Archive for April 2017

REVIEW : GUARDIANS OF THE GALAXY VOL. 2


“Sometimes, the thing you've been looking for your whole life, is right there beside you all along.” 

Mengkreasi sebuah sekuel bagi salah satu film superhero rilisan Marvel Studios, Guardians of the Galaxy (2014), yang merupakan bagian dari Marvel Cinematic Universe bukanlah perkara mudah. Pasalnya, judul satu ini telah menetapkan standar terhitung tinggi untuk film-film adaptasi komik. Guardians of the Galaxy hadirkan rentetan laga luar biasa seru ala Star Wars dengan suntikkan melimpah humor-humor kocak dan barisan soundtrack dari era 60-70’an yang melebur mulus ke setiap adegan dalam film. Seolah belum cukup, pemain ansambelnya pun tunjukkan lakonan dengan chemistry membius. Sebuah film superhero dengan kesenangan tiada tara! Menariknya, semua ini muncul tiga tahun silam tanpa pernah diperkirakan sebelumnya. Betapa tidak, diantara rekan-rekan sesama pahlawan penyelamat alam semesta binaan Marvel yang telah dibuatkan filmnya, pamor Guardians of the Galaxy terhitung paling rendah di mata penonton awam dan sang sutradara, James Gunn (Super), bukan pula nama besar. Tidak mengherankan penonton datang memenuhi bioskop tanpa dipenuhi ragam ekspektasi dan hasil akhirnya justru amat mengejutkan. Bisa dibilang, kejutan merupakan salah satu poin penting yang menghantarkan film menuju gerbang kesuksesan. Mengingat sebagian khalayak saat ini telah mengetahui formula yang diterapkan, yang kemudian menjadi pertanyaan adalah, akankah Guardians of the Galaxy Vol. 2 mempunyai kekuatan yang sama untuk memikat seperti jilid pertamanya? 

Usai menyelamatkan alam semesta di film pendahulu, ketenaran para Guardian yang terdiri atas Peter Quill (Chris Pratt), Gamora (Zoe Saldana), Drax (Dave Bautista), Rocket (Bradley Cooper), dan Baby Groot yang sungguh menggemaskan (Vin Diesel) seketika mengangkasa. Mereka lantas dipercaya oleh kaum Sovereign untuk merebut kembali sejumlah baterai bernilai tinggi dari sesosok monster lintas dimensi. Kerjasama tim membuahkan hasil memuaskan: monster berhasil ditumbangkan, baterai dikembalikan kepada sang pemimpin Sovereign, Ayesha, (Elizabeth Debicki), dan sebagai gantinya, Nebula (Karen Gillan) yang semula berstatus tahanan lantaran kepergok mencuri baterai diserahkan pada para Guardian. Sayangnya hubungan baik diantara dua pihak harus terlukai tatkala terungkap fakta bahwa Rocket mencuri beberapa baterai milik Sovereign. Alhasil, pengejaran atas Guardian pun dimulai. Dalam perang bintang yang berlangsung meriah, tiba-tiba sebentuk kapal misterius muncul dan membombardir pasukan Sovereign demi menyelamatkan Guardian. Sang nahkoda kapal, memperkenalkan dirinya sebagai Ego (Kurt Russell) yang tak lain adalah ayah kandung dari Peter yang selama ini tidak diketahui keberadaannya. Ditemani dengan tangan kanannya, Mantis (Pom Klementieff), Ego mengajak Peter beserta beberapa anggota Guardian untuk mengunjungi kampung halamannya demi memperbaiki kesalahan di masa lalu. Peter yang telah mendamba sosok ayah sejak lama, menyambut baik tawaran Ego sementara Gamora mencium ada sesuatu yang salah setibanya mereka di planet Ego.

Formula yang diterapkan oleh Guardians of the Galaxy Vol. 2 sebetulnya tidaklah berbeda jauh dengan instalmen pembukanya – kalau tak mau dibilang serupa. Beberapa menit selepas film memulai penceritaannya, ingatan seketika dilayangkan ke seri pertama. Beragam similaritas bisa dijumpai dengan mudah. Bukan sesuatu yang salah, tentu saja, terlebih James Gunn memperoleh cara agar kesenangannya tetap berada di level maksimal. Apabila ada kekurangannya, maka itu terhempasnya unsur kejutan karena kita telah cukup familiar dengan atraksi-atraksi yang ditebar sepanjang durasi mengalir. Pertanyaan di paragraf pertama pun terjawab: Guardians of the Galaxy Vol. 2 tidak mempunyai kekuatan yang sama untuk memikat penonton seperti halnya ‘sang kakak’. Jawab ini, mengundang tanya lain, apakah itu berarti film kelanjutan ini buruk atau berkurang jauh kadar kenikmatannya? Untungnya, sama sekali tidak. Walau sebagian diantaranya sebentuk pengulangan, Gunn piawai membuatnya tetap terasa segar sekaligus menyenangkan buat dinikmati. Formulanya adalah beri ruang gerak lebih luas bagi interaksi benci-tapi-sayang antara personil Guardian yang mengundang tawa pula rasa hangat, geber lebih banyak sekuens laga yang mengasyikkan, kurasi dengan cermat lagu-lagu dari era 60-70’an untuk menghipnotis penonton, dan paling penting: sajikan plot dengan muatan konflik mengikat sehingga penonton pun bersedia menginvestasikan emosinya secara sukarela kepada film. 

Guardians of the Galaxy Vol. 2 berasa agak penuh sesak kala memperbincangkan soal plot. Pembahasan utama yang dikedepankan Gunn memang terkait pertemuan Peter dengan Ego, namun di sela-sela plot utama kita juga mendapat suguhan berupa bagaimana Guardian harus menghindari kejaran kaum Sovereign yang meluap-luap amarahnya, lalu pemberontakan di dalam tubuh Ravager disusul adanya upaya mengkudeta Yondu (Michael Rooker) karena sang pemimpin dianggap kian lembek, sampai naik turunnya relasi Gamora dengan saudarinya, Nebula. Ada kalanya memunculkan rasa lelah – apalagi jika Gunn berkenan memangkas salah satu subplot, durasi bisa lebih ekonomis – tapi kabar baiknya, tak sampai memberi rasa pusing akibat kebingungan saking banyaknya cabang penceritaan apalagi kebosanan. Keputusan si pembuat film ini untuk menjlentrehkan banyak hal bisa dipahami begitu film tutup durasi dan segalanya terbayar lunas melalui klimaks emosional yang tanpa tersadar akan membuatmu merasakan adanya air menggenangi pelupuk mata. Ya, jika disandingkan dengan film pertama, Guardians of the Galaxy Vol. 2 bisa dikata lebih unggul dalam hal menguras emosi. Lalu bagaimana dengan humor, laga, dan pilihan lagu pengiring yang menjadi kekuatan franchise ini? Soundtrack masih ampuh menciptakan irama hentakkan kaki kendati tak semembekas jilid awal, sementara elemen komedik dan aksinya ditingkatkan. Telah dibombardir oleh Gunn sedari opening credit-nya yang lucu pula seru. 

