Showing posts with label Thriller. Show all posts

REVIEW : TRUTH OR DARE


“The game is real. Wherever you go, whatever you do it will find you.” 

Dalam beberapa tahun terakhir ini, rumah produksi Blumhouse Productions berhasil menancapkan kukunya menjadi salah satu nama yang patut diperhitungkan di sinema horor. Betapa tidak, mereka sanggup menghasilkan pundi-pundi dollar dari film seram yang memiliki high-concept dengan bujet seminim mungkin (tidak pernah lebih dari $10 juta!) dan kualitas yang sebagian besar diantaranya dapat dipertanggungjawabkan. Beberapa sajian yang membawa mereka membumbung tinggi antara lain Paranormal Activity (2009), Insidious (2011), The Purge (2013), Split (2017), sampai Get Out (2017) yang berjaya di panggung Oscar. Menyadari penuh bahwa formula ini terbukti berhasil, tentu tidak mengejutkan jika persembahan terbaru dari Blumhouse, Truth or Dare, yang digarap oleh Jeff Wadlow (Kick-Ass 2), masih menerapkan formula serupa. Premis yang diajukan sekali ini adalah “bagaimana jika permainan ‘jujur atau tantangan’ dibawa ke level lebih tinggi dengan konsekuensi berupa kematian apabila si pemain gagal menyelesaikan permainan?”. Harus diakui ini terdengar agak menggelikan sih, tapi di waktu bersamaan juga menggelitik rasa penasaran. Lebih-lebih trailer Truth or Dare yang dikemas begitu meyakinkan seolah-olah ini tontonan seram yang mengasyikkan semakin membuat hati ini sulit menampik godaan. Yang kemudian menjadi pertanyaan, apakah mungkin Truth or Dare dengan premis konyolnya ini mampu tersaji seru atau malah justru berakhir blunder? 

Truth or Dare sendiri mengawali penceritaannya dengan perjalanan enam sahabat; Olivia (Lucy Hale), Markie (Violett Beane), Lucas (Tyler Posey), Brad (Hayden Szeto), Tyson (Nolan Gerard Funk), dan Penelope (Sophia Ali), ke Meksiko untuk merayakan libur musim semi. Berbagai macam kegilaan anak muda khas film horor mereka lakukan sepanjang liburan seperti berpesta semalam suntuk, berhubungan seks, menenggak alkohol… you name it. Kegilaan ini kian tak bisa dipahami akal sehat saat mereka memutuskan untuk mengikuti ajakan seorang laki-laki yang baru dikenal Olivia di bar bernama Carter (Landon Liboirion) ke sebuah reruntuhan gereja. Di sana, mereka bermain ‘jujur atau tantangan’ yang secara cepat berubah menjadi canggung tatkala rahasia salah satu dari mereka tersentil. Suasana yang telah serba tidak mengenakkan ini kian bertambah parah tatkala Carter mengungkap tujuan utamanya membawa mereka ke tempat ini. Ternyata oh ternyata, permainan ‘jujur atau tantangan’ yang mereka mainkan ini tidak sesederhana tampaknya karena ada keterlibatan iblis didalamnya. Alhasil satu demi satu personil pun dihadapkan pada permainan ‘jujur atau tantangan’ versi supranatural sekembalinya mereka ke Amerika Serikat pada waktu dan tempat tak terduga dari seseorang (atau sejumlah orang) dengan seringai aneh menyerupai filter Snapchat yang buruk. Aturannya sederhana saja: tunaikan permainan tersebut hingga tuntas karena jika kamu gagal melaksanakannya… ajal akan dengan senang hati menjemputmu.


Untuk beberapa saat, Truth or Dare tampak seperti versi duplikat dari rangkaian film Final Destination. Sejumlah remaja berusaha mencurangi kematian yang mengejar mereka dengan urutan sesuai giliran mereka bermain ‘jujur atau tantangan’. Dari lubuk hati yang terdalam, saya pribadi sih berharap Truth or Dare akan menempuh jalur yang sama karena Final Destination termasuk tontonan seram yang seru (yaaa… setidaknya untuk tiga seri pertama) dengan penggambaran ‘cara untuk tewas’ yang kreatif. Akan tetapi, usai adegan pembukaan di sebuah pom bensin yang membangkitkan semangat untuk mengudap habis film ini, lalu dilanjut dengan kematian pertama yang melibatkan meja biliar, dan tantangan menyusuri pinggiran genteng seraya menenggak alkohol yang mendebarkan, perlahan tapi pasti Truth or Dare terasa seperti kehilangan arah dan kebingungan dalam mengembangkan premis miliknya. Berdasarkan premis yang diusung, Truth or Dare sebetulnya berpotensi bagus apabila: 

1) sadar diri bahwa premisnya memang menggelikan sehingga tidak ada upaya untuk menggulirkan kisah yang sok serius dan lebih memilih untuk menertawakan diri sendiri dengan menghadirkan eksekusi serba over the top 
2) memiliki aturan main yang jelas – tidak seenaknya diubah-ubah sampai bikin otak ini keriting memikirkannya, serta 
3) menghindari main aman dengan bersedia merangkul rating R (17 tahun ke atas) karena materinya yang membutuhkan pertaruhan akan kesulitan mencapai potensinya jika film enggan untuk menampilkan kekerasan dalam level cukup tinggi. 

Sayangnya, pihak pembuat film kekeuh mempertahankan Truth or Dare untuk tetap bermain-main di ranah horor dengan rating PG-13. Jeff Wadlow beserta tiga rekan penulis skrip malah memilih untuk menyisipi Truth or Dare dengan isu-isu berat tak perlu seperti homoseksual, bunuh diri, serta pelecehan seksual yang justru membuat film ini penuh sesak sekaligus tampak seperti salah satu episode sinetron percintaan remaja terlebih ada pula konflik mengenai pertikaian antar sahabat karena rebutan cowok. Ingin rasanya ku mengucap istighfar! Sederet isu ini sebetulnya memiliki potensi menjadi bumbu taburan yang mengikat apabila: 

1) premis yang diusung Truth or Dare tidak kelewat menggelikan untuk dibawa serius, serta 
2) ada perkembangan karakter mumpuni yang membuat penonton memahami lalu peduli terhadap masing-masing karakter. 


Tapi kenyataannya kan tidak demikian. Premisnya konyol dan karakter di film ini tak lebih dari sekumpulan stereotip karakter dalam film horor yang dangkal. Alhasil, selama separuh akhir, Truth or Dare tak saja menjelma menjadi FTV bertajuk “Aku Jatuh Cinta Pada Kekasih Sahabatku” tetapi juga ketoprak lantaran setiap tindakan para karakternya mengundang gelak tawa tak disengaja (ehem, mencari solusi dari Google dan Facebook? Dasar generasi milenial!). Mengingat rating PG-13 membatasi film untuk tampil liar; adegan pencabutan nyawa yang monoton dengan sebagian besar hanya menggunakan pistol dan tantangan yang makin lama justru makin drama (serius, ini setan sepertinya gemar nonton reality show atau sinetron deh!), maka daya tarik yang tersisa dari film ini adalah kekonyolannya yang tak berkesudahan dan Lucy Hale yang rupawan. Aktingnya? Ah lupakan saja.

Poor (2/5)

REVIEW : A QUIET PLACE


“Who are we if we can’t protect them? We have to protect them.” 

A Quiet Place, sebuah film horor arahan John Krasinski (The Hollars, Brief Interviews with Hideous Men), mempunyai sebuah premis menggigit yang bisa jadi akan seketika menarik perhatianmu. Dalam film tersebut, suami dari Emily Blunt (yang didapuk menjadi pemeran utamanya) ini mengajukan premis berbunyi, “bagaimana jika di masa depan manusia harus bertahan hidup dari serangan makhluk asing dengan cara tidak mengeluarkan suara sama sekali?”. Coba bayangkan, manusia dewasa ini yang tidak sanggup menahan godaan untuk mempergunjingkan orang lain saban beberapa menit sekali dipaksa untuk tutup mulut sepenuhnya. Tentu saja bukan perkara mudah. Tapi ada konsekuensinya jika kamu keberatan untuk tutup mulut: siap-siap saja dibantai oleh makhluk asing yang entah darimana datangnya. Seramnya lagi, ini tidak sebatas berlaku pada mengistirahatkan pita suara tetapi juga menghilangkan bunyi-bunyian yang diciptakan oleh derap kaki, tepukan tangan, batuk-batuk ringan, kipas angin, mainan berbaterai, kertas yang sobek, pemutar musik, ketikkan di gawai canggih, klakson kendaraan, serta aktivitas (berikut benda) sehari-hari lainnya yang menimbulkan bunyi. Gila, kan? Ya, A Quiet Place memang mempunyai premis gila, tapi ini belum ada apa-apanya tatkala dibandingkan dengan hasil akhirnya. Si pembuat film sanggup mentranslasinya ke dalam sebuah tontonan seram yang akan membuatmu enggan menghembuskan nafas barang sejenak. 

