Archive for March 2017

REVIEW : DANUR


“Namaku Risa. Dan aku bisa melihat apa yang kalian sebut... hantu.” 

Setidaknya ada tiga alasan utama disodorkan oleh Danur produksi Pichouse Films (anak dari MD Pictures) yang cukup ampuh untuk menggelitik kepenasaran khalayak ramai agar menyimaknya di layar lebar. Pertama, topik obrolannya didasarkan pada buku populer bertajuk Gerbang Dialog Danur yang konon kabarnya berbasis pengalaman nyata dari seorang musisi indigo bernama Risa Saraswati. Kedua, pelakon utamanya adalah aktris muda dengan basis penggemar terhitung masif, Prilly Latuconsina, yang secara kualitas akting pun terhitung mumpuni seperti ditunjukkannya melalui Surat Untukmu dan Hangout, beserta Shareefa Daanish yang disinyalir bakal menjadi Ratu Horror semenjak Rumah Dara. Dan ketiga, promosi yang dikreasi MD Pictures terbilang gencar sekaligus jitu lantaran memanfaatkan unsur mistis yang amat dipercayai oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Dengan ketiga alasan tersebut – ditambah adanya keterlibatan Awi Suryadi (Badoet, Street Society) di kursi penyutradaraan – Danur jelas menguarkan aura menjanjikan di permukaan sehingga tidak mengherankan apabila ekspektasi membumbung. Pertanyaannya, apakah Danur sanggup memenuhi segala potensi yang dipunyainya? 

Danur memperkenalkan penonton kepada gadis cilik berusia 8 tahun bernama Risa (Asha Kenyeri Bermudez). Mengingat kedua orang tuanya sibuk bekerja, Risa kerap dititipkan di rumah sang nenek utamanya kala libur sekolah. Risa yang kesepian karena tidak mempunyai teman sebaya untuk diajak bermain, melontarkan pengharapan di hari ulang tahunnya. Hanya membutuhkan waktu sekejap saja bagi Risa untuk menantikan pengharapannya terwujud. Tiga bocah berdarah Belanda; Peter (Gamaharitz), William (Wesley Andrew), dan Jansen (Kevin Bzezovski Taroreh), seketika datang menemani Risa bermain hari demi hari. Sang ibu, Elly (Kinaryosih), melihat adanya kejanggalan dalam diri putrinya terlebih dia tidak pernah bisa melihat secara langsung wujud teman-teman baru Risa. Meminta pertolongan kepada orang pintar, terungkap fakta bahwa Peter dan kedua saudaranya merupakan makhluk halus. Tidak ingin putrinya celaka, Elly pun membawa Risa pergi sampai kemudian Risa (Prilly Latuconsina) kembali menjejakkan kaki di rumah sang nenek usai beberapa tahun berselang bersama adiknya, Riri (Sandrinna Michelle Skornicki), demi merawat sang nenek. Serentetan peristiwa janggal pun sekali lagi menyambut Risa terutama setelah mereka kedatangan perawat misterius, Asih (Shareefa Daanish), yang kentara menyimpan agenda terselubung dibalik kedatangannya.


Harus diakui, langkah Danur dimulai secara meyakinkan. Daya sentaknya di menit-menit awal acapkali bersumber pada bangunan atmosfirnya yang cukup efektif dalam menimbulkan kegelisahan di kursi penonton. Beberapa momen yang sempat membuat jantung ini berdebar-debar antara lain ketika Risa bermain piano untuk memanggil kawan-kawan hantunya, kamera mencermati sudut-sudut rumah gedongan sunyi senyapnya sang nenek yang dilengkapi dengan pernak pernik dari zaman Belanda, serta kemunculan pertama Asih yang gemar sekali memberikan tatapan mengerikan kepada Risa. Memperoleh sambutan yang cukup menggelisahkan semacam ini, hati jelas berbahagia karena sedikit banyak menunjukkan bahwa film telah berada di jalur yang semestinya. Melayangkan ingatan pada film horor terdahulu Awi, Badoet, yang juga banyak memanfaatkan atmosfir untuk membangkitkan bulu roma. Begitu keyakinan telah terkumpul – dan Danur sudah memperoleh kepercayaan dari penonton – film justru perlahan tapi pasti terus mengendur intensitasnya seiring berjalannya durasi. Rasa takut yang tadinya telah mendekat, malah mendadak berbalik arah dan kian menjauh sampai akhirnya tidak lagi tampak di paruh akhir. Dalam catatan saya, kesalahan terbesar dari Danur adalah keputusannya untuk mengeksploitasi penampakan habis-habisan yang seketika menyulap Danur tak ubahnya film horor generik. 

Alih-alih menaruh perhatian pada perkembangan karakter demi terbentuknya ikatan antara penonton dengan Risa maupun penonton dengan Peter, film lebih banyak menghabiskan waktunya untuk sekadar memikirkan trik menakut-nakuti penonton. Akibatnya, greget dalam alunan kisah pun tiada bisa dideteksi karena kita tidak pernah sekalipun terhubung lalu menaruh kepedulian kepada barisan karakternya. Sementara teror yang digeber nyaris saban menit, mula-mula sih berhasil saja karena Danur juga memiliki Shareefa Daanish yang bisa dikata jagoan dalam urusan menciptakan ekspresi yang bikin bergidik ngeri. Namun seperti halnya menyantap makanan dalam porsi berlebih, lama-lama kejenuhan tidak lagi terhindarkan sekalipun cita rasanya amat lezat. Terhitung sedari makin gemarnya Asih mejeng dengan berbagai pose di berbagai lokasi, film telah kehabisan tenaganya dan membuatnya cukup sulit untuk benar-benar bisa dinikmati. Kalaupun bisa dinikmati, itu disebabkan adanya serentetan unintentional comedy. Terornya berujung menggelikan yang mengundang derai tawa ketimbang menakutkan yang mengundang pekik ngeri. Dengan naskah dan pengarahan yang begitu lemah, jajaran pemain yang sejatinya telah bermain baik seperti Prilly Latuconsina maupun Shareefa Daanish urung menghadirkan atraksi akting yang maksimal. Tanpa adanya satupun sokongan kuat, potensi besar yang dipunyai Danur pun berakhir sia-sia belaka. Sungguh sangat disayangkan.

Note : Danur mempunyai adegan tambahan di sela-sela bergulirnya credit title. Jangan keburu-buru beranjak!

Acceptable (2.5/5)


REVIEW : DEAR NATHAN


“Saya seneng, kamu ngomong pakai aku kamu. Berasa kayak orang pacaran beneran.” 

Baru beberapa hari lalu diri ini berjingkat-jingkat kegirangan lantaran mendapati film percintaan remaja buatan dalam negeri yang kualitasnya melampaui semenjana dalam Galih dan Ratna, tanpa disangka-sangka kegirangan tersebut bakal terpicu lagi oleh Dear Nathan. Berbeda halnya dengan Galih dan Ratna yang materi sumbernya amat meyakinkan – pijakannya adalah film romantis klasik, maka Dear Nathan yang mempergunakan novel teenlit laris manis rekaan Erisca Febriani hasil kompilasi dari tulisannya di situs Wattpad sebagai rujukan utama boleh dibilang agak meragukan. Meragukan dalam arti naga-naganya film akan susah dinikmati penonton yang bukan berasal dari pangsa pasar utamanya atau dengan kata lain remaja usia belasan yang masih mengenakan seragam sekolah. Ya, telah menjadi rahasia umum bahwa film romantis khusus remaja Indonesia dewasa ini acapkali mempunyai kecenderungan mengalienasi penonton diluar pangsa pasar utamanya sampai-sampai munculnya sikap meremehkan terhadap Dear Nathan pun amat bisa dipahami. Ditemani skeptisisme kala melangkahkan kaki memasuki gedung bioskop demi menyaksikan Dear Nathan, sebuah tamparan kecil mendarat ke diri ini begitu lampu bioskop dinyalakan pertanda pertunjukkan telah usai. Rupanya, Dear Nathan bukanlah film menye-menye kosong nan menyebalkan seperti disangkakan dan malah justru sebaliknya, ini adalah tontonan yang manis, lucu, dan cukup emosional. Dear Nathan pun bolehlah diajak bergabung ke dalam kelompok ‘film percintaan remaja buatan sineas Indonesia yang enak buat ditonton’ yang anggotanya terhitung sedikit itu. 

Dear Nathan adalah kisah asmara antara seorang siswa berandalan dengan seorang siswi taat aturan. Si cowok adalah Nathan (Jefri Nichol) yang tersohor di sekolahnya lantaran kerap bikin onar, sedangkan si cewek adalah siswi baru yang berusaha mengukir prestasi, Salma (Amanda Rawles). Perjumpaan keduanya dimulai tatkala Salma telat datang ke sekolah dan Nathan membantunya menyelinap masuk demi menghindarkan Salma dari hukuman. Sikap Salma yang berbeda terhadap Nathan (menurut Nathan, Salma melihatnya sebagai manusia) membuat berandalan sekolah ini jatuh hati. Dia berusaha menaklukkan hati si murid baru bahkan secara terang-terangan menyatakan rasa cintanya. Hanya saja, sulit bagi Salma untuk benar-benar menentukan pilihan hatinya. Di satu sisi, dia ingin menghindar dari masalah yang kerap bersanding erat bersama Nathan. Namun di sisi lain, dia pun tidak bisa menyangkal bahwa dirinya menaruh perasaan pada Nathan. Kebimbangan Salma kian menjadi-jadi saat sang ketua OSIS, Aldo (Rayn Wijaya), turut memberi perhatian lebih terhadapnya. Apakah dia akan menetapkan pilihannya ke Nathan yang jelas-jelas penuh masalah atau malah Aldo yang di permukaan tampak mempunyai ‘boyfriend material’? Dalam kebimbangannya, serentetan kejadian mendorong Salma untuk lebih dekat pada Nathan yang membuatnya bisa melihat sosok Nathan dari sudut pandang berbeda dan perlahan tapi pasti kian memperkuat percikan-percikan asmara diantara mereka. 