Ya, Guardians of the Galaxy Vol. 2 tidaklah mengecewakan kala berkenaan dengan humor dan laga. Malah, tergolong memuaskan. Sekuens laga yang menginjeksikan semangat di volume ini berada di tataran mencukupi, seperti adegan pembuka menaklukkan monster yang diiringi tembang “Mr. Blue Sky”, kejar mengejar antara para Guardian dengan pasukan Sovereign, penumpasan para Ravager pengkhianat oleh Yondu dibantu Rocket dan Baby Groot, hingga konfrontasi akhir yang berujung pada perpisahan emosional. Sedangkan kelakar pemicu gelak tawa, berhamburan dimana-mana termasuk ketika para Guardian tengah sibuk bertempur melawan musuh. Kentara sekali pemain ansambelnya begitu menikmati peran masing-masing yang salah satu buktinya bisa ditengok dari betapa meyakinkannya chemistry diantara mereka: kita meyakini bahwa mereka adalah ‘keluarga’ sekalipun saban detik tak pernah berhenti saling ledek. Bagusnya, mereka tidak hanya tampak tangguh kala dipersatukan melainkan juga saat berdiri sendiri-sendiri. Chris Pratt punya karisma pemimpin dengan ketengilan sesuai porsi, Zoe Saldana tampak menggoda dibalik sikap garangnya, Dave Bautista memiliki kesempatan untuk bersenang-senang bersama Pom Klementieff yang sungguh lucu, Bradley Cooper menyebalkan sekaligus ngangenin di saat bersamaan, Vin Diesel... errr, maksudku, Baby Groot sangat menggemaskan, dan Kurt Russell menghadirkan ambiguitas menarik yang mengundang ketertarikan kita untuk mengetahui di sisi mana sebenarnya keberpihakannya. Pada akhirnya, walau tak sempurna, Guardians of the Galaxy Vol. 2 adalah sekuel yang apik. Kesenangan tetap berada dalam level maksimal. Amat kocak, amat seru, sekaligus mengharu biru. 

Note : Tak perlu terburu-buru tinggalkan gedung bioskop. Guardians of the Galaxy Vol. 2 punya lima (IYA, 5!) adegan bonus selama bergulirnya end credit.

Exceeds Expectations (3,5/5)


REVIEW : STIP & PENSIL


Menjumpai film berbasis genre komedi buatan dalam negeri tidaklah susah sama sekali. Nyaris saban bulan, senantiasa ada judul-judul baru memeriahkan jaringan bioskop tanah air. Yang susah adalah menemukan film dengan kualitas dapat dipertanggungjawabkan diantara genre ini. Tidak ada yang salah memang dari film komedi yang sekadar ngebanyol tanpa mempunyai muatan cerita kuat dan cenderung ringan-ringan saja toh tujuan akhirnya lebih ke tontonan eskapisme. Namun ketika ini dijadikan sebagai pembenaran untuk menghasilkan sebuah gelaran sarat kelakar yang digarap secara serampangan tanpa mempunyai struktur cerita yang jelas, minim lakonan apik maupun alpa production value memadai yang membuatnya sebelas dua belas dengan program lawak di televisi, maka saat itulah kesalahan terbesar diperbuat. Lantaran saking seringnya disuguhi tontonan komedi di layar lebar yang bikin mengelus dada semacam ini – ditambah kepala pusing tujuh keliling akibat keriuhan Pilkada – jelas sesuatu membahagiakan begitu mendapati bahwa Stip & Pensil arahan Ardy Octaviand (Coklat Stroberi, 3 Dara) tergarap cukup apik, dibekali plot berisi dan memberi efek bungah usai menontonnya. Jarang-jarang ada, kan? 

Dalam Stip & Pensil yang merupakan rilisan terbaru dari rumah produksi MD Pictures, barisan karakter penggerak roda cerita antara lain Toni (Ernest Prakasa), Bubu (Tatjana Saphira), Saras (Indah Permatasari), dan Aghi (Ardit Erwandha). Keempatnya adalah siswa SMA yang berasal dari keluarga kaya raya dan masing-masing menghadapi bullying di sekolah karena status sosial mereka. Demi membuktikan bahwa mereka lebih dari sekadar ‘anak kaya manja’ sekaligus mempunyai kontribusi nyata ke masyarakat, tatkala sebuah tugas penulisan esai diajukan oleh Pak Adam (Pandji Pragiwaksono), Toro beserta kawan-kawan turut mendirikan sebuah sekolah darurat di pemukiman kumuh. Mendapat sambutan hangat dari petinggi setempat, Pak Toro (Arie Kriting), mulanya mereka menduga akan mudah saja bagi keempatnya untuk menggelar kegiatan belajar mengajar. Nyatanya, kenyataan jauh dari pengharapan terlebih program tidak pernah disosialisasikan dan mereka buta dengan demografi kampung tersebut karena kelupaan untuk menggelar survey di lapangan terlebih dahulu. Tidak ingin rencana mereka sia-sia belaka, direkrutlah seorang bocah bernama Ucok (Iqbal Sinchan) untuk mengorganisir bocah-bocah di kampung agar bersedia bersekolah dengan iming-iming sejumlah uang. 


Ketika menyambangi bioskop guna menyaksikan Stip & Pensil, ekspektasi yang ditanamkan tidaklah muluk-muluk: asal bisa bikin tertawa, kelar urusan. Yang kemudian tiada dinyana, tiada disangka, urusan telah dituntaskan sedari menit-menit pertama oleh Ardy Octaviand. Adegan pembuka dengan humor yang bisa dikata ‘receh’, efektif mengundang gelak tawa dari penonton. Mau tahu kabar baiknya? Tawa ini terus ada, berkelanjutan dan hampir enggan mengendur sampai film mengakhiri durasinya. Kunci keberhasilan terletak pada tiga poin. Pertama, kejelian si pembuat film memanfaatkan momentum. Kedua, naskah menggelitik gubahan Joko Anwar. Ketiga, barisan pemain yang mempunyai comic timing juara. Dengan ketiga poin ini saling bersinergi, tidak mengherankan jika lantas Stip & Pensil sanggup tersaji sebagai tontonan komedi menyenangkan yang akan membuat penontonnya keluar bioskop dengan ceria. Keempat bintang utamanya lihai mengutarakan kembali rentetan humor yang dibisikkan Ardy bersama Joko kepada mereka, terutama Ernest Prakasa yang kian mengukuhkan posisinya sebagai komika berbakat dan Tatjana Saphira yang diam-diam memiliki bakat ngelaba. Kemunculan Tatjana sendiri kerap mencuri perhatian hasil dari melimpahnya momen ‘ger-geran’ di dalam bioskop yang dipicu oleh sosok Bubu yang digambarkan agak absent-minded. Yakin deh, lagu Yamko Rambe Yamko tidak akan lagi terdengar sama. Tak kalah mencuri perhatian dari Tatjana yakni Gita Bhebhita sebagai Mak Rambe yang garang dan Yati Surachman dalam penampilan singkat berkesan sebagai pemilik warung yang gemar mendramatisir derita hidupnya. 

Stip & Pensil kian menarik berkat jalinan pengisahan yang diutarakan Joko. Apabila mengenali jejak rekamnya, Joko enggan sekadar bermain-main sekalipun di dalam film komedi yang mengisyaratkan main-main belaka. Keberadaan kritik sosial bisa dicecap melalui karya-karyanya terdahulu – seperti Arisan!, Janji Joni, serta Quickie Express – tak terkecuali Stip & Pensil. Konten pembicaraan dalam film ini relevan dengan situasi Indonesia masa kini menyoal perundungan di sekolah, pemberitaan buruk di media tanpa konfirmasi, sampai kesenjangan sosial yang salah satunya diperlihatkan dari pemberian pendidikan yang belum merata. Terdengar berat? Tak perlu risau. Joko cerdik menyiasatinya ditambah lagi pendekatan Ardy untuk melantunkan film secara ringan serta penuh canda tawa memungkinkan pesan-pesan yang terkandung tergolong berhasil menyentil tanpa pernah sedikitpun terkesan menceramahi. Berceloteh dengan solid, setidaknya sampai pertengahan durasi, Stip & Pensil agak tersandung begitu menapaki babak ketiga. Subplot asmara segirumit beserta penggusuran seolah-olah disisipkan di menit-menit akhir hanya demi memperpanjang durasi. Kemunculannya tak mulus, penyelesaiannya terlampau sepele. Andaikata subplot tersebut dihempaskan, niscaya film akan makin renyah buat disantap karena bahkan dengan kelemahan yang menyertainya, Stip & Pensil tetap teramat sayang untuk dilewatkan. Kocak sekali dan... penting!