Dalam A Quiet Place, John Krasinski membawa kita ke beberapa tahun di masa depan saat bumi bukan lagi suatu planet yang layak huni bagi manusia. Penonton tidak pernah diberi narasi menyeluruh mengenai kekacauan yang membawa bumi pada kehancuran, melainkan hanya sekilas lalu dari tajuk utama di surat kabar bekas yang berserakan dimana-mana. Dari tajuk utama tersebut kita memperoleh informasi bagaimana suara telah menciptakan kematian misterius di berbagai belahan dunia. Populasi manusia menyurut dan kota-kota besar ditinggalkan sehingga membuat jalanan utama kosong melompong seperti di film-film zombie. Tidak diketahui secara pasti ada berapa umat manusia yang masih berlalu lalang di atas tanah karena fokus utama dari A Quiet Place yang memilih bercerita secara intim hanyalah sebuah keluarga yang terdiri atas Ayah (John Krasinski), Ibu (Emily Blunt), serta tiga orang anak dengan konfigurasi satu perempuan dan dua laki-laki. Mereka bertahan hidup dengan cara mengambil persediaan di supermarket terbengkalai, menangkap ikan di sungai, mendiami sebuah rumah pertanian, dan paling penting, tidak bersuara. Maklum, suara sekecil apapun dapat mendatangkan petaka besar bagi mereka. Demi meminimalisir munculnya suara, kelimanya pun sepakat untuk melepas alas kaki dan berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat. Akan tetapi, upaya mereka untuk membisu ini mengalami kegagalan tatkala salah satu dari mereka melakukan kesalahan besar yang tidak saja mendatangkan petaka tetapi juga penyesalan mendalam. 


Tanpa banyak berbasa-basi, Krasinski yang turut menempati posisi sutradara dan peracik skrip seketika membawa penonton pada situasi yang tidak menenangkan dalam A Quiet Place. Kita melihat keluarga kecil ini tengah berkeliling supermarket untuk mencari obat. Si kecil bermain-main, berlari-lari, yang belum apa-apa sudah membuat diri ini was-was. Mungkinkah ada sesuatu yang berbahaya tengah mengintai mereka di sana? Suasananya memang sangat sunyi. Kalaupun ada suara, itu berasal dari deru angin atau burung-burung yang menari-nari di udara seolah mengejek para manusia yang dibuat tak berdaya oleh ancaman makhluk asing. Interaksi antar karakter dilangsungkan menggunakan bahasa isyarat atau sekadar ekspresi wajah. Hanya jika keadaan memungkinkan (berdasar aturan main di film ini, mereka bebas bersuara saat ada suara lebih keras di sekitar mereka), dialog verbal dapat muncul. Bisik-bisik pun sebisa mungkin dihindari karena hey, tidak ada salahnya menghindari tindakan yang beresiko, bukan? Siapa yang tahu suara seperti apa yang masih bisa ditolerir? Dari kesunyian ini, Krasinski lantas membangun teror. Menciptakan situasi yang sangat mengusik kenyamanan sehingga memunculkan rasa tercekam dalam diri penonton. Betapa tidak, kita tidak pernah benar-benar tahu kapan ancaman tersebut akan datang menghampiri. Kelima karakter dalam A Quiet Place dapat berbuat blunder sewaktu-waktu mengingat benda-benda yang menghasilkan bunyi-bunyian masih mudah dijumpai di sekitar mereka. Kayu yang berderit, misalnya. 

Kelihaian Krasinski dalam membuat penonton megap-megap karena sulit untuk bernafas (ya gimana bisa bernafas kalau setiap menitnya adalah ancaman!) mendapat sokongan bagus dari tim tata suara yang mampu menghasilkan ‘kesunyian mencekam’. Saya justru merasa tenang saat ada suara, dentuman atau apalah-apalah itu, tapi begitu mode suara beralih ke senyap, hmmm… baiklah. Bersiap-siap buat merapal doa dalam hati seraya meremas-remas kursi bioskop nih. Oia, kesunyian ini bukan berarti tanpa suara sama sekali seperti halnya film bisu lho karena skoring musik mengejutkan khas film seram masih setia mengiringi utamanya tatkala si peneror telah tiba di sekitar personil keluarga. Hanya saja, A Quiet Place memang terasa lebih mencekam justru saat musik-musik ini tiada. Pada suasana yang sunyi ini pula, kita memperoleh kesempatan untuk menengok keluarga fiktifnya John Krasinksi-Emily Blunt. Dari sini, kita sebagai ‘pengamat’ menyaksikan munculnya figur orang tua yang rela melakukan apa saja demi menyelamatkan anak-anaknya, mendapati upaya mereka untuk berdamai dengan duka usai suatu kehilangan besar, serta melihat merenggangnya suatu hubungan yang dipicu oleh komunikasi yang kurang intens serta cenderung terhambat. Meski Krasinski ditemani duo penulis skrip, Bryan Woods dan Scott Beck, tidak menggali konflik internal ini lebih dalam lagi, tapi apa yang mereka paparkan telah cukup untuk menghasilkan momen emosional yang menonjok sekaligus membekali penonton sehingga mereka dapat membentuk afeksi dengan para karakter inti.


Beruntungnya, A Quiet Place memiliki jajaran pemain yang bisa diandalkan seperti John Krasinski, Emily Blunt, serta duo bocah Millicent Simmonds (sekadar informasi, dia memang tuna rungu di kehidupan nyata seperti karakter yang dimainkannya) dan Noah Jupe yang memerankan putra-putri dari Krasinski-Blunt. Mereka membentuk chemistry meyakinkan sampai-sampai kita bisa meyakini bahwa mereka adalah keluarga betulan. Kala berlakon sendiri-sendiri pun, keempat pemain ini memberikan performa yang impresif. Simmonds menyembunyikan kerapuhan dan kekecewaan dibalik topeng tangguhnya, sementara Jupe adalah bocah polos yang dipaksa tumbuh lebih cepat karena keadaan. Lalu Krasinski tampak seperti seorang ayah dan pejuang yang begitu menyayangi keluarganya tapi mengalami kesulitan dalam mengungkapkan rasa cintanya, sementara Blunt memancarkan aura keibuan yang sangat kuat. Blunt berkesempatan pula untuk unjuk gigi dalam A Quiet Place – membuktikan bahwa dia adalah aktris yang patut diperhitungkan – melalui adegan paling membekas dari film ini yaitu ‘tertimpa kesialan di hari H’. Tengok saja ekspresinya, air mukanya, yang menyiratkan rasa sakit bercampur ketakutan. Membuat diri ini ikut berada dalam fase berdebar-debar tidak karuan. Ikut merasa tertekan! Kemahiran para pelakon dalam berolah peran ini memang menjadi salah satu kunci keberhasilan A Quiet Place karena berkat mereka, penonton dapat menginvestasikan emosi. Dapat memberikan dukungan moril sehingga film pada akhirnya tak saja mampu menciptakan teror dan momen emosional yang mengesankan, tetapi juga kenangan (entah baik entah buruk).

Outstanding (4/5)

REVIEW : GAME NIGHT


“This will be a game night to remember.” 

Bagaimana jadinya saat sebuah malam permainan yang semestinya cuma seru-seruan bersama kawan dekat di ruang tamu malah berujung petaka yang mengancam nyawa? Jelas ini bukan suatu kejadian yang diharapkan terjadi oleh siapapun, meski rasa-rasanya kita sama sekali tidak keberatan melihatnya terjadi di sebuah film layar lebar. Terdengar mengasyikkan, bukan? Premis seputar permainan sederhana yang malah berbalik mengancam keselamatan sang pemain memang tidak lagi baru di perfilman Hollywood – kita telah melihatnya dari Jumanji (1995) yang berbalut fantasi, The Game (1997) yang menjajaki teritori thriller, sampai paling baru The Commuter (2018) – akan tetapi duo sutradara John Francis Daley dan Jonathan Goldstein yang sebelumnya menggarap Vacation (2015) dan menulis naskah untuk Horrible Bosses (2014) memiliki cara agar sajian mereka yang bertajuk Game Night ini tidak terasa basi serta tetap mengasyikkan buat diikuti sekalipun guliran pengisahan yang diajukannya akan membuat kita seketika teringat pada The Game… pada mulanya. Yang lantas mereka lakukan yakni mengemas Game Night sebagai tontonan komedi gila-gilaan tanpa mengenal batas yang di dalamnya dipenuhi twist and turn pada tuturannya serta mengandung seabrek referensi budaya populer pada humornya yang dijamin akan membuat para movienthusiast bersorak gembira saat menontonnya. Dijamin. 