Berkaca pada sinopsis, materi cerita Dear Nathan sejatinya klise. Entah sudah berapa kali film percintaan remaja mengusung tuturan soal kisah kasih antara si badung dengan si rajin berlatar masa-masa SMA. Tengok saja kawasan Asia yang semenjak popularitas serial Meteor Garden mengangkasa, berderet-deret film berjalur romantis mempergunakan template senada. Salah satu yang terbaru dan meninggalkan kesan mendalam di hati adalah Our Times (2015). Memboyong materi cerita yang tidak lagi asing di telinga semacam ini cenderung beresiko. Apabila si pembuat film kurang mahir bercerita, film akan berakhir bak epigon. Butuh kecakapan dalam mengolahnya agar meninggalkan cecapan rasa kuat di akhir, membuatnya terasa segar sekaligus memposisikannya menjulang diantara film-film sejenis. Dan beruntunglah bagi Dear Nathan, tim yang solid menyokongnya dari berbagai lini sehingga mampu meninggalkan cecapan rasa kuat di akhir sekalipun bahan obrolannya tidak lagi baru. Indra Gunawan yang sebelumnya mengobrak-abrik emosi penonton melalui Hijrah Cinta yang kurang mendapat sorotan, menempati kursi penyutradaraan. Dia bertugas mengejawantahkan skenario racikan Bagus Bramanti (Mencari Hilal, Talak 3) dan Gea Rexy ke dalam bahasa gambar. Dalam Dear Nathan, Indra mempertegas bahwa sosoknya sudah saatnya diperhitungkan. Keterampilannya menggulirkan penceritaan di Dear Nathan paling kentara mencolok di 30 menit awal yang mengasyikkan sekaligus menit-menit jelang film tutup durasi yang bukan saja emosional tetapi juga manis. Sikap penuh keragu-raguan seketika terhempas hanya beberapa saat usai film memulai langkah pertamanya.


Membawa nada penceritaan yang cerah ceria bak remaja-remaja yang tengah dimabuk asmara, Dear Nathan tidak ingin melenakan penonton sekadar dengan tangkapan gambar indah maupun deretan dialog ala pujangga tanpa konteks jelas. Plot dan karakter pun dianggap penting. Penonton telah dikondisikan untuk menaruh kepedulian kepada kedua karakter utamanya sedari awal. Demi memperkuat karakteristik dari masing-masing tokoh, si pembuat film pun memanfaatkan barisan karakter pendukung. Keberadaan teman-teman sekolah Nathan maupun Salma bukan sekadar pemanis belaka. Begitu halnya dengan sosok keluarga. Dari mereka, kita bisa melihat Nathan dan Salma menggunakan berbagai jenis kacamata dan memahami motivasi atas setiap tindak tanduknya. Ada dinamika tersendiri dalam sosok keduanya yang sedikit banyak membantu mereka terhindar dari karakter tipikal khas film sejenis. Kita terpikat pada Nathan yang bengal, kita terpikat pada Salma yang polos, dan hasil akhirnya, kita terpikat pada kisah asmara yang merekatkan keduanya. Kesanggupan kita untuk terhubung ke para karakter juga dipicu oleh bangunannya yang membumi. Sosok Nathan dan Salma ada di sekitar kita (atau malah diri kita!), lalu konflik yang melingkungki keduanya pun mudah dijumpai. Ketika penonton sudah membentuk ikatan bersama karakter kunci, maka mudah saja bagi si pembuat film untuk membius kita dengan rentetan konflik yang menghadang para tokoh. Muncul kebahagiaan menyimak dua sejoli ini berduaan, muncul ketidakrelaan melihat jurang pemisah diantara mereka kian menganga lebar, dan muncul kehangatan menyaksikan salah satu dari mereka akhirnya berkonsiliasi dengan masa lalu. Lebih dari sekadar film percintaan, Dear Nathan turut mengapungkan isu mengenai perundungan, prasangka, dan keluarga disfungsional yang alih-alih mendistraksi malah kian memperdalam plot utama. 

Jalinan pengisahan yang telah dirangkai dengan begitu apiknya kian terangkat berkat barisan pemain yang suguhkan lakon solid. Jefri Nichol dan Amanda Rawles merupakan bukti nyata kejelian tim casting dalam memilih pemain. Mereka tidak semata-mata cocok secara perawakan, tetapi juga sanggup untuk menghidupkan sosok Nathan dan Salma. Jefri Nichol melebur secara meyakinkan ke dalam jiwa Nathan, membuat penonton tetap dapat jatuh hati lalu bersimpati kepada Nathan. Gelegak emosinya di paruh akhir bersama Surya Saputra yang memerankan ayahanda Nathan menjadi salah satu bagian terbaik dari film dan terbilang berhasil memaksa penonton untuk mengeluarkan sapu tangan dari saku celana demi mengusap bulir-bulir air mata. Performa Jefri Nichol bisa terasa maksimal – bahkan dia amat bersinar disini – lantaran disandingkan dengan lawan main yang juga klop. Disamping Surya Saputra, ada pula Ayu Dyah Pasha, Karina Suwandi, Diandra Agatha, Beby Tsabina, serta tentunya, Amanda Rawles yang jalin chemistry apik bersama Jefri Nichol. Seperti halnya Jefri Nichol, Amanda Rawles pun tampak effortless memerankan Salma. Dalam interpretasi kurang tepat, Salma berpotensi terperosok menjadi karakter menjengkelkan apalagi acapkali dia plin plan atas keputusannya. Namun Amanda Rawles berhasil melakonkannya dengan amat baik yang membuat Salma mudah untuk disukai (senyum-senyum canggungnya bikin gemes!) dan kita pun memahami kegamangan hatinya dalam menentukan pilihan. 

Melihat sokongan tidak main-main dari beragam departemen, tidak mengherankan jika pada akhirnya Dear Nathan sanggup terhidang sebagai film percintaan remaja yang menyenangkan. Mendatangkan gelak tawa, mengundang sunggingan senyum dan menghadirkan kehangatan. Bagus!

Outstanding (4/5)


REVIEW : BEAUTY AND THE BEAST


“Think of the one thing that you've always wanted. Now find it in your mind's eye and feel it in your heart.” 

Telah menjadi rahasia umum bahwa Disney telah mengakrabi kata ‘magis’ sedari lama. Tengok saja produk-produk animasi tradisionalnya dari generasi awal seperti Snow White and The Seven Dwarfs (1937) beserta kawan-kawannya maupun dari era keemasannya yang dimulai sedari The Little Mermaid (1989) sampai Tarzan (1999) – ini masih belum ditambah sejumlah judul live action dan animasi rekaan CGI yang juga ciamik. Visualisasinya tergurat indah membuat mata terbelalak, tuturan kisahnya meninggalkan rasa hangat yang menjalar manja di dada, dan rentetan nomor musikalnya terdengar renyah di telingga. Mudahnya, Disney mempunyai banyak koleksi film yang memaknai istilah “keajaiban sinema” atau ya, “magis” tadi. Salah satu judul yang tergabung di dalamnya yakni Beauty and the Beast (1991), sebuah film animasi penting yang merupakan interpretasi anyar dari dongeng Prancis klasik gubahan Jeanne-Marie Leprince de Beaumont. Mengapa dikata penting? Karena Beauty and the Beast semacam membukakan gerbang bagi genre animasi agar dapat berkompetisi di kategori utama Oscars, Best Picture. Disamping itu, film ini pun menandai pertama kalinya Disney mempersilahkan film animasinya diboyong ke panggung Broadway. Mempunyai cukup banyak catatan rekor membanggakan – belum ditambah lagu temanya yang legendaris itu – tentu tiada mengherankan jika lantas Beauty and the Beast dipilih untuk mengikuti jejak Cinderella dan The Jungle Book: diejawantahkan ke bentuk live action

Beauty and the Beast adalah dongeng romansa mengenai kisah cinta antara seorang perempuan ayu bernama Belle (Emma Watson) dengan seorang lelaki berparas buruk rupa akibat terkena kutukan yang dipanggil Beast (Dan Stevens). Belle tinggal di sebuah desa kecil bersama ayahnya, Maurice (Kevin Kline), sedangkan Beast menghuni kastil yang area sekitarnya senantiasa bersalju tak peduli apapun musimnya bersama pelayan-pelayan setianya yang berubah wujud menjadi perabotan rumah tangga. Satu-satunya cara bagi mereka untuk bisa kembali menjadi manusia atau dengan kata lain mematahkan kutukan adalah apabila ada cinta sejati hinggap ke sang majikan, Beast. Sayangnya, mengingat Beast jauh dari kata rupawan dan lokasi kastil yang amat sangat terpencil, mengharap datangnya asmara bagaikan pungguk merindukan bulan – suatu kemustahilan yang nyaris absolut. Nafas lega mulai berhembus ketika pada suatu hari, Belle menyerahkan dirinya secara sukarela kepada Beast untuk menggantikan posisi Maurice sebagai tahanan lantaran kepergok hendak mengambil bunga mawar di halaman kastil dalam perjalanan menuju ke kota. Beast menganggap apa yang dilakukan Belle adalah suatu kebodohan, namun para pelayannya justru melihat adanya harapan dari keberadaan Belle. Mungkinkah dia adalah seseorang yang akan membantu mematahkan kutukan? Membawa harapan tinggi, dipimpin oleh Lumiere (Ewan McGregor), para pelayan pun mengatur strategi agar kebencian yang menyelimuti hubungan Belle dan Beast perlahan tapi pasti tergantikan oleh hadirnya percikan-percikan asmara. 

