begitu tiga sekawan ini menunggangi Dying Gull. Layaknya laut, terkadang laju film bergelombang hebat yang memberi sentakan-sentakan, tetapi tak jarang pula mengalun amat tenang. Laju yang tak mempunyai konsistensi ini berdampak pada munculnya rasa lelah selama mengikuti pelayaran dan tak pelak terbersit keinginan agar film segera berakhir. 

Sentakan-sentakan yang ada pun tak selamanya menimbulkan semangat, malah acapkali berasa repetitif. Disamping pengarahan kurang luwes dari duo sutradara, ini disebabkan pula oleh naskah lemah racikan Jeff Nathanson yang juga turut andil dalam membatasi ruang gerak para pemain dalam menginterpretasikan peran masing-masing. Alhasil, tidak sedikit diantaranya berakhir hambar. Javier Bardem memang tampak mengerikan nan mengancam sebagai villain utama dari instalmen kelima ini, namun duo pelakon baru di franchise yaitu Brenton Thwaites beserta Kaya Scodelario kurang mempunyai momen untuk menonjolkan karisma mereka demi mengikat penonton, dan Johnny Depp selaku pemeran utama malah acapkali diperlihatkan teler (atau kebosanan?) seraya melontarkan banyolan-banyolan kering daripada memberi kontribusi signifikan terhadap pergerakan kisah. Agaknya, baik sang penulis naskah, sutradara, maupun Depp, telah kehabisan stok ide dalam mengembangkan sosok Jack Sparrow yang dulunya amat mengasyikkan buat ditengok ini. Kejenuhan yang sempat menyergap di pertengahan film, untungnya dapat sedikit teratasi setelah Salazar’s Revenge beralih ke babak ketiga. Kesenangan mencuat – kendati asupannya tidak setinggi awal mula – dan penonton pun berkesempatan menyambut kembalinya Will beserta Elizabeth ke keluarga besar Pirates of the Caribbean. Yaaa, paling tidak jilid ini masih memberikan hiburan sekalipun akan seketika terlupakan hanya beberapa hari setelah kita menyimaknya di gedung bioskop.

Note : Jangan terburu-buru beranjak, Pirates of the Caribbean: Salazar's Revenge mempunyai satu post-credits scene yang terletak paling ujung dan penting buat disimak terutama jika kamu penggemar franchise ini. 

Acceptable (3/5)


REVIEW : BEAUTY AND THE BEAST


“Think of the one thing that you've always wanted. Now find it in your mind's eye and feel it in your heart.” 

Telah menjadi rahasia umum bahwa Disney telah mengakrabi kata ‘magis’ sedari lama. Tengok saja produk-produk animasi tradisionalnya dari generasi awal seperti Snow White and The Seven Dwarfs (1937) beserta kawan-kawannya maupun dari era keemasannya yang dimulai sedari The Little Mermaid (1989) sampai Tarzan (1999) – ini masih belum ditambah sejumlah judul live action dan animasi rekaan CGI yang juga ciamik. Visualisasinya tergurat indah membuat mata terbelalak, tuturan kisahnya meninggalkan rasa hangat yang menjalar manja di dada, dan rentetan nomor musikalnya terdengar renyah di telingga. Mudahnya, Disney mempunyai banyak koleksi film yang memaknai istilah “keajaiban sinema” atau ya, “magis” tadi. Salah satu judul yang tergabung di dalamnya yakni Beauty and the Beast (1991), sebuah film animasi penting yang merupakan interpretasi anyar dari dongeng Prancis klasik gubahan Jeanne-Marie Leprince de Beaumont. Mengapa dikata penting? Karena Beauty and the Beast semacam membukakan gerbang bagi genre animasi agar dapat berkompetisi di kategori utama Oscars, Best Picture. Disamping itu, film ini pun menandai pertama kalinya Disney mempersilahkan film animasinya diboyong ke panggung Broadway. Mempunyai cukup banyak catatan rekor membanggakan – belum ditambah lagu temanya yang legendaris itu – tentu tiada mengherankan jika lantas Beauty and the Beast dipilih untuk mengikuti jejak Cinderella dan The Jungle Book: diejawantahkan ke bentuk live action