Exceeds Expectations (3,5/5)


REVIEW : KARTINI


“Tubuh boleh terpasung, tapi jiwa dan pikiran harus terbang sebebas-bebasnya.” 

Kartini garapan Hanung Bramantyo bukanlah kali pertama bagi kisah pahlawan nasional asal Jepara, Raden Adjeng Kartini, dalam memperjuangkan kesetaraan hak untuk para perempuan pribumi diboyong ke layar perak. Sebelumnya, sutradara legendaris tanah air, Sjumandjaja sudah menguliknya terlebih dahulu melalui R.A. Kartini (1982), dan Azhar Kinoi Lubis dibawah bendera MNC Pictures sempat pula memadupadankannya dengan tuturan fiktif lewat Surat Cinta Untuk Kartini (2016). Telah mendapatkan dua gambaran berbeda, sedikit banyak membuat kita bertanya-tanya, apa yang lantas hendak dikedepankan oleh Hanung Bramantyo di versi terbaru Kartini? Ketertarikan untuk mengetahui interpretasi Hanung Bramantyo terhadap sang pejuang emansipasi perempuan inilah salah satu yang melandasi keinginan untuk menyimak Kartini. Alasan lainnya, barisan pemain ansambel yang direkrutnya. Bukankah amat menggoda kala pelakon-pelakon papan atas tanah air seperti Dian Sastrowardoyo, Acha Septriasa, Christine Hakim, Ayushita Nugraha, Deddy Sutomo, Djenar Maesa Ayu, Denny Sumargo, Adinia Wirasti, serta Reza Rahadian berkolaborasi dalam satu film? Terlebih rekam jejak sang sutradara yang dikenal piawai mengarahkan pemain-pemainnya, Kartini jelas tampak menjanjikan. Dan memang, di tangan seorang Hanung Bramantyo, Kartini menjelma sebagai sebuah film biopik yang menghibur, emosional, sekaligus mempunyai cita rasa megah. 

Dalam menyampaikan tuturannya, Kartini mengunduh referensi utama dari “Panggil Aku Kartini Saja” buah karya Pramoedya Ananta Toer, buku kumpulan surat “Habis Gelap Terbitlah Terang” milik Armijn Pane, serta catatan Tempo bertajuk “Gelap Terang Hidup Kartini”. Periode yang dicuplik berada di satu dasawarsa terakhir sebelum Kartini (Dian Sastrowardoyo) tutup usia pada tahun 1904, atau dengan kata lain, setelah pemilik nama kecil Srintil ini cukup usia untuk dipingit. Menurut tradisi Jawa kuno, perempuan yang berada dalam fase dipingit, harus berdiam diri di dalam rumah sampai seorang pria datang untuk mengajaknya melangkah ke pelaminan. Guna menghabiskan waktunya, Kartini kerap menenggelamkan diri ke buku-buku serta majalah-majalah keluaran Belanda atau bermain-main bersama kedua adiknya, Roekmini (Acha Septriasa) dan Kardinah (Ayushita Nugraha). Tidak seperti perempuan sebaya lainnya, ketiga bersaudari ini mempunyai pemikiran berbeda mengenai pernikahan dan longgarnya batasan yang diberlakukan oleh sang ayah, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat (Deddy Sutomo), memungkinkan mereka berkawan akrab dengan keluarga Belanda yang mengagumi tulisan Kartini, lalu mendirikan sekolah untuk masyarakat kurang mampu, sekaligus membantu meningkatkan taraf hidup para pengrajin ukiran di Jepara. 

Menerjemahkan kisah perjuangan Raden Adjeng Kartini ke bahasa gambar sebetulnya bukan perkara mudah. Malah cenderung beresiko tinggi. Betapa tidak, Kartini tiada pernah bersinggungan dengan peristiwa-peristiwa akbar yang mempunyai tingkat kegentingan tinggi dan cenderung lebih dikenang atas sumbangan pemikiran-pemikirannya mengenai kedudukan perempuan yang melampaui zaman. Dengan latar penceritaan yang juga terbatas, Kartini lebih berpeluang untuk terjerembab sebagai film biopik sejarah menjemukan ketimbang menyenangkan. Dua film terdahulu mengenai sang pahlawan adalah bukti konkritnya. Sempat was-was versi anyar ini akan bernasib serupa mengingat perpaduan Hanung dengan film biopik acapkali kurang menyatu (mohon maaf, Sang Pencerah dan Soekarno kesulitan mengetuk sanubari ini), alangkah terkejutnya diri ini tatkala mendapati bahwa Hanung Bramantyo sanggup mempresentasikan Kartini sebagai tontonan yang menghibur. Tunggu, tunggu dulu... menghibur? Betul. Hanung dan Bagus Bramanti yang merancang skrip agaknya memahami, garis dramatik dalam kehidupan Kartini seringkali berada di posisi horizontal. Apabila melulu dilantunkan serius, penonton dapat tergeletak kebosanan di dalam bioskop. Maka dari itu, setidaknya di paruh awal, si pembuat film secara cerdik menyelipkan cukup banyak kelakar sehingga membuat film terasa ringan untuk diikuti.


Berbeda dengan film dari genre seragam yang kerap memanfaatkan karakter sampingan sebagai comic relief, Kartini berani melibatkan sang karakter tituler untuk berpartisipasi dalam mengundang derai tawa penonton. Ini dimungkinkan lantaran Kartini tidak diglorifikasi sebagai perempuan Jawa cerdas yang anggun pula santun. Dalam interpretasi Hanung, sosoknya dimanusiawikan yang tampak dari lakunya yang tomboi, keisengannya, serta keengganannya untuk melulu sendiko dawuh (baca: tunduk patuh) utamanya kala bertentangan dengan apa yang diyakininya. Akibat tindakan sesuka hatinya, seorang pelayan di rumahnya bahkan beberapa kali kena semprot dan adegan ini ditampilkan menggunakan sentuhan komedi. Tawa canda lain di film mencuat pula dari interaksi lekat antara Kartini dengan kedua adiknya yang turut membantu sang kakak memperjuangkan kesetaraan bagi perempuan pribumi dan rakyat kecil. Tidak semata-mata bergantung pada elemen komedik, imajinasi sang sutradara beserta visualisasi cantik hasil bidikan gambar dari Faozan Rizal yang berpadu mulus bersama kostum indah, iringan musik melodius, dan tata artistik ciamik turut membantu hadirkan ‘gelombang rasa’ di separuh awal. Ciptakan pula sensasi megah. Dalam kaitannya dengan imajinasi, terlihat melalui adegan kala Kartini tengah membaca buku maupun surat. Ketimbang sekadar menarasikan isi bacaan, Kartini ditampakkan tukar dialog bersama sang penulis. Terkadang berlatar sekitar pendapa, belakangan mulai melemparkan Kartini jauh ke negeri Belanda – sesuai asal surat korespondensi yang diterimanya. 