Dalam Game Night, kita diperkenalkan kepada sepasang suami istri, Max (Jason Bateman) dan Annie (Rachel McAdams), yang kerap mengajak serta sahabat-sahabat mereka seperti pasangan sejak bangku SMP, Kevin (Lamorne Morris) dan Michelle (Kylie Bunbury), beserta Ryan (Billy Magnussen) yang kerap bergonta-ganti pasangan, untuk mengikuti malam permainan. Yang mereka mainkan sebetulnya simpel saja seperti monopoli, jenga, pictionary, charade, sampai Trivial Pursuit. Tidak ada yang benar-benar istimewa disini sampai kemudian saudara Max yang keren, Brooks (Kyle Chandler), ikut meramaikan malam permainan. Brooks mengundang ‘kelompok bermain’ ini untuk datang ke villa miliknya dan merubah peta permainan dengan menyewa penyedia jasa permainan peran demi memberi kesan riil. Nantinya, salah satu dari mereka akan ‘diculik’ oleh sekelompok penjahat sementara anggota yang tersisa berlomba-lomba mencari petunjuk yang dapat membebaskan kawan mereka tersebut. Yang tidak Max beserta konco-konco sadari, saat dua laki-laki bertopeng hitam tiba-tiba mendobrak masuk ke villa milik Brooks lalu bergumul dengan Brooks dan kemudian menculiknya, permainan belum sepenuhnya dimulai. Keenam personil – termasuk teman kencan Ryan, Sarah (Sharon Horgan) – baru menyadari ada sesuatu yang salah pasca petunjuk demi petunjuk telah terurai dan mereka mendapatkan telepon yang meminta mereka menyerahkan sebuah benda sebelum tengah malam yang nantinya akan ditukar dengan nyawa Brooks.


Terhitung sedari diculiknya Brooks sang tuan rumah, Game Night mengalami eskalasi baik dari sisi humor maupun laga. Dan ini sebuah kabar yang sangat bagus! Betapa tidak, sebelum kita mendapati apa permasalahan utama yang disodorkan oleh film, kelucuan sejatinya telah bertebaran dimana-mana. Mayoritas bersumber dari malam permainan yang diadakan oleh Max dan Annie. Ada seabrek referensi ke budaya popular terutama film yang akan membuat para pecandu film bersorak-sorak bergembira atau malah justru tertawa tergelak-gelak. Disamping kelucuan, Game Night turut menyematkan elemen misteri di awal mula yang ditandai oleh keberadaan polisi creepy yang tinggal di seberang rumah Max, Gary (Jesse Plemons). Sosok Gary begitu mencuri perhatian dalam setiap kemunculannya karena kemisteriusannya. Jangankan penonton, para personil malam permainan pun tidak bisa benar-benar yakin apa yang dapat dilakukan oleh Gary. Betulkah dia masih waras? Atau dia memiliki gangguan kejiwaan yang dapat melukai orang lain usai ditinggal pergi sang istri? Plemons memainkan perannya dengan baik; menunjukkan seringai dan tatapan menyeramkan, tapi masih memiliki sentuhan komikal. Duo Jason Bateman dan Rachel McAdams juga bermain kompak sebagai pasangan suami istri yang kompetitif, begitu pula dengan Billy Magnussen yang kebodohannya bikin gregetan dan duo Lamorne Morri beserta Kylie Bunbury yang kehadirannya mulai memberikan impak setelah karakter yang mereka mainkan dihadapkan pada permainan “guess who?”

Ini terjadi di malam penculikan Brooks. John Francis Daley dan Jonathan Goldstein mulai melancarkan ‘serangan’ bertubi-tubi kepada penonton dalam bentuk humor-humor segar yang terkadang menjajaki ranah slapstick tapi sebagian besar diantaranya tepat sasaran sehingga kita pun tidak keberatan sama sekali toh kita dapat dibuat tertawa hebat olehnya, sejumlah sekuens laga mendebarkan yang salah satu paling membekas di ingatan tatkala para personil malam permainan saling melempar ‘telur’ bak tengah bermain football yang dikemas dalam satu sekuens panjang tanpa putus, serta jalinan pengisahan mengikat yang akan membuatmu senantiasa menerka-nerka kemana muaranya terutama karena di dalamnya penuh dengan kelokan-kelokan tak terduga. Ditengah segala canda tawa, Daley dan Goldstein juga tidak lupa menyelipkan sejumput ‘hati’ ke dalam penceritaan yang berceloteh soal persaingan antar saudara, keengganan untuk tumbuh dewasa, hingga kepercayaan dalam pernikahan. Takarannya berada di level cukup, jadi tak mengganggu laju film yang bergegas cenderung ngebut dan nada film yang gila-gilaan. Si pembuat film mengupayakan agar Game Night yang mereka selenggarakan betul-betul meninggalkan kesan mendalam di hati para pesertanya (baca: penonton), dan itu berhasil. Game Night mampu memberikan banyak sekali kesenangan sepanjang durasi mengalun sampai-sampai membuat saya lemas begitu film berakhir lantaran berulang kali tertawa heboh. Pecah!


Note : Game Night memiliki dua adegan tambahan. Pertama, mengiringi bergulirnya end credit. Dan kedua, terletak di penghujung end credit. Jadi jangan terburu-buru beranjak dari kursi bioskop.

Outstanding (4/5)

REVIEW : THE POST


“If the government wins, The Washington Post will cease to exist.” 

Hanya berpatokan pada siapa-siapa yang terlibat, The Post sebetulnya telah terdengar begitu menggiurkan. Betapa tidak, film ini mengawinkan dua aktor besar, Tom Hanks dengan Meryl Streep, di garda terdepan departemen akting dan dibesut oleh Steven Spielberg yang telah memberi kita film-film legendaris seperti E.T. the Extra-Terrestrial (1982), Jurassic Park (1993), serta Saving Private Ryan (1998). Seolah ini belum cukup untuk membuat kita buru-buru memesan tiket bioskop, The Post turut menyodorkan materi cerita yang seksi terkait keterlibatan media massa di Amerika Serikat – khususnya The Washington Post – dalam mengungkap skandal militer yang berlangsung dibawah pemerintahan Richard Nixon pada awal dekade 70-an. Bukan, bukan mengenai Watergate yang menghebohkan itu, melainkan bocornya dokumen-dokumen rahasia setebal 4000 halaman lebih yang disebut Pentagon Papers. Dalam dokumen yang mencakup data-data dari tahun 1945 hingga 1967 tersebut, terpapar analisa mendalam yang menyatakan bahwa negeri Paman Sam sejatinya tidak memiliki kans untuk berjaya dalam Perang Vietnam. Alasan terbesar yang lantas membuat Amerika Serikat kekeuh bertahan dan enggan menarik pasukan dari medan tempur adalah ketidakrelaan untuk menanggung rasa malu karena kekalahan atau dengan kata lain, gengsi. 

Jatuhnya dokumen negara super rahasia ini ke tangan para jurnalis di The New York Times menjadi cikal bakal bagi The Post dalam memulai guliran pengisahannya. Dari sini, Steven Spielberg membagi fokus penceritaan menjadi dua cabang yang masing-masing dikomandoi oleh Katherine Graham (Meryl Streep) selaku penerbit dan Ben Bradlee (Tom Hanks) selaku editor eksekutif. Melalui sosok Katherine, penonton mendapati cerita cenderung personal mengenai perempuan pertama yang menempati posisi tertinggi dalam bidang penerbitan surat kabar di Amerika Serikat. Katherine mewarisi The Washington Post usai suami dan mertuanya berpulang. Meski memiliki kemampuan bersosialisasi yang mumpuni – terbukti dari lingkaran pertemanannya yang meliputi politikus-politikus besar, namun Katherine tidak cukup luwes dalam berbisnis. Keputusan-keputusan yang diambilnya, termasuk saat menjual saham perusahaan secara terbuka, acapkali dipengaruhi oleh penasehat-penasehatnya yang seluruhnya laki-laki. Sedangkan melalui sosok Ben, penonton memperoleh cerita mengenai upaya para jurnalis untuk mengangkat derajat The Washington Post yang selama ini dianggap sebatas koran lokal receh. Pasca mengetahui The New York Times memiliki materi berita yang berpotensi menggemparkan seluruh negara, Ben pun menitahkan anak buahnya untuk mengejar sang sumber berita sehingga mereka tidak saja dapat meningkatkan reputasi surat kabar tetapi juga menjalankan kewajiban untuk memberitakan kebenaran kepada masyarakat.

Tatkala menonton The Post, ada dua hal yang mesti banget dipersiapkan, yakni kesabaran dan konsentrasi. Selepas disuguhi sajian berupa para tentara negeri adidaya kewalahan dalam melayani serbuan Vietkong lalu dilanjut pembobolan berkas-berkas penting milik Departemen Pertahanan terkait relasi Amerika Serikat dengan Vietnam yang menciptakan intensitas di permulaan film, The Post mulai menstabilkan lajunya di level ‘pelan’. Letupan-letupan besar disisihkan terlebih dahulu demi memberi ruang bagi penonton untuk berkenalan secara intim dengan dua karakter kunci dalam film; Katherine dan Ben, sekaligus memahami secara utuh rentetan peristiwa yang tengah dihadapi oleh The Washington Post. Ya, sebelum bergerak lebih jauh, Spielberg selaku tukang cerita mencoba untuk memastikan bahwa penonton benar-benar memahami tentang posisi Katherine, urgensi dalam meyakinkan para investor saham, obsesi Ben, serta kebohongan-kebohongan yang disembunyikan pemerintah melalui Pentagon Papers. Kelihaian Spielberg dalam bercerita membuat materi dongeng yang rada-rada njelimet ini terasa menarik buat disimak alih-alih menjemukan. Ketertarikan memang tidak serta merta terbentuk melainkan muncul sedikit demi sedikit seiring bergilirnya durasi. Seiring didapatnya gambaran lebih utuh mengenai apa yang sejatinya hendak disampaikan oleh The Post