Rasa-rasanya kebanyakan penonton Beauty and the Beast versi anyar tentu sudah familiar dengan jalinan penceritaan yang diusung film garapan Bill Condon (Dreamgirls, The Twilight Saga: Breaking Dawn) ini. Dongeng yang menjadi sumber asal film ini memang amat populer dan telah diceritakan berulang kali menggunakan beragam pendekatan – baik patuh hingga mendekonstruksinya – sampai-sampai sudah hampir tidak menyisakan celah untuk dibubuhi inovasi. Mungkin menyadari hal tersebut ditambah lagi versi animasi Disney rilisan 1991 yang dijadikan rujukan terbilang mahakarya, maka ya, Condon tidak kelewat lancang sehingga memberi banyak tambahan bahan kepada versi teranyar dari Beauty and the Beast ini. Dia memegang erat prinsip “if it ain’t broke, don’t fix it.” Tidak melenceng, tetapi juga tidak mirip sepenuhnya dengan materi kutipannya. Pembeda paling kentara, hubungan kedua karakter utama lebih dieksplor, begitu pula motivasi para pelayan untuk terbebas dari kutukan, dan beberapa lagu baru dimasukkan. Dampaknya durasi pun agak kebablasan memanjangnya walau tak terlalu jadi soal toh berhasil memberi kedalaman pada penceritaan dan paling penting, Beauty and the Beast penuhi segenap ekspektasi. Membuatku terperangah oleh kemegahan visualnya, terlarut dalam alunan melodinya, serta terpikat dengan permainan lakonnya. Atensi telah terbetot sedari adegan pelepas kutukan di gelaran pesta dansa pada awal mula yang berlangsung cukup singkat namun sama sekali tidak kekurangan intensitas. Nuansa kelam pula suram yang mencuat darinya lantas tergantikan oleh keriangan dalam nomor musikal dengan tata koreografi apik, “Belle”


Inilah titik lontar dari nomor-nomor musikal penghias film yang mayoritas merupakan pangkal dari terciptanya kemegahan visual yang dipunyai Beauty and the Beast – bisa dimengerti mengingat jejak rekam Condon kerap bersinggungan dengan film musikal seperti Chicago dan Dreamgirls. “Belle” adalah pemanasan sebelum menuju “Gaston” yang enerjik nan lucu serta “Be Our Guest” dengan visualisasi megah yang bikin geleng-geleng kepala sekaligus rahang menganga lebar-lebar. Mempunyai dampak hebat pada emosi, dua nomor musikal ini bisa dikata merupakan momen emas yang dipunyai oleh Beauty and the Beast. Dan oh, tentu saja tambahkan lagu tema film agar pas sebagai trio. Suara Emma Thompson sebagai Mrs. Potts memang tidak semenghanyutkan Angela Lansbury dari versi animasi kala mendendangkan lagu tema “Beauty and the Beast” untuk mengiringi dansa pertama kalinya Beast dengan Belle, tapi masih ada sebersit sisi magis mencuat dari adegan ikonik tersebut yang nyata sekali turut terangkat pula berkat tata kostum menawan (meski harus saya akui, efeknya tidak sehebat gaun biru bercahayanya Cinderella). Bukan semata-mata terbantu kinerja kolaborasi antara departemen kostum dengan musik, daya takjub yang dipunyai film juga bersumber dari sektor desain produksi yang mengkreasi setiap jengkal latar tempat secara indah, lalu disempurnakan oleh sektor efek khusus yang memungkinkan penonton meyakini bahwa apapun yang terpampang di layar nyata adanya, dan kian dipertangguh barisan pemain berlakon jitu. 

Konfigurasi pelakon pendukung adalah juaranya. Ewan McGregor bersama Emma Thompson, Ian McKellen (Cogsworth), serta Audra McDonald (Madame de Garderobe) dari sektor pelayan setia acapkali mencuri perhatian sekalipun jatah tampil memungkinkan mereka lebih sering berakting dari suara. Interaksi lekat diantara mereka memberi rasa hangat, sementara tingkah polah dan celetukan-celetukan mereka tak jarang mengundang gelak tawa renyah dari penonton. Dua pemain yang diposisikan sebagai antagonis, Luke Evans (Gaston) dan Josh Gad (LeFou), pun memperkuat dinamika film. Evans membuat sosok Gaston yang terobsesi ingin mempersunting Belle terlihat sungguh menjengkelkan tanpa harus kelewat karikatural – kita paham pemicu tabiat buruknya, dan Gad yang ekspresif membawa keceriaan lainnya sekaligus memperkuat karakter Gaston. Lantas, bagaimana dengan Emma Watson dan Dan Stevens? Mereka sama sekali tidak mengecewakan. Ya, ada kalanya air muka Emma Watson berasa datar di beberapa titik yang menyulitkan sosok Belle untuk bisa lebih hidup namun untungnya terbayarkan oleh kebolehannya dalam menaklukkan tantangan berolah vokal seperti halnya para pemain lain (kejutan manis dipersembahkan oleh Stevens saat melantunkan nomor “Evermore”) dan adanya senyawa-senyawa asmara yang bisa dicecap antara dirinya dengan Stevens. Paling tidak, emosi yang dibutuhkan film masih bisa dirasakan dan itu terbukti dari mata yang dibuat berkaca-kaca ketika Beauty and the Beast hendak tutup durasi.

Outstanding (4/5)


REVIEW : BID'AH CINTA


“Anugerah terbesar dari Allah buat manusia itu cinta. Tanpa cinta, manusia itu cuma saling benci.” 

Persoalan asmara terhalang tembok tinggi menjulang berwujud agama di Indonesia telah jamak diungkit-ungkit. Dalam khasanah film Indonesia kontemporer sendiri, kulikannya bisa dijumpai dalam Ayat-Ayat Cinta (2008), Cin(t)a (2009), 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta (2010), sampai Cinta Tapi Beda (2012). Isunya memang terbilang seksi, sekalipun solusinya kerap main aman lantaran rentan mengundang kontroversi tak perlu jika si pembuat film lantas mengambil penyelesaian yang memenangkan “cinta” alih-alih “agama”. Barangkali dilatari keengganan memicu keributan di era masyarakat yang kian mudah mengencang urat syarafnya ini, polemik asmara satu keyakinan beda paham tak juga diangkat oleh sineas tanah air padahal kasusnya di ruang publik tak kalah marak dibanding beda keyakinan (oh ya, kerap menjumpai pasangan gagal menikah disebabkan satu pihak menganut manhaj/metode A sementara pihak lain mengaplikasikan manhaj B). Beruntunglah Nurman Hakim yang sebelumnya gelontorkan realita kehidupan pesantren dalam 3 Doa 3 Cinta serta sentil atribut relijius di Khalifah, bersedia memberi publik kesempatan buat melongok kisah cinta terbentur paham melalui Bid’ah Cinta. Seperti halnya kedua film reliji buatan Nurman terdahulu, Bid’ah Cinta pun lebih dari sekadar berbincang soal “cinta terlarang” yang sebetulnya pemberi jalan saja ke persoalan lebih besar mengenai kian rumitnya kehidupan beragama di Indonesia dewasa ini. 

Karakter utama Bid’ah Cinta adalah dua sejoli yang tengah dimabuk asmara, Khalida (Ayushita Nugraha) dan Kamal (Dimas Aditya). Berasal dari dua keluarga dengan pemahaman soal Islam yang bertentangan, menyulitkan keduanya untuk secepatnya melenggangkan hubungan ke ikatan pernikahan. Khalida adalah putri bungsu dari Haji Rohili (Fuad Idris), penganut Islam tradisional yang masih melestarikan warisan ulama-ulama terdahulu seperti tahlil, Maulid Nabi, serta ziarah kubur, sedangkan Kamal adalah putra semata wayang dari Haji Jamat (Ronny P. Tjandra), penganut Islam puritan yang menganggap amalan di luar Al-Qur’an dan Hadits adalah sebuah bid’ah – secara bahasa bermakna membuat sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. Dilingkupi cinta, sejatinya hubungan antara Khalida dengan Kamal baik-baik saja meski tak bisa dihindari ada kalanya mereka berseteru soal pandangan agama. Perseteruan keduanya kian memanas tatkala Ustad Jaiz (Alex Abbad) dari kelompok Islam puritan makin menancapkan pengaruhnya di kampung tempat mereka bermukim. Khalida gerah melihat tindak semena-mena dari para santri Ustad Jaiz yang menguasai masjid kampung sebagai tempat peribadatan eksklusif bagi kelompok mereka, sementara Kamal yang menganggap amalan Haji Rohili dan para santrinya sebagai bid’ah (dan itu berarti dosa jika dilakukan) melihat tidak ada yang salah dari tindakan pengikut Ustad Jaiz yang semata-mata hanya ingin menegakkan akidah Islam. 

