Showing posts with label Pengabdi Setan. Show all posts

20 FILM TERBAIK DI TAHUN 2017 VERSI CINETARIZ


Bagi saya, tahun 2017 lalu adalah tahun terburuk dalam hal produktivitas menonton maupun mengulas film di blog di beberapa tahun terakhir. Dihadapkan pada suatu tanggung jawab besar untuk menuntaskan studi yang telah tertunda cukup lama, memaksa saya mengurangi segala bentuk aktivitas yang berkenaan dengan film. Terhitung hanya sekitar 220 film yang mampu saya lahap selama setahun terakhir (sebagai perbandingan, biasanya 240 hingga 260 judul bisa ditonton) dan tiga bulan terakhir mengalami penurunan dalam membuat ulasan yang sangat signifikan sampai-sampai kebingungan harus memulai menulis dari mana tatkala waktu luang telah kembali didapatkan. 

Meski janji untuk memulai menulis ulasan satuan kembali tertunda, saya mencoba untuk menebusnya dengan list tahunan yang merekapitulasi film-film paling membekas di hati bagi Cinetariz sepanjang tahun 2017. Sebagai permulaan, saya telah membuat daftar untuk film Indonesia secara terpisah (secara mengejutkan, banyak film dalam negeri yang ciamik tahun lalu!) dan kali ini melanjutkannya dengan daftar 20 besar keseluruhan yang mencakup film-film dari berbagai negara. Memutuskan untuk mengerucutkannya menjadi 20 film saja nyatanya bukan perkara mudah karena lagi-lagi ada banyak film yang membekas di hati. Alhasil, penilaian turut mencakup seberapa kuat keinginan untuk menontonnya kembali sekaligus seberapa besar kemungkinan untuk merekomendasikannya ke orang lain. 

Usai mengurasi ke dalam beberapa tahapan berdasar beberapa pertimbangan, berikut adalah beberapa judul yang (dengan sangat terpaksa) dihempas dari 20 besar: 

Honorable Mentions (in alphabetical order): 

# Beauty and the Beast


# Call Me by Your Name



# Get Out


# It


# Okja


# Split


# The Battleship Island


# Thor Ragnarok


# Three Billboards Outside Ebbing Missouri


# Toilet Ek Prem Katha


# War for the Planet of the Apes



# Wonder Woman


…dan inilah 20 film yang berhasil lolos ke dalam daftar 20 film terbaik di tahun 2017 versi Cinetariz: 

Top 20 

#20 John Wick Chapter 2


John Wick Chapter 2 menjalankan tugasnya sebagai sebuah sekuel secara semestinya. Sejak menit pertama, film telah menggila lewat geberan laga beroktan tinggi. Disamping muatan laga pekat yang akan membuat para penikmat film action mengalami orgasme di dalam bioskop, daya pikat John Wick Chapter 2 berada di world building-nya. Detilnya bangunan semesta dalam film ditambah kulikan pada sisi rapuh sang karakter utama, membuat kita sanggup berinvestasi lebih kepada franchise ini yang menjadikannya lebih dari sekadar tontonan eskapisme pengisi waktu luang semata. 

#19 A Taxi Driver


Rekonstruksi tragedi Gwangju di tahun 1980 ditampilkan A Taxi Driver menjadi suatu gelaran yang tidak saja mendebarkan, tetapi juga jenaka dan mengaduk emosi. Ada fase berdebar-debar tatkala si supir taksi bersama jurnalis asing mencari-cari celah untuk memasuki dan keluar dari Gwangju yang dikepung ketat oleh militer – ini masih belum ditambah saat mereka harus bertahan hidup ditengah-tengah kerusuhan yang sewaktu-waktu bisa terjadi. Ada fase terbahak-bahak saat menengok interaksi si jurnalis bule dengan penduduk setempat termasuk supir taksinya yang kagok berbahasa Inggris. Ada pula fase mengaru biru ketika kita melihat bagaimana tragedi ini berdampak sangat besar kepada warga sipil yang sejatinya tidak tahu apa-apa. 