The Post bukanlah Spotlight (2016) yang meletakkan sebagian besar fokus penceritaannya pada pengejaran berita. Di sini, duo penulis skrip, Liz Hannah dan Josh Singer, turut memecah fokusnya ke pergulatan batin si penerbit yang dihadapkan pada pilihan dilematis: memilih teman-teman politikusnya yang jelas merupakan pilihan aman atau mempersilahkan para jurnalisnya untuk mempublikasikan kebohongan yang ditutup rapat oleh pemerintah selama bertahun-tahun meski konsekuensinya adalah dijauhi oleh investor serta dipenjara lantaran dianggap menyalahi UU spionase. Tentu dibutuhkan keahlian bercerita yang tinggi agar dua cabang ini tidak terasa penuh sesak atau timpang sebelah. Spielberg, seperti telah diperkirakan, mampu menyeimbangkan dua fokus penceritaan tersebut sehingga keduanya dapat berjalan beriringan dan saling menopang. Cerita milik Ben memang mesti diakui lebih menggigit karena menyoroti pada jurnalisme investigasi. Akan tetapi, cerita milik Katherine tidak lantas melempem sekalipun cakupannya personal terkait upayanya memperoleh kepercayaan dari dirinya sendiri maupun laki-laki alpha di sekelilingnya. Ditunjang oleh akting gemilang Meryl Streep, kita bisa memahami keragu-raguannya, ketakutannya untuk berbuat kesalahan, harapannya untuk mendapatkan respek dari pria-pria di sekitarnya yang memandangnya sepele, kemauannya belajar dari kesalahan, serta keberaniannya dalam mengambil keputusan. 

Ndilalah, Meryl Streep memiliki lawan main yang tak kalah piawainya dalam berolah peran, Tom Hanks. Sosok Ben yang menyala-nyala memberi keseimbangan di saat sosok Katherine cenderung lebih kalem. Keduanya mulai sering bertatap muka tatkala dua cabang cerita saling beririsan yang sekaligus menandai terdeteksinya eskalasi ketegangan dalam The Post. Ketegangan dapat tercium dengan jelas pasca anak buah Ben menginformasikan bahwa dia telah mendapatkan materi berita yang dibutuhkan. Yang tidak disangka-sangka, adegan conference call yang berlangsung di rumah Katherine dan Ben demi mencapai mufakat mampu membuat diri ini berada dalam fase “dag dig dug” sekaligus meremas-remas kursi bioskop. Terhitung sedari momen emas ini, The Post secara konstan menghadirkan guliran pengisahan yang mencekam serta mencengkram. Kita mungkin telah mengetahui kemana muara film ini, tapi kita tidak ambil pusing karena yang diinginkan adalah menyaksikan proses para jurnalis di The Washington Post mencapai muara tersebut. Bagaimana mereka menyusun artikel bernas dari dokumen negara setebal ribuan halaman, bagaimana mereka memperjuangkan kebebasan pers di saat sang presiden mengancam akan membredel tempat mereka mencari penghasilan, dan bagaimana mereka menunjukkan tanggung jawab kepada masyarakat yang dianggap perlu mengetahui kebohongan-kebohongan pemerintah. Mengusung isu yang begitu relevan dengan dewasa ini yang mana kebebasan pers tengah terancam dan berita bohong kian marak dijumpai, tak salah kiranya menyebut The Post sebagai film yang penting disimak oleh siapapun.



Note : Satu lagi yang berkesan dari The Post, film ini memberi kita detil kecil mengagumkan tentang cara kerja mesin cetak surat kabar. Ya, kita tidak hanya diajak berkeliling ruang kerja jurnalis tetapi juga diajak mengunjungi percetakan!

Outstanding (4/5)

REVIEW : HAPPY DEATH DAY


“Look, I know this isn’t going to make any sense. I feel like I’m losing my mind. I’ve already lived through this day.” 

Rumah produksi Blumhouse Productions tahu betul bagaimana caranya mengolah film berkonsep tinggi dengan bujet murah tanpa harus mengorbankan kualitas dari film bersangkutan. Tengok saja The Purge, Split, serta Get Out yang sanggup memanfaatkan ruang gerak serba terbatas secara efektif sehingga menghasilkan tontonan mencekam yang mencengkram erat. Usai melepas dua judul terakhir pada kuartal pertama tahun ini yang disambut sangat hangat oleh kritikus sekaligus khalayak ramai, Blumhouse kembali mencoba peruntungan di 2017 dengan meluncurkan Happy Death Day yang premisnya saja telah menggelitik rasa kepenasaran saya untuk segera menontonnya. Coba bayangkan, bagaimana seandainya kamu tewas dibunuh di hari ulang tahunmu lalu hari pembunuhanmu tersebut terus berulang dan berulang seolah tak pernah berakhir? Yang pertama kali terlintas di benak saat mendengar premisnya, film arahan Christopher B. Landon (Paranormal Activity: The Marked Ones) ini bagai percampuran antara Groundhog Day (1993) yang mengaplikasikan konsep time loop (satu waktu tertentu yang terus mengalami perulangan) dengan Scream (1996) yang berada di jalur slasher dengan bumbu komedi. Menarik sekali, bukan? Kabar baiknya, Happy Death Day sanggup tampil dalam kapasitas cukup memuaskan dan tidak mempermalukan sumber referensinya. 

Dalam Happy Death Day, kita diperkenalkan kepada seorang mahasiswi populer yang mewakili stereotip “dumb bitch” bernama Tree Gelbman (Jessica Rothe). Pada hari ulang tahunnya yang ke-18, Tree terbangun di kamar asrama seorang laki-laki yang tidak dikenalnya, Carter Davis (Israel Broussard), tanpa sedikitpun mampu mengingat apa yang telah terjadi di malam sebelumnya. Selepas memberi respon sama sekali tak bersahabat kepada Carter yang ternyata telah membantunya, Tree berlari kembali ke asramanya di klub persaudaraan Kappa Kappa Gamma. Selama perjalanan, Tree dihampiri aktivis penyelamat lingkungan, menyaksikan sepasang kekasih batal bercumbu akibat semprotan air otomatis, berjumpa dengan seorang pria yang naksir berat kepadanya, dicecar pertanyaan oleh ketua klub persaudaraannya, sampai mendapat cupcake ulang tahun dari teman sekamarnya, Lori Spengler (Ruby Modine). Yang lantas dilakukan oleh Tree di sisa hari yakni menemui dosen sekaligus kekasih gelapnya, Gregory Butler (Charles Aitken), dan menghadiri sebuah pesta. Tatkala menuju ke lokasi digelarnya pesta, seseorang dengan topeng bayi menyergapnya kemudian membunuhnya. Alih-alih berpindah ke alam lain, jiwa Tree justru terjebak di hari ulang tahunnya dan terus mengulang kembali apa yang telah dialaminya selama sehari sampai dia mengetahui siapa dalang dibalik kematiannya. 


Happy Death Day telah memberikan pertanda bahwa film ini akan menjadi tontonan yang mengasyikkan semenjak logo Universal muncul dengan gaya tidak biasa mengikuti guliran pengisahan film yang mengaplikasikan konsep time loop: mendadak berhenti setelah satu detik mengalun, lalu diulang lagi dari awal. Dan memang, pertanda tersebut sama sekali tidak berbohong karena Landon sanggup mengemas Happy Death Day menjadi gelaran hiburan yang menyenangkan dengan nuansa yang sedikit banyak membuat saya bernostalgia ke sederet film slasher remaja di era 1990-an seperti Scream, I Know What You Did Last Summer, sampai Urban Legend. Kita diperkenalkan dengan karakter utama perempuan yang cantik, lalu diajak memasuki area kampus dan dipertemukan dengan karakter-karakter sampingan dari berbagai strata sosial (yang semestinya pula kita curigai satu persatu), kemudian sesosok pembunuh yang mengenakan topeng muncul dan pembunuhan pun terjadi. Pembedanya, si pembunuh tidak dikondisikan untuk mengenyahkan karakter-karakter sampingan terlebih dahulu melainkan seketika mengincar si karakter utama yang mulanya sungguh teramat menjengkelkan itu. Mengingat Happy Death Day mempergunakan konsep time loop, maka terbunuhnya Tree untuk pertama kalinya bukanlah akhir dari segalanya akan tetapi justru awal dari rentetan kesialan yang akan dihadapi oleh Tree. 

Momen-momen yang memperlihatkan Tree berhadapan langsung dengan si pembunuh menjadi daya tarik utama film. Landon mampu menginjeksikan intensitas yang mencukupi dan mengkreasi adegan-adegan pembunuhan yang kreatif sehingga tewasnya Tree senantiasa memberi sensasi berdebar-debar kepada penonton sekaligus memancing rasa penasaran karena cara Tree menjumpai ajal yang acapkali berbeda antara satu dengan yang lain. Memang sih sebagai film yang mengatasnamakan dirinya sebagai horor, Happy Death Day agak sulit dikata menakutkan (maklum, ratingnya di Amerika Utara sendiri hanya PG-13 yang cukup membatasi film untuk hadir dalam tingkat kekerasan dan teror yang lebih tinggi). Namun ketiadaan momen besar yang membuat diri ini meringkuk tampan di kursi bioskop atau mengalami mimpi buruk usai menontonnya, tidak sedikitpun menghalangi Happy Death Day dalam memberi pengalaman menonton yang mengasyikkan. Faktor penyebabnya adalah kemampuan si pembuat film untuk mengkreasi serentetan momen Tree diteror si pembunuh yang tidak saja mencekam tetapi juga mengundang derai tawa serta performa memikat dari Jessica Rothe yang mampu menghadirkan transformasi meyakinkan terhadap sosok Tree sehingga saya tidak merasa keberatan untuk memberi dukungan penuh kepadanya. Saya sempat berada di fase harap-harap cemas menanti apa yang akan menimpanya: akankah dia sanggup melewati hari kematiannya atau malah terperangkap di hari tersebut untuk selamanya.

