Archive for February 2017

REVIEW : RINGS


“7:10. I win, bitch.” 

Agaknya, hantu perempuan berambut hitam panjang bernama Sadako (atau Samara untuk nama bulenya) masih belum diperkenankan oleh para petinggi-petinggi studio film yang serakah untuk beristirahat dengan tenang di dalam sumur. Usai Jepang membangkitkannya kembali tahun lalu lewat film bermetode crossover dimana Sadako ditandingkan melawan memedi ikonik lainnya, Kayako, dalam Sadako vs Kayako yang level menghiburnya plus absurditasnya jauh melampaui pertarungan dua superhero galau, kini giliran Hollywood menjajal peruntungannya lewat Rings. Tidak jelas mengambil pendekatan sekuel atau reboot, Rings merupakan instalmen ketiga usai The Ring (2002) yang tidak dinyana-nyana seseram versi aslinya dan The Ring Two (2005) yang lempeng tapi masih bolehlah dalam urusan menciptakan atmosfer creepy. Barisan pemain Rings sama sekali baru – tidak melibatkan pelakon seri-seri sebelumnya termasuk Naomi Watts – begitu pula sang nahkoda kapal, F. Javier Gutierrez, yang baru sekali ini menangani film panjang untuk penayangan bioskop. Benang merah tersisa yang menautkan Rings dengan dua film terdahulu adalah kehadiran Samara beserta video kutukan kreasinya. 

Berselang tiga belas tahun usai peristiwa di film pertama, video kutukan garapan Samara Morgan (Bonnie Morgan) ternyata masih belum berhenti memakan korban. Yang terbaru adalah Holt Anthony (Alex Roe), mahasiswa anyar yang apes terkena kutukan “nonton video absurd, telepon berdering, lalu sepekan kemudian mati” usai mengikuti penelitian tentang hal-hal gaib dari dosennya, Gabriel Brown (Johnny Galecki). Gabriel tertarik meneliti video Mbak Samara setelah dirinya tanpa sengaja terpapar kutukan gara-gara menonton video tersebut via VCR bekas yang dibelinya di toko loak. Nah, Gabriel lantas mendapatkan solusi supaya para korban tidak ditemui Samara pada hari ketujuh yakni dengan meminta anggota penelitiannya menonton video kutukan ini, lalu menduplikatnya, dan meminta orang lain untuk menontonnya sebelum masa jatuh tempo tiba. Tapi rupa-rupanya mencari korban baru tidak semudah itu, terbukti salah satu anggota akhirnya tewas di tangan Samara. Untunglah Holt mempunyai kekasih luar biasa pengertian, Julia (Matilda Lutz), yang bersedia mengorbankan dirinya secara sukarela untuk menyelamatkan Holt. Mungkin karena Neng Julia menyadari bahwa dia adalah the chosen one yang bakal selamat sampai penghujung film apapun yang terjadi, kali ya? 

Langkah Paramount untuk merevisi jadwal edar Rings sebanyak empat kali sebetulnya telah menguarkan bau anyir. Dari awalnya bersemangat ingin menyambut kedatangan Samara, perlahan tapi pasti semangat ikut tergerus seiring semakin seringnya Rings berganti tanggal rilis. Jika tidak ada sesuatu yang salah, tentu mustahil krisis kepercayaan diri menyerang berulang ulang. Bukankah demikian? Dan betul saja, Rings memberikan siksaan yang meninggalkan rasa bingung dan jemu tak terperi kala menyimaknya. Tanda-tanda bahwa film tidak akan berlangsung semestinya sudah terpampang jelas semenjak prolog nggak nyambungnya. Maunya sih memberi kesan awal gahar dengan menempatkan teror di dalam pesawat yang tengah terjebak badai. Namun mempersilahkan Samara mengobrak-abrik sistem pesawat sehingga mengalami malfungsi dan pada akhirnya menyebabkan kecelakaan yang meminta tumbal ratusan nyawa penyumpang sementara korban incarannya hanyalah dua... sungguh tidak berkeprimanusiaan. Keji. Belum apa-apa, si pembuat film sudah lancang mengkhianati mitologi yang telah dibentuk susah payah sang kreator, Koji Suzuki. Parahnya lagi, adegan ini pun tidak mempunyai signifikansi ke jalinan kisah film keseluruhan (kecuali buat gaya-gayaan yang malah bikin ngakak!) karena ternyata ada prolog lainnya sebelum film resmi dimulai. Duh, dek.


Berjalan menit demi menit, Rings tidak kunjung membaik malah justru kian meracau. Memiliki dua karakter utama tak mengundang simpati yang hobinya berasyik masyuk di atas ranjang, sulit untuk bisa menaruh kepedulian terhadap nasib mereka terlebih lagi akting masing-masing sama sekali tidak membantu. Sekaku kayu. Padahal, keterikatan dengan karakter merupakan salah satu kekuatan jilid-jilid awal disamping guliran kisah menarik perhatian dan kecakapan membangun kengerian. Tidak bisa diharapkan dari sisi karakterisasi tokoh beserta lakonan pemain, Rings pun tidak bisa diharapkan dari caranya menampilkan teror. Memanfaatkan klakson truk atau gonggongan anjing untuk menciptakan daya kejut pada penonton, sekalipun teramat sangat klise, masih bisa diterima. Tapi suara payung dibuka? Iya, kamu tidak salah baca, payung dibuka! Ya Allah, Tuhan YME, ini sih menggelikan dan memprihatinkan. Apakah Gutierrez betul-betul sudah kehabisan trik menakut-nakuti sampai harus mendayagunakan jump scares sekacrut itu? Bahkan Sadako vs Kayako yang dari awal mula bertujuan buat ngelawak saja masih mempunyai satu dua momen yang bikin merinding. Lha Rings, bagian paling mengerikan dari film ini adalah tiap kali melihat ekspresi pemainnya atau mendengar mereka mengucapkan dialog. Samara yang malu-malu kucing disini pun kalah mengerikan! 

Mencoret “akting” dan “teror” dari daftar, tersisa “jalinan penceritaan”. Sejujurnya, usai elemen lain tidak bekerja, sudah tiada pengharapan lagi yang tersisa. Bisakah naskah diandalkan sementara sedari awal mitologi yang berkembang di semesta Ring sudah dikoyak sedemikian rupa? Berharap Rings mempunyai pengisahan apik sama halnya mengharapkan cinta dari seseorang yang bahkan tidak mengetahui keberadaanmu. Mus-ta-hil. Saya sendiri bingung terhadap bagaimana film ini menempatkan dirinya, reboot atau sekuel. Jika reboot, Rings kurang memberi paparan detil mengenai video kutukan Samara – menyinggung soal si hantu perempuan ini saja jarang – yang berdampak terciptanya kebingungan bagi penonton baru. Dan jika sekuel, lebih parah lagi. Menciptakan kisah asal mula baru bagi Samara dan sang ibunda, berarti dia menganggap dua film sebelumnya tidak pernah ada, dong? Juga membuat bertanya-tanya adalah metode pembunuhan yang diterapkan Samara di Rings. Coba ingatkan saya lagi. Bukankah si demit hanya perlu memberi tatapan manis andalannya dan si korban langsung tewas seketika? Kalau betul demikian, mengapa dia harus susah-susah menerjunbebaskan pesawat serta merobohkan tiang listrik hanya untuk membunuh satu dua orang? Rempong bener, bu. 

Dan saya juga masih belum habis pikir, kenapa para korban tidak menyebarkan video kutukan lewat media sosial saja, ya? Kan lebih gampang, to? Atau jangan-jangan mereka tidak ingin membebani Mbak Samara yang pastinya akan sangat sibuk di hari ketujuh? Pada suka ngerepotin diri sendiri deh! Dengan lebih banyaknya pertanyaan yang tertinggal sekaligus rasa geli dan bosan lantaran deretan terornya amat basi ketimbang rasa tercekam, Rings adalah sebuah aib bagi franchise The Ring. Tonton film ini hanya jika kamu memang sangat menggilai franchise ini atau sedang mempunyai uang serta waktu berlebih dan kebingungan hendak menghabiskannya buat apa. Kalau tidak, jangan coba-coba mendekatinya.