#18 Pengabdi Setan


Jawaban dari tanya “apakah Pengabdi Setan versi Joko Anwar ini lebih ngeri atau tidak ketimbang pendahulunya?” memang akan sangat relatif, namun bagi saya secara pribadi, Pengabdi Setan versi 2017 ini mampu memberikan suatu mimpi buruk. Salah satu film horor Indonesia paling menyeramkan dalam beberapa tahun terakhir. Dalam perjalanan mengarungi wahana rumah berhantu ini, saya beberapa kali dibuat terperanjat dari kursi bioskop seperti pada adegan lempar selimut, ketok-ketok dinding di malam hari, mendengarkan drama radio, pipis di tengah malam, rekonstruksi adegan sholat yang ikonik itu, sampai tiap kali terdengar suara gemerincing lonceng Ibu. 

#17 Let’s Go Jets!


Didasarkan pada kisah nyata sebuah tim pemandu sorak dari Fukui Commercial High School yang berjaya dalam NDA National Championsip di negeri Paman Sam pada tahun 2009, Let’s Go Jets! adalah jawaban Jepang untuk Bring It On (2000). Film yang jenaka, inspiratif, dan penuh energi. Saat menontonnya, hati ini dibuatnya hangat dan bahagiaaaaa sekali. Memang sih bagaimana film ini menuntaskan guliran pengisahannya telah menjadi rahasia umum. Namun, itu sama sekali tak menjadi soal karena kenikmatan menyaksikan Let’s Go, Jets! tidak berada di tujuan akhir melainkan pada proses menggapai kejayaan yang akan menginspirasimu. 

#16 Wind River


Melalui Wind River, dua jebolan Avengers, Jeremy Renner dan Elizabeth Olsen, tidak bekerja sama untuk menyelamatkan dunia, melainkan memecahkan kasus pembunuhan seorang perempuan berdarah Indian. Putihnya salju yang menghiasi sepanjang durasi menebalkan nuansa dalam film yang meliputi misterius, depresif, dan dingin. Proses investigasi guna menemukan pelaku pembunuhan mampu tergelar seru serta memancing keingintahuan untuk mengikutinya lebih mendalam, sementara saat kita mendekat kepada karakter-karakter yang terlibat terutama orang tua korban, hati ini serasa dikoyak-koyak. 

#15 The Greatest Showman


The Greatest Showman menutup tahun 2017 dengan sebuah pertunjukkan yang megah dan mengesankan. Guliran kisahnya yang dicuplik dari sepenggal kisah nyata perjuangan seorang pendiri pertunjukkan sirkus legendaris sanggup menginspirasi sekaligus membuat hati terasa hangat. Barisan lagu antemiknya yang merupakan kekuatan utama dari film ini terasa begitu renyah untuk didengar sekaligus membuat kaki terus menerus menghentak. Hal pertama yang dilakukan usai menonton The Greatest Showman di bioskop adalah mendengarkan album soundtrack-nya berulang-ulang. 

#14 Sweet 20


Siapa bilang me-remake sebuah film itu perkara mudah? Susah sekali. Sweet 20 yang disadur dari film Korea bertajuk Miss Granny tergolong satu dari sedikit remake yang sukses. Pemain ansambel merupakan salah satu kekuatan utama yang dipunyai Sweet 20 disamping lontaran-lontaran kelakar dengan sentuhan kearifan lokal yang tepat mengenai sasaran, tembang-tembang lawas pengiring film, serta muatan emosional yang bekerja secara efektif. Dengan kombinasi maut semacam ini, tepatlah kiranya menyebut Sweet 20 sebagai sebuah hiburan untuk seluruh keluarga kala liburan sekaligus remake yang sangat pantas bagi Miss Granny. Sungguh sebuah obat pelepas penat yang mujarab. 

