Archive for May 2017

10 FILM YANG COCOK DITONTON SAAT NGABUBURIT SELAMA RAMADHAN


Jika kamu berada di halaman ini – serta berencana membaca tulisan sampai tuntas – itu berarti kemungkinan besar kamu tengah menjalani puasa Ramadhan, kebelet ingin nonton film, namun merasa khawatir tidak bisa memilih tontonan aman yang tidak mengundang hawa nafsu. Kalau betul demikian, maka ya, ini adalah tempat yang tempat. Cinetariz telah mengurasi rentetan judul yang hilir mudik di pikiran (sejauh ingatan bisa mengingat) untuk ditempatkan dalam daftar ini. Mengingat daftar disusun di kala bulan Ramadhan, tak pelak film-film yang terpilih pun mayoritas bernafaskan Islami. 

Disamping bersentuhan langsung dengan agama Islam (meski ya, ada pengecualian), beberapa kriteria yang turut ditetapkan dalam menentukan film agar lolos seleksi antara lain mengandung nilai-nilai kebajikan (ehem!), tidak dibumbui adegan yang membangkitkan birahi sampai ke puncak, serta mempunyai kandungan nutrisi mencukupi bagi otak sehingga kita tidak begitu saja menghempaskannya usai menontonnya melainkan turut diajak buat merenung, berpikir, sampai memunculkan keinginan untuk berbuat baik atau mempelajari agama secara mendalam. 

Tanpa berpanjang lebar lagi, berikut adalah 10 film yang bisa kamu tonton seraya ngabuburit dalam urutan acak: 


Le Grand Voyage (Prancis, 2004) 

Seorang remaja Prancis berdarah Moroko, Reda, diminta oleh sang ayah untuk menemaninya menunaikan ibadah Haji dengan mengendarai mobil. Dalam perjalanan mengarungi daratan sepanjang ribuan kilometer ini, hubungan yang dingin diantara keduanya perlahan tapi pasti mulai mencair dan Reda mempelajari banyak hal mengenai Islam, kehidupan, hingga sang ayah. Le Grand Voyage adalah sebuah tontonan berwujud road movie yang menghangatkan hati, mencerahkan, sekaligus emosional.


The Message (Lebanon/Inggris, 1976) 

Memvisualisasikan sejarah Islam ke dalam bahasa gambar, The Message tergolong tontonan penting buat disimak karena tema usungannya amat sangat jarang dikupas. Film ini mencuplik peristiwa-peristiwa penting selama Nabi Muhammad menyebarkan ajaran Islam, termasuk Hijrah ke Madinah, Perang Badar, dan Perang Uhud, menggunakan sudut pandang penceritaan dari Paman Nabi, Hamzah bin Abdul Muthalib, lalu sahabat-sahabat Nabi seperti Bilal dan Zaid, serta pemimpin utama Bani Quraisy yang mula-mula menentang Nabi namun belakangan memeluk Islam, Abu Sufyan.


Timbuktu (Prancis/Mauritania, 2014) 

Sebuah desa dengan penduduk seluruhnya Muslim di Timbuktu yang damai seketika berubah ketika kelompok ekstrimis Islam menduduki desa tersebut dan menerapkan aturan-aturan yang justru menyengsarakan penduduk setempat. Timbuktu yang meraih nominasi Oscar untuk kategori Film Berbahasa Asing Terbaik ini menempatkan beberapa karakter, baik dari pihak masyarakat Muslim yang terdzalimi oleh rezim otoritarian maupun anggota dari kelompok ekstrimis yang semena-mena, untuk menyampaikan pesan besar mengenai toleransi dari film yang relevan dengan situasi dunia saat ini. 


Munafik (Malaysia, 2016) 

Iman Ustadz Adam goyah selepas sang istri tewas dalam sebuah kecelakaan. Ketidakmampuannya untuk mengikhlaskan kepergian sang istri membawanya pada serentetan peristiwa ganjil, termasuk mempertemukannya pada seorang perempuan yang kerasukan jin. Demi memenangkan pertarungan melawan jin jahat, Ustadz Adam harus menemukan kembali keimanannya. Di Malaysia, Munafik tidak saja berhasil menempati posisi film terlaris sepanjang masa, tetapi juga memborong beberapa penghargaan prestisius seperti Festival Film Malaysia. Bukan sesuatu yang mengherankan mengingat Munafik berhasil menempatkan penonton dalam rasa takut sekaligus membawa perenungan terkait sejauh mana ketaatan kepada Yang Maha Satu.


Wadjda (Arab Saudi, 2012) 

Wadjda adalah film fiksi pertama yang sepenuhnya digarap di Arab Saudi sekaligus film pertama yang disutradarai oleh seorang perempuan. Kisahnya mengenai seorang gadis berusia 11 tahun bernama Wadjda yang ingin memiliki sebuah sepeda. Mengingat perempuan dilarang mengendarai sepeda, tentu keinginan ini terasa mustahil. Pun begitu, Wadjda tidak begitu saja menyerah dan guna mewujudkan impiannya, dia pun turut berpartisipasi dalam lomba Tilawatil Qur’an. Wadjda adalah sebuah sajian menarik, menggelitik, serta membuka pikiran. Kesempatan emas bagi kita untuk sedikit banyak mempelajari budaya dan posisi perempuan di Arab Saudi melalui medium film.


The Song of Sparrows (Iran, 2008)

Selepas dipecat dari pekerjaannya karena tidak sengaja melepas seekor burung unta dari kandangnya, seorang ayah dengan tiga anak bernama Karim dihadapkan pada serentetan persoalan hidup yang rumit, menjengkelkan, sekaligus kocak. Majid Majidi yang menghadiahi kita dengan Children of Heaven (1997), mengemas film dengan pendekatan realistis sehingga mudah bagi penonton untuk terhubung dengan kisahnya. Salah satu komentar sosial yang diangkat oleh The Song of Sparrows adalah bagaimana sebuah kota besar dan gaya hidup modern mampu merubah seseorang secara drastis. Kocak pula menyentil!