Poor (2/5)


REVIEW : BUKAAN 8


“Apa memang cara terbaik untuk membahagiakan orang tua adalah dengan memiliki anak?” 

Angga Dwimas Sasongko dan film drama sih pasangan klop yang sudah tiada perlu diragukan lagi keserasiannya. Tapi Angga dan film komedi? Hmmm... menggugah rasa ingin tahu untuk menguji cobanya mengingat pembesut Surat Dari Praha ini belum fasih menekuni genre komedi. Menariknya lagi, percobaan perdana Angga untuk ngelaba di film bertajuk Buka’an 8 didasarkan pada pengalaman nyatanya yang sarat akan suka duka kala menyambut lahiran buah hati pertamanya. Sebuah kisah personal yang rasa-rasanya akan mudah terhubung ke penonton yang telah (atau segera) dikaruniai momongan serta mereka yang mempunyai hubungan erat dengan orang tua. Hanya bermodalkan tiga faktor ini saja, Buka’an 8 telah nangkring manis di posisi teratas dalam deretan film paling diantisipasi kemunculannya versi saya pada bulan Februari. Lalu tambahkan lagi dengan faktor lain: barisan pemain yang mempunyai jejak rekam meyakinkan, seperti Chicco Jerikho, Lala Karmela, Tyo Pakusadewo, Sarah Sechan, serta Dayu Wijanto. Bagaimana tidak dilingkungi rasa penasaran coba jika kombinasinya semaut ini? 

Buka’an 8 sendiri menempatkan fokus penceritaannya pada pasangan milenial, Alam (Chicco Jerikho) dan Mia (Lala Karmela), yang mengalami ketergantungan terhadap media sosial – Mia memanfaatkannya sebagai sumber penghasilan utama, sementara Alam menggunakannya untuk ‘bertempur’ dan seringkali meributkan perkara remeh temeh. Dengan sebagian besar waktunya difokuskan untuk meladeni netizen, tidak mengherankan jika kemudian kedua orang tua Mia, Ambu (Sarah Sechan) dan Abah (Tyo Pakusadewo), menganggap Alam sukar diandalkan karena tidak tampak memiliki pekerjaan tetap. Demi membuktikan bahwa dirinya bisa dikategorikan sebagai suami idaman, Alam pun memboyong Mia ke rumah sakit ternama kala jelang lahiran anak pertama mereka. Tapi rupa-rupanya, jalan Alam untuk mendapatkan restu dari kedua mertuanya tidaklah mulus. Dimulai dari promo persalinan incaran Alam yang ternyata telah berakhir sedangkan uang tidak mencukupi untuk melunasi biaya administrasi, rempongnya keluarga besar Mia yang memberi tuntutan macam-macam, sampai berurusan dengan lintah darah demi mendapatkan pinjaman uang. Pusing deh kepala Alam!


Kesenangan yang dipenuhi gelak tawa telah membayangi penonton semenjak beberapa menit usai Buka’an 8 mengawali langkahnya. Dalam berkelakar, Angga yang memvisualisasikan naskah racikan Salman Aristo banyak mengandalkan situasi kacau beserta sentilan-sentilun ke masyarakat Indonesia masa kini. Situasi kacau terbentuk dari betapa kemriyek-nya keluarga besar Mia sampai-sampai adegan kedatangan mereka untuk pertama kali di ruangan Mia telah mengundang riuh tawa, lalu relasi antara Alam beserta kedua mertuanya khususnya Abah. Kedua karakter tersebut mempersembahkan salah satu momen paling edan dalam film ketika mereka saling berkejar-kejaran di lorong rumah sakit, terpapar gas tawa, hingga akhirnya memutuskan menegakkan ‘gencatan senjata’ untuk sementara waktu. Disamping saat berinteraksi dengan anggota keluarga rempongnya, kekacauan yang menggelikan turut mencuat selama Alam pontang panting mencari cara untuk dapatkan doku maupun tatkala meladeni para pengikutnya yang ceriwis di Twitter. Dari sini, Angga secara cerdik menyelipkan sederet kritik menyentil berkisar soal kebebasan berbicara yang diartikan kebablasan, kegemaran netizen menciptakan peperangan kata-kata dalam dunia maya, sampai maraknya pemanfaatan agama untuk melancarkan agenda politik. 

Kuatnya momen-momen komedik sayangnya tidak dibarengi oleh momen dramatiknya. Peralihan nada filmnya tidak berlangsung mulus, begitu pula penyelesaian konflik yang serasa terlalu mudah membuat klimaks kurang greget. Untungnya ada banyak materi guyonan yang berulang kali mendorong tawa lepas plus barisan pemain ansambel yang menyumbangkan lakonan ciamik, sehingga nada agak sumbang yang menghiasi menit-menit terakhir dari Buka’an 8 ini dapat termaafkan. Chicco Jerikho bermain apik sebagai seorang kepala rumah tangga yang kecanduan media sosial. Transformasinya dari sesosok suami salah prioritas ke calon ayah yang bertanggung jawab berada di level meyakinkan. Kejengkelan pada Alam di awal film perlahan tapi pasti terpupus seiring berjalannya film dan tergantikan oleh keinginan untuk melihatnya berhasil beroleh restu. Chemistry yang dibentuknya bersama Lala Karmela pun berjalan secara semestinya. Para pemeran pendukung seperti Tyo Pakusadewo, Sarah Sechan, serta Dayu Wijanto juga menampilkan performa tidak kalah mengesankannya. Duo Tyo-Sarah cermat mengatur waktu yang tepat untuk melontarkan lawakan, sementara Dayu yang sesekali lucu memberikan rasa hangat sebagai ibunda Alam. Paling tidak, Buka’an 8 masih terbilang sangat menghibur sebagai tontonan komedi.

Exceeds Expectations (3,5/5)


REVIEW : SALAWAKU


“Indahnya hidup bila tidak ada beban. Cuma ada cinta.” 

Salawaku berceloteh mengenai petualangan seorang bocah yang masih duduk di bangku sekolah dasar bernama Salawaku (Elko Kastanya) dalam menjelajahi kepulauan Maluku demi mencari keberadaan kakaknya, Binaiya (Raihaanun), yang tiba-tiba menghilang tanpa pernah sekalipun memberikan kabar kepada Salawaku. Di tengah-tengah perjalanannya, Salawaku berjumpa dengan perempuan asal Jakarta, Saras (Karina Salim), yang terdampar di sebuah pulau kecil. Saras menawarkan diri untuk membantu si bocah yang namanya terinspirasi dari perisai tradisional asal wilayah Timur ini dengan harapan Salawaku akan menuntunnya kembali ke resor tempat dia menginap. Meski mula-mula ada keengganan, toh akhirnya Salawaku bersedia menerima uluran bantuan dari Saras. Melengkapi formasi “kelompok pencari Binaiya” adalah Kawanua (Jflow Matulessy), tetangga Salawaku yang telah dianggapnya sebagai kakak laki-laki sendiri, yang belakangan memutuskan untuk bergabung. Seperti fitrahnya sebuah road movie, perjalanan ini pun memberi perspektif baru kepada pribadi-pribadi yang terlibat di dalamnya utamanya terhadap bagaimana mereka menyikapi permasalahan hidup. 