#13 Lion


Dalam Lion, penonton disuguhi plot yang menyoroti jatuh bangunnya Saroo untuk memperoleh kesempatan berjumpa kembali dengan keluarganya semenjak terdampar di kota yang sama sekali asing baginya. Ada kepiluan, kengerian, serta sedikit kejenakaan di dalamnya. Kepedulian kita terhadap si tokoh utama merupakan kunci keberhasilan dari Lion. Apabila penonton tidak pernah terhubung dengan Saroo, apa yang tersaji sepanjang film akan terasa hambar. Tapi jika penonton berhasil dibuat bersimpati pada Saroo – seperti telah dilakukan oleh Lion, apa yang tersaji di penghujung film akan menghajar emosimu sampai babak belur. 

#12 The Invisible Guest


Melalui The Invisible Guest, Oriol Paulo menyuarakan kritik terhadap keberpihakan hukum kepada mereka yang mempunyai uang dan kekuasaan. Dibubuhkan sesuai takaran, kritik pun terasa sangat relevan dan menyentil yang berjasa pula dalam membantu menempatkan The Invisible Guest sebagai film thriller papan atas. Ya, film ini berhasil menjerat atensi sedari awal mula dengan tuturan berintensitas tinggi yang tergelar rapi dan pada akhirnya membuat diri ini menggeleng-nggelengkan kepala lantaran kagum terhadap kapabilitas si pembuat film dalam mengkreasi suguhan mencekam yang sarat kejutan. 

#11 The Salesman


Trauma dan amarah yang timbul akibat sebuah peristiwa penyerangan yang tak terduga menyingkap ‘warna’ sesungguhnya dari sepasang suami istri yang tampak memiliki kehidupan rumah tangga harmonis dalam The Salesman. Dengan pengarahannya yang gemilang, Asghar Farhadi sanggup mengubah drama domestik yang lebih menitikberatkan pada studi karakter ini menjadi sebuah gelaran menegangkan berdaya cengkram kuat. Dari menit ke menit, The Salesman terus mengalami eskalasi dalam menguarkan nuansa suspense sampai akhirnya menciptakan ledakan hebat di klimaks yang tak saja mendebarkan tetapi juga emosional. 

#10 The Big Sick


Kumail Nanjiani mengabadikan kisah perjumpaannya dengan sang istri yang begitu manis, hangat, dan menggelitik dalam The Big Sick. Yang tidak biasa dari hubungan mereka yakni fakta bahwa keduanya berasal dari dua dunia yang bertolak belakang. Kumail tumbuh besar dalam keluarga Pakistan Muslim yang konservatif, sementara istrinya adalah perempuan Amerika berjiwa bebas. Saat dua budaya berbeda ini saling berbenturan, hasilnya adalah tontonan yang membuatmu mengalami fase tersenyam-senyum, terpingkal-pingkal hingga terenyuh secara bergantian. Inilah film paling romantis di tahun 2017 lalu. 

#9 Baby Driver


Dibawah penanganan Edgar Wright yang memiliki jiwa nerd sejati, Baby Driver jelas tidak akan dijelmakan sebagai film hura-hura belaka yang sebatas mengedepankan pada laga seru penuh eksplosif seperti halnya Fast and Furious dan Transporter. Betul saja, si pembuat film lantas memadupadankannya dengan humor sarat rujukan ke budaya pop, barisan musik eklektik, romantika asmara muda-mudi, serta ketegangan ala heist film sehingga membuat Baby Driver bukan saja terasa begitu berwarna tetapi juga sangat bergaya. Baby Driver adalah kesempatan emasmu untuk menyaksikan ‘film musikal’ tanpa tari-tarian karena seluruh koreografi tari diimplementasikan ke dalam gerak gerik karakter maupun sekuens laga yang tertata rapi. 