Seiring menanjaknya konflik yang ditandai oleh kepasrahan Kardinah menerima dirinya ditaklukkan adat yang kokoh membelenggu budayanya, nada penceritaan Kartini yang semula mengalun ringan perlahan bertransisi ke ranah dramatik berintensitas cukup tinggi yang sanggup menghadirkan momen-momen emosional. Kecermatan tim kasting menunjuk pelakon dan kepiawaian Hanung arahkan pemain kian menunjukkan hasilnya pada titik ini. Dian Sastrowardoyo bermain apik sebagai Kartini dengan karismanya yang menguar kuat. Kita bisa pula merasakan pertentangan batinnya antara memilih menerima realita atau mempertahankan idealisme. Karakter-karakter pendukukung di sekelilingnya yang berkontribusi mengenalkan penonton pada sosok Kartini lewat beberapa sudut pandang, dimainkan secara solid oleh barisan pemain ansambel. Acha Septriasa dan Ayushita Nugraha adalah pasangan yang klop bagi Dian, Deddy Sutomo pancarkan kebijaksanaan seorang ayah sekaligus Bupati, Djenar Maesa Ayu tunjukkan kegetiran mendalam dari seorang istri muda yang luka dari masa lalu belum kunjung pulih, Denny Sumargo yang memerankan kakak tertua Kartini berikan performa terbaik sepanjang karir keaktorannya, Reza Rahadian tunjukkan kelasnya dengan memberi effort lebih sekalipun perannya terhitung amat kecil, dan Christine Hakim adalah bintang sesungguhnya dari film ini. Air mukanya siratkan beragam rasa. Akumulasi emosinya di puncak durasi amat mengena di relung hati yang turut membantu Kartini dapatkan sebuah penutup sempurna. Wuapik!

Outstanding (4/5)


REVIEW : THE GUYS


“Gue percaya, kalau kita hidup dari apa yang kita cintai, kita akan mencintai hidup kita.” 

Beberapa waktu lalu, komika serba bisa Raditya Dika yang tahun kemarin berjasa menempatkan Hangout dan Koala Kumal di jajaran sepuluh film Indonesia paling banyak dipirsa mengumumkan melalui Vlog (video blog) kepunyaannya bahwa dia akan rehat sejenak dari dunia perfilman tanah air: tidak menulis naskah maupun menyutradarai untuk sementara waktu. Sebagai salam perpisahan, Dika melepas The Guys yang merupakan kolaborasi keduanya bersama rumah produksi Soraya Intercine Films pasca Single. Materi konflik seputar kesulitan Dika mencari pasangan pendamping hidup yang tepat memang masih dikedepankan sang komika buat jualan, namun yang membuatnya berasa segar lantaran sekali ini dikawinkan dengan office comedy yang mengulik soal mimpi serta persahabatan lalu sedikit memperoleh pelintiran tatkala problematika asmaranya menyasar ke dua generasi: melibatkan orang tua dari karakter utama. Tambahkan dengan keterlibatan Pevita Pearce, Tarzan, Widyawati, serta penampilan khusus dari aktris Thailand kenamaan, Baifern Pimchanok, harus diakui The Guys terlihat menggugah selera di atas kertas. 

The Guys menempatkan poros penceritaannya pada seorang karyawan di perusahaan yang bergerak di bidang periklanan bernama Alfi (Raditya Dika). Dalam catatan Alfi, setidaknya ada tiga mimpi yang ingin dicapainya dalam waktu dekat: mendapatkan pasangan, membahagiakan ibunya, dan menjadi atasan bagi dirinya sendiri. Alfi berusaha mewujudkan mimpi pertamanya dengan mendekati rekan sekantornya, Amira (Pevita Pearce). Usai sebuah insiden yang menyebabkan Alfi memperoleh ‘surat cinta’ dari bosnya yang galak, Jeremy (Tarzan), hubungan antara Amira dengan Alfi justru kian lekat dan menunjukkan tanda-tanda positif akan berlanjut ke hubungan percintaan. Akan tetapi, tentu saja tidak semudah itu bagi keduanya untuk dipersatukan. Persoalan besar menghadang ketika terungkap fakta bahwa ayah Amira adalah Jeremy – atasan Alfi – dan impresi pertama yang diberikan Alfi kepada Jeremy sama sekali tidak bisa dibilang bagus. Guna memupuskan kesan buruk, Alfi pun mengundang Amira beserta Jeremy untuk makan malam di rumahnya yang berujung pada persoalan lebih besar: Jeremy jatuh hati pada ibu Alfi, Yana (Widyawati). Tidak ingin kisah asmara mereka berlanjut, Alfi pun meminta bantuan teman-teman kontrakannya; Rene (Marthino Lio), Aryo (Indra Jegel), dan karyawan ekspat asal Thailand, Sukun (Pongsiree Bunluewong), untuk melancarkan misi penggagalan.


Guliran pengisahan utama The Guys terbagi ke setidaknya tiga cabang. Pertama, silang sengkarut asmara dua generasi yang menghambat bersatunya Alfi dengan Amira. Kedua, keinginan sang tokoh utama untuk membangun bisnisnya sendiri. Ketiga, suka duka persahabatan Alfi bersama teman-teman kontrakannya yang mendapat sebutan ‘The Guys’ dari Sukun. Terkesan penuh sesak, tapi tentu tak jadi soal apabila si pembuat film terampil dalam merajut tiga plot dengan nuansa berbeda ini menjadi satu. Sayangnya Dika tampak kewalahan untuk membuat ketiganya saling bersinergi satu sama lain sehingga alih-alih saling menguatkan, masing-masing persoalan malah terhidang setengah matang. Tidak semenggigit seperti yang diharapkan. Padahal jika Dika berkenan memilih salah satunya saja buat ditonjolkan entah menguliti lebih dalam problematika cinta beda generasi yang melibatkan ibu dengan calon mertuanya atau jika ingin patuh pada judul maka semestinya persahabatan Alfi bersama sahabat-sahabatnya yang ganjil, The Guys akan lebih ciamik terlebih barisan pelakon yang memperkuat departemen akting serta materi ngebanyol yang dilontarkan sejatinya telah mendukung The Guys untuk tampil maksimal. 

Ya, beruntung bagi The Guys diberkahi pelakon-pelakon yang mempertontonkan atraksi akting di level apik. Baik Marthino Lio maupun Pongsiree Bunluewong dari divisi ‘The Guys’ mempunyai comic timing jempolan yang memungkinkan karakter masing-masing tampil menonjol sekaligus senantiasa didamba-damba kemunculannya karena keduanya beberapa kali sumbangkan gelak-gelak tawa. Marthino Lio punya satu momen membekas tatkala Rene keracunan makanan di tengah-tengah presentasi penting ke klien, sementara Pongsiree senantiasa mencuri perhatian menyusul tingkah lakunya yang ajaib dan betapa seringnya Sukun salah ucap dalam Bahasa Indonesia. Bersama Raditya Dika beserta Indra Jegel, mereka jalin chemistry meyakinkan. Disamping keduanya, The Guys terasa enak buat dinikmati berkat performa Tarzan yang membuktikan kapasitasnya sebagai komedian senior tanah air (adegan makan malam pertama di rumah Jeremy dan kedua bersama keluarga Alfi itu lawak sekali!) dan Widyawati yang menghadirkan kehangatan di menit-menit akhir sebelum film tutup durasi. Adanya tunjangan rentetan humor yang tidak sedikit diantaranya sanggup mengenai target, turut membantu menaikkan derajat The Guys dan memosisikannya sebagai salah satu karya Dika yang menghibur.