Mencari Hilal (Indonesia, 2015) 
Pak Mahmud merasa terusik dengan berita penggelontoran dana miliaran rupiah oleh Kementrian Agama demi menggelar sidang isbat. Tumbuh di lingkungan pesantren yang dulunya mengadakan kirab untuk melihat hilal, Pak Mahmud tahu betul pencarian hilal tidak butuh merogoh kocek dalam. Perkara ini lantas mendorong Pak Mahmud merencanakan perjalanan mencari hilal sebagai pembuktian bahwa ibadah tidak dibuat untuk memperkaya diri. Hangat, indah serta bersahaja, Mencari Hilal akan membuatmu berkontemplasi mempertanyakan “apakah selama ini saya telah menjadi seorang Muslim yang baik? Atau jangan-jangan sekadar memanfaatkan agama agar memiliki identitas sebagai bentuk eksistensi diri?” selepas menontonnya.


Life of Pi (Amerika Serikat, 2012)

Didasarkan pada novel rekaan Yann Martel, Life of Pi berkisah mengenai upaya bertahan hidup dari seorang pemuda India bernama Pi yang terdampar di sebuah sekoci bersama seekor harimau benggala usai kapal yang ditumpanginya dalam perjalanan menuju Kanada ditenggelamkan oleh badai. Pemenang empat Piala Oscars termasuk Sutradara Terbaik ini memang tidak spesifik berkenaan dengan Islam seperti judul-judul lainnya, namun tema utama dari film mengenai keimanan kepada Tuhan membuatnya terasa cocok ditonton di bulan suci. Adegan Pi meluapkan amarahnya ke Tuhan di salah satu momen paling emosional dalam film masih saja membuat hati ini berdesir.


Children of Heaven (Iran, 1997)

Film pertama yang membawa Iran ke panggung Oscars, bagian dari tontonan masa kecil saya, serta mengenalkan dunia kepada sinema Iran ini berkisah mengenai seorang bocah dari keluarga miskin yang tanpa sengaja menghilangkan sepatu satu-satunya kepunyaan sang adik perempuan. Berbagai upaya untuk mengembalikan sepatu tersebut pun ditempuhnya, salah satunya dengan mengikuti perlombaan lari. Children of Heaven mempunyai cerita sangat sederhana, namun kemampuan Majid Majidi untuk merangkainya sehingga penonton dapat mencecap berbagai emosi seperti tertawa, tersentuh, serta terlibat ke dalam film membuatnya terasa istimewa.


My Name is Khan (India, 2010)

Shah Rukh Khan adalah seorang pria India Muslim yang melakukan perjalanan panjang melintasi berbagai negara bagian di Amerika Serikat demi menemui Presiden untuk menyampaikan pesan bahwa umat Muslim bukanlah teroris. My Name is Khan memotret realita minoritas di Negeri Paman Sam yang mengalami diskriminasi dan rasisme selepas peristiwa 11 September. Film yang berhasil mempermainkan emosi sedemikian rupa ini ingin menyampaikan pesan penting bahwa kebencian dan prasangka hanya akan membawa kerusakan, sementara kebaikan dan sikap toleran dapat mendatangkan kedamaian.

[Special] DAFTAR FILM BIOSKOP YANG DIRILIS SEPANJANG RAMADHAN 1438H


Ada yang berencana buat ngabuburit di bioskop pada bulan Ramadhan tahun ini dan khawatir tidak ada pilihan tontonan menarik? Tak perlu risau. Mengingat kali ini masa-masa berpuasa berlangsung bersamaan dengan musim panas di Amerika Utara, maka rentetan film dengan label ‘blockbuster’ siap menemanimu. Setidaknya ada tiga judul besar siap hadir memeriahkan bioskop tanah air sepanjang Ramadhan kali ini; Wonder Woman, The Mummy, serta Transformers: The Last Knight. Sedangkan Cars 3 yang rilis pada pertengahan Juni di negara asalnya, kemungkinan baru akan tayang pada bulan Agustus dan Despicable Me 3 direncanakan rilis di Indonesia pada bulan Juli berdasarkan informasi dari perwakilan United International Pictures Indonesia. 

Disamping film-film dari negeri Paman Sam, bioskop di Indonesia juga kedatangan film asal Jepang seperti Detective Conan: Crimson Love Letter yang masih nangkring di tangga box office Jepang serta film animasi pemenang penghargaan, In This Corner of the World. Satu-satunya film Indonesia yang tayang selama Ramadhan adalah Mantan, sebelum nantinya digencarkan saat libur Lebaran. 

Untuk lebih jelasnya, berikut adalah judul-judul film layak diantisipasi kehadirannya di bioskop pada bulan Ramadhan tahun ini:


Wonder Woman
Sutradara : Patty Jenkins 
Pemain : Gal Gadot, Chris Pine, Robin Wright, Connie Nielsen, David Thewlis
Sinopsis : Diana, putri dari Amazon, telah dilatih sejak kecil untuk menjadi prajurit tak terkalahkan demi melindungi tanah kelahirannya, Pulau Paradise. Namun semenjak Steve, seorang pilot asal Amerika, memasuki kehidupannya dan bercerita mengenai konflik besar yang berkecamuk di dunia luar, Diana mengubah jalan hidupnya dan menemukan takdir hidupnya yang sebenarnya.
Tanggal Rilis : 31 Mei 2017 (semua jaringan bioskop) 
Catatan : Wonder Woman adalah film keempat yang tergabung dalam DC Extended Universe 


Detective Conan: Crimson Love Letter 
Sutradara : Kobun Shizuno 
Pengisi Suara : Minami Takayama, Wakana Yamazaki, Rikiya Koyama, Ryo Horikawa, Yuko Miyamura 
Sinopsis : Kasus yang ditangani oleh Conan kali ini adalah pengeboman di Nichiuri TV, tempat berlangsungnya pertandingan Karuta untuk memperebutkan Piala Satsuki. Peristiwa tersebut menyebabkan keributan besar dan memerangkap Heiji beserta Kazuha yang belakangan berhasil diselamatkan oleh Conan. Dalam upayanya memecahkan kasus pengeboman ini, Conan berjumpa dengan seorang gadis misterius yang mengaku sebagai tunangan Heiji. 
Tanggal Rilis : 7 Juni 2017 (CGV, Cinemaxx, dan Platinum) 
Catatan : Berdasar data dari Variety, Crimson Love Letter diprediksi akan menjadi seri terlaris dalam seri film layar lebar Detective Conan dengan perolehan lebih dari $55 juta. 