#8 Bad Genius


Ruang ujian dalam Bad Genius tak ubahnya bank atau ruang brankas di rumah seorang kaya dalam heist film. Situasinya memang tidak sampai tahapan seekstrim hidup-mati dan sekadar berhasil-gagal, akan tetapi itu tetap tak berdampak pada berkurangnya kadar ketegangan terlebih jika kamu pernah melakukan praktik menyontek atau memberi sontekan semasa sekolah. Tak pernah sedikitpun terbayang dalam benak bahwa lembar jawab pilihan ganda saat ujian bisa membuat jantung berdegup begitu kencang kala ditampilkan dalam sebuah film layar lebar. Dalam Bad Genius, saya bisa merasakan itu. 

#7 Secret Superstar


Usai menonton Secret Superstar, diri ini reflek berteriak, “Aamir Khan memang gila!” Betapa tidak, dia berturut-turut menghasilkan karya yang mengangkat kembali nama Bollywood di peta perfilman dunia. Secret Superstar memang tidak semencengangkan 3 Idiots, PK, atau Dangal dalam bertutur, namun film kecil nan bersahaja ini sanggup mengobrak-abrik emosi penonton sedemikian rupa terlebih jika kamu memiliki hubungan dekat dengan ibu. Lebih dari itu, Secret Superstar adalah sebuah film yang ditujukan untuk para perempuan yang tidak memiliki kebebasan dalam bersuara, para perempuan yang memiliki keberanian untuk mewujudkan mimpi, dan para ibu yang rela melakukan apa saja demi kebahagiaan anak-anaknya. 

#6 Lady Bird


Lewat debut penyutradaraannya ini, Greta Gerwig berbicara tentang kisah pencarian jati diri seorang gadis SMA berusia belasan yang berharap dirinya dapat melepaskan diri dari kampung halamannya. Guliran kisah Lady Bird memang terkesan sederhana dan terdengar familiar, akan tetapi justru disinilah letak kekuatan film ini. Barisan karakternya yang membumi terasa begitu dekat karena kita mengenal cukup baik pribadi-pribadi seperti itu atau malah (tanpa disadari) merefleksikan diri kita sendiri. Kedekatan dengan topik obrolan inilah yang membuat saya mudah terhubung ke Lady Bird. Dari mulanya tertawa-tawa menyaksikan tingkah polah karakter tituler yang rada nyeleneh, Lady Bird perlahan tapi pasti mulai menyentuh emosi tatkala ‘jagoan’ kita terlibat konflik panas dengan sang ibu. 

#5 Hidden Figures


Sepanjang durasi mengalun, kita menyaksikan kisah inspiratif dari tiga perempuan kulit hitam dalam melawan sistem yang mengekang karir mereka di NASA pada era 60-an. Topik obrolan yang diusung Hidden Figures boleh saja berat menyoal rasisme, seksisme, dunia matematika, perancangan misi luar angkasa, dan sejarah. Namun jangan salah, Hidden Figures sanggup melantunkannya secara ringan, hangat dan menyenangkan tanpa pernah sedikitpun mengalienasi penonton yang tidak menaruh minat pada topik-topik tersebut. Malah, mereka bisa memperlihatkan betapa kerennya matematika di film ini. Sungguh sebuah film yang penting untuk ditonton. 

#4 Dangal


Bollywood memiliki cara yang berbeda dalam mengumandangkan women empowerment, lalu menyuarakan kritik keras terhadap budaya patriarki yang seksis dan konfederasi olahraga yang korup. Salah satu insan perfilman terkemuka di India, Aamir Khan, membalut itu semua dalam sebuah film biopik dunia gulat yang dapat ditonton oleh seluruh anggota keluarga bertajuk Dangal. Berceloteh soal perjuangan dua atlet gulat perempuan pertama di India untuk merengkuh medali emas di pertandingan bertaraf internasional, Dangal tentu menginspirasi. Tidak hanya itu, Dangal pun mampu tersaji sebagai sebuah tontonan yang menghibur, mengharu biru, sekaligus mengikat atensi penonton dengan sangat kuat sampai-sampai durasi 2,5 jam terasa berlalu begitu cepat. 