Exceeds Expectations (3,5/5)


REVIEW : FAST & FURIOUS 8


“One thing I can guarantee... no one's ready for this.” 

Siapa pernah menduga franchise The Fast and the Furious yang dimulai sebagai film balap mobil liar pada 16 tahun silam, lalu disisipi beragam elemen dari subgenre laga lain guna ‘bertahan hidup’ hingga telah ditinggal pergi oleh salah satu pelakon utamanya, Paul Walker, yang tewas saat seri ketujuh tengah digarap, bakal menapaki jilid kedelapan? Satu dasawarsa lalu tentu tak sedikitpun terbayang, namun semenjak Fast Five yang menjadi titik baru dimulainya kehidupan dari franchise ini baik dari respon penonton – raihan dollar kian menggurita – maupun resepsi kritikus, kita sudah bisa mencium gelagat Universal Pictures bakal memperpanjang usia kisah petualangan Dominic Toretto (Vin Diesel) beserta ‘keluarga’ tercintanya. Mengingat sudah banyak kegilaan kita simak: menyeret brankas raksasa menggunakan mobil di jalanan, berkejar-kejaran dengan pesawat siap tinggal landas, sampai mobil yang melayang menembus dua gedung pencakar langit, tanya “apa lagi yang akan mereka lakukan kali ini?” pada Fast & Furious 8 (dikenal pula dengan tajuk The Fate of the Furious) pun sulit terelakkan – maklum, standar kegilaan laganya terus meninggi dari seri ke seri. Namun ketika kita mengira franchise ini akan mulai kehabisan bahan bakarnya, Fast & Furious 8 justru tetap melaju kencang dan menggeber kegilaan laga yang sanggup menandingi, atau malah bisa dikata melampaui, jilid-jilid pendahulunya. 

Salah satu trik yang juga dipergunakan oleh F. Gary Gray (The Italian Job, Straight Outta Compton) agar atensi penonton tertambat pada Fast & Furious 8 disamping menghadirkan tata aksi mencengangkan adalah membelokkan guliran kisah sedari mula: Dom yang semula berada di pihak protagonis, mendadak berpindah ke sisi gelap. Dia membelot dari kelompoknya, meninggalkan Letty (Michelle Rodriguez) yang kini telah dipersuntingnya dalam kegamangan, dan bergabung bersama teroris siber kelas kakap bernama Cipher (Charlize Theron). Tentu kita tidak mendapati penjabaran motivasi dibalik keputusan Dom merapat ke Cipher di menit-menit awal demi memunculkan daya pikat terhadap guliran pengisahan. Petunjuknya sebatas Dom telah melihat sebuah foto di layar ponsel genggam sang antagonis yang seketika merobohkan tembok pertahanannya. Penonton paham, jika Dom lantas bersedia menerima tawaran berbahaya dari Cipher untuk membantunya mencuri EMP – electromagnetic pulse – yang konon sanggup melumpuhkan gelombang elektromagnetik dan kode peluncuran nuklir kepunyaan Rusia, jelas siapapun (atau apapun) yang terpampang di foto tersebut amat penting baginya. Sekelumit sisi misteri ini nyatanya terhitung ampuh mengundang rasa penasaran penonton sehingga bersedia untuk mengikuti petualangan ala mata-mata yang melibatkan Dom beserta konco-konco. 

Ya, Fast & Furious 8 yang disulap oleh Gray menjadi spy movie selayaknya rangkaian seri James Bond maupun Mission: Impossible, mempunyai modal cukup berlimpah untuk menempatkannya sebagai salah satu seri terbaik dari franchise sekaligus mesin pengeruk pundi-pundi dollar. Ekspektasi bakal peroleh spektakel fun-tastic yang ditanamkan sebelum melangkahkan kaki memasuki gedung bioskop, sukses dipenuhi Fast & Furious 8. Ini menunjukkan bahwa seri yang tergabung dalam franchise The Fast and the Furious selalu memiliki cara untuk mengkreasi gelaran laga over-the-top yang secara intensitas dan kreatifitas boleh dibilang lebih baik dibandingkan seri sebelumnya. Gray pun tak menyia-nyiakan kesempatan unjuk kebolehan tangani film laga yang terbukti dengan disodorkannya sejumlah momen yang rasa-rasanya bakal membuat penonton berdecak kagum sampai rahang terjatuh. Adegan pembuka Fast & Furious 8 berupa perlombaan balap mobil ilegal berlatar pemandangan eksotis kota tua di Kuba yang memberi penghormatan untuk jilid-jilid pertama franchise hanyalah pemanasan, begitu pula saat bola penghancur dilibatkan guna menghantam habis mobil-mobil lawan. Hidangan utama dari film baru disajikan sedari kekacauan besar di penjara akibat sistem keamanan yang mengalami malfungsi. Selepasnya, Fast & Furious 8 yang mula-mula dihantarkan menggunakan kecepatan sedang seketika tancap gas dan daya cengkram pun terus dieskalasi sampai film tutup durasi.


Pada titik ini, penonton mendapati setidaknya dua momen laga gila yang patut dikenang. Pertama, serangan ‘zombie’ di New York City kala siang bolong, dan kedua, kejar-kejaran beragam jenis kendaraan dari mobil Lamborghini mewah berwarna oranye mencolok, tank, sampai kapal selam (!) di atas kepingan es. Mengingat masing-masing momen dieksekusi dalam rentang durasi cukup panjang serta berlangsung saat sinar matahari masih bersinar terang benderang yang memungkinkan detail aksinya tertangkap jelas oleh mata, level keasyikkannya jelas tinggi. Maka dari itu, ada baiknya urusan belakang (baca: toilet) telah benar-benar dituntaskan sebelum film memulai langkahnya atau paling lambat sebelum baku hantam di penjara terjadi. Percayalah, kamu tidak akan rela melewatkan tiga gelaran laga dengan kata kunci penjara, zombie, dan es, yang notabene merupakan bagian terbaik yang dipunyai oleh Fast & Furious 8. Bahkan saya bersedia untuk kembali membayar tiket nonton hanya demi menyaksikan ketiga kegilaan laga tersebut, plus bromance yang terjalin antara Dwayne Johnson dan Jason Statham. Betul, selain rentetan “bang bang boom!”-nya yang mengasyikkan dan plot yang sekalipun klise khas spy film sekaligus cenderung berbau opera sabun namun tak bisa disangkal mempunyai magnet, Fast & Furious 8 unggul di departemen lakonan yang membuatnya bisa berdiri sejajar dengan film-film terbaik di genrenya. 

Dengan seabreknya pelakon yang memperkuat jajaran pemain, Fast & Furious 8 memang serasa penuh sesak. Namun si pembuat film yang telah berpengalaman menangani ansambel pemain, tahu betul bagaimana caranya membagi porsi tampil agar berimbang dan beberapa karakter kunci pun dapat bersinar. Mengingat perginya Paul Walker meninggalkan lubang yang menganga cukup lebar, beberapa penyesuaian pun dilakukan sehingga keluarga Dom tetap berasa utuh. Salah satunya, menggeret Jason Statham untuk berpindah haluan lalu menyandingkannya dengan Dwayne Johnson. Twist-nya adalah karakter mereka dikondisikan saling menaruh benci yang lantas menuntut keduanya adu jotos serta kemampuan berkelakar. Ini membuat bromance diantara mereka (atau bisa dikata, love-hate relationship) terasa menarik buat ditengok, ngangenin, dan memberi kesegaran bagi karakter masing-masing yang mulai berasa hambar di jilid ketujuh. Penyegaran bisa pula diraba pada sosok Dom yang memungkinkan Vin Diesel untuk memperlihatkan sisi tangguh dan rapuh dari karakternya secara bersamaan, serta karakter villain yang untuk pertama kalinya dalam sejarah franchise The Fast and the Furious tampak amat mengancam. Berkat performa efektif Charlize Theron, Cipher mempendarkan aura menggoda, cerdas, sekaligus berbahaya. Berkat performa efektif Charlize Theron yang kemudian disokong pula barisan pemain lain yang membentuk chemistry lekat, level keasyikkan Fast & Furious 8 yang sudah tinggi lantaran aksi dan intriknya pun kian meninggi. Fun-tastic tepat disematkan bagi jilid ini!