Ketimbang semata-mata membawa penonton pada sajian roman religi mengharu biru yang sarat akan tangis menangis akibat jalan terjal yang harus dilalui oleh Khalida dan Kamal hanya untuk bersatu dengan elemen religi ditempel sekenanya saja, Bid’ah Cinta justru sodorkan potret nyata, menyentil nan mengusik pikiran atas situasi bermasyarakat di tanah air dalam beberapa tahun belakangan yang kerap diwarnai perseteruan antar umat Islam dengan warna kelompok berlainan. Nurman tak bermaksud menyanjung kelompok tertentu lalu menyudutkan kelompok seberang seperti disangkakan ratusan netizen di kolom komentar “trailer Bid’ah Cinta” dalam Youtube karena film sejatinya hendak mempromosikan pesan mengenai toleransi yang agaknya mulai dilupakan oleh masyarakat Indonesia yang majemuk ini. Sebagai percontohan, Bid’ah Cinta memilih Islam tradisional atau pro-tradisi dan Islam puritan yang memang kerap bersinggungan setidaknya di Jawa, lalu dihadirkan pula sosok pemuda pengangguran yang kerap mabuk-mabukkan dan waria bernama Sandra (Ade Firman Hakim) diantara kedua kelompok tersebut. Tidak ada keberpihakan secara eksplisit dari si pembuat film – walau tidak salah juga apabila ingin menunjukkan posisinya – dengan masing-masing kelompok digambarkan mempunyai titik lemahnya. Dalam artian, bukan dari ajaran melainkan adanya satu dua penganut yang kebablasan sehingga sedikit banyak berkontribusi atas pembentukan citra Islam secara keseluruhan. Dari Islam tradisional diwakili sosok kakak Khalida (Yoga Pratama) yang kerap memberi label ‘teroris’ terhadap Kamal sekalipun secara pemikiran, dirinya malah cenderung lebih radikal ketimbang Kamal.


Dari Islam puritan, sumbernya adalah kawan-kawan lama Ustad Jaiz dari pondok. Sebelum kehadiran mereka, ada harmoni dalam keseharian warga kampung: sholat berjamaah, masjid terbuka luas bagi siapapun yang hendak beribadah maupun menggelar kegiataan keagamaan tanpa ada batasan, dan tiada gesekan-gesekan konflik antara Ustad Jaiz dengan Haji Rohili. Ya memang benar ada kalanya Haji Rohili nyinyir soal konten dakwah Ustad Jaiz maupun penyampaiannya yang berapi-api, begitu pula Ustad Jaiz beserta para santrinya yang geleng-geleng kepala melihat praktek bid’ah yang terus dijalankan. Namun kedua belah pihak yang mengaplikasikan metode berbeda dalam menafsirkan ajaran Islam ini tidak pernah berbenturan satu sama lainnya karena tidak pernah ada niatan untuk melakukan intervensi terbuka di ruang publik. Seakan menyadari, samawi adalah urusan personal. Kehadiran kawan-kawan lama Ustad Jaiz lah akar dari segala masalah. Mereka menunjukkan sikap sama sekali tak bersahabat atau bisa juga dikata “kecongkakan religius” – menempatkan diri sebagai Tuhan dengan segala penghakiman-penghakimannya. Langkah pertama yang dilakukan adalah menguasai Masjid, mengharamkan segala bentuk aktivitas diluar ajaran yang tertuang di Al-Qur’an dan Hadits. Tidak berhenti sampai disana, mereka pun menghalangi Sandra yang selama ini diterima dengan baik untuk sholat dan berujung pada pengusiran dari masjid. 

Perebutan masjid memang nyata adanya – saya pernah menyaksikannya secara langsung di Semarang beberapa tahun lampau saat merantau dan hampir saja terjadi di kampung halaman – lalu bagaimana dengan waria dilarang beribadah? Mungkin sekali pernah dijumpai kasusnya. Kedekatannya pada realita inilah yang memudahkan untuk terhubung pada jalinan pengisahan yang ditawarkan oleh Bid’ah Cinta. Sekalipun bukan terhitung provokatif, malah penyampaiannya sesekali lucu, kebesaran hati disertai keterbukaan pikiran tetaplah perlu dijadikan sebagai landasan utama agar dapat mencerna maksud dibalik paparan Nurman dalam film ini yang sekali lagi perlu ditekankan yakni mengajak penonton bersikap toleran alih-alih memecah belah umat. Apabila kedua syarat tersebut telah terpenuhi, Bid’ah Cinta akan menjelma menjadi tontonan bernutrisi bagi otak. Mewartakan informasi bermanfaat untuk awam, sementara mereka yang pernah berada (atau minimal mengetahui) dalam situasi serupa dihadapi para penduduk kampung di film diajak untuk berpikir, melakukan perenungan mendalam, serta berdiskusi cerdas bersama kawan. Bukankah akan bikin adem hati apabila setiap Muslim bersedia untuk menerima perbedaan seperti ditampakkan pada adegan mula-mula dan penghujung Bid’ah Cinta? Mengingat karakter etnisitas kebangsaan di Indonesia tergolong beragam, tak pelak perbedaan akan senantiasa menyertai dan satu-satunya cara untuk menjembatani perbedaan adalah merayakannya. Menghargainya. Atau seperti kata Kamal, dengan cinta. Sungguh sebuah film yang bagus!

Outstanding (4/5)


REVIEW : HIDDEN FIGURES


“Every time we get a chance to get ahead, they move the finish line. Every time.” 

Hidden Figures merupakan sebuah film inspiratif yang penting ditonton. Sajian dari Theodore Melfi yang diganjar tiga nominasi di helatan Oscars tahun lalu ini – terdiri dari Film, Aktris Pendukung, serta Naskah Adaptasi – secara tegas menyatakan bahwa keadilan beserta kebebasan semestinya diperjuangkan. Direngkuh. Mereka yang mengalami perundungan, tidak semestinya hanya melontarkan keluh kesah semata tanpa pernah sedikitpun berusaha untuk merubah nasibnya. Pembuktian diri adalah kunci. Guna menguatkan keyakinan penonton, si pembuat film pun menghadirkan studi kasus berdasar buku non-fiksi gubahan Margot Lee Shetterly, Hidden Figures, mengenai kontribusi penting dari tiga perempuan berkulit hitam terhadap pengiriman manusia ke luar angkasa untuk pertama kali kala rasisme beserta seksisme masih menjadi isu mengerikan di Amerika Serikat. Lewat studi kasus tersebut, Hidden Figures memberi pembuktian bahwa slogan “impossible is nothing” memang betul adanya. Selalu ada kesempatan untuk menjadi yang pertama apabila memang dilandasi keberanian untuk mewujudkan mimpi. 

Ketiga perempuan kulit hitam yang menjadi sorotan utama dalam Hidden Figures, yakni Katherine Goble (Taraji P. Henson), Dorothy Vaughan (Octavia Spencer), dan Mary Jackson (Janelle Monae), yang bekerja di bagian komputasi untuk National Aeronautics and Space Administration atau NASA. Ya, sebelum segala bentuk kalkulasi dipercayakan kepada komputer, manusia-manusia berotak encer inilah yang dipercaya menjalankan tugas sebagai komputer. Mengingat pada era 60-an perempuan masih dipandang sebelah mata secara strata sosial belum lagi ditambah fakta adanya segregasi yang menyulitkan masyarakat kulit berwarna mendapatkan kesetaraan hak, tentu bukan persoalan mudah bagi Katherine, Dorothy, maupun Mary untuk meningkatkan jenjang karir. Katherine yang direkrut dalam tim penghitung ketepatan lintasan untuk mengorbitkan John Glenn (Glen Powell) ke angkasa luar kerap disepelekan rekan-rekan kerjanya yang seluruhnya adalah laki-laki kulit putih. Permohonan Dorothy untuk menduduki posisi supervisor ditanggapi dingin sekalipun beban kerjanya telah berada di tingkatan tersebut. Sedangkan Mary yang bertekad menjadi insinyur terhalang persayaratan di jenjang pendidikan. 

Alih-alih memandang sinis ke sistem yang mengekang tiga perempuan cerdas tersebut, Hidden Figures justru menempatkan fokusnya pada perjuangan Katherine, Dorothy, serta Mary untuk mendapatkan jalan keluar dari rentetan hambatan yang menghadang. Kalau perlu, sekalian saja merubah sistem. Tiga jurus mereka terapkan dalam pembuktian diri; kecerdasan, keberanian, dan determinasi. Sepanjang durasi mengalun selama 127 menit, kita menyaksikan ketiganya berproses dari mulai disepelekan, perlahan diterima, sampai diakui. Inspiratif! Masing-masing karakter dikondisikan untuk tetap membumi sehingga tiada kesan berjarak dengan penonton; Katherine berhati lembut, Dorothy berjiwa pemimpin, sementara Mary bertekad baja. Alhasil, kita dapat dengan mudah terhubung secara emosi ke setiap karakter. Ketika mereka tersandung, kita ikut nelangsa. Ketika mereka mencapai keberhasilan, kita ikut bersorak sorai. Demi memperkuat karakteristik ketiganya, tidak lupa si pembuat film turut melongok ke kehidupan personal mereka. Bisa dibilang, babak ini tak semenarik kala berkutat di kantor meski tetap menghadirkan satu dua momen menghangatkan hati.


Hangat? Betul. Topik obrolannya boleh saja berat menyoal ras, gender, matematika, luar angkasa, dan sejarah. Namun jangan salah, Hidden Figures sanggup melantunkannya secara ringan dan menyenangkan tanpa pernah sedikitpun mengalienasi penonton yang tidak menaruh minat pada topik-topik tersebut. Malah, mereka bisa memperlihatkan betapa kerennya matematika di film ini! Disamping memberikan rasa hangat berkat adanya kepedulian mendalam terhadap nasib ketiga perempuan ini, tidak sedikit pula humor diselipkan diantara rongga-rongga konflik yang hampir kesemuanya bertaji dalam mengundang gelak tawa penonton. Lihatlah pada adegan Katherine yang harus berlari hampir satu kilometer setiap harinya selama jam kerja demi menjangkau toilet bagi kulit berwarna yang tidak tersedia di gedung tempatnya bekerja. Lucu pula getir di saat bersamaan. Theodore secara cerdas menyematkan pesan besar film mengenai kesetaraan melalui adegan ini yang puncaknya memunculkan salah satu momen terbaik di film, “we all pee the same color.” 