#3 Wonder


Jika kamu mendapat pilihan untuk berbuat benar atau berbuat baik, mana yang akan kamu pilih? Dalam Wonder, berbuat baik adalah pilihannya. Isu perisakan dikulik dengan pendekatan yang ringan dan mengikat alih-alih menghamparkannya secara merana. Yang juga menarik, penonton tak sebatas disuguhi cerita dari sudut pandang korban perisakan melainkan turut memperoleh cerita dari perspektif pelaku yang rupa-rupanya turut berada di posisi korban. Mengalun dengan hangat, jenaka, serta inspiratif, Wonder sanggup membuat diri ini terbahak lalu beruraian air mata berulang kali di beberapa titik. Bukan air mata karena sesuatu yang buruk, melainkan sesuatu yang baik. Sulit disangkal, Wonder jelas terhitung sebagai salah satu film terbaik tahun ini. 

#2 Paddington 2


Paddington 2 adalah satu dari segelintir sekuel yang mempunyai kualitas melampaui pendahulunya. Petualangan beruang yang bisa berbicara dalam memperjuangkan keadilan untuk dirinya ini tanpa dinyana-nyana mampu terhidang sebagai film keluarga yang sangat menghibur, mempunyai pesan moral bagus tanpa pernah terasa ceriwis, sekaligus memiliki sisi magis yang begitu kuat. Saat menyaksikan Paddington 2, jiwa kanak-kanak dalam diri ini mendadak hidup kembali dan bergembira. Sedikit banyak mengingatkan pada sensasi menonton film keluarga dari era 1990-an. Bersama dengan Wonder dan Coco, Paddington 2 yang menempatkan seekor beruang penjunjung tinggi kebaikan sebagai karakter sentral ini merupakan film paling indah yang saya saksikan di tahun 2017. 

#1 Coco


Sedari menit-menit pembuka, Coco telah membuat diri ini terperangah dengan keajaiban visualnya yang tergarap mendetail serta penuh warna. Bagusnya, Coco enggan untuk mengorbankan guliran pengisahannya demi mencapai visual yang berada di kelas premium itu. Racikan kisah si pembuat film yang mengusung tema utama seputar kematian (konon, landasan kisahnya bersumber dari perayaan tahunan di Meksiko, Dia de Muertos) serta keluarga dengan pendekatan yang cenderung riang sanggup menempatkan penonton Coco dalam tiga fase emosi seperti bersemangat, tertawa, hingga tersedu-sedu. Kemampuan Coco untuk memanjakan mata penonton melalui visual dan membuai hati melalui tuturan kisahnya ini menjadi bukti bahwa Pixar masih belum kehilangan sentuhan magisnya sama sekali. Warbiyasak!

REVIEW : PENGABDI SETAN (2017)


“Kalau memang itu Ibu, kita bilang sama dia supaya nggak ganggu kita lagi.” 