The Mummy 
Sutradara : Alex Kurtzman 
Pemain : Tom Cruise, Sofia Boutella, Annabelle Wallis, Russell Crowe, Jake Johnson 
Sinopsis : Sepasang suami istri, Nick dan Jenny, melakukan penelitian ke sebuah gurun di Afrika. Mereka menemukan sarkofagus yang belakangan diketahui berisi mumi dari Ratu Mesir Kuno bernama Ahmanet. Ahmanet lantas terbangun seraya membawa kebencian dan kemarahan karena dikhianati semasa hidupnya. Dia pun menyebarkan teror hebat yang mengancam umat manusia. 
Tanggal Rilis : 7 Juni 2017 (semua jaringan bioskop) 
Catatan : Menurut The Hollywood Reporter, The Mummy adalah reboot dari franchise The Mummy yang dulunya dibintangi oleh Brendan Fraser dan merupakan film pertama dalam Dark Universe yang nantinya akan mengulik kisah para monster seperti Frankenstein, Invisible Man, Van Helsing, hingga Wolf Man. 


Mantan 
Sutradara : Svetlana Dea 
Pemain : Gandhi Fernando, Luna Maya, Karina Nadila, Ayudia Bing Slamet, Kimberly Ryder 
Sinopsis : Seorang kolumnis majalah percintaan bernama Adi memutuskan untuk pergi mengunjungi kelima mantan pacarnya sebelum menikah demi memastikan bahwa perempuan yang akan dinikahinya adalah orang yang tepat. Mereka adalah Ella di Bandung, Frida di Yogyakarta, Juliana di Bali, Tara di Medan, dan Deedee di Jakarta. Sebuah koneksi terjalin kembali diantara salah satu dari mereka yang lantas memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan Adi mengenai soulmate
Tanggal Rilis : 8 Juni 2017 (semua jaringan bioskop) 


In This Corner of the World 
Sutradara : Sunao Katabuchi 
Pengisi Suara : Non, Yoshimasa Hosoya, Mayumi Shintani, Shigeru Ushiyama, Minori Omi 
Sinopsis : Berlatar belakang di Hiroshima selama Perang Dunia II, film menempatkan fokus penceritaan pada seorang perempuan muda bernama Suzu yang berusaha bertahan hidup dan mencukupi kebutuhan makanan bagi keluarga ditengah-tengah situasi yang serba kekurangan di Jepang akibat perang. 
Tanggal Rilis : pertengahan Juni 2017 – tentatif (CGV, Cinemaxx, dan Platinum) 
Catatan : In This Corner of the World adalah pemenang kategori Animation of the Year di ajang penghargaan film paling prestisius di Jepang, Japan Academy Prize, yang ke-40 mengalahkan Your Name dan Silent Voice


Transformers: The Last Knight 
Sutradara : Michael Bay 
Pemain : Mark Wahlberg, Josh Duhamel, Laura Haddock, Anthony Hopkins, John Goodman 
Sinopsis : Optimus Prime telah menemukan kembali planet asalnya yang sekarang merupakan planet mati, Cybertron. Dia menemukan cara untuk menghidupkan lagi planet ini dan untuk melakukannya, dia harus menemukan sebuah artefak yang ada di bumi. 
Tanggal Rilis : 21 Juni 2017 – tentatif (semua jaringan bioskop)

REVIEW : PIRATES OF THE CARIBBEAN: SALAZAR'S REVENGE


“The dead have taken command of the sea. They're searching for a girl, a Pearl, and a Sparrow.” 

Ladies and gentleman, Jack Sparrow is back...!!! Setelah dibiarkan berhibernasi selama 6 tahun, salah satu franchise paling menguntungkan bagi Walt Disney, Pirates of the Caribbean, akhirnya dibangunkan dari tidur panjangnya. Mengingat raupan dollar dari franchise ini terbilang stabil, bahkan cenderung meningkat – instalmen keempat bertajuk On Stranger Tides sanggup menembus angka keramat $1 miliar dari peredaran seluruh dunia! – tentu tidak mengherankan jika pihak studio kekeuh memintanya berlayar sekalipun tiada lagi area tersisa untuk dijelajahi yang pada akhirnya menyebabkan tuturan terus berputar-putar di satu tempat. Repetitif. Memasuki jilid kelima yang diberi tajuk Salazar’s Revenge (atau Dead Men Tell No Tales di negara asalnya), tanya “apa lagi yang hendak dikedepankan sekali ini?” tentu tidak bisa terhindarkan. Agaknya belajar dari kesalahan On Stranger Tides yang kekurangan tenaga, duo sutradara Joachim Rønning dan Espen Sandberg (Kon Tiki) mencoba mengusung lagi semangat dari trilogi awal yang sempat pupus seraya merekrut kembali karakter kunci dari franchise ini; Will Turner (Orlando Bloom) beserta Elizabeth Swann (Keira Knightley), dengan harapan dapat mencegah franchise Pirates of the Caribbean ditenggelamkan oleh kritikus maupun penonton. 

Pirates of the Caribbean: Salazar’s Revenge memperkenalkan kita pada Henry Turner (Brenton Thwaites), putra dari Will dan Elizabeth yang kini telah tumbuh menjadi pria dewasa. Henry mempunyai satu misi besar dalam hidupnya, yakni membebaskan sang ayah dari kutukan yang mengikatnya bersama kapal Flying Dutchman. Dalam petualangannya untuk menemukan pusaka sakti, Trisula Poseidon, yang konon mampu memberi kekuatan kepada siapapun yang memilikinya termasuk mematahkan kutukan, Henry bertemu dengan seorang perempuan yang dituduh sebagai penyihir lantaran memiliki pengetahuan diatas rata-rata, Carina Smith (Kaya Scodelario), serta kawan lama sang ayah, Jack Sparrow (Johnny Depp). Perjumpaan Henry dengan Jack sendiri bukannya tanpa disengaja. Tatkala kapal armada Inggris yang dinaikinya kandas di kawasan Segitiga Iblis, Henry mendapat pesan dari Kapten Salazar (Javier Bardem) yang menyatakan niatnya untuk membalas dendam kepada Jack atas peristiwa di masa lalu. Mengetahui keselamatannya terancam, Jack pun ikut berpartisipasi mengarungi perairan dalam pencarian Trisula Poseidon bersama Henry dan Carina yang menginginkan benda tersebut agar dapat mengetahui keberadaan sang ayah yang selama ini menjadi misteri baginya.