Tentu Hidden Figures tidak akan semencengkram ini tanpa sokongan barisan pemain yang berlakon meyakinkan. Keputusan tepat bagi Screen Actor Guild Awards menganugerahi film lewat kategori “Outstanding Performance by a Cast” karena ansambel pemainnya memang suguhkan atraksi akting ciamik. Lini utama diwakili oleh Taraji P. Henson, Octavia Spencer, dan Janelle Monae, sementara garda pendukung dijaga oleh Glen Powell, Kevin Costner yang memerankan atasan Katherine bernama Al Harrison, Jim Parsons sebagai rekan kerja Katherine yang kerap memandangnya rendah, Kirsten Dunst adalah supervisor yang menghalangi majunya Dorothy, dan Mahershala Ali memerankan pendamping hidup Katherine. Jelas mereka adalah tim yang solid. Kala diminta berdiri sendiri, sorotan pun mengarah pada Taraji yang mempunyai jangkauan emosi paling luas, Octavia yang tegas, Janelle yang memancarkan karisma, Jim yang luar biasa bikin dongkol, dan Kevin yang berwibawa. Masing-masing dari mereka mempunyai momen yang mempersilahkan karakter untuk bersinar. Bagi saya pribadi, selain adegan toilet, momen paling membekas di Hidden Figures adalah ketika Al menyerahkan kapur kepada Katharine. Sebuah pertanda bahwasanya kepercayaan telah didapat. Pembuktian diri menunjukkan hasilnya.

Outstanding (4/5)


REVIEW : GALIH & RATNA


"Fokus dengan apa yg membuat kita bahagia bukan pada apa yg seharusnya membuat kita bahagia."

Menjumpai film percintaan remaja buatan dalam negeri yang enak ditonton itu sulitnya bukan kepalang. Bagai mencari jarum diantara tumpukan jerami. Dari sisi kuantitas sih stoknya melimpah ruah. Cuma dari sekian banyak judul, film yang tidak mengakibatkan migrain atau gerutuan berkepanjangan saat menontonnya bahkan kalah jumlah dari jemari tangan. Plot mengada-ada, karakter konyol jauh dari kesan membumi, dan dialog-dialog ala pujangga yang bikin lelah telinga dilontarkan tiap menit adalah beberapa penyebab mengapa film percintaan remaja setempat sulit membuat penonton di luar pangsa pasarnya ikut klepek-klepek. Terakhir kali menyaksikan perwakilan genre ini yang terhitung “pas di hati” adalah lima bulan silam lewat Ada Cinta di SMA – sebuah film romantis menyenangkan yang sayangnya dipandang sebelah mata lantaran dibintangi oleh personil CJR (dunno why!). Dalam kurun waktu semenjak film tersebut rilis, beberapa film sejenis berlalu lalang namun tak satupun meninggalkan kesan sampai akhirnya tibalah film terbaru arahan Lucky Kuswandi, Galih dan Ratna, yang menyerupai oase di gurun tandus. Galih dan Ratna membuatku tertawa oleh kejenakaannya, tersenyum kerena keromantisannya, sekaligus rindu manisnya masa-masa SMA. Jatuh hati! 

Kendati melompat kegirangan begitu mendapati betapa lezatnya Galih dan Ratna buat dikudap, sejatinya bukanlah sesuatu yang terlalu mengejutkan mengetahui sajian ini akan meninggalkan after taste kuat. Betapa tidak, materi sumbernya adalah novel legendaris dari era 70-an karya Eddy Iskandar, Gita Cinta Dari SMA, yang lantas diterjemahkan pula ke film layar lebar laris manis berjudul serupa dan mengorbitkan kedua bintang utamanya, Rano Karno serta Yessy Gusman. Karakter yang mereka perankan amat ikonik yakni Galih dan Ratna yang merupakan Rangga dan Cinta bagi generasi remaja tiga dekade silam. Dalam versi 2017, sekalipun garis besar cerita berikut jajaran karakter intinya mengadopsi dari karya populer terdahulu, Lucky Kuswandi tidak serta merta sekadar copy paste lalu disesuaikan dengan kondisi zaman. Galih dan Ratna lebih cocok disebut sebagai ‘adik’ ketimbang ‘kloningan’. Disamping plot utama mengenai kisah kasih dua sejoli terhalang perbedaan kasta sosial (dirombak dari sebelumnya, beda suku) dan satu dua lagu tema diaransemen ulang, nyaris tidak ada lagi persamaan dijumpai dari kedua film tersebut. Malah, sesuai dengan judulnya, latar belakang kedua karakter utama mendapat lebih banyak kulikan ketimbang versi lawas. 

Galih (Refal Hady) masihlah siswa SMA yang cerdas, hanya saja sekali ini dia bukan siswa populer dan cenderung tertutup. Impiannya terhalang oleh restu dari sang ibu (Ayu Dyah Pasha) yang menginginkan Galih untuk fokus di jalur akademik sehingga mampu memasuki universitas pilihan tanpa harus menghabiskan banyak biaya mengingat kondisi finansial keluarga mereka serba pas-pasan. Sementara Ratna (Sheryl Sheinafia) tetaplah siswi pindahan yang cantik dari keluarga terpandang, hanya saja sekali ini dia lebih spontan dalam bertindak dan mimpinya mengenai masa depan masih diawang-awang. Perkenalan keduanya secara resmi dimulai di lapangan belakang sekolah saat Ratna menunjukkan ketertarikkan pada walkman milik Galih. Dari obrolan singkat mengenai musik yang mereka dengarkan bersama, penonton bisa menyimpulkan bahwa keduanya saling cocok. Hanya butuh alasan lain untuk mengeratkan hubungan mereka. Fathan Todjon selaku penulis skrip bersama Lucky menghadirkan alasan tersebut dalam bentuk sebuah toko kaset milik mendiang ayah Galih yang telah tergerus modernitas dan terancam gulung tikar bernama Nada Musik. Ratna iseng mampir kesana, lalu malah dibuat kesengsem oleh idealisme Galih. Percikan-percikan asmara diantara mereka kian menguat sampai akhirnya Galih memberanikan diri untuk membuat mixtape sebagai bentuk pernyataan cintanya kepada Ratna. 


Melihat Galih ‘menembak’ Ratna menggunakan mixtape, seorang kawan nyeletuk, “ah, terlalu mengada-ada. Masa jaman serba digital begini masih ada yang mau nembak pakai mixtape? Muternya gimana coba?.” Untuk sesaat, saya membenarkan komentarnya sampai kemudian teringat pernah menjumpai seorang penggila musik idealis yang mengagungkan format fisik (termasuk kaset yang telah dianggap punah oleh banyak orang sejak beberapa tahun lalu!) dan mendengar tanggapan Ratna ke salah satu teman sekelasnya, “jika dia memang mencintaimu, dia akan mencari cara untuk mendengarkannya.” Kehadiran mixtape justru memperkuat sisi romantis dari film. Menunjukkan adanya kesungguhan cinta diantara kedua karakter utama mengingat untuk sekadar ‘nembak’ dan ‘menerima tembakan’ saja membutuhkan daya juang lebih. Galih bersusah payah memilah-milah lagu yang cocok untuk mengutarakan isi hatinya lalu dilanjut proses mengompilasi ke bentuk kaset yang rumit, dan Ratna, berusaha keras untuk mencari tape demi mendengar surat cinta sang kekasih. Adegan saat Ratna akhirnya berhasil mendengarkan mixtape pemberian Galih di angkot merupakan salah satu momen emas dalam Galih dan Ratna. Hati ini berdesir dibuatnya. Adegan lanjutannya berupa penyampaian jawaban pun tak kalah manis. Tanpa tersadar, seuntai senyum telah mengembang di bibir. 

Ya, Galih dan Ratna manis bukan disebabkan kedua insan manusia yang tengah dimabuk asmara hobi saling melempar gombalan satu sama lain tiada berkesudahan. Manisnya terbentuk dari situasi dan keyakinan penonton bahwa kedua karakter memang saling jatuh cinta – atau dengan kata lain, chemistry ciamik. Refal Hady dan Sheryl Sheinafia mempersembahkan duet maut layak dikenang. Untuk ukuran pendatang baru, Refal tampil memikat sebagai Galih. Menguarkan aura misterius mengundang keingintahuan akan sosoknya. Emosinya dalam momen puncak, terpancar nyata. Sedangkan Sheryl membuktikan bahwa lakon bagusnya di Koala Kumal tahun lalu bukanlah semata-mata keberuntungan pemula. Di tangannya, sosok Ratna yang sepintas lalu tampak tipikal gadis rumahan terasa memiliki kompleksitas. Ada kegetiran tersembunyi dibalik sikap cueknya. Ketika mereka berdiri sendiri, masing-masing suguhkan akting solid dan ketika mereka dipersatukan, chemistry-nya sungguh menggigit. Itulah mengapa, mencuat kecemasan dalam adegan yang berlangsung di meja makan dan stasiun kereta karena emosi penonton telah terinvestasikan kepada dua sejoli ini. Memunculkan pengharapan, kisah kasih antara Galih dengan Ratna akan beroleh restu dari orang tua masing-masing khususnya ayah Ratna (Hengky Tornando) yang jarang berada di sisi putrinya serta enggan memahami kemauan sang putri. 