Kala melontarkan tanya seputar film horor tanah air paling seram, responden kerap kali menyebut judul Pengabdi Setan – sebuah film memedi rilisan tahun 1980 yang digarap oleh Sisworo Gautama Putra. Apabila kamu pernah menyaksikannya, maka jawaban tersebut tak akan terdengar mengejutkan di telinga karena film ini memang cukup ampuh dalam mengganggu kenikmatan tidur di malam hari. Secara penceritaan memang tak istimewa karena hanya berkisar pada pertarungan melawan kebatilan, begitu pula elemen teknisnya. Yang lantas menjadikan Pengabdi Setan versi jadul ini dikenang banyak pihak yakni kemampuan si pembuat film dalam menghadirkan rentetan teror ikonik seperti penampakan sosok ibu dalam wujud hantu, gangguan kala sholat, keberadaan villain bernama Darminah (Ruth Pelupessy) dengan tatapannya yang bikin nyali ciut, sampai serangan zombie. Salah satu pecinta film yang mengalami mimpi buruk saat menonton film ini adalah Joko Anwar (Kala, Pintu Terlarang) yang lantas menginspirasinya untuk menggarap ulang Pengabdi Setan. Perjuangan Joko guna mengantongi izin dari Rapi Films selaku pemilik hak cipta film tidaklah main-main karena membutuhkan waktu sekitar 10 tahun sampai akhirnya rumah produksi berkenan memberinya restu. Diberi kepercayaan sedemikian besar, Joko tentu memanfaatkannya sebaik mungkin yang terpampang nyata pada hasil akhir interpretasi barunya terhadap Pengabdi Setan yang tak saja berhasil sebagai remake tetapi juga amat layak memperoleh predikat sebagai “salah satu film horor Indonesia terbaik sepanjang masa.”  

Tak seperti rilisan lawas yang sekonyong-konyong menghadapkan penonton pada teror, Pengabdi Setan milik Joko mempersilahkan kita untuk menengok barang sejenak kondisi Ibu (Ayu Laksmi) sebelum menghadap ke Yang Maha Satu. Ibu mengidap penyakit misterius selama bertahun-tahun yang memaksanya untuk tetap berbaring di ranjang sepanjang hari. Alat komunikasinya dengan keluarga yang terdiri atas Bapak (Bront Palarae), Nenek (Elly D. Luthan), Rini (Tara Basro), Tony (Endy Arfian), Bondi (Nasar Annuz), dan Ian (Adhiyat Abdulkhadir) hanya satu: lonceng kuningan. Komunikasinya pun sebatas meminta disuapi atau disisir, tak pernah ada obrolan intim diantara Ibu dengan anak-anaknya karena Ibu sudah tidak bisa berbicara sehingga lambat laun tercipta jarak yang membuat anak-anaknya merasa ngeri untuk dekat-dekat ke Ibu terlebih sang ibu kerap memberi tatapan mengerikan. Usai menciptakan situasi serba sulit dan tidak mengenakkan bagi keluarganya selama beberapa tahun, Ibu akhirnya berpulang di suatu malam. Untuk sesaat, Bapak dan anak-anak mengira bahwa kepergian Ibu akan menjadi kesempatan untuk memulai hidup baru yang lebih baik sampai kemudian… Ibu datang lagi. Apakah kedatangan Ibu ini lantaran semata-mata dia masih belum siap berpisah dengan anak-anaknya atau ada suatu agenda terselubung? Apapun motifnya, kedatangan Ibu bukanlah sesuatu yang menggembirakan bagi setiap personil keluarga Suwono karena beliau tidak datang secara damai dan justru membawa petaka kepada orang-orang terkasihnya. 


I can assure you, Pengabdi Setan rekaan Joko Anwar ini tidaklah seperti mayoritas film-film horor tanah air yang lebih mementingkan penampakan hantu yang ganjen lalu mengabaikan penceritaan dan urusan teknis. Ya, ketimbang langsung menyeret penonton ke tengah-tengah terjangan teror yang tak berkesudahan, si pembuat film memberi kita sekelumit latar belakang dan pengenalan ke anggota keluarga Suwono sehingga terbentuk ikatan antara penonton dengan barisan karakter yang memunculkan rasa peduli. Pengabdi Setan versi lawas tidak memberikan ini – bahkan, plotnya pun setipis kertas – dan Joko berusaha menebus kesalahan film favoritnya tersebut dengan cara mengembangkan penceritaan di versi mutakhir ini lebih jauh (sampai-sampai saya curiga, film ini bakal nyambung ke film Joko yang lain). Ada informasi mengenai siapa Ibu sebelum terkapar tak berdaya di rumah, ada penjabaran tentang penyebab kematian Ibu, dan ada alasan lebih konkret dibalik teror yang dihujamkan Ibu kepada keluarganya ketimbang sebatas masalah kurangnya iman kepada Tuhan. Ya, memperbincangkan soal motif si penebar teror, Joko menghadirkan sebuah penjelasan amat menarik yang tidak saja membuka ruang bagi munculnya jilid-jilid lain selepas Pengabdi Setan tetapi juga diskusi panjang-panjang diantara para penonton filmnya. Salah satu ciri khas dari sang sutradara yang seketika membuat saya merancang rencana untuk menontonnya kembali demi mengorek petunjuk-petunjuk dari sang sutradara yang sangat mungkin terlewatkan. 