Melalui Salawaku, Pritagita Arianegara sejatinya ingin menggugat tindak seksisme yang merebak luas di sekitar kita – dalam konteks film, di area Indonesia bagian Timur – akibat kuatnya pengaruh budaya patriarki. Kenapa ada citra buruk bagi perempuan yang hamil tanpa ada dampingan laki-laki berstatus suami, sementara kaum pria dianggap jantan tatkala berhasil menaklukkan hati lebih dari satu perempuan? Agar tidak berkesan ceriwis apalagi menyudutkan, si pembuat film mencoba memformulasikan gugatannya ke gelaran road movie yang sepintas tampak ringan saja dengan topik utama pembicaraan mengenai “cinta”. Cinta seorang adik kepada kakaknya, cinta seorang pria terhadap kekasihnya, sampai cinta seorang ibu kepada anaknya. Dihidangkan menggunakan materi sefamiliar ini, penonton akan lebih mudah terhubung ke dalam film. Soal kritik sosialnya akan membuat pikiran para pemirsanya terusik atau tidak, itu urusan belakangan. Yang penting, khalayak ramai bersedia untuk terlebih dahulu membuka mata, hati, serta telinga demi menyaksikan upaya sang karakter utama dalam berjumpa kembali dengan keluarganya yang mendadak meninggalkannya sendirian.


Ya, sekalipun mengusung pesan yang sangat mungkin melahirkan bahan diskusi panjang-panjang, Salawaku sendiri mudah dikunyah sedari awal. Yang tidak disangka-sangka, muatan komedinya terhitung tinggi. Akarnya adalah relasi tidak biasa yang terbentuk antara Salawaku dengan Saras. Berasal dari daerah berbeda yang mempunyai budaya, gaya hidup, sekaligus kebiasaan cukup asing bagi satu sama lain, tentu tak terhindarkan kerap mencuat pertentangan menggelitik diantara mereka disebabkan oleh ketidakpahaman. Lihat saja bagaimana Salawaku dengan santainya melempar ponsel cerdas Saras padahal posisi keduanya tengah berada di bibir pantai (ya, nyemplung dong!) atau ketika Saras harus mendefinisikan sejumlah istilah yang dilontarkannya terlebih dahulu lantaran Salawaku mengalami “gagal paham” – sebuah istilah anak gaul metropolis yang belakangan digemari pula oleh Salawaku dan Kawanua. Perjalanan tiga manusia guna mencari keberadaan Binaiya yang menyenangkan buat disimak berkat keputusan si pembuat film untuk melantunkannya dengan pendekatan santai ini memperoleh tunjangan pasokan gambar membelalakkan mata pula dari Faozan Rizal yang niscaya akan membuat jiwa petualangmu tergugah seketika untuk menjelajahi Pulau Seram saking mempesonanya pemandangan yang terhampar di layar bioskop. 

Guliran penceritaan menarik serta tampilan gambar aduhai tentu tiada artinya tanpa sokongan akting hidup dari para pelakonnya. Beruntung bagi Salawaku, keempat bintang utamanya bermain cantik. Malah bisa dikata, departemen akting merupakan sumber penghidupan utama bagi film. Baik Karina Salim, Jflow Matulessy, Raihaanun, bahkan Elko Kastanya mempunyai momen yang mempersilahkan mereka untuk bersinar. Mengemban tanggung jawab besar dalam menggerakkan film, Elko Kastanya yang notabene masih hijau tak sekalipun tampak kagok. Di tangannya, sosok Salawaku yang pemberani, tidak sabaran, serta polos, terlihat natural. Dia pun sanggup menciptakan chemistry asyik bersama Karina Salim yang raut wajahnya menyiratkan adanya kegundahan dan Jflow Matulessy yang ngayomi meski diam-diam mempunyai agenda terselubung dibalik keputusannya mengikuti grup kecil ini. Sementara Raihaanun yang tidak banyak memperoleh jatah tampil dibanding ketiga rekan mainnya ini, senantiasa mencuri perhatian dalam setiap kemunculannya. Dialeknya membuat kita yakin bahwa dia adalah penduduk setempat, lalu air mukanya secara kuat menyatakan adanya kemarahan, kekecewaan, sekaligus kesedihan yang coba ditekan.

Exceeds Expectations (3,5/5)


REVIEW : THE LEGO BATMAN MOVIE


“Wait a minute. Bruce Wayne is Batman... 's roommate?” 

Gelap, muram, serta depresif adalah citra Batman yang acapkali dimunculkan dalam film-film sang Manusia Kelelawar dewasa ini terutama sejak era Christopher Nolan. Tidak mengherankan jika kemudian cukup banyak khalayak ramai yang menaruh anggapan bahwa film yang melibatkan superhero kepunyaan DC Comics ini memang seharusnya dilingkungi kemuraman dan nestapa, sampai-sampai usai menontonnya justru tersisa perasaan murung alih-alih bahagia. Ugh. Apakah sungguh teramat mustahil untuk mengkreasi sebuah film Batman yang di dalamnya dipenuhi suka cita? Warner Bros. agaknya belum berani menjawab pertanyaan tersebut lewat instalmen resmi sang superhero (mungkin masih trauma dengan Batman & Robin? Who knows), namun mereka memiliki itikad baik untuk menjajalnya di The Lego Batman Moviespin-off dari film animasi The Lego Movie yang gesrek itu. Mengusung semangat dari semesta filmnya yang penuh warna, meriah, serta cenderung semau-mau gue, The Lego Batman Movie memberi perspektif menyegarkan dalam menuturkan kisah pahlawan dari Gotham City ini: bahwa Batman pun manusia biasa yang bisa berkelakar.

Jalinan pengisahan The Lego Batman Movie bermula dari upaya Batman (Will Arnett) dalam menuntaskan misi mencegah salah satu musuh abadinya, Joker (Zach Galifianakis), untuk meluluhlantakkan Gotham City. Dapat diterka dengan mudah, misi ini berjalan sukses seperti semestinya. Yang mungkin tidak kita antisipasi, ada drama mencuat diantara dua pihak dari kubu bersebrangan tersebut. Joker mengklaim dirinya sebagai musuh terbesar Batman, sementara sang Ksatria Kegelapan enggan mengakuinya. Mendengar jawaban “tidak” meluncur dari mulut Batman, sakit hati pun melanda Joker. Seperti layaknya seorang psikopat yang memperoleh penolakan, Joker merancang aksi balas dendam. Memanfaatkan momen pengumuman Barbara Gordon (Rosario Dawson) menjadi komisionaris polisi baru di Gotham, aksi dieksekusi. Tidak menciptakan kegaduhan, justru mengajak musuh-musuh Batman untuk menyerah bersama seakan ingin mengetes, “bagaimana ya perasaan Batman jika tidak ada lagi kejahatan yang harus diatasinya?.” Batman sendiri menyadari, ini merupakan awal mula dari rencana besar Joker demi menghancurkan Gotham. Dibantu oleh pelayan setianya, Alfred (Ralph Fiennes), beserta Barbara atau Batgirl dan Dick Grayson atau Robin (Michael Cera), Batman pun sekali lagi berupaya untuk menghentikan kegilaan Joker.


Pola yang diusung oleh The Lego Batman Movie sama persis dengan sesepuhnya. Kegilaan menyenangkan ditebar sebanyak mungkin, digenjot semaksimal mungkin, sedari detik pertama sampai film tutup durasi. Bahkan bersamaan dengan logo-logo studio yang mengalunnya perlahan sekali itu menampakkan wujudnya, banyolan telah dilontarkan. Banyolannya bernada ejekan menyentil dan inilah yang akan kamu dapatkan sepanjang film. Sasaran tembak si pembuat film beraneka macam, tidak sebatas pada semesta komik maupun film Batman itu sendiri dimulai dari era 40-an, 60-an, 90-an, hingga 2000-an mencakup Batman v Superman yang dihujani keripik pedas Maicih itu. Film juga ikutan ngenyek superhero dari studio sebelah (ehem, Marvel!), kemudian petinggi-petinggi studio, sampai film-film gede yang mempunyai karakter jahat legendaris (you name it!). Betul, lawakan-lawakan The Lego Batman Movie banyak mengandalkan pada referensi budaya populer. Apabila kamu bisa menangkap lemparan referensi si pembuat film, bersiaplah buat tertawa berderai-derai sepanjang 104 menit. Tapi kalaupun banyak yang meleset, tidak perlu risau karena film arahan Chris McKay ini masih menawarkan jalinan pengisahan yang imajinatif, seru, serta segar. 