Menariknya, Lucky tak melulu berbincang soal cinta di Galih dan Ratna – walau sah-sah saja, toh ini film roman. Tak luput diselipkannya beberapa sorotan ke fenomena sosial masyarakat sekitar dan sejumput kritik seperti generasi muda yang mengalami ketergantungan terhadap sosial media, adanya kesadaran berpolitik di kalangan murid SMA, menjajikannya bisnis berbasis agama, sikap otoriter orang tua pada penentuan masa depan anak, sampai peran serta guru di sekolah. Penyampaian Lucky terbilang halus tak berasa ceriwis, namun cukup efektif dalam menyentil. Daya pikat lain yang dipunyai Galih dan Ratna adalah film mempunyai barisan lagu pengiring bagus yang berkontribusi menghidupkan suasana romantis nan melankolis, lalu pembawaannya seringkali ringan serta cenderung ceria. Serentetan humor-humor segar banyak disempalkan disana sini dari teman-teman sekelas dua karakter utama yang ajaib, sosok guru dalam wujud Pak Dedy (Joko Anwar) yang galak-galak ngangenin, hingga Tante Ratna (Marissa Anita) yang energinya berlebih. Manjur dalam mengundang gelak-gelak tawa renyah sekaligus membangkitkan kenangan-kenangan menyenangkan semasa masih mengenakan seragam putih abu-abu. Kangen! Jika memang ada keadilan di muka bumi ini, seharusnya mudah saja bagi Galih dan Ratna untuk mendapatkan ratusan ribu atau malah jutaan penonton. Apalagi filmnya amat menarik dan tidak meninggalkan efek migrain maupun gerutuan berkepanjangan kala menyantapnya.

Outstanding (4/5)


REVIEW : KONG: SKULL ISLAND


“This planet doesn't belong to us. Ancient species owned this earth long before mankind. I spent 30 years trying to prove the truth: monsters exist.” 

Baru satu dekade lalu Peter Jackson membangunkan kera berukuran gigantis dari tidur panjangnya lewat King Kong (2005), Hollywood telah meluncurkan interpretasi lain atas mitologi Kong melalui Kong: Skull Island yang dinahkodai sutradara The Kings of Summer (2013), Jordan Vogt-Roberts, serta ditumpangi barisan-barisan pemain berbakat dengan beberapa diantaranya pernah memenangkan Oscars (Brie Larson) atau minimal dinominasikan (John C. Reilly dan Samuel L. Jackson). Akan tetapi, berbeda halnya dengan King Kong yang pokok penceritaannya merupakan sebentuk pembaharuan dari versi rilisan 1933, materi kulikan Kong: Skull Island tergolong sama sekali baru. 

Ini bukanlah remake, reboot, maupun sekuel dari film mengenai Kong manapun. Kemunculannya diinisiasi oleh Legendary Pictures dibawah naungan Warner Bros. yang berencana membentangkan Monsterverse secara lebih luas sehingga alih-alih terhubung ke film buatan Peter Jackson tersebut atau King Kong klasik, Kong: Skull Island justru berdiri di semesta yang sama bersama Godzilla (2014). Ya, film ini adalah pemanasan jelang pertarungan epik antar dua monster yang direncanakan berlangsung pada tahun 2020 mendatang. 

Berlatar tahun 1973 selepas Amerika Serikat ditumbangkan Viet Cong dalam Perang Vietnam, Kong: Skull Island mengikuti satu tim ekspedisi bentukan agen pemerintah ambisius, Bill Randa (John Goodman), kala menyambangi Pulau Tengkorak yang misterius. Hanya beberapa saat seusai helikopter yang ditumpangi para anggota tim memasuki area Pulau Tengkorak, sambutan jauh dari kata hangat mereka terima dari seekor kera raksasa berjulukan Kong yang secara membabi buta berupaya meremukkan setiap helikopter. 

Kemarahan Kong sendiri bukannya tanpa dipicu alasan. Kroni-kroni dari Letkol Preston Packard (Samuel L. Jackson) telah menjatuhkan bom ke pemukiman Kong dengan dalih untuk keperluan penelitian ilmiah yang belakangan terungkap bahwa maksud mereka sejatinya adalah memancing kemunculan makhluk-makhluk seperti Kong. Dengan bertumbangannya helikopter akibat serangan Kong, anggota tim ekspedisi yang selamat pun terpecah menjadi dua kelompok besar. Kelompok pertama yang dipimpin Packard menjalankan misi menemukan anak-anak buahnya yang tersisa, sementara kelompok kedua yang melibatkan tentara bayaran James Conrad (Tom Hiddleston) dan jurnalis foto Mason Weaver (Brie Larson) mendapatkan kebenaran informasi mengenai Kong seusai bertemu dengan warga lokal dalam perjalanan menuju pantai. 

Dalam menuturkan Kong: Skull Island, Jordan Vogt-Roberts menerapkan alur bergegas. Tidak membutuhkan waktu lama bagi penonton untuk berjumpa secara langsung dengan ‘sang raja’. Dimulai dari kemunculan singkat dalam prolog, Kong lantas menunjukkan wujudnya secara gamblang kala menyerang tim ekspedisi untuk pertama kali yang bahkan belum sampai setengah jam film mengalunkan durasinya. Ya, Kong telah menyapa sedari mula termasuk hadir pula di beberapa kesempatan seperti saat anak buah Packard yang hilang, Chapman (Toby Kebbell), melihat Kong membasuh dirinya di sungai yang merupakan salah satu momen membelalakkan mata dalam film. 


Bagi saya, keputusan menghadirkan sang karakter tituler di paruh awal bagaikan dua sisi mata uang. Di satu sisi akan memompa semangat penonton sampai menggelora lantaran si pembuat film telah bermurah hati untuk menggelar sekuens pertempuran-pertempuran liar sejak film memulai langkahnya tanpa pernah juga sekalipun menutupi perawakan Kong. Namun di sisi lain, menggeber kemeriahan semenjak permulaan film berpotensi pula memberikan kekecewaan apabila sekuens laga lanjutannya tidak seheboh sebelumnya atau dengan kata lain, kehabisan gas. Kong: Skull Island, sayangnya turut dirundung problematika kesulitan menjaga tempo agar terus terjaga konstan hingga tutup durasi. 

Laga lanjutannya memang tidak lebih buruk, malahan pertarungan final Kong di 30 menit terakhir adalah definisi dari istilah “kece badai”. Hanya saja guna mencapai titik tersebut, ada kalanya perjalanan berlangsung melelahkan. Kesenangan berikut ketegangan direduksi, tergantikan oleh ketenangan. Ketika para karakter manusia mengambil alih lampu sorot dari makhluk-makhluk raksasa, muncul sekelumit rasa jemu. Skrip dan karakterisasi tipis menyulitkan penonton menaruh ketertarikan terhadap para anggota tim ekspedisi, termasuk James dan Mason selaku karakter utama yang membuat keberadaan Tom Hiddleston serta Brie Larson terasa sia-sia. 

Daya pikat justru bisa dijumpai dari karakter milik John C. Reilly, Hank Marlow, yang tampaknya direncanakan sebatas sebagai comic relief pada mulanya. Berkat sosok Marlow, Kong: Skull Island tidak sampai berjalan lunglai di pertengahan film – masih ada sedikit dinamika lah. Pengaturan waktu John C. Reilly dalam melontarkan humor seringkali tepat (tidak seperti karakter lain yang seringkali meleset) dan backstory untuk karakternya menarik sekaligus menyentuh sehingga tidak heran Marlow pun menjadi satu-satunya karakter dalam film yang meninggalkan rasa tidak rela apabila sosoknya tewas. 

Untungnya Jordan Vogt-Roberts tidak membiarkan manusia-manusia malang ini beristirahat lama-lama. Usai perjalanan diputuskan berlanjut – dan Packard kian berambisi menaklukkan Kong, intensitas kembali melambung. Begitu mereka menjejakkan kaki di Zona Terlarang, saat itulah Kong: Skull Island mulai benar-benar enggan membuatmu melepaskan cengkraman dari kursi bioskop dan enggan pula mengalihkan pandangan dari layar. Sebagai penutup, an epic final showdown!

Post-credits scene: Ada. Bertahanlah sampai penghujung film karena sayang sekali buat dilewatkan. 

Exceeds Expectations (3,5/5)


REVIEW : LONDON LOVE STORY 2


"Siapapun itu, bagaimanapun juga, setiap orang pasti punya masa lalu. Dan aku memilih kamu sebagai masa depanku.” 

Pada dasarnya, London Love Story hanyalah versi sedikit lebih sophisticated-nya Magic Hour (bahkan kru dan pemain pun sama!) yang untuk mencapai level sophisticated, latar diboyong jauh ke London menggantikan Jakarta. Sebetulnya tidak ada keistimewaan dari caranya bercerita, malah bisa dikata plotnya sudah lecek, karena kisahnya masih saja berkisar soal balada asmara beberapa anak kuliahan yang sengaja dirumit-rumitkan simpulnya padahal mudah sekali buat diurai. Yang membuatnya istimewa, London Love Story menandai pertama kalinya bagi rumah produksi Screenplay Films mengirimkan perwakilan ke klub film satu juta penonton usai percobaan pertama lewat Magic Hour gagal merengkuhnya dalam margin amat tipis. Kunci keberhasilannya jelas tidak terletak pada kualitas, melainkan kemahiran berpromosi. Film ini sukses menciptakan tren “baper bareng-bareng di bioskop” di kalangan segmen penontonnya yang menyasar remaja usia belasan. Rasa penasaran digelitik (“hmmm... seromantis dan sesedih apa sih filmnya kok sampai dibilang bisa bikin baper?), begitu pula rasa gengsi (“hari gini masih belum nonton London Love Story? Helloooo!"). Alhasil, bukan perkara sulit bagi film mengumpulkan satu juta pasang mata ke bioskop. 