Beauty and the Beast adalah dongeng romansa mengenai kisah cinta antara seorang perempuan ayu bernama Belle (Emma Watson) dengan seorang lelaki berparas buruk rupa akibat terkena kutukan yang dipanggil Beast (Dan Stevens). Belle tinggal di sebuah desa kecil bersama ayahnya, Maurice (Kevin Kline), sedangkan Beast menghuni kastil yang area sekitarnya senantiasa bersalju tak peduli apapun musimnya bersama pelayan-pelayan setianya yang berubah wujud menjadi perabotan rumah tangga. Satu-satunya cara bagi mereka untuk bisa kembali menjadi manusia atau dengan kata lain mematahkan kutukan adalah apabila ada cinta sejati hinggap ke sang majikan, Beast. Sayangnya, mengingat Beast jauh dari kata rupawan dan lokasi kastil yang amat sangat terpencil, mengharap datangnya asmara bagaikan pungguk merindukan bulan – suatu kemustahilan yang nyaris absolut. Nafas lega mulai berhembus ketika pada suatu hari, Belle menyerahkan dirinya secara sukarela kepada Beast untuk menggantikan posisi Maurice sebagai tahanan lantaran kepergok hendak mengambil bunga mawar di halaman kastil dalam perjalanan menuju ke kota. Beast menganggap apa yang dilakukan Belle adalah suatu kebodohan, namun para pelayannya justru melihat adanya harapan dari keberadaan Belle. Mungkinkah dia adalah seseorang yang akan membantu mematahkan kutukan? Membawa harapan tinggi, dipimpin oleh Lumiere (Ewan McGregor), para pelayan pun mengatur strategi agar kebencian yang menyelimuti hubungan Belle dan Beast perlahan tapi pasti tergantikan oleh hadirnya percikan-percikan asmara. 

Rasa-rasanya kebanyakan penonton Beauty and the Beast versi anyar tentu sudah familiar dengan jalinan penceritaan yang diusung film garapan Bill Condon (Dreamgirls, The Twilight Saga: Breaking Dawn) ini. Dongeng yang menjadi sumber asal film ini memang amat populer dan telah diceritakan berulang kali menggunakan beragam pendekatan – baik patuh hingga mendekonstruksinya – sampai-sampai sudah hampir tidak menyisakan celah untuk dibubuhi inovasi. Mungkin menyadari hal tersebut ditambah lagi versi animasi Disney rilisan 1991 yang dijadikan rujukan terbilang mahakarya, maka ya, Condon tidak kelewat lancang sehingga memberi banyak tambahan bahan kepada versi teranyar dari Beauty and the Beast ini. Dia memegang erat prinsip “if it ain’t broke, don’t fix it.” Tidak melenceng, tetapi juga tidak mirip sepenuhnya dengan materi kutipannya. Pembeda paling kentara, hubungan kedua karakter utama lebih dieksplor, begitu pula motivasi para pelayan untuk terbebas dari kutukan, dan beberapa lagu baru dimasukkan. Dampaknya durasi pun agak kebablasan memanjangnya walau tak terlalu jadi soal toh berhasil memberi kedalaman pada penceritaan dan paling penting, Beauty and the Beast penuhi segenap ekspektasi. Membuatku terperangah oleh kemegahan visualnya, terlarut dalam alunan melodinya, serta terpikat dengan permainan lakonnya. Atensi telah terbetot sedari adegan pelepas kutukan di gelaran pesta dansa pada awal mula yang berlangsung cukup singkat namun sama sekali tidak kekurangan intensitas. Nuansa kelam pula suram yang mencuat darinya lantas tergantikan oleh keriangan dalam nomor musikal dengan tata koreografi apik, “Belle”