Imajinatif lantaran menonton The Lego Batman Movie seperti melihat seorang bocah berimajinasi liar tengah asyik menciptakan dunianya sendiri yang mencampurbaurkan banyak elemen dalam permainan legonya, seru berkat alur cepatnya menghadirkan serentetan aksi menyenangkan selayaknya sebuah film superhero (hanya pembedanya, ini dalam format animasi), dan menyegarkan karena penonton memperoleh kesempatan didongengi kisah kepahlawan Batman menggunakan gaya bercerita yang cenderung berbeda. Tidak lagi bermuram durja, melainkan penuh kegembiraan. The Lego Batman Movie paham betul bagaimana caranya menempatkan diri. Tahu kapan saatnya berhura-hura dengan menampilkan sang karakter tituler dalam gaya slengean, tahu kapan saatnya harus serius yang menyumbangkan momen-momen menyentuh nan menghangatkan hati pada film. Serius disini tatkala film mengulik sisi rapuh dari Bruce Wayne/Batman seperti trauma masa lalu yang berujung ke kesendiriannya dan keengganannya mempunyai hubungan serius, sekaligus ketika menjalankan kewajibannya sebagai film untuk segala umur dengan menyempalkan pesan-pesan bermakna mengenai pentingnya keluarga, kepercayaan dan kerjasama. Hasilnya, sebuah paket hiburan keluarga yang komplit.

Outstanding (4/5)


REVIEW : SURGA YANG TAK DIRINDUKAN 2


“Nggak ada perempuan yang ikhlas berbagi, Mas. Dan aku nggak mau, Mas terbebani dengan harus berlaku adil.” 

“Apakah... ada laki-laki lain?” 

Dalam Surga Yang Tak Dirindukan, kebahagiaan Arini (Laudya Cynthia Bella) mendadak terenggut ketika mendapati suami tercintanya, Pras (Fedi Nuril), diam-diam telah mempersunting perempuan lain, Meirose (Raline Shah), sebagai istri muda tanpa seizinnya. Keputusan Pras untuk menikah lagi bukannya tanpa alasan. Dia berikrar akan membawa Meirose ke pelaminan demi menggagalkan rencana bunuh diri perempuan malang yang sedang mengandung ini. Dengan adanya orang ketiga dalam kehidupan rumah tangga Arini bersama Pras, ‘si perempuan terdzalimi’ Arini pun tak kuasa lagi menahan emosinya. Deraian tangisannya menghiasi hampir seluruh durasi film dan tak ayal turut mendorong para penonton untuk mengeluarkan tissue guna menyeka bulir-bulir air mata yang membahasi pipi. Setidaknya 1,5 juta pasang mata ikut dibuat nelangsa menengok kisruhnya jalinan asmara Arini sehingga tidak mengherankan MD Pictures mempunyai ide melanjutkan film ke jilid kedua. Mengingat sejatinya rumitnya simpul konflik telah terurai di penghujung film – Meirose memutuskan melanjutkan hidupnya sendiri tanpa campur tangan Pras, tentu ada sekelumit rasa penasaran terundang. Apa ya yang akan dicelotehkan oleh Surga Yang Tak Dirindukan 2

Berselang empat tahun usai perpisahan Arini-Pras dengan Meirose di stasiun kereta api, Arini yang kini menggeluti profesi sebagai penulis buku anak-anak memperoleh undangan ke Budapest untuk memberikan lokakarya sekaligus mempromosikan bukunya. Ditemani putri semata wayangnya, Nadia (Sandrinna Michelle Skornicki), dan manajernya, Sheila (Nora Danish), Arini pun bertolak ke ibu kota negara Hungaria tersebut sementara Pras yang masih disibukkan dengan urusan pekerjaan menyusul beberapa hari kemudian. Tidak pernah diperkirakan oleh Arini, perjalanan bisnisnya ini akan kembali mempertemukannya bersama Meirose yang belakangan diketahui telah berhasil berdamai dengan masa lalu kelamnya dan bersiap menempuh hidup baru bersama kekasihnya, Dr Syarief (Reza Rahadian). Bahkan demi menyempurnakan langkahnya untuk move on, Meirose berniat meminta Pras menceraikannya secara resmi. Akan tetapi, situasi yang tampaknya sudah sempurna bagi masing-masing pihak ini lantas kembali mengusut tatkala Pras menjejakkan kaki di Budapest dan tiba-tiba Arini justru meminta suaminya agar tidak meninggalkan Meirose. Tidak memperoleh penjelasan apapun, Pras jelas kebingungan sampai kemudian rahasia besar yang ditutup rapat oleh Arini dari orang-orang terdekatnya selama ini terbongkar.


Dibandingkan seri pertama, Surga Yang Tak Dirindukan 2 cenderung lebih kalem pula dewasa dalam bertutur. Letupan-letupan emosinya tidak sebombastis pendahulunya terlebih para karakter utama dipaparkan telah menemukan surganya masing-masing. Keputusan Hanung Bramantyo menghantarkan film ini dengan gaya sedikit berbeda dari film terdahulu jelas berdampak ganda. Di satu sisi, mereduksi elemen melodramanya membuat Surga Yang Tak Dirindukan 2 tampak segar serta elegan, sementara di sisi lain, penonton yang kedarung mengantisipasi akan adanya banjir mata di jilid kedua ini bisa jadi akan merasakan kelelahan berbalut kejenuhan lantaran laju filmnya terbilang tenang dan hanya ada segelintir momen-momen pemantik emosi. Disamping adegan Nadia tanpa sengaja mencuri dengar obrolan Arini bersama Dr Syarief, murni tidak ada gejolak yang memainkan perasaan penonton sedemikian rupa di paruh pertama. Yang kemudian menambat perhatian adalah bagaimana jajaran pelakonnya berolah peran, khususnya Reza Rahadian yang kentara sekali menunjukkan usahanya agar sosok Dr Syarief tak lebih dari sekadar pemeriah suasana belaka. Reza memberi perhatian khusus terhadap gaya berbicaranya, gestur, serta air muka sehingga karakter yang berpotensi lempeng apabila dimainkan aktor sembarangan ini serasa memiliki kompleksitasnya tersendiri. Kita bisa terhubung padanya, lalu kemudian peduli terhadap nasibnya. 

Beruntungnya Reza, dia memperoleh lawan main yang sanggup mengimbangi kekuatan aktingnya. Raline Shah menunjukkan peningkatan dari sisi performa dalam Surga Yang Tak Dirindukan 2. Ekspresinya menyiratkan adanya kegundahan akibat masa lalu yang kembali menyapa, adanya kecanggungan dalam berinteraksi dengan keluarganya, dan adanya ketulusan yang memberikan rasa teduh. Apabila film pertama condong mengarahkan penonton untuk berpihak kepada Arini, maka sekali ini dukungan disematkan kepada Meirose yang terombang-ambing diantara dua pilihan hidup sama baiknya. Apakah dia harus kembali ke masa lalu yang coba dihempaskannya demi membahagiakan pihak lain atau justru mengejar masa depan yang berarti akan meninggalkan guratan kekecewaan bagi pihak lain? Tangisannya di hadapan Dr Syarief adalah momen terbaik dari Surga Yang Tak Dirindukan 2. Kala Raline bersama Reza beradu peran bersama, mereka menghadirkan chemistry meyakinkan. Memunculkan sekelumit harapan, kedua karakter yang dibawakan mereka akan bersatu. Dengan adanya atraksi akting bagus semacam ini, rasa jenuh yang muncul dari datarnya penceritaan di awal mula plus rasa sebal yang dipantik oleh muatan humor dengan kadar agak berlebih sampai-sampai tak lagi lucu pun dapat ditekan. Paling tidak, begitu film menginjak 30 menit terakhir, daya tarik beserta gejolak emosi mulai terdeteksi seiring makin meruncingnya konflik dan memberikan penonton sejumlah momen-momen mengharu biru yang cukup berkesan.