Kala target laris manis telah dicapai, misi berikutnya adalah mempertahankannya atau kalau perlu, melampauinya. Maka seperti halnya film laris lainnya, London Love Story pun mendapatkan sekuelnya dengan judul sederhana saja: London Love Story 2. Agar sesuai kaidah sekuel yang secara cakupan lebih masif, maka jajaran pemain utama ditambah (tak masalah meski cuma satu!), latar tempat juga diperluas sampai ke negara tetangga sehingga para karakter tidak hanya lalu-lalang di sekitaran London saja, dan konfliknya ditingkatkan level dramatisasinya demi mengundang bulir-bulir air mata. Mengadopsi formula seperti demikian, tentu saja jangan berharap Caramel (Michelle Ziudith) dan Dave (Dimas Anggara) akan bersatu dengan mudahnya di jilid ini. Oh tidak, saudara-saudara, apalagi ada kehadiran orang ketiga. Hanya menengok desain posternya saja penonton sudah bisa menerka bahwa Rizky Nazar akan menjadi penghalang bersatunya cinta Cara dengan Dave. Kamu tentu tidak terlalu naif sampai berfikir dia akan melakoni peran sebagai, let’s say, kakak kandung Cara yang telah lama menghilang, bukan? Rizky adalah Gilang, seorang koki restoran ternama di Zurich, Swiss, yang kebetulan mempunyai masa lalu bersama Cara. Mereka berjumpa lagi usai Cara yang diboyong ke Swiss oleh Dave untuk berlibur, memutuskan makan malam di restoran Gilang.


Percik-percik asmara di masa lampau nyatanya belum meredup. Gilang masih menginginkan Cara, sementara jauh di dalam lubuk hatinya, Cara pun masih menyimpan rasa kepada Gilang meski menyadari betul posisinya saat ini. Saat Dave mengetahui kebenarannya, persoalan pun merunyam. Berabe. Dan penonton remaja pun bersiap-siap mengeluarkan tissue untuk menyeka satu dua air mata yang mungkin jatuh kala pertikaian antara tiga insan manusia ini kian memanas. Berharap-harap cemas menantikan kemana hati Cara akhirnya akan berlabuh, Dave atau Gilang. Penonton uzur (...atau bahasa halusnya, bukan pangsa pasar utama London Love Story 2) pun berharap-harap cemas, bakal diruwetkan seperti apalagi kisah cinta yang dialami remaja-remaja berduit lebih ini. Tapi penonton uzur boleh sedikit bernafas lega kali ini karena London Love Story 2 tidak menyebabkan migrain berkepanjangan. Masih cukup enak lah buat disantap. Tiada lagi karakter se-annoying Adelle yang setiap kemunculannya membuat saya berharap Lembaga Sensor Film mulai mempertimbangkan untuk menyensor karakter menyebalkan dalam film, lagu tema tidak lagi dimunculkan sesuka hati si pembuat film tanpa memperhatikan konteks (seorang teman sampai berujar, “saya sampai khatam cengkok Raisa di Percayalah!”), dan dialog puitisnya dipergunakan seperlunya saja sehingga keinginan menabok Cara seperti di film pertama pun urung dilakukan. 

Ya, secara mengejutkan, London Love Story 2 menunjukkan sebuah peningkatan dibanding film-film produksi Screenplay Films terdahulu. Memang tidak sampai taraf signifikan yang membuat kita melongo saking sulitnya untuk mempercayai, tapi setidaknya menunjukkan kemauan dari pihak penghasil film untuk berbenah diri. Tangkapan gambarnya tertata cukup cantik alih-alih mengesankan colong-colong kesempatan (tapi tetap ada yang pecah!), penceritaannya mengalir lebih runtut, dan barisan pemain menyumbang performa terhitung baik untuk kelasnya. Maka ketika mendengar penonton remaja tergelak-gelak akibat humor-humornya yang kebanyakan dilontarkan oleh Ramzi (memerankan Sam, sahabat Dave), penonton uzur tidak dibuat keheranan karena beberapa diantaranya bekerja dengan baik sekalipun guyonan toiletnya terlalu menjijikan untuk dibilang lucu. Begitu pula ketika mendengar penonton remaja berteriak-teriak gemas “ohhh... ohhhh...” akibat kemesraan Dave dengan Cara atau Gilang dengan Cara, penonton uzur masih bisa maklum karena harus diakui ada segelintir momen cukup manis tercipta. Dan ketika mendengar penonton remaja tersedu-sedu akibat mencuatnya momen dramatik di klimaks, penonton uzur pun dapat sedikit mengerti sekalipun ini tak ubahnya pengulangan dari film pertama sampai-sampai gatal rasanya untuk menyematkan label “gadis pembawa petaka” kepada Caramel. 

Note : Loly’s, ada adegan tambahan di penghujung film. Jadi sebaiknya jangan terburu-buru beranjak dari kursi ya.

Acceptable (3/5)


REVIEW : LOGAN


“Nature made me a freak. Man made me a weapon. And God, made it last too long.” 

Menorehkan kesuksesan dari sisi komersil maupun kritik, Deadpool membuktikan bahwa tidak apa-apa mengkreasi sebuah superhero movie yang dilabeli rating R (17 tahun ke atas). Apabila materi sumbernya memang menghendaki demikian, mengapa tidak? Menahan-nahan potensi demi memperoleh rating usia lebih rendah agar dapat menjangkau lebih banyak penonton malah seringkali hanya membawa dampak kurang baik bagi filmnya itu sendiri. Lesson learned. Belajar dari capaian sang “saudara seperguruan” – sesama superhero asal Marvel Comics yang hak pembuatan film dipegang oleh Fox – James Mangold yang juga menggarap The Wolverine (2013) memutuskan untuk membawa instalmen terakhir dalam rangkaian film mengenai si mutan bercakar adamantium bertajuk Logan ini dengan gaya cenderung berbeda dari sebelumnya. Tidak hanya berbeda dari rentetan seri X-Men tetapi juga film-film superhero yang diadaptasi dari komik keluaran Marvel. Logan berani memasuki teritori “dewasa” yang selama ini cenderung dihindari oleh film sejenis. Konsekuensi dari keputusannya, Logan lebih leluasa dalam menggulirkan tuturannya tanpa harus takut akan terlalu muram atau brutal bagi penonton muda. 

Logan mengambil latar penceritaan di tahun 2029 kala mutan telah berada pada ambang kepunahan menyusul dilepasnya virus oleh Transigen. Beberapa mutan yang masih bertahan hidup; Logan (Hugh Jackman), Charles Xavier (Patrick Stewart), serta Caliban (Stephen Merchant), kondisinya pun cukup memprihatinkan. Logan yang kini memperoleh penghasilan sebagai supir limo telah menua dengan kemampuan regenerasinya tak lagi berfungsi seperti semestinya dan adamantium yang tertanam di dalam tubuhnya perlahan tapi pasti mulai meracuninya. Dibantu oleh Caliban yang mampu melacak keberadaan mutan, Logan merawat Charles yang menderita Alzheimer di usia memasuki kepala 9 serta tak lagi bisa mengendalikan kekuatannya yang konon dapat memicu kematian massal jika tidak segera ditangani. Mereka menjalani hari demi hari yang monoton di sebuah gudang tak terpakai dekat perbatasan Meksiko guna menghindari hal tak diinginkan sampai kemudian kedatangan seorang gadis cilik berusia 11 tahun, Laura (Dafne Keen), merubah segalanya. Konon, Laura yang mewarisi DNA Logan tengah diburu Transigen. Demi menyelamatkan nyawa Laura, Logan dan Charles pun menempuh perjalanan darat panjang menuju Eden, sebuah suaka bagi para mutan. 

Pernahkah kamu dibuat bertanya-tanya, bagaimana kehidupan para superhero di masa tua? Apakah kekuatan mereka masih setara atau kian meredup seiring berlalunya usia? Kalau nyatanya mereka beralih tak ubahnya manusia mortal, akankah jauh dari hingar bingar pertempuran membuat mereka menemukan kedamaian atau justru sebaliknya? Apabila ya kamu pernah mempertanyakannya, berbahagialah karena James Mangold menjajal menjlentrehkan jawaban-jawabannya melalui Logan. Dengan gagasan utama terkait “superhero pensiun”, bisa dimaklumi tatkala Mangold tidak menyulap Logan sebagai spektakel yang penuh laga-laga bombastis sekalipun jilid ini dimaksudkan sebagai seri perpisahan terhadap sosok Wolverine. Pendekatannya realistis menuju muram yang mencoba menekankan bahwasanya para superhero ini tetaplah makhluk fana tanpa kemampuan khususnya, laju pengisahannya pun cenderung lambat mula-mula utamanya ketika penonton diajak berkenalan lagi dengan Logan maupun Charles Xavier (Professor X) yang ditampilkan dalam citra berbeda jauh dari tangguh seperti telah penonton kenal di film terdahulu. Logan yang alkoholik dirundung krisis jati diri, sementara Charles yang kian melemah terkadang kesulitan mengingat identitas para perawat setianya. 