Trivia : Aktris senior penggenggam Oscar, Helen Mirren, ikut memeriahkan jilid ini. Apakah kamu tahu, berperan sebagai siapakah dia?

Note : Tidak ada post-credits scene dan format 3D film ini tidak memberi banyak dampak.

Outstanding (4/5)


REVIEW : THE BOSS BABY


“If I don’t succeed in this mission, I will live here forever with you!” 
“Okay, I will help you. But just to get rid of you.” 

Ada similaritas antara The Boss Baby dengan Storks (2016): bangunan konflik dua film animasi tersebut beranjak dari satu pertanyaan polos yang kerap diajukan oleh para bocah, “darimana sih asal muasal munculnya bayi?”. Jawaban fiktif paling kondang dilontarkan di kalangan orang tua negeri barat adalah dihantar seekor bangau putih. Storks mengamini dongeng bangau pengantar bayi tersebut, lalu memberinya sentuhan modern besar-besaran. Sementara The Boss Baby, mengkreasi versi berbeda untuk menjawab pertanyaan perihal asal muasal munculnya bayi. Animasi terbaru kepunyaan Dreamworks Animation selepas Trolls di penghujung tahun lalu yang dasar kisahnya disadur secara bebas dari buku cerita bergambar rilisan tahun 2010 berjudul sama rekaan Marla Frazee ini menyatakan bahwa bayi merupakan hasil produksi sebuah perusahaan. Bukan perusahaan biasa, tentu saja, mengingat korporasi khusus penghasil bayi bernama Baby Corp ini berbasis nun jauh di atas permukaan bumi – bisa dibilang, surga – dan karyawan-karyawan yang mendedikasikan waktu serta tenaganya di sana terdiri dari bayi-bayi menggemaskan dengan kemampuan selayaknya orang dewasa. What a twist, huh? 

Salah satu pekerja di Baby Corp adalah karakter utama dari film yang dipanggil The Boss Baby (disuarakan oleh Alec Baldwin). Sang karakter tituler dititahkan atasannya ke bumi untuk mencegah perusahaan penyedia anak-anak anjing lucu, Puppy Co., berekspansi menyusul direncanakannya peluncuran produk baru yang berpotensi menggerus kekuatan bisnis Baby Corp. Konon, menurut data statistik yang dimiliki perusahaan penghasil bayi tersebut, manusia dewasa masa kini lebih mendamba keberadaan anak anjing ketimbang bayi. Dengan misi menghentikan Puppy Co., The Boss Baby pun menyamar sebagai putra baru dari keluarga Templeton yang konfigurasinya tersusun atas Ted (Jimmy Kimmel), Janice (Lisa Kudrow), dan Tim (Miles Christopher Bakshi). Kedatangan The Boss Baby seketika menguarkan aroma mengancam bagi Tim yang mulanya adalah putra semata wayang. Betul saja, semenjak adanya ‘sang adik’, perhatian Ted beserta Janice kepada Tim berkurang cukup drastis. Tidak ada lagi lagu pengantar tidur, apalagi bermain bersama. Tim yang mencurigai gerak-gerik adik barunya sedari awal lantas menyusun rencana untuk membongkar kedoknya lalu menyingkirkannya. Permusuhan diantara kakak beradik ini pun tak lagi terelakkan.


Seperti halnya ketika menyaksikan Storks tahun lalu, The Boss Baby pun meninggalkan tiga macam rasa: takjub, hangat, dan bahagia. Takjub, karena Tom McGrath (trilogi Madagascar, Megamind) punya cara yang gila dan imajinatif untuk menciptakan sederet momen pemacu semangat sekaligus pemicu gelak tawa. Hangat, karena film menggelontorkan pesan mengenai keluarga yang mengena di hati. Dan bahagia, karena The Boss Baby sanggup mempermainkan emosi sedemikian rupa – dari tawa sampai tangis – sepanjang durasinya mengalun. Boleh dikata, inilah salah satu kejutan termanis dari Hollywood di kuartal awal tahun 2017. The Boss Baby melampaui ekspektasi dari penontonnya yang rasa-rasanya tidak sedikit diantaranya berharap hanya sekadar disodori visualisasi tingkah polah menggemaskan para bayi. Bahkan, daya pikat dari film telah mengemuka sedari film memulai langkah awalnya. Ada narasi mengikat dari Tobey Maguire selaku narator dan Tim dewasa yang mendeskripsikan bagaimana masa kecilnya yang bahagia serta sarat akan imajinasi meluap-luap. Ada pula hamparan pemandangan imut yang menyoroti bayi-bayi baru didandani oleh mesin untuk kemudian disortir: bergabung bersama perusahaan atau menjalani kehidupan normal sebagai bayi. The Boss Baby kian menarik buat diikuti ketika akhirnya si bayi datang (dengan cara yang menggelitik saraf tawa!), lalu mengontrol penuh keluarga Templeton. 

Kunci dari menit-menit berikutnya yang mengasyikkan adalah imajinasi tak terbatas dari si pembuat film. Tidak sekreatif maupun segila-gilaan Storks sih (siapapun yang punya gagasan soal wolfpack, dia jenius!), tetapi persebaran momen seru nan kocak di The Boss Baby lebih merata. Dengan kata lain, dapat dijumpai dengan mudah lewat beberapa titik. Beberapa yang cukup meninggalkan kesan mendalam lantaran efektif menciptakan ledakan tawa antara lain kejar-kejaran antara Tim dengan komplotan bayi-bayi di halaman belakang, mimpi buruk Tim yang memperlihatkan adiknya bertransformasi ke berbagai wujud, ‘keakraban’ Tim dengan si bos demi meyakinkan Ted dan Janice bahwa mereka telah akur, upaya kakak beradik ini menyelinap masuk ke dalam Puppy Co. guna mencuri berkas, sampai penuntasan misi di paruh akhir yang penuh “boom boom bang!” pula kekocakan. Keliaran imajinasi ini beruntung bisa mencapai potensinya berkat sumbangsih bagus dari departemen pengisi suara. Alec Baldwin merupakan pilihan tepat dalam menyuarakan karakter bayi yang lagaknya amat bossy – sedikit banyak mengingatkan pada sosok Stewie dari serial animasi Family Guy – dan membuat penonton gregetan sekaligus ingin memberi kasih sayang di waktu bersamaan. Lalu ada Miles Christopher Bakshi yang begitu energik. Bersama Baldwin, dia membentuk chemistry apik sehingga terciptanya ikatan persaudaraan diantara Tim dan The Boss Baby bisa dicecap dan ketika film berada di titik emosionalnya penonton pun dapat turut tersentuh.

Note : The Boss Baby mempunyai adegan tambahan di pertengahan dan ujung credit title. Lucu, tapi tidak memiliki signifikansi. Silahkan mau disimak atau ditinggal keluar. 

Exceeds Expectations (3,5/5)


REVIEW : GET OUT


“Man, I told you not to go in that house.” 