Acceptable (3/5)


REVIEW : JOHN WICK: CHAPTER 2


“You stabbed the devil in the back. To him this isn't vengeance, this is justice.” 

Dua tahun silam, pembunuh bayaran yang mematikan berjulukan The Boogeyman, John Wick (Keanu Reeves), keluar dari peraduannya selepas mobil Mustang 69 kesayangannya digondol dan anjing peninggalan mendiang istri dicabut paksa nyawanya. Rencana Wick untuk pensiun dari dunia kriminal bawah tanah – sekaligus mengobati duka lara lantaran ditinggal istri tercinta – pun terpaksa ditunda guna menuntaskan misi balas dendam. Mempunyai jejak rekam beringas di kalangan rekan-rekan seprofesinya, tentunya bukan perkara sulit bagi Wick untuk menundukkan para begundal-begundal yang telah merampas ketenangannya. Hanya dengan sekali hantaman, sekali tembakan, lawan-lawan bertumbangan dan secara cepat, niatan buat undur diri tampaknya segera tercapai... sampai kemudian petinggi studio di Hollywood melihat raihan angka box office yang direngkuh John Wick. Menyadari bahwa film memiliki potensi besar untuk ditumbuhkembangkan sebagai franchise, Summit Entertainment pun lantas mengupayakan agar The Boogeyman gagal beristirahat dengan tenang dan kembali ke jalanan. Caranya mudah, tinggal bumihanguskan saja kediaman John biar tak ada lagi tempat bernaung untuknya! 

Betul, selepas kehilangan mobil dan anjing secara bersamaan di jilid pertama, lewat John Wick Chapter 2, sang karakter tituler dibikin geram lantaran tempat tinggalnya dirudal oleh seorang mafia bernama Santino D’Antonio (Riccardo Scamarcio) pasca permintaan Santino ditolak John secara halus. Tidak lagi mempunyai rumah plus ada hutang budi di masa lalu yang belum terlunasi kepada sang mafia, John pun tiada memiliki pilihan lain selain mengeksekusi tugas yang dibebankan Santino kepadanya. Diterbangkan ke Roma, Italia, John dititahkan untuk menghabisi nyawa adik Santino, Gianna (Claudia Gerini), yang konon lebih dipercaya dalam menduduki posisi penting oleh ayah mereka ketimbang Santino. Dengan Gianna menyerah tanpa syarat, penugasan ini sepintas terlihat sepele saja bagi John hingga dia menjumpai tangan kanan korban, Cassian (Common), yang mempunyai kemampuan bertarung setara dengannya dan bersumpah akan membalas dendam atas kematian Gianna. Seolah belum cukup, John juga menerima pengkhianatan dari Santino yang mengerahkan sederetan personilnya dibawah komando Ares (Ruby Rose) untuk menghabisi John. Malam-malam panjang John demi meladeni amukan dari dua belah pihak dengan kepentingan berbeda pun dimulai. 

Melanjutkan apa yang tersisa dari jilid pendahulu, John menyantroni markas Abram Tarasov (Peter Stormare) untuk mengambil alih Mustang kesayangannya yang dicuri. Berkelindan dengan cerita Abram kepada salah satu pegawainya mengenai jejak rekam John – berfungsi sebagai recap buat mereka yang lupa atau belum menonton film pertama, kita melihat John melumpuhkan penjagaan di sekitar Abram. Sesekali hanya terdengar teriakan, sementara kita melihat ekspresi ketakutan Abram yang meringkuk tak berdaya di kursi kantornya. Ya, John Wick Chapter 2 telah menggila sejak menit-menit pembuka lewat geberan laga beroktan tinggi. Chad Stahelski yang kembali menempati kursi penyutradaraan mengondisikan film untuk senantiasa terjaga intensitasnya tanpa pernah mengendur sedikitpun. Bahkan tak membutuhkan waktu lama usai adegan penyambut yang asyik tersebut, penonton langsung dihadapkan pada muara konflik dari kisah instalmen kedua dimana kediaman John dibuat luluh lantak. Menyusul dituntaskannya misi, ‘kemeriahan’ yang dicari-cari para penggemar film laga mulai mencuat dan terhitung sedari baku tembak bersama pengawal-pengawal Gianna diantara reruntuhan bangunan kuno di Roma, John Wick Chapter 2 tidak lagi memperkenankan penonton untuk bernafas lega.


John Wick Chapter 2 menjalankan tugasnya sebagai sebuah sekuel secara semestinya. Level kekerasan dalam rentetan laganya yang terkoreografi cantik – bukan sekadar asal seru, tapi ikut mendefinisikan karakteristik tokoh tertentu seperti Cassian yang sederhana namun brutal – ditingkatkan setinggi-tingginya. Menyulitkan mereka yang lemah terhadap darah untuk bisa duduk tenang di kursi bioskop seraya menyeruput minuman bersoda. Tengok saja pada aplikasi cerita Abram mengenai kemahiran John membunuh lawannya hanya bermodalkan pensil, sungguh bikin ngilu melihat telinga ditusuk-tusuk sampai menembus otak. Tapi itu jelas belum seberapa apabila disandingkan dengan jurus gun-fu andalan John di sebuah galeri guna menumpas para pelindung Santino yang memberi kita darah dan otak bertaburan di setiap sudut sejauh mata bisa memandang. Ngilu? Jelas. Seru? Banget. Sumber keasyikkan dalam hamparan laga nyaris tanpa putusnya pun tidak selalu memiliki keterkaitan dengan kata ‘sadis’. Ambil contoh pada pertarungan tangan kosong antara John dengan Cassian yang memberi sensasi gregetan atau kejar-kejaran keduanya di ruang publik yang menghadirkan salah satu adegan paling mengesankan dari film berkata kunci “mau nembak tapi malu-malu kucing”. Topangan gerak kamera dinamis beserta penyuntingan taktis, memunculkan candu di rentetan adegan ini sehingga ada keengganan untuk memalingkan pandangan sekejap dari layar atau beranjak sejenak dari kursi bioskop demi memenuhi panggilan alam. 

Disamping muatan laga pekat yang akan membuat para penikmat film action mengalami orgasme di dalam bioskop, daya pikat John Wick Chapter 2 berada di world building-nya. Dalam seri awal kita telah mengenal Hotel Continental sebagai tempat persinggahan para pembunuh bayaran lengkap dengan peraturan-peraturannya, jasa bersih-bersih mayat, serta koin emas sebagai alat tukar pengganti uang sekaligus membership card yang meleluasakan si pemilik mengakses tempat-tempat tertentu, maka melalui jilid kedua ini penonton diberikan paparan lebih mendalam mengenai bagaimana sistem di dunia bawah tanah ini bekerja termasuk kode etik pembunuh, pengadaan sayembara, sampai adanya dewan kriminal, tanpa harus menghilangkan sisi misteriusnya. Detilnya bangunan semesta oleh Derek Kolstad ditambah kulikan pada sisi rapuh John – kita merasakan kesepian dan keputusasaannya, membuat kita sanggup berinvestasi lebih kepada franchise ini yang menjadikannya lebih dari sekadar tontonan eskapisme pengisi waktu luang semata. Membuat John Wick Chapter 2 tidak sebatas film laga seru penuh isian ‘bak bik buk’ dan ‘dar der dor’ seperti tampak di permukaannya. Maka begitu ada tanda-tanda bahwa franchise ini masih berlanjut menjelang film tutup durasi, mencuat rasa gemas. Gemas karena harus menunggu dalam jangka waktu belum dapat dipastikan untuk bisa kembali melihat sepak terjang John Wick di jilid berikutnya. Sudah teramat tidak sabar!