Apabila disandingkan dengan On Stranger Tides, Salazar’s Revenge bisa dikata jauh lebih menghibur dan bisa dinikmati – walau ini juga tidak berarti banyak. Gegap gempita telah bisa diraba sejak menit-menit awal yang membawa penonton pada rentetan peristiwa seru pula lucu; dimulai dari pertemuan Henry dengan Salazar di Segitiga Iblis yang menguarkan nuansa mencekam, lalu berlanjut penyeretan bank (iya, BANK!) ala Fast Five oleh anak buah Jack yang menciptakan kekacauan besar, sampai guillotine berputar yang terus menerus ‘maju mundur cantik’ kala hendak memenggal kepala Jack. Hingga momen eksekusi Jack dan Carina di alun-alun yang justru berakhir petaka bagi para eksekutor, Salazar’s Revenge masih berasa renyah buat dikudap. Keriuhan semacam ini memang diidam-idamkan penonton pada film bercap ‘summer blockbuster’ sehingga tiada mengherankan derai-derai tawa penonton terdengar menggema dari berbagai titik di dalam bioskop. Namun segala bentuk kesenangan yang menghiasi babak perkenalan bersama beberapa karakter anyar ini sedikit demi sedikit mulai tergerus begitu tiga sekawan ini menunggangi Dying Gull. Layaknya laut, terkadang laju film bergelombang hebat yang memberi sentakan-sentakan, tetapi tak jarang pula mengalun amat tenang. Laju yang tak mempunyai konsistensi ini berdampak pada munculnya rasa lelah selama mengikuti pelayaran dan tak pelak terbersit keinginan agar film segera berakhir. 

Sentakan-sentakan yang ada pun tak selamanya menimbulkan semangat, malah acapkali berasa repetitif. Disamping pengarahan kurang luwes dari duo sutradara, ini disebabkan pula oleh naskah lemah racikan Jeff Nathanson yang juga turut andil dalam membatasi ruang gerak para pemain dalam menginterpretasikan peran masing-masing. Alhasil, tidak sedikit diantaranya berakhir hambar. Javier Bardem memang tampak mengerikan nan mengancam sebagai villain utama dari instalmen kelima ini, namun duo pelakon baru di franchise yaitu Brenton Thwaites beserta Kaya Scodelario kurang mempunyai momen untuk menonjolkan karisma mereka demi mengikat penonton, dan Johnny Depp selaku pemeran utama malah acapkali diperlihatkan teler (atau kebosanan?) seraya melontarkan banyolan-banyolan kering daripada memberi kontribusi signifikan terhadap pergerakan kisah. Agaknya, baik sang penulis naskah, sutradara, maupun Depp, telah kehabisan stok ide dalam mengembangkan sosok Jack Sparrow yang dulunya amat mengasyikkan buat ditengok ini. Kejenuhan yang sempat menyergap di pertengahan film, untungnya dapat sedikit teratasi setelah Salazar’s Revenge beralih ke babak ketiga. Kesenangan mencuat – kendati asupannya tidak setinggi awal mula – dan penonton pun berkesempatan menyambut kembalinya Will beserta Elizabeth ke keluarga besar Pirates of the Caribbean. Yaaa, paling tidak jilid ini masih memberikan hiburan sekalipun akan seketika terlupakan hanya beberapa hari setelah kita menyimaknya di gedung bioskop.

Note : Jangan terburu-buru beranjak, Pirates of the Caribbean: Salazar's Revenge mempunyai satu post-credits scene yang terletak paling ujung dan penting buat disimak terutama jika kamu penggemar franchise ini. 

Acceptable (3/5)


REVIEW : THE AUTOPSY OF JANE DOE


“All these mistakes, my mistakes, and you had to pay for them.” 

Seperti halnya Last Shift yang sempat mampir di bioskop tanah air tahun lalu, nasib The Autopsy of Jane Doe bisa dibilang apes. Betapa tidak, mengingat jajaran pelakon utamanya bukanlah nama sembarangan, sang sutradara punya jejak rekam membanggakan dimana karya sebelumnya yakni Trollhunter disambut sangat hangat oleh para pecinta film horor dunia, dan premis usungannya terdengar menggoda, film ini tidak pernah memperoleh kesempatan untuk dipertontonkan secara luas. Selepas diperkenalkan pertama kali ke khalayak melalui Toronto International Film Festival, The Autopsy of Jane Doe lantas menyapa penikmat tontonan seram hanya melalui rilisan secara terbatas di bioskop, streaming platform, dan home video. Nyaris tiada terdengar gaungnya. Dugaan yang lantas muncul, apakah ini berarti film arahan André Øvredal tersebut mempunyai mutu kurang baik sampai-sampai pihak distributor emoh menggelontorkan dana besar untuk promosi dan perilisan? Tapi, (lagi-lagi) seperti halnya Last Shift, kualitas bukanlah alasan utama yang melatarbelakangi karena kenyataannya kedua judul ini – khususnya The Autopsy of Jane Doe – merupakan harta karun tersembunyi yang sebaiknya tidak dilewatkan begitu saja oleh para pecinta film horor. 

Judul dari film ini merujuk pada sesosok mayat perempuan cantik tanpa identitas (Olwen Catherine Kelly) yang ditemukan setengah terkubur di ruang bawah tanah dari sebuah rumah yang menjadi TKP pembunuhan. Sheriff Sheldon (Michael McElhatton) yang ditugaskan untuk menyelidiki kasus aneh ini lantas membawa mayat si perempuan yang diberi nama Jane Doe pada ahli otopsi setempat, Tommy Tilden (Brian Cox) dan putranya Austin (Emile Hirsch), demi mengungkap penyebab kematiannya. Menguak pemicu tewasnya Jane Doe nyatanya tidaklah semudah membalikkan telapak tangan karena mayat Jane Doe jelas bukanlah mayat biasa. Setidaknya ada tiga kejanggalan yang berhasil diendus oleh Tommy. Pertama, tidak ditemukan adanya tanda-tanda luka atau trauma dalam tubuh mayat. Kedua, tubuh korban mengindikasikan bahwa waktu kematian baru saja terjadi sementara mata korban menyatakan bahwa waktu kematian telah berlangsung beberapa hari silam. Dan ketiga, beberapa bagian dalam tubuh mengalami kerusakan tanpa meninggalkan bekas luka di bagian luar. Tatkala mencoba menggali lebih dalam mengenai kebenaran dibalik tewasnya Jane Doe inilah baik Tommy maupun Austin harus menghadapi berbagai peristiwa yang sulit dijelaskan oleh nalar.