Exceeds Expectations (3,5/5)


REVIEW : AMERICAN ASSASSIN


“The enemy dresses like a deer and kills like a lion, which is what we’ve got to do.” 

Di tengah deburan ombak kecil serta terik sinar matahari yang menyinari pantai di Ibiza, Spanyol, seorang pemuda bernama Mitch Rapp (Dylan O’Brien) melamar kekasihnya, Katrina (Charlotte Vega). Memperoleh kejutan manis seperti ini, sang kekasih yang tersenyam senyum penuh kebahagiaan buru-buru mengiyakan yang lantas disambut sorak sorai para pelancong lain yang sedang berjemur. Usai memperoleh pelukan dan kecupan dari Katrina, Mitch undur diri sejenak untuk mengambil minuman beralkohol guna merayakan salah satu momen paling berharga dalam kehidupannya yang selama ini sarat penderitaan. Kebahagiaan meluap-luap yang melingkungi Mitch, tanpa dinyana-nyana kemudian terenggut habis usai kelompok teroris Muslim pimpinan Adnan Al-Mansur (Shahid Ahmed) melepaskan tembakan ke berbagai penjuru secara membabi buta. Para pelancong yang panik pun berhamburan kesana kemari demi menyelamatkan diri masing-masing. Sebagian yang beruntung berhasil melarikan diri dengan selamat, sementara sebagian lain meregang nyawa akibat tertembus timah panas. Salah satu korban jiwa adalah Katrina yang ditembak berkali-kali tepat di depan mata Mitch yang tak bisa berbuat apa-apa. 

Melalui adegan pembuka berintensitas tinggi yang secara cepat berganti haluan dari semula romantis menuju horor ini, Michael Cuesta (Kill the Messenger, 12 and Holding) memberi penonton sebuah sentakan hebat. Kombinasi antara gerak kamera tangkas, penyuntingan dinamis, serta tata suara tajam memungkinkan kita seolah-olah sedang berada di resor yang mendadak disulap menjadi medan perang oleh kelompok teroris dengan suara tembakan, desingan peluru, serta gelimpangan mayat berlumuran darah menghiasi sekeliling. Apakah Cuesta terinspirasi dari peristiwa penyerangan di Tunisia pada tahun 2015 silam yang menewaskan 37 turis dalam mengonstruksi adegan pembuka yang sangat mengejutkan ini? Bisa jadi memang demikian. Satu yang pasti, adegan pembuka dari film yang didasarkan pada novel rekaan mendiang Vince Flynn ini merupakan peringatan dari si pembuat film untuk para penonton bahwa level kekerasan yang menyertai rentetan gelaran laga di sepanjang durasi American Assassin terbilang tinggi. Dia seolah berkata, “biasakan untuk mendengar suara lesatan peluru yang menembus tubuh manusia secara mendadak maupun pemandangan-pemandangan tak nyaman di mata karena itulah yang akan kamu sering jumpai di American Assassin.”


Kita dipersilahkan sedikit bernafas lega saat film memberi kesempatan untuk melongok sekelumit kehidupan Mitch usai tewasnya sang kekasih. Dia meninggalkan aktivitas normalnya, lalu menggembleng habis fisiknya, dan mempelajari cara menembak beserta berkomunikasi dengan Bahasa Arab. Tujuannya adalah agar dia mampu menyelinap masuk ke dalam markas Adnan dan menghabisinya. Keberhasilan Mitch melacak lokasi pria yang dianggapnya bertanggung jawab atas hancurnya kehidupan miliknya ini mendapat perhatian dari Wakil Direktur CIA, Irene Kennedy (Sanaa Lathan), yang lantas merekrutnya untuk bergabung dengan CIA. Digembleng oleh veteran Perang Dingin, Stan Hurley (Michael Keaton), Mitch dipersiapkan untuk menghentikan misi dari seorang misterius berjulukan Ghost (Taylor Kitsch) yang berencana memulai Perang Dunia III. Semenjak Mitch diterjunkan ke lapangan bersama Stan beserta seorang agen asal Turki, Annika (Shiva Negar), barulah kita menyadari bahwa peringatan dari Cuesta di awal mula bukanlah sebatas gertak sambal. American Assassin memang terhitung brutal kala memvisualisasikan adegan kekerasannya sampai-sampai diri ini sempat dibuat ngilu terutama pada adegan penyiksaan jelang klimaks. 

Apakah ini berarti American Assassin disesaki oleh parade adegan sarat kekerasan yang berdarah-darah? Saya bisa memastikan, semuanya ditampilkan sang sutradara dalam batasan yang masih bisa ditolerir. Lagipula kamu tidak akan terlampau merisaukannya, seperti kamu akan melupakan kenyataan bahwa skrip film ini terlampau tipis pula generik sebagai tontonan political thriller, begitu mendapati American Assassin mempunyai sederet sekuens laga beroktan tinggi dengan skala besar yang sedap buat disimak. Ya, mesti diakui bahwa Cuesta sangat terampil dalam mengkreasi adegan yang akan membuat adrenalinmu senantiasa terpacu. Disamping adegan pembuka, kita masih mendapati beberapa kali kejar-kejaran ditengah keramaian pusat kota yang intensitasnya tak sekalipun mengendur, ada pula salah satu adegan baku hantam paling keren dalam film laga yang berlangsung di atas perahu motor yang melaju kencang, sampai sebuah klimaks menghentak di tengah laut melibatkan beberapa kapal perang yang ditampilkan bak film bencana alam. Keseruan sekuens laganya yang terus datang silih berganti ditambah lagi performa barisan pemainnya yang cukup baik khususnya Dylan O’Brien dan Michael Keaton membuat American Assassin berhasil tersaji sebagai sebuah tontonan eskapisme yang mengasyikkan untuk dipirsa di layar lebar seraya mengunyah berondong jagung meski ada kemungkinan tidak akan mengendap lama di ingatanmu.

Exceeds Expectations (3,5/5)


REVIEW : BAD GENIUS


“To me ‘cheating’ means someone gets hurt. What we do doesn’t hurt anyone. It’s win-win.” 

Siapa bilang perfilman Thailand hanya jago memproduksi film horor dan percintaan? Rumah produksi terkemuka di Negeri Gajah Putih, GDH 559 (sebelumnya dikenal dengan nama GTH), membuktikan bahwa mereka pun jagoan dalam mengkreasi tontonan mencekam dengan subgenre heist film melalui rilisan teranyar mereka bertajuk Bad Genius. Tak seperti para karakter dari film beraliran sama yang umumnya memiliki riwayat sebagai kriminal dan misi utamanya adalah melakukan perampokan demi mendapatkan setumpuk uang atau emas sebagai bekal dapatkan hidup sejahtera, para karakter dalam film arahan Nattawut Poonpiriya (Countdown) ini hanyalah siswa-siswi setingkat SMA yang masih berusia belasan. Yang mereka incar juga bukan kemilau emas melainkan skor bagus dalam ujian-ujian sekolah yang menentukan. Berbeda pula dengan The Perfect Score (2004) dimana tokoh-tokohnya saling berkonspirasi untuk nyolong kunci jawaban, Bad Genius lebih ke menyoroti sepak terjang sindikat penyedia jasa sontekan kecil-kecilan dalam menyusun trik menyontek agar tak kepergok pengawas ujian selama tes kemampuan akademis berlangsung. Suatu kecurangan semasa sekolah yang sejatinya pernah dilakukan hampir semua siswa, bukan? 

Guliran pengisahan Bad Genius sendiri terinspirasi dari berita mengenai pembatalan nilai tes SAT – tes standardisasi bagi pelajar yang ingin melanjutkan kuliah di universitas-universitas Amerika Serikat – setelah terbongkar adanya praktik menyontek massal dalam ujian di Tiongkok. Lewat Bad Genius, peristiwa tersebut direka ulang dan didramatisir sedemikian rupa menjadi kasus kecurangan dalam tes STIC yang merupakan fiksionalisasi SAT. Empat siswa yang dianggap bertanggungjawab antara lain Lynn (Chutimon Chuengcharoensukying), Bank (Chanon Santinatornkul), Pat (Teeradon Supapunpinyo), dan Grace (Eisaya Hosuwan). Di permulaan film, kita mendapati mereka dibombardir pertanyaan dalam suatu ruang interogasi usai kedapatan menyontek. Ada yang mengakui, ada pula yang mengelak. Kita pun dibuat bertanya-tanya, bagaimana semuanya ini bisa terjadi? Guna memaparkan kronologi peristiwanya, si pembuat film lantas melempar alur penceritaan ke tiga tahun sebelumnya saat para siswa ini baru memulai tahun ajaran awal di sebuah sekolah swasta terbaik. Penonton diperkenalkan kepada Lynn, siswi berotak brilian dari keluarga berekonomi pas-pasan yang mengalami kesulitan dalam interaksi sosial. 