Outstanding (4/5)


REVIEW : SPLIT


“I’ve never seen a case like this before. Twenty three identities live in Kevin’s body.” 

Pernah ada masanya M. Night Shyamalan digadang-gadang sebagai sutradara terkemuka di masa depan. Menapaki era milenium, sutradara berdarah India asal Philadelphia, Amerika Serikat, ini berturut-turut menelurkan karya jempolan semacam The Sixth Sense, Unbreakable, Signs, serta The Village. Ciri khas yang mudah dikenali di barisan filmnya tersebut adalah kuatnya pembentukan karakter, bangunan atmosfer mengusik yang menghasilkan rasa tidak nyaman, serta twist ending. Ya, Shyamalan sempat pula mendapat julukan “rajanya twist ending” lantaran kebiasaannya memberikan pelintiran di ujung kisah dalam film-film arahannya. Belakangan karirnya mengalami kemerosotan drastis, utamanya setelah mencoba meninggalkan ranah thriller yang dikuasainya dan mengorkestrai genre berbeda semacam The Last Airbender yang lempengnya tiada ketulungan (Ugh!) beserta After Earth yang hampa. Diprediksi tidak akan lagi bisa merengkuh kepercayaan khalayak ramai, tiba-tiba saja Shyamalan kembali dengan sebuah kejutan kecil yang manis: The Visit. Menghadirkan gelaran found footage yang amat creepy (si nenek!), ternyata The Visit semacam pemanasan sebelum penebusan dosa sesungguhnya melalui Split dimana kita akhirnya bisa mengatakan, “welcome back, Shyamalan!.” 

Tiga remaja perempuan; Claire (Haley Lu Richardson), Marcia (Jessica Sula), dan Casey (Anya Taylor-Joy), mendapati diri mereka terbangun di sebuah ruangan terkunci yang sama sekali asing bagi ketiganya. Masih dalam keadaan terguncang, seraya mencoba menyusun kepingan-kepingan memori yang berantakan, para gadis disambut oleh seorang pria yang menculik mereka, Dennis (James McAvoy). Tampak seperti pria biasa tanpa kekuatan lebih, sempat terbersit di pikiran Claire dan Marcia untuk melumpuhkan Dennis dengan menggunakan kemampuan beladiri mereka yang lantas urung diwujudkan usai Casey menganggapnya sebagai ide buruk. Benar saja, Dennis nyatanya tidaklah sesederhana kelihatannya karena perjumpaan para gadis dengan sang penculik di kesempatan selanjutnya mengungkap bahwa pria tersebut mengidap dissociative identity disorder (DID) atau mudahnya, kepribadian ganda. Di satu waktu mereka bisa saja berjumpa Dennis yang terobsesi pada keteraturan, sementara di waktu lain mereka akan disambut Patricia yang anggun atau Hedwig yang mengaku masih berusia 9 tahun. Tercatat setidaknya ada 23 kepribadian berbeda yang hidup dalam tubuh si penculik dan menurut mereka, kepribadian ke-24 berjulukan The Beast akan segera datang yang konon kabarnya merupakan kepribadian paling mengerikan diantara semuanya. 

Laju awal Split cenderung merambat. Usai adegan pembuka berintensitas cukup tinggi, Shyamalan lantas menguranginya begitu mengajak penonton menapaki ruang bawah tanah yang dimanfaatkan sang antagonis untuk menyekap ketiga perempuan belia ini. Kita diberi kesempatan menjalin keakraban bersama para korban – terutama Casey yang diberi jatah kilas balik berulang kali, demi memunculkan kepedulian atas nasib mereka, serta mengenali beberapa kepribadian dominan yang menghinggapi tubuh sang penculik. Bagi penonton yang terbiasa dengan film seram penuh asupan jump scares, kesunyian dan pelannya film boleh jadi akan menguji kesabaran. Shyamalan sendiri enggan mempergunakan metode ‘cilukba’ disusul skoring musik menyayat gendang telinga guna memacu detak jantung penonton. Seperti halnya film-film dia terdahulu, rasa ngeri yang timbul dalam Split bersumber dari atmosfir yang sangat mengganggu dan menguarkan aroma misterius. Lorong-lorong panjang berpencahayaan redup, ruangan-ruangan sempit di bawah tanah yang akan membuat penonton dengan klaustrofobia blingsatan di kursi bioskop, dan karakter villain yang tindak tanduknya sulit untuk diprediksi – mudah beralih tanpa diberi aba-aba terlebih dahulu sebelumnya. 

Dihadapkan pada perasaan tidak nyaman seperti ini, secara otomatis film telah mengondisikan penontonnya untuk senantiasa waspada kalau-kalau ada peningkatan level ketegangan mendadak seperti perlawanan dari pihak korban atau si penculik menampilkan kepribadian barunya yang lebih ganas. Jujur, sebelum Split tutup durasi, sulit untuk benar-benar menghembuskan nafas lega sekalipun ada bubuhan serbuk humor di beberapa titik guna mencairkan rasa cekam. Bahkan, sesi terapi antara Dennis yang hadir menggunakan kepribadian Barry, sang desainer kemayu, bersama psikolognya, Dr. Karen Fletcher (Betty Buckley), pun mempunyai intensitasnya tersendiri. Momen ini memang dipergunakan Shyamalan untuk mengajak kita mempelajari karakteristik sang antagonis lebih mendalam termasuk motivasi-motivasinya yang sekaligus menghindarkannya dari sosok karikatural, namun sulit disangkal ada sensasi berdebar-debar melihat percakapan kedua belah pihak. Karen berupaya mengulik agenda yang coba disembunyikan Barry (atau sebetulnya dia adalah Dennis?) rapat-rapat, sementara Barry yang menyadari gelagatnya mulai terbaca berusaha mengelak. Satu pertanyaan lantas mencuat, “apa yang akan terjadi berikutnya seandainya tidak ada celah lagi bagi Barry untuk berkelit dan pengakuan adalah satu-satunya jalan keluar?.” 

Ya, Split dituturkan oleh Shyamalan dengan apik. Tapi kehebatannya dalam merajut kisah tidak akan terbaca tanpa performa kelas kakap dari James McAvoy yang mampu bertansformasi secara mulus ke berbagai kepribadian. Berkatnya, sikap dingin, konyol, mengancam, bengis, sampai rapuh dari si penculik yang masing-masing merepresentasikan identitas tertentu dapat tersalurkan dengan baik ke penonton. Kadangkala kita bisa mengenali kepribadian yang sedang mendominasi melalui gaya berbusana, namun tidak jarang pula, peralihannya hanya bisa terdeteksi apabila kita cermat mengamati intonasi suara dan gestur yang diperagakan oleh McAvoy. Beruntungnya McAvoy – selain memperoleh tunjangan skrip beserta pengarahan bagus, dia didampingi jajaran pelakon yang bermain mengesankan pula. Lupakan Haley Lu Richardson dan Jessica Sula yang tidak istimewa (menampilkan stereotip perempuan populer cantik yang hanya bisa meratap), Split masih mempunyai Betty Buckley yang simpatik dan Anya Taylor-Joy yang tangguh sekaligus misterius di saat bersamaan. Perpaduan antara pameran akting ciamik dengan penceritaan lancar dari si pembuat film yang juga mahir menghadirkan daya cekam maksimal inilah yang membuat Split layak disejajarkan bersama barisan film-film terbaik Shyamalan. Plus, jangan lupakan adegan penutupnya yang bakal membuat para penggemar maupun penonton setia karya-karyanya berteriak kegirangan. Gokil! 