Dalam membangkitkan bulu kuduk penonton di The Autopsy of Jane DoeAndré Øvredal kerap bermain-main dengan atmosfir yang menciptakan rasa tidak nyaman. Sukar untuk bisa duduk di kursi bioskop tanpa dirongrong perasaan gelisah ketika pemandangan yang terhampar di layar adalah lift sempit yang menjadi akses satu-satunya untuk keluar masuk, lorong panjang dengan pencahayaan temaram, dan ruang otopsi penuh mayat yang bertempat di ujung dari sebuah basement. Belum apa-apa, si pembuat film telah menciptakan nuansa klaustrofobik yang mencekat. Lalu tambahkan semua hal-hal mengganggu ini dengan mayat Jane Doe. Yang belum dijabarkan di sinopsis – tapi bisa diketahui melalui poster – adalah mata si mayat yang senantiasa terbuka. Coba bayangkan dirimu dalam posisi keluarga Tilden: mengautopsi mayat yang matanya seolah-olah tengah memandang ke arahmu di suatu ruangan tertutup di bawah tanah. Mengerikan? Jelas. Terlebih, asal muasalnya belum diketahui secara pasti. The Autopsy of Jane Doe berasa sedap buat disimak bukan saja karena kepiawaian sang sutradara dalam menciptakan rasa ngeri akibat kegelisahan tetapi juga berkat pekatnya misteri yang melingkungi guliran pengisahan. 

Ditengah ketidaknyamanan, kita turut dibuat bertanya-tanya mengenai identitas dari Jane Doe. Siapakah dia sebenarnya? Apakah dia mempunyai keterkaitan dengan pembunuhan yang ditangani oleh Sheriff Sheldon? Apa penyebab utama kematiannya? Mengapa tidak ditemukan tanda-tanda semacam luka atau trauma yang umumnya muncul pada mayat? Rentetan pertanyaan ini merupakan pisau bedah utama yang dipergunakan oleh André Øvredal guna menjerat atensi penonton agar berkenan mengikuti jalannya film hingga tutup durasi. Munculnya sejumlah peristiwa ganjil di ruang otopsi seperti kanal radio yang mendadak berubah dengan sendirinya bisa dikata efektif membantu tingkatkan kengerian, namun begitu film lepas dari babak kedua yang ditandai tersibaknya misteri, The Autopsy of Jane Doe tidak lagi semencekam paruh awalnya. Penyebabnya, perpaduan antara penjabaran jawaban kurang memuaskan (sempat nyeletuk, “yah... begini lagi!”) dan kebergantungan André Øvredal terhadap jump scares receh. Bukannya buruk toh intensitasnya masih dapat dirasakan, hanya saja jauh dari kesan istimewa seperti langkah awalnya lantaran sejumlah trik menakut-nakutinya telah cukup sering diterapkan di film sejenis. Cukup mengecewakan memang, tapi untungnya tak sampai menodai film secara keseluruhan. The Autopsy of Jane Doe tetaplah salah satu ‘harta karun tersembunyi’ bagi penikmat tontonan seram.

Exceeds Expectations (3,5/5)


REVIEW : THE INVISIBLE GUEST (CONTRATIEMPO)


“Focus on the details. They’ve always been in front of our eyes, but you have to analyze them from a different perspective.” 

Terakhir kali dibuat terperangah oleh tontonan thriller yakni dua tahun silam tatkala menyimak film asal India yang dibintangi Ajay Devgan, Drishyam. Mengetengahkan topik pembicaraan utama mengenai “seberapa jauh yang bisa dilakukan orang tua untuk menyelamatkan keluarganya”, film tersebut berhasil menjerat atensi sedari awal mula dengan tuturan berintensitas tinggi yang tergelar rapi dan pada akhirnya bikin geleng-geleng kepala saking kagumnya terhadap kapabilitas si pembuat film dalam mengkreasi suguhan mencekam sarat kejutan ini. Kepuasan tiada tara yang diperoleh usai menyimak Drishyam, lantas menimbulkan ekspektasi tinggi kepada gelaran sejenis yang muncul selepasnya. Tak ada satupun yang mampu menandingi apalagi melampaui sepanjang tahun 2016 sampai kemudian sutradara dari Spanyol, Oriol Paulo (The Body), mempersembahkan karya terbarunya yang amat mencengkram dan merupakan perwujudan dari gugatannya terkait keberpihakan hukum kepada manusia-manusia kaya bertajuk The Invisible Guest (atau dalam judul asli, Contratiempo) di kuartal pertama 2017. Jika Drishyam menaruh fokus penceritaan pada upaya seorang ayah dalam menjauhkan sang putri dari jeratan hukum, maka The Invisible Guest berkutat pada upaya seorang pria kaya dalam menyelamatkan dirinya sendiri berbekal kekuasaan yang dipunyainya. 

Si pria kaya dalam The Invisible Guest adalah Adrian Doria (Mario Casas), pebisnis muda yang karirnya tengah meroket tajam dan mempunyai keluaga kecil yang menyayanginya. Kesuksesan yang telah direngkuhnya di usia relatif muda ini sayangnya tak jua membuatnya puas hingga Adrian memutuskan menjalin hubungan gelap dengan seorang fotografer fashion, Laura Vidal (Barbara Lennie). Masalah besar lantas muncul dalam kehidupan Adrian ketika Laura ditemukan tewas terbunuh di sebuah kamar hotel yang tertutup rapat. Mengingat pengakuan dari para saksi menyebut tidak ada orang lain yang meninggalkan kamar selepas kegaduhan terdengar, maka secara otomatis Adrian yang tengah berada di TKP ditetapkan sebagai tersangka. Guna membebaskan diri sekaligus membersihkan namanya, Adrian yang menyatakan dirinya tidak bersalah pun meminta bantuan kepada pengacara handal, Felix (Francesc Orella), yang lantas merekrut pula seorang ahli dengan spesialisasi dalam bidang ‘witness preparation’, Virginia Goodman (Ana Wagener), untuk mempersiapkan Adrian jelang pengadilan baru yang konon kabarnya melibatkan saksi misterius dari pihak jaksa penuntut. Sesi persiapan antara Adrian dengan Virginia yang diperkirakan akan berlangsung lancar tanpa hambatan nyatanya justru berjalan rumit tatkala terungkap satu demi satu fakta yang selama ini sengaja dipelintir demi menyelamatkan nama baik sang tersangka. 