Disamping memoles penceritaan agar tak lagi compang-camping, Joko mencoba untuk turut meningkatkan level kengerian dari versi klasik yang sejatinya bukan perkara mudah dilakukan karena Pengabdi Setan rekaan Sisworo Gautama Putra sejatinya telah unggul dalam trik menakut-nakuti. Jawaban dari tanya “apakah Pengabdi Setan versi Joko ini lebih ngeri atau tidak ketimbang pendahulunya?” memang akan sangat relatif, namun bagi saya secara pribadi, Pengabdi Setan versi 2017 ini mampu memberikan suatu mimpi buruk. Salah satu film horor Indonesia paling menyeramkan dalam beberapa tahun terakhir. Kengeriannya bersumber dari dua hal; atmosfir yang mengusik serta penempatan jump scare yang efektif. Sedari awal, nuansa mengganggu kenyamanan yang membuat bulu kuduk meremang telah menguar. Daya cekam yang sudah berada di level sedang ketika kita diajak menjenguk Ibu di ranjang, perlahan tapi pasti terus ditingkatkan oleh Joko seiring dengan bergulirnya durasi. Dalam perjalanan mengarungi wahana rumah berhantu ini yang sarat akan referensi terhadap sejumlah film horor apik macam The Changeling (1980), Night of the Living Dead, The Omen, Ringu, serta The Others, saya beberapa kali dibuat terperanjat dari kursi bioskop seperti pada adegan lempar selimut, ketok-ketok dinding di malam hari, mendengarkan drama radio, pipis di tengah malam, rekonstruksi adegan sholat yang ikonik itu, sampai tiap kali terdengar suara gemerincing lonceng Ibu. 

Keberhasilan Pengabdi Setan dalam menghadirkan teror yang akan membuat para penakut berulang kali meringkuk di kursi bioskop sekaligus menutupi pandangan mereka dari layar bioskop ini merupakan kombinasi dari pengarahan sangat baik, plot mengikat, tata kamera dengan komposisi beserta pergerakan yang sungguh mengagumkan, tata artistik detil yang sanggup ciptakan kesan era 80-an awal, skoring musik menghantui, lantunan tembang “Kelam Malam” dari Aimee Saras yang mengusik, serta barisan pemain yang menunjukkan performa di atas rata-rata. Setiap personil keluarga Suwono mampu memberikan akting meyakinkan terutama Tara Basro yang mengombinasikan ketegasan, kebingungan, sekaligus ketakutan di waktu bersamaan, lalu Ayu Laksmi yang memiliki ekspresi meneror seperti halnya mendiang Ruth Pelupessy di versi lawas, dan para aktor cilik pendatang baru Nasar Annuz beserta Adhiyat Abdulkhadir yang mampu bermain secara natural sehingga penonton tidak merasa kesulitan untuk jatuh hati kepada keduanya, khususnya Adhiyat yang menjadi scene stealer dalam Pengabdi Setan. Oleh Joko, keduanya difungsikan sebagai comic relief dengan segala tingkah polah polos dan celetukan-celetukan lucu khas bocah agar penonton bisa bernafas untuk sesaat sebelum kembali dibuat blingsatan begitu Ibu memasuki rumah yang ditandai dengan terdengarnya suara lonceng bergemerincing.

Outstanding (4/5)