Satu-satunya teman Lynn di sekolah adalah Grace yang bergabung dengan klub drama dan mewakili stereotip siswi cantik yang tidak pintar. Mengetahui Grace bermasalah dengan nilainya, Lynn berinisiatif untuk membantunya termasuk memberikan sontekan secara sukarela saat ujian. Kebaikan serta kecerdasan Lynn ini lantas dimanfaatkan kekasih Grace yang kaya raya sekaligus oportunis, Pat, yang menjanjikan senilai uang asalkan Lynn bersedia memberi dia dan beberapa kawan baikannya berupa sontekan saat ujian. Mengingat sang ayah (Thaneth Warakulnukroh) mengalami kesulitan secara finansial, Lynn menerima tawaran Pat. Perlahan tapi pasti, bisnis ilegal berkedok ‘les piano’ ini berkembang pesat seiring semakin banyaknya siswa yang bergabung bahkan merambah lebih jauh hingga ke tes STIC. Ancaman akan terbongkarnya praktik terlarang ini muncul dari siswa teladan yang polos dan memiliki jiwa pekerja keras, Bank. Tapi tentu saja Nattawut Poonpiriya tak akan membiarkan ‘les piano’ ini bubar jalan begitu saja hanya karena seorang Bank terlebih misi raksasa belum tercapai. Agar perjalanan menuju klimaks kian terasa greget, dia pun menghadirkan beberapa kelokan-kelokan yang akan membuatmu enggan untuk memalingkan muka barang sedetikpun dari layar bioskop.


Keengganan untuk memalingkan muka pada dasarnya telah terbentuk semenjak film memulai langkahnya. Cuplikan adegan interogasi di sela-sela babak introduksi mengapungkan kepenasaran untuk mengetahui lebih dalam kesulitan semacam apa yang menjerat keempat tokoh utama. Sedikit demi sedikit petunjuk yang mengarahkan pada adegan tersebut ditebar. Proses menuju detik-detik ‘pengungkapan fakta’ berlangsung amat menegangkan dengan intensitas yang tak sekalipun mengendur. Daya sentak untuk penonton secara resmi muncul pertama kali dalam adegan ujian di ruang kelas yang melibatkan Lynn dan Grace. Hanya bermodalkan properti berupa sepatu dan karet penghapus, sang sutradara yang memperoleh sokongan bagus dari penyuntingan lincah Chonlasit Upanikkit dan gerak kamera dinamis Phaklao Jiraungkoonkun berhasil menempatkan penonton dalam fase harap-harap cemas; menggigit-gigit kuku, menggenggam erat kursi bioskop, dan bercucuran keringat. Ya, ruang ujian dalam Bad Genius tak ubahnya bank atau ruang brankas di rumah seorang kaya dalam heist film pada umumnya. Situasinya memang tidak sampai tahapan seekstrim hidup-mati dan sekadar berhasil-gagal, namun tetap tak berdampak pada berkurangnya kadar ketegangan terlebih jika kamu pernah melakukan praktik menyontek atau memberi sontekan semasa sekolah. Mudah sekali untuk merasa terhubung. 

Seiring makin meluasnya bisnis yang dijalankan Lynn dan kawan-kawan, kemampuan Bad Genius dalam mencekam penonton turut berlipat ganda. Pasalnya, pertaruhannya terus ditingkatkan dan tidak lagi melibatkan satu dua karakter saja. “Apa yang akan terjadi selanjutnya?” adalah pertanyaan yang terus menerus berkecamuk di benak dan kandungan zat adiktif di Bad Genius memungkinkan kita untuk ketagihan mencari informasi yang lebih, dan lebih. Disamping pengarahan Nattawut, tata kamera Phaklao, serta editing Chonlasit, kunci keberhasilan lain dari Bad Genius sehingga penonton seolah-olah dilibatkan ke dalam film adalah akting cemerlang jajaran pemainnya khususnya pendatang baru Chutimon sebagai siswi yang dihimpit keadaan, Thaneth sebagai ayah yang sangat menyanyangi putrinya, dan Teeradon sebagai siswa kaya manja yang terkadang menyuplai humor, lalu naskah berisi racikan Nattawut bersama Tanida Hantaweewatana dan Vasudhorn Piyaromna. Tidak selamanya mulus – beberapa tindakan ada kalanya menyebabkan dahi mengerut – tapi masih sangat bisa dimaafkan karena terbayar oleh kesanggupannya menyuarakan kritik terhadap dunia pendidikan yang korup dan kerap kali menekan siswa dengan cara sangat mengasyikkan. Saya tak pernah sedikitpun menyangka lembar jawab pilihan ganda bisa membuat jantung berdegup begitu kencang kala ditampilkan dalam sebuah film layar lebar. Dalam Bad Genius, saya menjumpai itu.

Outstanding (4/5)


REVIEW : MINE


“My next step will be my last.” 

Coba bayangkan dirimu berada dalam situasi semacam ini: tersesat di padang gurun tanpa membawa persediaan hidup mencukupi, lalu tanpa sengaja menginjak sesuatu yang besar kemungkinan adalah sebuah ranjau. Apa yang akan kamu lakukan? Memutuskan berdiam diri hingga batas waktu tertentu seraya menunggu bala bantuan yang mungkin saja tidak akan pernah datang karena lokasimu amat terpencil dan berada di sekitar area konflik atau nekat memutuskan untuk melangkah dengan resiko akan kehilangan anggota tubuh tertentu? Situasi ini, kemudian pertanyaan-pertanyaan yang melanjutinya merupakan gambaran penceritaan secara garis besar dari film debut penyutradaraan duo Fabio Guaglione dan Fabio Resinaro (memakai nama panggung Fabio & Fabio), Mine, yang promonya mengisyaratkan akan berada di jalur survival thriller. Hanya saja, berbeda dengan film-film yang mempunyai pokok persoalan serupa mengenai bertahan hidup di alam liar semacam 127 Hours (2010), Buried (2010), hingga paling anyar The Shallows (2016), Mine tidak semata-mata berceloteh mengenai upaya sang protagonis untuk bertahan hidup. Si pembuat film turut sibuk menyisipinya dengan muatan filosofis yang membicarakan tentang bagaimana seharusnya menjalani kehidupan. 

Karakter sentral dalam Mine adalah seorang marinir asal Amerika Serikat bernama Mike Stevens (Armie Hammer). Bersama rekannya, Tommy Madison (Tom Cullen), Mike ditugaskan untuk menjalani misi di padang gurun yakni membunuh pemimpin dari sebuah kelompok ekstrimis di wilayah Afrika Utara. Pertentangan batin lantas menyergap Mike begitu mendapati bahwa targetnya tengah mengantarkan putranya ke tengah gurun guna menjalani prosesi pernikahan. Keragu-raguan untuk melesatkan tembakan berujung pada gagalnya misi yang membuat posisi keduanya terdesak. Guna melarikan diri dari kejaran antek-antek si target dan menjumpai bala bantuan yang konon akan dikirimkan ke desa terdekat, Mike dan Tommy pun melakoni perjalanan selama berjam-jam melintasi padang gurun. Perjalanan ini mengantarkan mereka menuju ke sebuah area yang ditanami ranjau darat. Mengabaikan peringatan karena menganggap ranjau telah berada di sana selama puluhan tahun dan tak lagi berfungsi, ada harga yang harus mereka bayar mahal. Tommy kehilangan kedua kakinya usai ranjau yang diinjaknya meledak seketika, sementara Mike yang sedikit lebih beruntung, harus bertahan di posisinya sampai batas waktu tertentu apabila tidak ingin ranjau di bawah kakinya meluluhlantakkan tubuhnya seperti terjadi pada rekannya.


Mesti diakui, Mine memulai langkah awalnya secara meyakinkan. Adegan menanti datangnya sang buron yang dilanjut kegamangan hati Mike antara ‘menembak atau tidak menembak’ dikonstruksi oleh Fabio & Fabio dengan tingkatan intensitas cukup tinggi dan laju penceritaan yang melesat cepat. Meski kita mengetahui ujungnya – well, kegagalan misi adalah pemantik munculnya rentetan konflik di film dan telah pula dijabarkan di sinopsis – tetap saja muncul sensasi berdebar-debar kala menanti keputusan Mike lantaran was-was pula kalau-kalau keberadaan kedua marinir ini diketahui oleh musuh. Ketegangan yang terbangun dengan baik di adegan pembuka ini lantas berlanjut saat penonton digiring memasuki area penuh ranjau. Detik-detik jelang meledaknya ranjau pertama akan membuatmu mencengkram erat kursi bioskop, begitu pula menit-menit selepasnya tatkala sang karakter sentral mencoba untuk menyesuaikan diri dengan pijakan beserta ‘lingkungan barunya’. Hingga titik ini, Mine masih berada di lajur seperti tersirat dari materi promosinya: survival thriller. Kita melihat Mike berjibaku untuk mendapatkan radio yang posisinya beberapa senti di depannya untuk menghubungi markas yang malah memberi jawaban tak memuaskan, bertahan dari gempuran badai pasir, hingga meminum air seninya sendiri akibat kehabisan stok air. 