Berkunjung ke rumah calon mertua untuk pertama kali agaknya kerap meninggalkan cerita menarik buat dikulik. Tatkala berkumpul bersama kerabat, pengalaman ini cukup sering diajukan sebagai topik pembicaraan. Ada yang mengaku biasa-biasa saja, ada pula yang mengaku memperoleh sensasi menegangkan terlebih jika terpampang perbedaan antara kedua belah pihak entah itu status sosial, pandangan politik, agama, budaya atau suku. Perbedaan umumnya mendasari mencuatnya konflik atau setidaknya begitulah yang terjadi dalam film mengenai kunjungan ke rumah calon mertua seperti dimunculkan di Guess Who’s Coming to Dinner (1967), Meet the Parents (2000), sampai The Journey (2014). Mengedepankan perbedaan sebagai sumbu konflik, ada satu kesamaan yang menjembatani ketiga film ini: kesemuanya digulirkan secara komedik. Versi terbaru untuk pengalaman berkunjung yang dikreasi oleh Jordan Peele – seorang komedian dari duo Key & Peele – berjudul Get Out (2017) pun mulanya mengisyaratkan akan mengambil jalur serupa mengingat latar belakang si pembuat film. Memang elemen komedinya masih pekat, hanya saja genre horor lah yang dikedepankan Peele untuk melantunkan penceritaan dalam Get Out. Sebuah pendekatan menarik yang rasa-rasanya akan membuat kunjungan ke rumah calon mertua serasa kian menegangkan.

Pasangan yang bersiap-siap menunaikan kunjungan di Get Out adalah Chris Washington (Daniel Kaluuya) dan Rose Armitage (Allison Williams). Berbeda ras; Chris berkulit hitam, sementara Rose berkulit putih, membuat Chris sempat was-was ketika diundang untuk mengunjungi keluarga sang kekasih. Dalam upayanya menenangkan Chris, Rose sendiri menegaskan bahwa kedua orang tuanya tidaklah rasis yang dibuktikan salah satunya dengan pernyataan akan memilih Obama sebagai Presiden untuk ketiga kalinya. Tentu Chris tidak semudah itu diyakinkan. Masih diliputi kekhawatiran, dia mencoba mengontrolnya demi menghindarkan Rose dari kekecewaan. Sesampainya mereka di rumah orang tua Rose yang lokasinya terbilang terisolasi, kecemasan Chris sempat mereda begitu mendapati calon mertuanya, Dean (Bradley Whitford) dan Missy (Catherine Keener), menyambutnya dengan tangan terbuka. Seperti halnya Rose, keduanya pun berupaya meyakinkan Chris bahwa mereka tidak mempunyai kecenderungan rasis dan bersedia memilih Obama sekali lagi. Tidak menemukan sesuatu yang salah dari Dean maupun Missy kecuali ada kalanya mereka tampak terlalu ramah, Chris justru menjumpai kejanggalan dari dua pelayan kulit hitam di rumah itu. Dari mereka, ketidakberesan keluarga Armitage bisa diendusnya dengan jelas. Kekhawatiran Chris kembali mengemuka dan akhirnya terkonfirmasi pada satu malam tatkala dia berjalan ke pekarangan rumah untuk menyalakan sebatang rokok. 

Dalam mempermainkan rasa takut penonton, Jordan Peele enggan untuk menerapkan konsep “geber saja jump scares sebanyak mungkin.” Meski bukannya tidak tersedia, keberadaan trik usang tersebut di Get Out bisa dihitung menggunakan jemari tangan. Ketimbang membuat kita terlonjak dari kursi bioskop untuk sesuatu yang tidak perlu, Peele lebih suka membangun kengerian melalui emosi yang tumbuh bersama sang protagonis serta nuansa mengusik ketidaknyamanan yang intensitasnya terbangun setapak demi setapak. Resep dalam membangun kengerian yang dijumput si pembuat film sebetulnya bukan juga sesuatu baru yakni “kamu bisa mencium adanya sesuatu yang tidak benar di sekelilingmu, tetapi kamu tidak bisa melihatnya”. Yang memberikannya kesegaran, ada taburan isu rasisme diatasnya. Tengok saja pada satu momen di titik lontar film sebelum judul menyelinap masuk: seseorang berjalan sendirian dalam kegelisahan di perumahan pinggir kota yang sunyi pada suatu malam, lalu sebuah mobil membuntutinya. Sepintas tampak klise karena teror semacam ini kerap dipergunakan di genre horor. Pembedanya, sekali ini korban bukanlah seorang perempuan melainkan laki-laki muda berkulit hitam. Dimulai semenjak menit pembuka, Peele telah mempergunakan Get Out sebagai medium untuk melontarkan komentar sosial. Bukan sebentuk keluhan melainkan lebih ke cerminan atas realita di Amerika Serikat yang kian tak bersahabat bagi warga kulit berwarna. Ini pun seringkali disempalkan dalam wujud satir menggelitik atau malah subteks sehingga atensi penonton tidak terpecah dan tidak pula mendistraksi bangunan terornya.


Selepas adegan pembuka yang terbingkai mencekam, Get Out mengalun santai. Kita berbasa basi bersama Chris dan Rose, serta diperkenalkan pula dengan kawan baik Chris, Rod (Lil Rel Howery), yang nantinya bukan saja memegang peranan dalam melemaskan urat-urat tegang penonton dengan banyolan-banyolan segarnya tetapi juga berkontribusi ke pergerakan kisah. Begitu kendaraan yang ditumpangi Chris dengan Rose dalam perjalanan menuju rumah orang tua Rose menabrak seekor rusa lalu mendatangkan seorang polisi yang gigih meminta kartu identitas Chris, eskalasi ketegangan mulai terpampang nyata. Pertambahannya terus terdeteksi seiring Chris menjejakkan kakinya di rumah sang calon mertua. Keramahan Dean beserta Missy kadang tampak terlalu dibuat-buat, sementara kedua pelayan berkulit hitam di rumah tersebut; Georgina (Betty Gabriel) dan Walter (Marcus Henderson) memperlihatkan emosi bak robot – kelewat terkontrol secara laku dan tutur. Berada dalam situasi ganjil semacam ini, siapa tak merasa was-was? Belum lagi ketika rombongan tamu yang memeriahkan pesta keluarga Armitage yang kesemuanya berkulit putih berdatangan. Chris terjebak di kerumunan tamu dengan warna kulit sama sekali berbeda dan rentang usia terpaut cukup jauh yang mengaguminya secara tidak wajar termasuk menyinggung soal kehebatannya di atas ranjang. Bukankah ini amat sangat mengganggu? Seperti ketika kita terjebak bersama kerabat yang tidak dikenal akrab lalu mereka memberondong kita dengan serentetan pertanyaan bersifat personal. Sebuah kisah horor yang sesungguhnya. 