Inilah titik lontar dari nomor-nomor musikal penghias film yang mayoritas merupakan pangkal dari terciptanya kemegahan visual yang dipunyai Beauty and the Beast – bisa dimengerti mengingat jejak rekam Condon kerap bersinggungan dengan film musikal seperti Chicago dan Dreamgirls. “Belle” adalah pemanasan sebelum menuju “Gaston” yang enerjik nan lucu serta “Be Our Guest” dengan visualisasi megah yang bikin geleng-geleng kepala sekaligus rahang menganga lebar-lebar. Mempunyai dampak hebat pada emosi, dua nomor musikal ini bisa dikata merupakan momen emas yang dipunyai oleh Beauty and the Beast. Dan oh, tentu saja tambahkan lagu tema film agar pas sebagai trio. Suara Emma Thompson sebagai Mrs. Potts memang tidak semenghanyutkan Angela Lansbury dari versi animasi kala mendendangkan lagu tema “Beauty and the Beast” untuk mengiringi dansa pertama kalinya Beast dengan Belle, tapi masih ada sebersit sisi magis mencuat dari adegan ikonik tersebut yang nyata sekali turut terangkat pula berkat tata kostum menawan (meski harus saya akui, efeknya tidak sehebat gaun biru bercahayanya Cinderella). Bukan semata-mata terbantu kinerja kolaborasi antara departemen kostum dengan musik, daya takjub yang dipunyai film juga bersumber dari sektor desain produksi yang mengkreasi setiap jengkal latar tempat secara indah, lalu disempurnakan oleh sektor efek khusus yang memungkinkan penonton meyakini bahwa apapun yang terpampang di layar nyata adanya, dan kian dipertangguh barisan pemain berlakon jitu. 

Konfigurasi pelakon pendukung adalah juaranya. Ewan McGregor bersama Emma Thompson, Ian McKellen (Cogsworth), serta Audra McDonald (Madame de Garderobe) dari sektor pelayan setia acapkali mencuri perhatian sekalipun jatah tampil memungkinkan mereka lebih sering berakting dari suara. Interaksi lekat diantara mereka memberi rasa hangat, sementara tingkah polah dan celetukan-celetukan mereka tak jarang mengundang gelak tawa renyah dari penonton. Dua pemain yang diposisikan sebagai antagonis, Luke Evans (Gaston) dan Josh Gad (LeFou), pun memperkuat dinamika film. Evans membuat sosok Gaston yang terobsesi ingin mempersunting Belle terlihat sungguh menjengkelkan tanpa harus kelewat karikatural – kita paham pemicu tabiat buruknya, dan Gad yang ekspresif membawa keceriaan lainnya sekaligus memperkuat karakter Gaston. Lantas, bagaimana dengan Emma Watson dan Dan Stevens? Mereka sama sekali tidak mengecewakan. Ya, ada kalanya air muka Emma Watson berasa datar di beberapa titik yang menyulitkan sosok Belle untuk bisa lebih hidup namun untungnya terbayarkan oleh kebolehannya dalam menaklukkan tantangan berolah vokal seperti halnya para pemain lain (kejutan manis dipersembahkan oleh Stevens saat melantunkan nomor “Evermore”) dan adanya senyawa-senyawa asmara yang bisa dicecap antara dirinya dengan Stevens. Paling tidak, emosi yang dibutuhkan film masih bisa dirasakan dan itu terbukti dari mata yang dibuat berkaca-kaca ketika Beauty and the Beast hendak tutup durasi.

Outstanding (4/5)


REVIEW : MOANA


“If you wear a dress and have an animal sidekick, you're a princess.” 

Tahun 2016 menjadi saksi bisu atas pembuktian diri bagi divisi animasi Walt Disney bahwa mereka secara resmi telah mengambil alih kembali posisi sebagai pembuat film animasi paling terkemuka dari Pixar dengan diluncurkannya dua produk hebat, yakni Zootopia dan Moana. Ya, tatkala tetangga sebelah tengah menghadapi problematika bernama ‘inkonsistensi’ yang menyebabkan beberapa karyanya lewat begitu saja tanpa kesan, Disney justru kian menggeliat dari tahun ke tahun terhitung sedari Tangled (2010). Zootopia memancangkan standar tinggi bagi film animasi dengan penceritaan cerdas pula terhitung berani untuk ukuran Disney, sementara Moana hasil arahan duo Ron Clements dan John Musker (The Little Mermaid, Aladdin) yang menerapkan pola tutur “back to basic” mengingatkan kita sekali lagi kenapa studio ini dapat menjadi raksasa animasi di dunia film. Moana menunjukkan bahwa tontonan mengikat tidak melulu harus bersumber dari gagasan serba bombastis, malah seringkali kesederhanaan dengan eksekusi dan pengemasan yang tepat lebih mampu menghadirkan kejutan-kejutan menyenangkan. 