Pun begitu, bukan berarti Logan lupa untuk bersenang-senang. Kemunculan Laura menjadi titik awal dari bergegasnya alunan film. Ancaman terhadap mutan-mutan tersisa ini kian terpampang jelas. Melalui adegan-adegan pertarungan yang mengharuskan Logan terjun langsung ke lapangan, kentara terasa satu lagi perubahan signifikan yang diaplikasikan Mangold disamping nada penceritaan yang gelap: cakar Logan menunjukkan tajinya. Akhirnya untuk pertama kalinya, penonton mendapatkan bukti meyakinkan bahwa memancing kemarahan seorang Wolverine akan mendatangkan petaka hebat. Tersayat yang menimbulkan luka dalam, isi tubuh terburai, sampai kepala terpenggal ditambah efek warna merah menghiasi layar adalah pemandangan yang akan kamu dapatkan tiap kali Logan/Wolverine memasuki medan pertempuran. Brutal! Dari segi kuantitas, jumlah pertarungan yang melibatkan si karakter tituler memang tidak terlalu banyak (jangan pula berharap akan digenjot tanpa henti), namun begitu muncul, kualitasnya senantiasa berada di atas rata-rata. Mangold harus diakui jempolan dalam urusannya menentukan kapan waktu yang tepat untuk menggeber sekuens laga dan bagaimana seharusnya ditampilkan. 

Dan, si pembuat film pun cukup mahir mengeksekusi momen-momen dramatik film terlebih kala memotret relasi hangat yang terbentuk antara Logan dengan Charles dan Laura, meski agak disayangkan ada kalanya kesan berpanjang-panjang cukup melelahkan dapat dirasakan di paruh akhir film. Keputusan Mangold untuk menampilkan Logan dari sudut pandang lain tentu akan sulit diterima tanpa sokongan akting bagus jajaran pemainnya. Hugh Jackman telah mengalami perkembangan amat pesat, Patrick Stewart tunjukkan kelasnya sebagai aktor senior, dan Dafne Keen memberi kejutan menyenangkan yang sedikit banyak mengingatkan saya pada Chloe Grace Moretz di Kick-Ass. Terima kasih kepada mereka – selain tentunya pengarahan Mangold dan naskah apik, penonton dapat memberikan simpatinya untuk ketiga karakter utama. Semacam muncul rasa getir menyaksikan sosok yang dulunya begitu perkasa dalam menaklukkan musuh-musuhnya, sekali ini tertatih-tatih. Tapi ada pula rasa hangat karena film memberi kesempatan bagi penonton untuk menengok kebersamaan Logan, Charles, dan Laura bak keluarga kecil bahagia berbalut sejumput humor lucu yang hampir tidak tersentuh di instalmen lain. Menarik.

Note: Tidak ada post-credits scene di Logan. Jadi buat yang sudah kebelet hendak ke toilet, silahkan ngibrit. 

Exceeds Expectations (3,5/5)


REVIEW : LION


“I'm not from Calcutta... I'm lost.” 

Jelang mengularnya credit title, Lion beberkan sebuah informasi yang bikin hati serasa teriris. Informasi tersebut memuat statistik miris di India terkait bocah-bocah menghilang tanpa kabar setiap harinya yang mencapai angka 80 ribu serta para anak jalanan yang jumlahnya telah menyentuh 11 juta. Lewat Lion, sutradara Garth Davis yang baru sekali ini menggarap film layar lebar mencoba membahasagambarkan fenomena yang boleh jadi umum terjadi di negara-negara berpopulasi lebih dari ratusan juta jiwa ini. Bukan menggunakan sudut pandang keluarga ditinggalkan, melainkan dari kacamata korban. Ndilalah, ada satu penyintas bernasib mujur yang pernah berada di posisi terpisahkan dari keluarga maupun terlunta-lunta di jalanan semasa cilik, namanya Saroo Brierly. Pengalaman luar biasa yang memaksanya putus kontak selama 25 tahun lamanya dengan keluarga biologisnya ini dituangkan Saroo ke sebuah buku nonfiksi bertajuk A Long Way Home. Buku yang merupakan cikal bakal dari lahirnya film ‘keji’ pengoyak emosi berjudul Lion

Saroo cilik (Sunny Pawar) tinggal di sebuah perkampungan terpencil bersama kakaknya, Guddu (Abhishek Bharate), ibunya (Priyanka Bose), beserta adik perempuannya yang masih balita. Bersama Guddu, Saroo kerap mencuri batu bara dari kereta api yang melintas dekat perkampungan mereka guna ditukar dengan susu maupun makanan. Kehidupan keluarga miskin namun bahagia ini sontak berubah setelah Saroo memaksa ikut Guddu yang mencoba mencari pekerjaan di suatu malam dan keduanya terpisahkan. Saroo terjebak selama dua hari dalam sebuah kompartemen kereta api kosong yang menghantarkannya ke Kalkuta – hampir dua ribu kilometer jauhnya dari kampungnya – dan mengalami kesulitan untuk kembali. Berbagai cobaan lantas menghampirinya dari nyaris terjerembab dalam sindikat perdagangan anak, bertahan hidup di bawah kolong jembatan, sampai diboyong ke panti asuhan. Keengganan Saroo untuk menyerah mendorongnya berjumpa dengan nasib baik. Pasangan asal Australia, Sue (Nicole Kidman) dan John (David Wenham), mengadopsinya. Setelah 25 tahun, Saroo dewasa (Dev Patel) mencoba melacak kembali keberadaan keluarga biologisnya bermodalkan Google Earth dan ingatan-ingatan samar masa kecil. 

Lion terbagi menjadi dua babak besar. Babak pertama menaruh fokusnya kepada Saroo kecil, sementara babak kedua menggambarkan Saroo di usia dewasa. Kedua babak mempunyai kekuatannya masing-masing, meski separuh awal film bisa dikata adalah bagian terbaik dari Lion lantaran pergerakkan kisahnya lebih memiliki dinamika. Penonton disuguhi plot yang menyoroti jatuh bangunnya si bocah untuk memperoleh kesempatan berjumpa kembali dengan keluarganya semenjak terdampar di kota yang sama sekali asing baginya. Ada kepiluan, kengerian, serta sedikit kejenakaan di dalamnya. Tangguhnya paruh utama film dipersembahkan oleh materi cerita dan performa menakjubkan dari barisan pemainnya. Priyanka Bose hanya tampil sekejap tanpa banyak dibekali dialog, namun pancaran matanya sanggup menegaskan bahwa dia mencintai anak-anaknya. Pendatang baru Abhishek Bharate pun impresif sebagai kakak yang mengayomi adik-adiknya. Akan tetapi, Lion tidak akan mengaum selantang ini tanpa sokongan dari Sunny Pawar yang mempesembahkan salah satu akting terbaik dari seorang aktor cilik debutan (bahkan, Jacob Tremblay dari Room pun dibuat keok olehnya!).


Kita iba melihat bocah sekecil ini terkikis masa kanak-kanaknya yang semestinya dilalui penuh canda tawa, kita juga takjub menyimak ketangguhan usahanya agar bisa kembali ke pelukan sang ibunda – bayangkan, dia hanya sesekali menitikkan air mata tanpa pernah sekalipun merengek berkepanjangan. Seperti halnya para pelakon lain, Sunny Palwar membicarakan perasaannya melalui mata. Dari pancarannya, penonton bisa mendeteksi kesedihan, kebingungan, ketakutan, kebahagiaan, hingga harapan. Berkatnya, kita mampu teresonansi secara emosi dengan kisah hidup menakjubkan Saroo. Sekalipun kita telah mengetahui sesuatu yang baik telah menanti Saroo cilik di depan, namun tetap saja fase harap-harap cemas sempat menghampiri diri karena kepedulian terhadap jalan hidupnya membentuk keinginan untuk melihatnya berbahagia. Maka sulit untuk tidak merasakan kegundahan melihatnya terombang-ambing di jalanan tanpa kepastian, melihatnya didekati seorang pria misterius bernama Rama (Nawazuddin Shiddiqui) yang mempunyai agenda terselubung, dan melihatnya berakhir di panti asuhan tanpa fasilitas memadai. 

Dibandingkan babak pertama, babak kedua cenderung lebih tenang. Saroo dewasa telah memperoleh kehidupan yang layak dengan keluarga baru penuh kasih sayang, pekerjaan mapan, dan kekasih cantik, Lucy (Rooney Mara) yang mendukung keputusan-keputusannya. Gejolak konflik pada titik ini bersumber dari adik Saroo yang pemarah, Mantosh (Keshav Jadhav), serta relasi menghambar antara Saroo dengan orang-orang terdekatnya menyusul obsesinya untuk menemukan kampung halamannya. Dev Patel meng-handle babak kedua ini secara menawan dengan memunculkan kerapuhan berwujud penyesalan mendalam yang membawanya pada kemarahan-kemarahan, obsesi melampaui batas, serta kerinduan tak terbendung sehingga kepedulian penonton pada sosok Saroo pun tak terputus. Masih terus berlanjut. Kepedulian kita terhadap si tokoh utama merupakan kunci keberhasilan dari Lion atau berdasarkan konteks babak kedua, momen klimaks. Apabila penonton tidak pernah terhubung dengan Saroo, apa yang tersaji di penghujung film akan berakhir sia-sia belaka. Tapi jika penonton berhasil dibuat bersimpati pada Saroo – seperti telah dilakukan oleh Lion, apa yang tersaji di penghujung film akan menghajar emosimu sampai babak belur. Sebuah kisah 'pulang kampung' yang begitu hangat, mendebarkan, sekaligus menyentuh. Bagus!

Outstanding (4/5)