Tanpa banyak berbasa-basi, Oriol Paulo langsung mempertemukan penonton dengan Virginia dan membawa kita memasuki apartemen Adrian guna mengikuti sesi persiapan jelang persidangan. Adrian lantas menarasikan mengenai apa yang menurutnya terjadi di kamar hotel sebelum Laura ditemukan dalam kondisi telah meregang nyawa oleh pihak berwajib. Virginia yang pekerjaannya menuntut dia untuk senantiasa memperhatikan detail sekaligus menaruh kecurigaan, merasakan adanya kejanggalan dibalik cerita sang klien. Ini menjadi persoalan baginya yang mempunyai catatan impresif sepanjang karirnya karena ada celah yang bisa dimanfaatkan oleh jaksa penuntut untuk mengalahkannya di kasus terakhir yang ditanganinya. Virginia pun mendesak Adrian secara keras untuk membeberkan peristiwa yang belum pernah diungkapkannya ke pihak lain karena kebohongan tidak akan menuntun mereka kemanapun. Selepas mendengar pengakuan pertama inilah, tensi dari The Invisible Guest yang sebetulnya sudah diatur di level sedang oleh si pembuat film sedari menit pembuka perlahan tapi pasti mulai mengalami eskalasi. Seperti halnya Virginia, penonton akan secara otomatis menaruh keraguan terhadap Adrian: apakah kronologi peristiwa yang dipaparkannya adalah sebentuk fakta atau ada kebenaran yang disembunyikannya sehingga menempatkannya sebagai narator tidak bisa dipercaya?


Lalu, cerita kedua mengemuka. Oriol Paulo tidak lagi memboyong penonton untuk menelusuri TKP, melainkan menarik tuturan jauh ke belakang sebelum Adrian dan Laura menjejakkan kaki di hotel. Pemantiknya, sebuah headline di surat kabar. Berdasarkan cerita kedua yang berujung pada kasus memilukan tak terpecahkan, baik kedua tokoh utama maupun penonton kemudian menelurkan hipotesis atas keterkaitannya terhadap kasus pembunuhan Laura di ruang tertutup. The Invisible Guest makin berasa mengasyikkan lantaran kita tidak pernah benar-benar bisa yakin mengenai apa yang selanjutnya terjadi. Ya, Oriol Paulo amat cerdik dalam mengatur tempo film. Dia paham betul kapan seharusnya mengecoh penonton yang seolah-olah diposisikan sebagai juri dalam persidangan dengan kebohongan yang dipermak sedemikian rupa sehingga amat menyerupai kenyataan dan kapan seharusnya menggelontorkan bukti-bukti otentik. Dengan ritme penceritaan yang senantiasa bergegas, jelas dibutuhkan konsentrasi selama menyaksikan The Invisible Guest. Sedikit saja terdistraksi, kepingan-kepingan bukti yang telah susah payah disusun sejak awal bisa jadi akan berakhir berantakan atau menuntut disusun ulang. Seperti diutarakan oleh Virginia dalam satu adegan, “fokuslah pada detil.” Apabila sanggup menurutinya, bukan tidak mungkin kamu akan bisa menerka kemana film bakal bermuara. 

Apakah dengan diri ini menganggap telah bisa menebak kenyataan yang tersembunyi, film seketika kehilangan daya cengkramnya? Tidak semudah itu, Tuan dan Nyonya. Nuansa mencekam masih bisa dirasakan, terlebih The Invisible Guest punya sokongan sinematografi apik yang membentuk mood tontonan yang condong ke arah suram mencekam sekaligus atraksi lakonan mengagumkan dari keempat pemain sentralnya; Mario Casas, Ana Wagener, Barbara Lennie, serta Jose Coronado sebagai seorang ayah yang berupaya keras menemukan keadilan. Para pelakon ini turut mendorong terwujudnya keinginan sang sutradara untuk terus mengombang-ambingkan dugaan penonton lewat serentetan kelokan mengejutkan yang secara mengagumkan dapat terajut begitu rapi. Baik Casas, Wagener, Lennie, maupun Coronado masing-masing menunjukkan ambiguitas dalam karakter yang mereka perankan; terkadang tampak terguncang dan rapuh, terkadang pula tampak sukar dipercaya dan mencurigakan, yang menjerat keingintahuan penonton untuk mengetahui motivasi dibalik tindakan mereka. Satu yang tampak jelas, Adrian ingin menyelamatkan karir dan nama baiknya. Melalui sosok Adrian inilah, Oriol Paulo menyuarakan kritik terhadap keberpihakan hukum kepada mereka yang mempunyai uang dan kekuasaan. Dibubuhkan sesuai takaran, kritik pun terasa sangat relevan dan menyentil yang berjasa pula dalam membantu menempatkan The Invisible Guest sebagai film thriller papan atas. Seriously, you should definitely not miss this one!

Outstanding (4,5/5)


REVIEW : CRITICAL ELEVEN


“I’ve burned my bridges. There’s no turning back. There’s only going forward, with you.” 

Apabila kamu rajin berselancar di dunia maya, komentar yang-kini-telah-amat-sangat-menjemukan untuk didengar, “Reza Rahadian lagi, Reza Rahadian lagi,” rasa-rasanya kerap dijumpai. Entah kamu menggemari Reza Rahadian atau justru tergabung dengan para netizen yang memandangnya sinis, sulit untuk menampik bahwa aktor penggenggam empat Piala Citra dari kategori akting ini merupakan salah satu pelakon terbaik yang dimiliki oleh perfilman Indonesia. Dia senantiasa memberi effort lebih untuk peran-peran yang dimainkannya sekalipun sebatas peran kecil atau malah sekadar numpang lewat. Energi positif yang dibawa Reza pun umumnya turut menular ke film maupun lawan mainnya sehingga tidak mengherankan namanya menjadi komoditi panas di kalangan para produser. Tiga lawan main yang ‘naik kelas’ seusai dipasangkan dengannya antara lain Bunga Citra Lestari, Acha Septriasa, serta Adinia Wirasti. Bersama nama terakhir, Reza telah tiga kali tandem. Uji coba pertama di film omnibus Jakarta Maghrib (segmen “Jalan Pintas”) dilalui dengan mulus yang membawa keduanya dipertemukan sekali lagi di Kapan Kawin?. Chemistry kuat nan memancar diantara duo Reza-Adinia dalam film komedi romantis tersebut membuat mereka lantas dipercaya untuk menghidupkan karakter bernama Ale dan Anya dalam gelaran romansa dewasa yang diekranisasi dari novel metropop laris manis rekaan Ika Natassa, Critical Eleven. Sebuah peran yang kian menguatkan pernyataan bahwa Reza dan Adinia adalah dua pelakon jempolan di tanah air saat ini.  