Trivia : Salah satu kebiasaan Shyamalan adalah ikut numpang tampil di film-film garapannya, termasuk Split. Nah, berperan sebagai siapakah dia di film ini?

Outstanding (4/5)

REVIEW : A DOG'S PURPOSE


“I tried to make sense out of all the things I’d seen. Was there a point to this journey of life, and how did bacon fit in?” 

Banyak yang mengatakan, “anjing adalah sahabat terbaik manusia.” Mengingat saya lebih memilih kucing ketimbang anjing untuk dijadikan hewan peliharaan – karena satu dan lain hal, kebenarannya tidak bisa saya verifikasi. Tapi satu yang jelas ditengok dari kacamata awam saya, film mengenai anjing utamanya jika mengupas tuntas hubungan antara si hewan dengan majikannya, jarang sekali berakhir mengecewakan. Beberapa judul yang menjadi kesukaan secara personal, antara lain Air Bud (jilid pertama, bukan sekuel-sekuelnya), My Dog Skip, Marley & Me, serta paling sering dibicarakan oleh khalayak ramai, Hachi: A Dog’s Tale. Nah, sutradara dari judul terakhir disebut, Lasse Hallstrom, baru-baru ini melepas sebuah film anyar yang juga menempatkan anjing sebagai tokoh sentral dan didasarkan pada novel laris, A Dog’s Purpose. Sedikit membedakannya dengan beberapa film anjing yang telah disebut, ada elemen fantasi dicelupkan ke dalam A Dog’s Purpose. Kita bisa mendengar isi pikiran dari si anjing dan sosoknya pun diceritakan mampu bereinkarnasi berulang kali demi memenuhi satu tujuan hidup: membawa sang pemilik menemukan kebahagiannya. 

Merentangkan latar penceritaan dari era 1950-an hingga 2000-an, A Dog’s Purpose memperkenalkan kita kepada seekor anjing Golden Retriever bernama Bailey (disuarakan oleh si Olaf dari Frozen, Josh Gad). Persentuhan Bailey dengan dunia manusia dimulai secara resmi saat Ethan Montgomery (K.J. Apa) menyelamatkannya dari dehidrasi dan memutuskan untuk memeliharanya. Tidak butuh waktu lama bagi Bailey untuk menyesuaikan diri hidup ditengah-tengah keluarga Montgomery yang harmonis dan kepribadiannya yang periang memberikan warna tersendiri bagi setiap anggota keluarga, khususnya Ethan. Keduanya mempunyai hubungan yang sangat akrab dan satu yang tidak dipahami oleh Bailey, manusia berubah seiring berjalannya waktu. Tiba-tiba hadir Hannah (Britt Robertson) di pelukan Ethan, ayah Ethan berubah menjadi alkoholik yang pemarah, lalu Ethan harus meninggalkan kampung halamannya demi mengenyam bangku kuliah. Belum sempat Bailey mencerna semua kegilaan ini serta tujuan hidupnya sebagai seekor anjing, ajal menjemputnya... dan semuanya kembali dari awal dengan majikan, ras, plus dekade berbeda! 

Gagasan A Dog’s Purpose jelas menggelitik. Perihal seekor anjing yang sanggup bereinkarnasi berkali-kali guna menguak makna dari eksistensinya. Terdengar sangat filosofis dan deep deep gimanaaa gitu, yah? Mempertanyakan tujuan kehidupan. Meski sepintas terkesan akan sedikit berat, Lasse Hallstrom tak lantas membebani penonton dengan lontaran dialog-dialog yang memerlukan perenungan mendalam untuk ditemukan maknanya mengingat bagaimanapun juga, A Dog’s Purpose adalah film keluarga yang ditujukan ke berbagai lapisan usia. Jawaban atas pertanyaan yang diajukan Bailey pun sederhana saja seperti kata-kata penghias kartu motivasi. Terlepas dari elemen fantasinya dimana si anjing berkelana ke beberapa dekade, sejatinya pola penceritaan A Dog’s Purpose tidak jauh berbeda dengan dog movies lainnya: dimulai oleh perjumpaan yang hangat, dilanjut ke fase persahabatan yang penuh dinamika timbul, dan ditutup oleh perpisahan merobek hati. Generik? Sebut apapun sesukamu, namun pola yang kemudian agak dibelokkan oleh si pembuat film guna mengakomodir tema reinkarnasinya ini masih tergolong efektif kala diaplikasikan dalam A Dog’s Purpose

Well, tema reinkarnasinya sendiri sekalipun menarik di satu sisi, nyatanya cukup mendistraksi di sisi lain. Melompat-lompat secara cepat – kecuali segmen Ethan di awal mula, membuat emosi penonton tak pernah terbentuk dengan sempurna. Buyar begitu saja lantaran film telah mengalihkan fokusnya. Ya, majikan Bailey yang lain; polisi duda, mahasiswi jomblo, serta pasangan miskin yang abusive, memang tak diberi porsi tampil memadai. Mereka ada sekadar untuk menguatkan keyakinan Bailey mengenai tujuan hidupnya di penghujung film sehingga selain Ethan, barisan karakter-karakter di film ini berbentuk satu dimensi. Tidak pernah lebih. Pun demikian, terlepas dari ketidakseimbangan ini, A Dog’s Purpose masih bekerja seperti seharusnya sebagai sebuah dog movies. Paling tidak, A Dog’s Purpose berhasil hadirkan tawa renyah akibat melihat tingkah enerjik Bailey yang kerap memicu kejadian-kejadian konyol, berikan rasa hangat yang muncul usai menyimak relasi akrab antara Bailey bersama majikan kesayangannya, Ethan – khususnya di paruh akhir yang sayang beribu sayang telah dibocorkan momen emasnya melalui trailer, dan pada akhirnya mengembangkan senyum begitu melangkahkan kaki ke luar bioskop. It’s a decent feel-good movie.

Acceptable (3/5)



(Event) MENONTON FILM PENDEK DI KAMPUNG CODE


Keinginan untuk menyambangi Kampung Code, Jogja, akhirnya terealisasi pada Sabtu (4/2) malam kemarin. Sudah tidak terhitung berapa kali melewati area pemukiman padat penduduk di samping Kali Code ini sedari pertama menjejakkan kaki di Kota Gudeng tiga tahun silam, tapi belum pernah sekalipun menyempatkan diri untuk melongok ke dalamnya. Kesempatan menjelajah Kampung Code datang setelah Cinetariz mendapat tawaran untuk ikut menyemarakkan penayangan film-film pendek yang dikreasi oleh rekan-rekan dari Engage Media mengenai kehidupan masyarakat di kampung tersohor tersebut. 

Menggunakan pendekatan dokumenter, film-film pendek berpayungkan tema Aku Cah Code ini terbagi ke dalam lima segmen yang masing-masing berdurasi 3 menit. Segmen pertama bertajuk Melihat Code merekam pendapat masyarakat luar mengenai citra Kampung Code. Lalu segmen kedua berjudul Putus Sekolah bertutur tentang banyaknya generasi muda dari area Code yang terhenti kesempatannya mengenyam bangku pendidikan. Di segmen ketiga yang menggunakan judul Parkir, kita melihat upaya warga setempat untuk menertibkan parkir motor di Kamping Code. Dalam segmen Suara Tanpa Rokok yang berada di urutan keempat, si pembuat film mewawancarai warga yang mempunyai cerita buruk mengenai rokok. Sementara segmen penutup berjudul Melihat Dari Dekat, penonton disuguhi wajah Kampung Code saat ini. 