Chris sangat bisa merasakan ada sesuatu yang salah disini tetapi tidak sanggup menyebutkan dimana letak kesalahannya. Dimainkan amat baik oleh Daniel Kaluuya, sosoknya mudah menjerat simpati dari penonton. Ketika seorang kulit hitam lain secara misterius tiba-tiba memintanya untuk meninggalkan kediaman keluarga Armitage, kita pun berharap Chris bersedia menurutinya sekalipun mustahil bakal dikehendaki si pembuat film karena si protagonis utama baru sekadar mengalami teror secara psikis – dan film baru separuh jalan. Saya tidak akan memberi paparan lebih lanjut terkait keanehan apalagi yang menyergap Chris demi menjaga kenikmatanmu dalam menonton. Satu hal yang jelas: ada rahasia mengerikan tersembunyi dibalik topeng-topeng cantik yang dikenakan oleh keluarga Armitage. Benarkah mereka tidak rasis? Bukankah ada kalanya mereka yang mengaku demikian justru lebih patut diwaspadai ketimbang mereka yang secara terang-terangan bertindak rasis? Performa mengesankan dari Bradley Whitford, Catherine Keener, Caleb Landry Jones (memerankan saudara Rose), Betty Gabriel, serta Allison Williams membuat kita yakin sepenuhnya bahwa mereka bukanlah keluarga kelas menengah biasa. Ditunjang iringan musik ngehe gubahan Michael Abels, Get Out kian membangkitkan sensasi merinding terutama sedari satu fakta dibongkar oleh Rod. Kegelisahan yang terus menerus mengusik akhirnya mencapai puncaknya di babak penutup yang menghadirkan pertunjukkan berdarah nan memuaskan. Memiliki muatan teror mencekam, kunjungan ke rumah calon mertua bersama Jordan Peele di Get Out pun meninggalkan pengalaman mengasyikkan bagi para penikmat film horor.

Outstanding (4/5)


REVIEW : GHOST IN THE SHELL


“They created me. But they can not control me.” 

Sekalipun Astro Boy (2009), Dragonball Evolution (2009), serta Speed Car (2008) mengantongi resepsi tak memuaskan dari kritikus maupuk publik, agaknya Hollywood masih belum juga jera untuk mengejawantahkan goresan-goresan gambar komikus Jepang ke dalam medium audio visual sesuai gambaran mereka. Malahan Hollywood pun terbilang amat percaya diri terbukti dari keberanian mereka mempersiapkan beberapa judul adaptasi dari manga/anime lain untuk stok di masa mendatang sekaligus menafsirkan ulang Ghost in the Shell yang dikenal mempunyai muatan kisah cukup njelimet. Ya, proyek film Ghost in the Shell – berdasarkan manga bertajuk serupa hasil karya Masamune Shirow rilisan dua dekade silam yang lantas diadaptasi pula ke anime – yang sejatinya telah dicanangkan sejak lama akhirnya berhasil diwujudkan juga oleh Paramount Pictures dengan menempatkan Rupert Sanders (Snow White and the Huntsman) dibalik kemudi. Jalannya pun tidak juga mulus, sempat diwarnai kontroversi atas pemilihan Scarlett Johansson sebagai pemeran utama yang notabene berdarah Jepang (whitewashing!), walau bagi saya pribadi penunjukkan Sanders untuk mengomandoi Ghost in the Shell versi Hollywood semestinya lebih dikhawatirkan ketimbang perekrutan Johansson menilik apa yang telah dilakukannya di film terdahulu.

Penceritaan Ghost in the Shell mengambil latar beberapa tahun ke depan di kota tanpa nama kala teknologi telah amat maju yang memungkinkan adanya pencangkokkan otak manusia dalam tubuh robot. Salah satu korporasi yang giat mengembangkan robot dengan kecerdasan buatan adalah Hanka Robotics. Berbagai eksperimen rahasia untuk menyempurnakan robot buatan mereka telah dilaksanakan puluhan kali dengan hasil mengecewakan sampai akhirnya Dr. Ouelet (Juliette Binoche) dan CEO Hanka, Cutter (Peter Ferdinando), berhasil mengembangkan produk sempurna dalam wujud Mira Killian (Scarlett Johansson). Setahun berselang sedari dilahirkan ke dunia, Mira dipercaya untuk menempati posisi Mayor dalam tim keamanan anti terorisme, Section 9, dibawah kepemimpinan Chief Daisuke Aramaki (Takeshi Kitano). Bersama dengan Batou (Pilou Asbæk), Mira ditugaskan untuk menelusuri rencana kejahatan terhadap Hanka Robotics yang belakangan diketahui digawangi oleh seorang hacker bernama Kuze (Michael Pitt). Di tengah-tengah penyelidikannya terhadap Kuze, Mira kerap dibayangi kelebatan-kelebatan misterius dari masa lalu yang kemudian mendorong Cutter untuk menghentikan langkah Mira. Mencoba pula mencari tahu kebenaran dibaliknya, Mira justru memperoleh paparan fakta mengejutkan dari sesosok yang tidak pernah disangka-sangka olehnya.


Keragu-raguan atas kapabilitas Rupert Sanders dalam menangani materi senjelimet yang dipunyai Ghost in the Shell, sayangnya harus terbukti. Tidak berbeda jauh dengan apa yang dilakukannya pada Snow White and the Huntsman, Sanders pun lebih mengedepankan soal tampilan ketimbang substansi dalam Ghost in the Shell. Dampaknya adalah film enak buat dipandang mata namun tuturannya sulit buat meresap ke dalam hati. Ya, Ghost in the Shell jelas sama sekali tidak kekurangan bahan untuk membuat para penontonnya takjub kala mengamati parade visualnya yang imajinatif. Dari latar kota futuritisnya – tampak seperti perpaduan antara Jepang dengan Hong Kong – yang dipenuhi gemerlap neon disana sini dan dimeriahkan iklan berbentuk hologram raksasa, lalu desain robot unik dengan salah satunya berbentuk Geisha yang mampu menjelma sebagai mesin pembunuh, sampai tentunya paras rupawan Scarlett Johansson yang sedikit banyak berhasil menghipnotis penonton untuk mengikuti sepak terjang Mira sekalipun tidak cukup memiliki ketertarikan terhadap sosoknya dan performanya pun tak ada greget (oke, ini bias!). Namun ketika membicarakan soal jalinan pengisahan yang diusung, lain lagi ceritanya. Film tidak dibekali amunisi mencukupi agar penonton dapat terhanyut secara sukarela memasuki dunia Mira. 

Ghost in the Shell sebetulnya tawarkan materi kisah cukup menarik untuk diikuti. Si pembuat film memboyong kita ke dalam penyelidikan Mira terhadap suatu kasus yang lantas berganti dengan pencarian atas jati dirinya. Hanya saja ketiadaan daya cengkram menjadi sabab musabab dari ketidakmampuan menaruh ketertarikan pada guliran cerita. Disamping itu, masih semacam ada sekat yang membatasi kita untuk menjalin hubungan erat bersama Mayor Mira. Tatkala kita tidak sanggup menginvestasikan emosi kepada tokoh kunci, sedahsyat apapun persoalan yang dihadapinya pun akan membal. Keinginan untuk mengetahui ujung dari kisah bukan lagi dipicu kepedulian terhadap nasib sang karakter utama melainkan tidak adanya lagi kesabaran tersisa dalam mengikuti proses. Pada akhirnya, diluar geberan visualnya yang memukau, Ghost in the Shell tidak lebih dari film yang kering, dingin, dan hambar. Keputusan untuk kelewat menyederhanakan penceritaan dengan menghempaskan pembicaraan soal eksistensialisme dan hiperrealitas yang sejatinya disodorkan oleh materi sumbernya, turut berkontribusi pada tergerusnya daya tarik Ghost in the Shell. Khalayak yang datang memenuhi bioskop demi memperoleh tontonan yang bukan saja cantik tetapi juga bernutrisi bagi otak bisa jadi akan kecewa. Bahkan buat mereka yang mengharap ini adalah spektakel seru pun sebaiknya mengontrol ekspektasi karena tata laga di Ghost in the Shell tidaklah impresif. Malah terkadang sama malasnya dengan caranya menuturkan kisah.

Acceptable (2,5/5)