Moana membawa kita mengarungi lautan Pasifik untuk kemudian berlabuh di sebuah pulau bernama Motunui. Di sana penonton diperkenalkan pada sang protagonis, Moana Waialiki (Auli’i Cravalho), yang merupakan putri semata wayang sekaligus calon penerus dari kepala suku setempat. Dideskripsikan sebagai sosok cerdas, pemberani, serta sedikit pemberontak, Moana memiliki impian untuk bisa berlayar melewati batu karang yang ditentang keras oleh ayahnya, Tui (Temuera Morrison), karena satu dan lain hal. Moana lantas nekat mewujudkan impiannya tersebut setelah kesehatan ekosistem di Motunui tiba-tiba menurun drastis, mengetahui jati diri sukunya yang sesungguhnya, dan memperoleh dorongan dari sang nenek, Gramma Tala (Rachel House), yang mempercayai Moana sebagai satu-satunya harapan untuk menyelamatkan tempat tinggal mereka. Ditemani seekor ayam yang bodohnya kebangetan, Heihei, Moana yang sejatinya minim pengetahuan berlayar ini harus mengarungi samudera luas untuk menemukan Maui (Dwayne Johnson), manusia setengah dewa, yang konon dianggap bertanggung jawab atas memburuknya kondisi alam di Motunui dan sekitarnya. 

Ditinjau dari garis besar cerita, Moana memang tak tampak mengusung plot progresif. Masih berkutat pada topik pencarian jati diri berbasis petualangan menyelamatkan tanah kelahiran yang telah umum dijumpai di film-film Disney. Tapi seperti halnya Zootopia, film ini menyematkan pula materi perbincangan lain yang boleh jadi tak pernah terlintas di benakmu akan diobrolkan oleh film animasi keluaran Disney pada satu dua dekade silam terkait ketangguhan perempuan – well, Moana jauh lebih feminis ketimbang Frozen – hingga menjaga relasi baik dengan alam. Ini jelas menarik, menyegarkan, juga relevan. Sang tokoh utama yang notabene perempuan digambarkan mempunyai posisi kurang lebih sejajar dengan pria dalam tribe society, tangguh secara fisik maupun mental, dan tidak membutuhkan bantuan lawan jenis untuk menuntaskan perkara (Maui hanya membukakan jalan untuk Moana, itupun karena dialah sumber masalahnya). Mendobrak segala bentuk konstruksi perempuan ideal yang diciptakan sendiri oleh film animasi Disney lebih dari setengah abad silam. Terdengar, errr... berat? Tak perlu risau, kamu hanya akan menjumpai kerumitan tersebut di ulasan sok njelimet ini karena penceritaan Moana sendiri dilantunkan dalam mood penuh keriaan. 

Keriaan timbul dari serentetan momen yang menimbulkan gelak tawa maupun perasaan bersemangat penonton. Entah itu disebabkan tingkah luar biasa absurd Heihei, interaksi konyol Moana dengan Maui, serangan perompak bertopengkan tempurung kelapa, kepiting raksasa narsis, atau amukan monster lahar. Selain itu, keriaan juga dipersembahkan oleh barisan nomor-nomor musikal melodius gubahan Lin-Manuel Miranda yang karirnya tengah mengangkasa berkat popularitas drama musikal Broadway, Hamilton, dan Opetaia Foa’i. Mereka menyumbangkan lagu-lagu mudah didendangkan semacam “How Far I’ll Go”, “We Know the Way”, “You’re Welcome”, dan “Shiny”, yang hampir dapat dipastikan akan melekat kuat di benakmu sampai berhari-hari setelah melangkahkan kaki keluar dari gedung bioskop. Pengalaman menonton Moana kian terasa mengasyikkan karena film ini dihidupkan pula oleh visualisasi menakjubkan (lihatlah Motunui! tengoklah lautnya! perhatikanlah tato di tubuh Maui!) beserta sumbangsih mengagumkan para pengisi suara seperti pendatang baru Auli’i Cravalho yang memancarkan karisma kuat seorang pemimpin dalam diri Moana dan membentuk chemistry kocak bersama Dwayne Johnson. Dengan kombinasi serba baik seperti ini, tidak mengherankan jika kemudian Moana berhasil tersaji sebagai sebuah tontonan seluruh keluarga yang teramat sangat mengasyikkan.

Note : pastikan untuk tidak terlambat memasuki gedung bioskop karena ada sebuah film pendek bagus berjudul Inner Workings sebelum film utama. 

Outstanding (4/5)