Dihadiri oleh puluhan warga dari beragam tingkatan usia, dari anak-anak sampai kakek nenek, penayangan film di pinggir Kali Code ini berlangsung meriah. Pemutaran film ini sendiri merupakan salah satu dari rangkaian acara yang diinisiasi oleh Muhammadiyah Tobacco Control Centre dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, yakni kampanye Tunjukkan Warna Aslimu #SuaraTanpaRokok. Tujuan penyelenggaraannya adalah memupuk kesadaran warga mengenai bahaya merokok. Disamping pemutaran film, volunteer dari berbagai negara, media, serta warga setempat yang mengikuti kampanye perihal mengontrol konsumsi tembakau melalui rokok ini turut diajak berkeliling kampung guna melihat wajah Kampung Code sekarang. 

Salah satu yang menarik perhatian adalah atap-atap rumah warga dihiasi mural dengan tema #SuaraTanpaRokok yang berwarna-warni dan berpendar dalam kegelapan apabila kita melihatnya di malam hari. Kalau kebetulan kamu melintasi Jembatan Gondolayu, Jogja, dan tidak sedang terburu-buru, sempatkan untuk menengok pemandangan di bawah jembatan. Ada objek bagus untuk difoto-foto dan dibagikan ke sosmed lho!


REVIEW : RAEES


“No business is small and no religion is bigger than business.” 

Citra seorang Shah Rukh Khan (atau sebut saja SRK biar tidak kepanjangan) dalam karir keaktorannya memang tidaklah lekat dengan peran antagonis. Dia seringkali memerankan sosok jagoan yang memiliki karisma tinggi, bertampang rupawan, serta berselera humor bagus, meski kenyataannya awal karir SRK dibentuk dari peran-peran jahat seperti ditunjukannya melalui Baazigar (1993), Darr (1993), dan Anjaam (1994). Seiring membumbungnya karir SRK ke angkasa – diikuti upayanya merebut hati lebih banyak penggemar, dia mulai menjauhi peran beraromakan negatif sekalipun tidak sepenuhnya dihempaskan olehnya. Tercatat, SRK sempat kembali menyelami karakter antagonis lewat Duplicate (1998), Don (2006), serta Fan (2016), yang uniknya dalam ketiga film tersebut, dia memainkan peran ganda dengan salah satunya berada di sisi berlawanan. Raees, garapan Rahul Dholakia, adalah percobaan terbaru SRK dalam melakonkan karakter antihero dimana dia berperan sebagai bandar minuman keras kelas kakap yang sulit dijamah hukum. Seperti halnya tiga judul terakhir yang disebut, SRK pun tidak seutuhnya jahat lantaran karakter tituler yang dihidupkannya cenderung digambarkan abu-abu mengikuti tindak tanduk ala Robin Hood. Hasil keuntungan dari tindak kriminalnya dimanfaatkan untuk membantu hajat hidup masyarakat di lingkungannya. 

Raees – merujuk pada nama tokoh utama di film, tumbuh di pemukiman kumuh Gujarat yang merupakan markas bisnis minuman keras. Didorong oleh keinginannya meringankan beban finansial sang ibu, Raees nekat terjun ke bisnis ilegal ini bersama sahabat baiknya, Sadiq (Mohammed Zeeshan Ayyub), dengan mengabdikan diri mereka pada Jairaj (Atul Kulkarni). Dideskripsikan sebagai sosok yang “licin bak pedagang, pemberani bak pejuang”, tidak mengherankan Raees cepat mempelajari seluk beluk dunia ini sehingga hanya tinggal menunggu waktu baginya untuk mengucapkan salam perpisahan kepada Jairaj dan membangun kerajaan bisnisnya sendiri. Usai dipersulit oleh Jairaj yang setengah hati memberikan bantuan, Raees mendapat suntikan dana dari seorang mafia bernama Musabhai (Narendra Jha) yang mengagumi keberanian serta kegigihan Raees. Menggunakan pengalamannya selama bertahun-tahun bekerja dibawah naungan Jairaj untuk menjalankan usaha, perlahan tapi pasti bisnis Raees kian menggurita bahkan melampaui pencapaian mantan atasannya. Menjamurnya pasokan minuman keras ilegal lantas tercium oleh petugas kepolisian idealis, Majmudar (Nawazuddin Siddiqui), yang seketika menyusun strategi untuk membubarkan kerajaan bisnis Raees dan membuatnya bertekuk lutut. 

Dari sinopsis telah terbaca, Raees tidak menawarkan sesuatu baru kepada para penontonnya. Dan memang, Rahul Dholakia mengemasnya seperti tontonan Masala khas Bollywood generasi lawas dengan memadukan tiga unsur sekaligus; laga, komedi, dan romansa. Tontonan enteng saja yang tidak meminta penonton untuk memaksimalkan kinerja otak demi mencerna isi film. Si pembuat film berharap kita bersiul-siul kegirangan melihat sang tokoh utama menghajar musuh-musuhnya sampai babak belur, disusul beromantis ria bersama pasangannya, Aasiya (Mahira Khan), dan tertawa terbahak-bahak mendengar celetukan-celetukan konyol dari barisan karakternya. Misi ini boleh dikata berhasil dituntaskan secara mulus. Sekalipun lagu-lagu pengiringnya tidak cukup melodius untuk ikut didendangkan oleh penonton, Raees masih mempunyai amunisi tinggi dalam menjerat perhatian penontonnya lewat gelaran bak bik buk yang tertata amat mengesankan dan performa kelas kampiun dari SRK beserta Nawazuddin Siddiqui. Inilah penampilan terbaik SRK sejak My Name is Khan yang rilis 7 tahun silam. Di tangannya, sosok Raees menjelma sebagai sosok berwibawa dan mengerikan yang sanggup membunuhmu hanya bermodalkan kacamata di satu sisi, serta rapuh layaknya manusia normal dan simpatik mengikuti ketulusannya dalam memberi bantuan pada wong cilik di sisi yang lain. Tanpa tersadar, kita telah dibuat jatuh hati kepada karakternya lalu secara suka rela memafhumi setiap tindak tanduknya. 

Difungsikan sebagai antitesis dari SRK, Nawazuddin Siddiqui menghadirkan akting tak kalah mengesankannya. Malah, dia mencuri perhatian di setiap kemunculannya dengan tingkah nyelenehnya yang mengundang tawa dan ambisi besarnya untuk meringkus Raees yang agak menyebalkan. Saling bersinergi satu sama lain, adegan-adegan yang menampilkan SRK dan Nawazuddin dalam satu frame merupakan kumpulan momen terbaik dari film. Tatapan keduanya mengisyaratkan kehormatan, kepedulian, serta kebencian sekaligus – menghadirkan hubungan benci tapi rindu. Mereka memimpin departemen akting yang setiap barisan pemainnya suguhkan lakon pas sesuai takarannya seperti Mahira Khan, Mohammed Zeeshan Ayyub, sampai Narendra Jha. Apiknya atraksi akting dari para pemain ini sedikit banyak mengampuni paruh akhir yang serasa bertele-tele lantaran ingin membicarakan beragam topik termasuk mengkritisi politisi-politisi korup yang munafik dan maraknya praktik pemanfaatan agama sebagai barang dagangan. Materinya harus diakui memikat, hanya saja keputusan untuk seketika menumpuknya selepas Intermission tanpa diberikan set up memadai membuat film serasa penuh sesak dan mengurangi kadar keasyikkan dalam menikmati jualan utama film: permainan kucing tikus antara Raees dengan Majmudar. Walau sempat goyah beberapa kali, untungnya daya cengkram Raees bisa betul-betul pulih di saat dibutuhkan keberadaannya, yakni menjelang konfrontasi akhir yang berlangsung mendebarkan.

Exceeds Expectations (3,5/5)