Istilah Critical Eleven berasal dari dunia penerbangan yang mempunyai makna 11 menit paling menentukan keselamatan penumpang yang terbagi pada 3 menit selepas take off dan 8 menit jelang landing. Istilah ini dialegorikan oleh film produksi kolaborasi Starvision dan Legacy Pictures ke pertemuan dua insan manusia, Anya (Adinia Wirasti) dan Ale (Reza Rahadian). Terlampau sibuk dengan pekerjaan masing-masing; Anya adalah seorang konsultan manajemen yang pekerjaannya menuntut dia kerap bepergian, sementara Ale adalah operation engineer di perusahaan kilang minyak, membuat keduanya tidak memiliki waktu untuk memikirkan urusan asmara. Tapi yang namanya jodoh, hanya Tuhan yang tahu. Takdir mempertemukan Anya dengan Ale dalam penerbangan menuju Sydney. Tiga menit pertama memberi kesan manis bagi keduanya, dan delapan menit terakhir menggugah mereka untuk membawa pertemuan singkat ini ke hubungan lebih serius. Selepas kembali ke Indonesia, Anya dan Ale meresmikan hubungan mereka dalam ikatan pernikahan. Pasangan muda ini lantas memutuskan hijrah ke New York demi mengikuti pekerjaan Ale. Selayaknya kebanyakan pengantin baru di bulan-bulan pertama pernikahan, Anya dan Ale pun dilingkupi kebahagiaan meluap seolah-olah dunia hanya milik berdua. Namun sejalan dengan berlalunya waktu, terlebih setelah Ale kembali ke kilang minyak dan Anya dinyatakan berbadan dua, percikan-percikan konflik mulai mengemuka yang perlahan tapi pasti kian mengganas dan pada akhirnya mengancam keutuhan rumah tangga mereka. 

Dalam menggelar kisah kasih Ale dan Anya, dua sutradara Monty Tiwa beserta Robert Ronny membaginya menjadi tiga babak yang masing-masing merepresentasikan tema utama dari Critical Eleven; cinta, duka, dan penerimaan. Melalui ‘cinta’ yang mengisi sepertiga awal durasi, si pembuat film mengajak penonton berkenalan dengan tokoh-tokoh krusial seraya mengetengahkan penceritaan pada bermekarannya bunga-bunga asmara dua karakter utama yang sebelumnya terus menguncup. Mengingat fokusnya, fase ini pun didominasi oleh rasa manis seiring tingginya intensitas kebersamaan antara Ale dengan Anya. Inilah tahapan dimana pernikahan masih manis-manisnya. Fase ini penting agar penonton dapat mengenal, lalu membentuk ikatan, dan kemudian bersorak pada dua protagonis utama karena salah satu kunci kesuksesan dari suatu film romansa adalah seberapa jauh penonton menginvestasikan emosinya terhadap perjuangan para protagonis untuk memenangkan cinta. Beruntung bagi Critical Eleven, disamping mempunyai bangunan karakter memikat; Anya mewakili perempuan mandiri dan Ale adalah gambaran pria pekerja keras yang romantis, ada pula chemistry intim dari dua pelakon utama yang menguarkan kesan kuat keduanya adalah suami istri betulan sehingga mudah bagi penonton untuk terjerat baik kepada Anya maupun Ale. Seperti tengah mendengar dongeng percintaan dari teman atau tetangga yang kita idolakan. Munculnya ketertarikan guna mengetahui kelanjutan kisah kasih Anya dengan Ale ini menandakan bahwa Critical Eleven telah lepas landas secara mulus.


Nada penceritaan film yang mula-mula cerah ceria ini pelan-pelan bertransformasi menjadi kelabu begitu memasuki fase ‘duka’. Seperti halnya perjalanan udara yang sewaktu-waktu menjumpai turbulensi, kehidupan pernikahan pun tak akan terbebas dari guncangan. Seberapa besar impak yang diberikannya – dapat terus melaju atau justru terjun bebas – bergantung kepada penanganan dua pilot rumah tangga. Anya dan Ale dihadapkan pada tragedi besar di usia pernikahan yang terbilang masih dini. Tentu saja, keduanya mengalami keterkejutan amat besar. Yang lantas amat disayangkan, keduanya memilih menyikapi duka tersebut dengan caranya masing-masing alih-alih saling menguatkan yang justru merenggangkan hubungan mereka. Dari sinilah, momen-momen emosional dalam Critical Eleven mulai menguat. Adegan di rumah sakit yang memperlihatkan Anya merajuk minta pulang di pelukan Ale, dan adegan kelanjutannya yang sebaiknya tidak diungkapkan dalam ulasan ini, sungguh merobek hati. Bisa dikatakan, ini adalah salah satu momen paling emosional yang pernah ada di film Indonesia. Kedekatan dengan karakter yang telah kita bentuk di fase sebelumnya, menunjukkan hasilnya di fase ini. Kita menaruh empati terhadap problematika yang mendadak menyergap kehidupan pernikahan pasutri ini. Berharap-harap cemas – terlebih jika kamu belum pernah membaca materi sumbernya – mengenai apa yang selanjutnya memasuki kehidupan mereka. Satu tanya mengemuka, akankah kebahagiaan seperti di awal mula dapat kembali dirasakan oleh Anya dan Ale? 

Tanya ini bukannya tanpa alasan. Penonton dapat merasakan perubahan atmosfer dalam chemistry Adinia Wirasti dengan Reza Rahadian semenjak konflik besar memasuki arena penceritaan. Kehangatan telah tiada, tergantikan oleh rasa dingin. Mereka sanggup ciptakan kecanggungan mengusik ketenangan ketika Anya dan Ale berada di satu ruangan, seperti saat mereka makan malam bersama. So close yet so far. Pertanda api asmara di kehidupan pernikahan mereka telah meredup dengan sangat cepat. Emosi penonton terus dihajar habis-habisan sampai kemudian Critical Eleven memasuki tahapan ‘penerimaan’ yang diharapkan mampu memberikan solusi memuaskan terhadap dinginnya hubungan Anya dengan Ale. Monty dan Robert turut menghembuskan kehangatan di titik ini kala kedua orang tua Ale yang dimainkan secara mengesankan oleh Slamet Rahardjo dan Widyawati akhirnya memilih untuk turun tangan. Fase ini mempersilahkan penonton dewasa untuk berkontemplasi mengenai makna dari suatu hubungan sekaligus mempersembahkan satu momen emas ketika ibu Ale berbincang empat mata bersama Anya. Apabila kamu pernah merasakan kehilangan dan merasakan telah menemukan keluarga baru yang menerimamu dengan tangan terbuka, obrolan yang melibatkan dua aktris terbaik berbeda generasi ini akan membuat hatimu berdesir lalu tanpa tersadar meneteskan air mata. Ya, bahkan sampai jelang pendaratan, Critical Eleven masih berhasil menyentuh hati-hati yang sensitif. Inilah sebuah balada tentang cinta, duka, serta penerimaan yang dikemas manis, hangat, sekaligus emosional dengan tunjangan performa sangat apik dari dua pelakon utamanya. Ciamik!