Seiring dengan hadirnya karakter lain tanpa nama (Clint Dyer) yang berasal dari desa sekitar, nada pengisahan Mine perlahan tapi pasti mulai beralih. Kilasan-kilasan masa lalu yang bercampur dengan halusinasi datang silih berganti untuk mengenalkan kita pada sosok Mike. Dari sini, film menjelma bak pedang bermata dua. Bagi penonton yang tidak keberatan mendengar lontaran dialog filosofis untuk kemudian diajak berkontemplasi (keengganan Mike memindahkan kaki dari pijakannya adalah metafora bagi ketidakberanian sang protagonis untuk mengambil resiko demi melanjutkan hidup), maka sisa durasi Mine tidak akan kesulitan mencuri perhatianmu. Namun jika pengharapanmu terhadap Mine adalah film ini mengikuti pola pengisahan dari Buried atau The Shallows (which is, bukan sesuatu yang salah), sisa durasi dari film berlangsung kurang mengenakkan. Intensitas menurun drastis, laju mengalun pelan, dan kilasan masa lalu tidak cukup menjerat. Apabila ada jeratan, itu berasal dari performa gemilang yang dipersembahkan oleh Armie Hammer. Kita bisa mendeteksi kegamangannya, ketakutannya, hingga kemarahannya sehingga paling tidak kita peduli terhadap nasib karakter yang dimainkannya. Seandainya keadilan benar-benar ada di dunia ini, rasa-rasanya mudah bagi Armie Hammer untuk bertransformasi menjadi aktor besar dalam beberapa tahun ke depan mengingat bakat yang dipunyainya.

Exceeds Expectations (3,5/5)


REVIEW : THE INVISIBLE GUEST (CONTRATIEMPO)


“Focus on the details. They’ve always been in front of our eyes, but you have to analyze them from a different perspective.” 

Terakhir kali dibuat terperangah oleh tontonan thriller yakni dua tahun silam tatkala menyimak film asal India yang dibintangi Ajay Devgan, Drishyam. Mengetengahkan topik pembicaraan utama mengenai “seberapa jauh yang bisa dilakukan orang tua untuk menyelamatkan keluarganya”, film tersebut berhasil menjerat atensi sedari awal mula dengan tuturan berintensitas tinggi yang tergelar rapi dan pada akhirnya bikin geleng-geleng kepala saking kagumnya terhadap kapabilitas si pembuat film dalam mengkreasi suguhan mencekam sarat kejutan ini. Kepuasan tiada tara yang diperoleh usai menyimak Drishyam, lantas menimbulkan ekspektasi tinggi kepada gelaran sejenis yang muncul selepasnya. Tak ada satupun yang mampu menandingi apalagi melampaui sepanjang tahun 2016 sampai kemudian sutradara dari Spanyol, Oriol Paulo (The Body), mempersembahkan karya terbarunya yang amat mencengkram dan merupakan perwujudan dari gugatannya terkait keberpihakan hukum kepada manusia-manusia kaya bertajuk The Invisible Guest (atau dalam judul asli, Contratiempo) di kuartal pertama 2017. Jika Drishyam menaruh fokus penceritaan pada upaya seorang ayah dalam menjauhkan sang putri dari jeratan hukum, maka The Invisible Guest berkutat pada upaya seorang pria kaya dalam menyelamatkan dirinya sendiri berbekal kekuasaan yang dipunyainya. 

Si pria kaya dalam The Invisible Guest adalah Adrian Doria (Mario Casas), pebisnis muda yang karirnya tengah meroket tajam dan mempunyai keluaga kecil yang menyayanginya. Kesuksesan yang telah direngkuhnya di usia relatif muda ini sayangnya tak jua membuatnya puas hingga Adrian memutuskan menjalin hubungan gelap dengan seorang fotografer fashion, Laura Vidal (Barbara Lennie). Masalah besar lantas muncul dalam kehidupan Adrian ketika Laura ditemukan tewas terbunuh di sebuah kamar hotel yang tertutup rapat. Mengingat pengakuan dari para saksi menyebut tidak ada orang lain yang meninggalkan kamar selepas kegaduhan terdengar, maka secara otomatis Adrian yang tengah berada di TKP ditetapkan sebagai tersangka. Guna membebaskan diri sekaligus membersihkan namanya, Adrian yang menyatakan dirinya tidak bersalah pun meminta bantuan kepada pengacara handal, Felix (Francesc Orella), yang lantas merekrut pula seorang ahli dengan spesialisasi dalam bidang ‘witness preparation’, Virginia Goodman (Ana Wagener), untuk mempersiapkan Adrian jelang pengadilan baru yang konon kabarnya melibatkan saksi misterius dari pihak jaksa penuntut. Sesi persiapan antara Adrian dengan Virginia yang diperkirakan akan berlangsung lancar tanpa hambatan nyatanya justru berjalan rumit tatkala terungkap satu demi satu fakta yang selama ini sengaja dipelintir demi menyelamatkan nama baik sang tersangka. 

Tanpa banyak berbasa-basi, Oriol Paulo langsung mempertemukan penonton dengan Virginia dan membawa kita memasuki apartemen Adrian guna mengikuti sesi persiapan jelang persidangan. Adrian lantas menarasikan mengenai apa yang menurutnya terjadi di kamar hotel sebelum Laura ditemukan dalam kondisi telah meregang nyawa oleh pihak berwajib. Virginia yang pekerjaannya menuntut dia untuk senantiasa memperhatikan detail sekaligus menaruh kecurigaan, merasakan adanya kejanggalan dibalik cerita sang klien. Ini menjadi persoalan baginya yang mempunyai catatan impresif sepanjang karirnya karena ada celah yang bisa dimanfaatkan oleh jaksa penuntut untuk mengalahkannya di kasus terakhir yang ditanganinya. Virginia pun mendesak Adrian secara keras untuk membeberkan peristiwa yang belum pernah diungkapkannya ke pihak lain karena kebohongan tidak akan menuntun mereka kemanapun. Selepas mendengar pengakuan pertama inilah, tensi dari The Invisible Guest yang sebetulnya sudah diatur di level sedang oleh si pembuat film sedari menit pembuka perlahan tapi pasti mulai mengalami eskalasi. Seperti halnya Virginia, penonton akan secara otomatis menaruh keraguan terhadap Adrian: apakah kronologi peristiwa yang dipaparkannya adalah sebentuk fakta atau ada kebenaran yang disembunyikannya sehingga menempatkannya sebagai narator tidak bisa dipercaya?


Lalu, cerita kedua mengemuka. Oriol Paulo tidak lagi memboyong penonton untuk menelusuri TKP, melainkan menarik tuturan jauh ke belakang sebelum Adrian dan Laura menjejakkan kaki di hotel. Pemantiknya, sebuah headline di surat kabar. Berdasarkan cerita kedua yang berujung pada kasus memilukan tak terpecahkan, baik kedua tokoh utama maupun penonton kemudian menelurkan hipotesis atas keterkaitannya terhadap kasus pembunuhan Laura di ruang tertutup. The Invisible Guest makin berasa mengasyikkan lantaran kita tidak pernah benar-benar bisa yakin mengenai apa yang selanjutnya terjadi. Ya, Oriol Paulo amat cerdik dalam mengatur tempo film. Dia paham betul kapan seharusnya mengecoh penonton yang seolah-olah diposisikan sebagai juri dalam persidangan dengan kebohongan yang dipermak sedemikian rupa sehingga amat menyerupai kenyataan dan kapan seharusnya menggelontorkan bukti-bukti otentik. Dengan ritme penceritaan yang senantiasa bergegas, jelas dibutuhkan konsentrasi selama menyaksikan The Invisible Guest. Sedikit saja terdistraksi, kepingan-kepingan bukti yang telah susah payah disusun sejak awal bisa jadi akan berakhir berantakan atau menuntut disusun ulang. Seperti diutarakan oleh Virginia dalam satu adegan, “fokuslah pada detil.” Apabila sanggup menurutinya, bukan tidak mungkin kamu akan bisa menerka kemana film bakal bermuara. 

Apakah dengan diri ini menganggap telah bisa menebak kenyataan yang tersembunyi, film seketika kehilangan daya cengkramnya? Tidak semudah itu, Tuan dan Nyonya. Nuansa mencekam masih bisa dirasakan, terlebih The Invisible Guest punya sokongan sinematografi apik yang membentuk mood tontonan yang condong ke arah suram mencekam sekaligus atraksi lakonan mengagumkan dari keempat pemain sentralnya; Mario Casas, Ana Wagener, Barbara Lennie, serta Jose Coronado sebagai seorang ayah yang berupaya keras menemukan keadilan. Para pelakon ini turut mendorong terwujudnya keinginan sang sutradara untuk terus mengombang-ambingkan dugaan penonton lewat serentetan kelokan mengejutkan yang secara mengagumkan dapat terajut begitu rapi. Baik Casas, Wagener, Lennie, maupun Coronado masing-masing menunjukkan ambiguitas dalam karakter yang mereka perankan; terkadang tampak terguncang dan rapuh, terkadang pula tampak sukar dipercaya dan mencurigakan, yang menjerat keingintahuan penonton untuk mengetahui motivasi dibalik tindakan mereka. Satu yang tampak jelas, Adrian ingin menyelamatkan karir dan nama baiknya. Melalui sosok Adrian inilah, Oriol Paulo menyuarakan kritik terhadap keberpihakan hukum kepada mereka yang mempunyai uang dan kekuasaan. Dibubuhkan sesuai takaran, kritik pun terasa sangat relevan dan menyentil yang berjasa pula dalam membantu menempatkan The Invisible Guest sebagai film thriller papan atas. Seriously, you should definitely not miss this one!