Outstanding (4/5)


REVIEW : A SILENT VOICE


Didasarkan pada manga bergenre slice of life berbumbu romansa rekaan Yoshitoki Oima, A Silent Voice (Koe no Katachi) menjual dirinya sebagai film romansa untuk segmen young adult. Yang terbersit pertama di pikiran, film ini mungkin akan semanis dan semengharu biru Your Name yang telah berkontribusi dalam menetapkan standar tinggi bagi film anime asal Jepang. Mengingat materi promosinya memunculkan kesan demikian, tentu ekspektasi khalayak ramai tersebut tidak bisa disalahkan. Satu hal perlu diluruskan, A Silent Voice gubahan sutradara perempuan Naoko Yamada (K-On!) ini tidak semata-mata mengedepankan kisah kasih sepasang remaja sebagai jualan utamanya. Malahan sebenarnya, percintaan bukanlah bahan pokok buat dikulik. Topik pembahasan yang dikedepankan oleh A Silent Voice justru terbilang sensitif meliputi perundungan, kecemasan sosial, sampai bunuh diri berlatar dunia sekolah. Ya, ketimbang Your Name, A Silent Voice justru lebih dekat dengan film rilisan tahun 2010, Colorful, yang mengapungkan materi kurang lebih senada hanya saja tanpa mencelupkan elemen fantasi dan lebih realistis dalam bertutur. 

Karakter inti dari film adalah remaja laki-laki usia belasan bernama Shoya Ishida (Miyu Irino). Semasa duduk di bangku sekolah dasar, Ishida mempraktikkan tindak bullying terhadap seorang murid baru yang tuli, Shoko Nishimiya (Saori Hayami). Meski ditindas setiap hari, Nishimiya enggan melawan dan justru kerap melempar senyuman seraya mengucap “maaf”. Mengetahui sang korban tidak memberikan respon keras, Ishida dan kawan-kawannya justru makin getol menindas Nishimiya sampai kemudian tindakan mereka melampaui batas dan ibu Nishimiya pun memutuskan memindahkan putrinya ke sekolah lain. Semenjak kepergian Nishimiya, keadaan berbalik arah ditandai dengan status Ishida yang mengalami degradasi: dari penindas menjadi yang tertindas. Merasakan sebagai korban perundungan, Ishida menyesali perbuatannya dan memilih menjadi outsider di jenjang sekolah berikutnya. Kehidupan Ishida yang erat dengan ‘kesepian’ serta ‘penyesalan’ perlahan mulai berubah tatkala menapaki bangku SMA. Takdir mempertemukannya kembali bersama Nishimiya. Ishida menyadari bahwa perjumpaannya dengan Nishimiya merupakan kesempatan terbaik baginya untuk berdamai dengan masa lalu yang selama ini terus menghantui.


Sejalan dengan materi kupasannya, A Silent Voice pun berceloteh secara serius. Bisa dikata, mendekati depresif. Bukan perkara mudah menengok Nishimiya menghadapi perundungan di sekolahnya tanpa ada seorang kawan pun yang berpihak kepadanya – meski belakangan dia memiliki kawan baik bernama Miyoko Sahara (Yui Ishikawa) yang bersedia mempelajari bahasa isyarat. Ketika Nishimiya menghilang, lalu target berpindah ke Ishida, nada penceritaan pun kian muram. Akibat gangguan yang diterimanya, Ishida memilih jalur antisosial. Mengikuti materi sumbernya, si pembuat film pun menempelkan sebentuk silang besar menyerupai huruf X di wajah teman-teman sekolah Ishida yang mengisyaratkan adanya ketidakpercayaan atau keengganan si karakter utama berinteraksi lebih intensif dengan mereka. Kemuraman lantas sedikit mencair menyusul kemunculan Tomohiro Nagatsuka (Kensho Ono) yang memproklamirkan dirinya sebagai sahabat Ishida usai diberi bantuan. Nagatsuka memegang dua peranan penting dalam film; pertama, memberi asupan humor, dan kedua, mendorong Ishida untuk bersosialisasi serta membuka diri pada jalinan pertemanan yang selama ini dipandangnya sinis. Sampai pada titik ini, meski mood kerap diombang-ambingkan, film sejatinya masih enak untuk dikudap. 

Persoalan-persoalan pada film mulai mencuat ketika sejumlah karakter baru mulai hilir mudik memasuki arena penceritaan seiring kian terbukanya Ishida. Disamping Ishida, karakter-karakter lain di A Silent Voice tak pernah memperoleh jatah waktu memadai untuk memperkenalkan diri. Penonton hanya mengenal Sahara, Nagatsuka, kemudian ada pula Kawai (Megumi Han), Yuzuru (Aoi Yuki), Mashiba (Toshiyuki Toyonaga), serta Ueno (Yuki Kaneko) sambil lalu. Bahkan, Nishimiya pun sejatinya memperoleh perlakuan serupa. Tokoh-tokoh ini dikonstruksi dalam satu dimensi saja yang membuatnya berasa hampa. Sosok Nishimiya kelewat putih bersih, sementara Ueno berada di sisi seberangnya dalam tingkatan ekstrim pula. Lantaran tidak mampu terhubung kepada barisan karakter ini, rentetan konflik yang menyertainya pun sukar menjerat dan durasi yang merentang sampai 129 menit hanya menjadikannya kian melelahkan. Yang lantas menghindarkan A Silent Voice untuk bergabung dengan ‘film mudah terlupakan’ adalah pesan penting usungannya yang masih sanggup tersampaikan secara baik dan penutup manis nan hangatnya yang paling tidak mampu sedikit mengobati rasa lelah akibat tuturan berlarut-larut kurang mengikatnya.

Acceptable (3/5)