Outstanding (4,5/5)


REVIEW : FAST & FURIOUS 8


“One thing I can guarantee... no one's ready for this.” 

Siapa pernah menduga franchise The Fast and the Furious yang dimulai sebagai film balap mobil liar pada 16 tahun silam, lalu disisipi beragam elemen dari subgenre laga lain guna ‘bertahan hidup’ hingga telah ditinggal pergi oleh salah satu pelakon utamanya, Paul Walker, yang tewas saat seri ketujuh tengah digarap, bakal menapaki jilid kedelapan? Satu dasawarsa lalu tentu tak sedikitpun terbayang, namun semenjak Fast Five yang menjadi titik baru dimulainya kehidupan dari franchise ini baik dari respon penonton – raihan dollar kian menggurita – maupun resepsi kritikus, kita sudah bisa mencium gelagat Universal Pictures bakal memperpanjang usia kisah petualangan Dominic Toretto (Vin Diesel) beserta ‘keluarga’ tercintanya. Mengingat sudah banyak kegilaan kita simak: menyeret brankas raksasa menggunakan mobil di jalanan, berkejar-kejaran dengan pesawat siap tinggal landas, sampai mobil yang melayang menembus dua gedung pencakar langit, tanya “apa lagi yang akan mereka lakukan kali ini?” pada Fast & Furious 8 (dikenal pula dengan tajuk The Fate of the Furious) pun sulit terelakkan – maklum, standar kegilaan laganya terus meninggi dari seri ke seri. Namun ketika kita mengira franchise ini akan mulai kehabisan bahan bakarnya, Fast & Furious 8 justru tetap melaju kencang dan menggeber kegilaan laga yang sanggup menandingi, atau malah bisa dikata melampaui, jilid-jilid pendahulunya. 

Salah satu trik yang juga dipergunakan oleh F. Gary Gray (The Italian Job, Straight Outta Compton) agar atensi penonton tertambat pada Fast & Furious 8 disamping menghadirkan tata aksi mencengangkan adalah membelokkan guliran kisah sedari mula: Dom yang semula berada di pihak protagonis, mendadak berpindah ke sisi gelap. Dia membelot dari kelompoknya, meninggalkan Letty (Michelle Rodriguez) yang kini telah dipersuntingnya dalam kegamangan, dan bergabung bersama teroris siber kelas kakap bernama Cipher (Charlize Theron). Tentu kita tidak mendapati penjabaran motivasi dibalik keputusan Dom merapat ke Cipher di menit-menit awal demi memunculkan daya pikat terhadap guliran pengisahan. Petunjuknya sebatas Dom telah melihat sebuah foto di layar ponsel genggam sang antagonis yang seketika merobohkan tembok pertahanannya. Penonton paham, jika Dom lantas bersedia menerima tawaran berbahaya dari Cipher untuk membantunya mencuri EMP – electromagnetic pulse – yang konon sanggup melumpuhkan gelombang elektromagnetik dan kode peluncuran nuklir kepunyaan Rusia, jelas siapapun (atau apapun) yang terpampang di foto tersebut amat penting baginya. Sekelumit sisi misteri ini nyatanya terhitung ampuh mengundang rasa penasaran penonton sehingga bersedia untuk mengikuti petualangan ala mata-mata yang melibatkan Dom beserta konco-konco. 

Ya, Fast & Furious 8 yang disulap oleh Gray menjadi spy movie selayaknya rangkaian seri James Bond maupun Mission: Impossible, mempunyai modal cukup berlimpah untuk menempatkannya sebagai salah satu seri terbaik dari franchise sekaligus mesin pengeruk pundi-pundi dollar. Ekspektasi bakal peroleh spektakel fun-tastic yang ditanamkan sebelum melangkahkan kaki memasuki gedung bioskop, sukses dipenuhi Fast & Furious 8. Ini menunjukkan bahwa seri yang tergabung dalam franchise The Fast and the Furious selalu memiliki cara untuk mengkreasi gelaran laga over-the-top yang secara intensitas dan kreatifitas boleh dibilang lebih baik dibandingkan seri sebelumnya. Gray pun tak menyia-nyiakan kesempatan unjuk kebolehan tangani film laga yang terbukti dengan disodorkannya sejumlah momen yang rasa-rasanya bakal membuat penonton berdecak kagum sampai rahang terjatuh. Adegan pembuka Fast & Furious 8 berupa perlombaan balap mobil ilegal berlatar pemandangan eksotis kota tua di Kuba yang memberi penghormatan untuk jilid-jilid pertama franchise hanyalah pemanasan, begitu pula saat bola penghancur dilibatkan guna menghantam habis mobil-mobil lawan. Hidangan utama dari film baru disajikan sedari kekacauan besar di penjara akibat sistem keamanan yang mengalami malfungsi. Selepasnya, Fast & Furious 8 yang mula-mula dihantarkan menggunakan kecepatan sedang seketika tancap gas dan daya cengkram pun terus dieskalasi sampai film tutup durasi.


Pada titik ini, penonton mendapati setidaknya dua momen laga gila yang patut dikenang. Pertama, serangan ‘zombie’ di New York City kala siang bolong, dan kedua, kejar-kejaran beragam jenis kendaraan dari mobil Lamborghini mewah berwarna oranye mencolok, tank, sampai kapal selam (!) di atas kepingan es. Mengingat masing-masing momen dieksekusi dalam rentang durasi cukup panjang serta berlangsung saat sinar matahari masih bersinar terang benderang yang memungkinkan detail aksinya tertangkap jelas oleh mata, level keasyikkannya jelas tinggi. Maka dari itu, ada baiknya urusan belakang (baca: toilet) telah benar-benar dituntaskan sebelum film memulai langkahnya atau paling lambat sebelum baku hantam di penjara terjadi. Percayalah, kamu tidak akan rela melewatkan tiga gelaran laga dengan kata kunci penjara, zombie, dan es, yang notabene merupakan bagian terbaik yang dipunyai oleh Fast & Furious 8. Bahkan saya bersedia untuk kembali membayar tiket nonton hanya demi menyaksikan ketiga kegilaan laga tersebut, plus bromance yang terjalin antara Dwayne Johnson dan Jason Statham. Betul, selain rentetan “bang bang boom!”-nya yang mengasyikkan dan plot yang sekalipun klise khas spy film sekaligus cenderung berbau opera sabun namun tak bisa disangkal mempunyai magnet, Fast & Furious 8 unggul di departemen lakonan yang membuatnya bisa berdiri sejajar dengan film-film terbaik di genrenya. 

Dengan seabreknya pelakon yang memperkuat jajaran pemain, Fast & Furious 8 memang serasa penuh sesak. Namun si pembuat film yang telah berpengalaman menangani ansambel pemain, tahu betul bagaimana caranya membagi porsi tampil agar berimbang dan beberapa karakter kunci pun dapat bersinar. Mengingat perginya Paul Walker meninggalkan lubang yang menganga cukup lebar, beberapa penyesuaian pun dilakukan sehingga keluarga Dom tetap berasa utuh. Salah satunya, menggeret Jason Statham untuk berpindah haluan lalu menyandingkannya dengan Dwayne Johnson. Twist-nya adalah karakter mereka dikondisikan saling menaruh benci yang lantas menuntut keduanya adu jotos serta kemampuan berkelakar. Ini membuat bromance diantara mereka (atau bisa dikata, love-hate relationship) terasa menarik buat ditengok, ngangenin, dan memberi kesegaran bagi karakter masing-masing yang mulai berasa hambar di jilid ketujuh. Penyegaran bisa pula diraba pada sosok Dom yang memungkinkan Vin Diesel untuk memperlihatkan sisi tangguh dan rapuh dari karakternya secara bersamaan, serta karakter villain yang untuk pertama kalinya dalam sejarah franchise The Fast and the Furious tampak amat mengancam. Berkat performa efektif Charlize Theron, Cipher mempendarkan aura menggoda, cerdas, sekaligus berbahaya. Berkat performa efektif Charlize Theron yang kemudian disokong pula barisan pemain lain yang membentuk chemistry lekat, level keasyikkan Fast & Furious 8 yang sudah tinggi lantaran aksi dan intriknya pun kian meninggi. Fun-tastic tepat disematkan bagi jilid ini!

Trivia : Aktris senior penggenggam Oscar, Helen Mirren, ikut memeriahkan jilid ini. Apakah kamu tahu, berperan sebagai siapakah dia?

Note : Tidak ada post-credits scene dan format 3D film ini tidak memberi banyak dampak.

Outstanding (4/5)