Archive for January 2017

REVIEW : MONSTER TRUCKS


Monster Trucks sebetulnya mengkhawatirkan. Betapa tidak, saat sebuah film maju mundur cantik dalam hal perilisan berulang kali (total jenderal, jadwal edar Monster Trucks direvisi sebanyak 5 kali!), tentunya ada beberapa poin yang menyebabkan si pemilik film ragu-ragu untuk melepaskan filmnya ke khalayak ramai. Kemungkinan paling masuk akal dan memang seringkali begitu adanya, hasil akhir jauh dibawah pengharapan. Turut dijadikan kambing hitam pula sebagai salah satu penyebab kerugian Viacom – konon, film menelan dana sebesar $125 juta (!!!) dan telah diprediksi tidak akan sanggup mencapai titik impas apalagi untung – semakin menguatkan energi negatif yang telah melingkungi Monster Trucks. Belum apa-apa sudah keder duluan, khawatir filmnya bakal bikin dongkol hati begitu menjejakkan kaki di luar gedung bioskop. Dari serentetan sikap pesimis, timbul satu pertanyaan, “apakah Monster Trucks memang sedemikian mengecewakannya?.” Pertanyaan yang sempat menggelayuti benak selama beberapa pekan ini akhirnya terjawab setelah memutuskan untuk menonton Monster Trucks di layar lebar. 

Jagoan dalam film live action perdana arahan Chris Wedge (Ice Age, Robots) ini adalah seorang pelajar SMA tingkat akhir bernama Tripp (Lucas Till). Bermasalah di rumah dan terpinggirkan di sekolah, Tripp menemukan kebahagian dalam hidupnya saat bekerja paruh waktu di tempat pembuangan mobil bekas lantaran dia banyak menggunakannya untuk merakit truknya sendiri. Kehidupan Tripp yang penuh kecemasan sontak berubah setelah sesosok makhluk asing menyerupai gurita menyambangi tempat kerjanya. Rupanya makhluk yang belakangan dinamai Creech ini sedang diburu oleh bos minyak, Reece (Rob Lowe), yang tidak ingin bisnisnya terganggu gara-gara diketahui ada satwa langka hidup di sekitaran area kilang minyaknya. Dibantu oleh teman sekolahnya, Meredith (Jane Levy), yang secara tidak sengaja ikut terlibat, Tripp berupaya menyelamatkan Creech yang diam-diam mempunyai intelejensi diatas rata-rata dan sanggup menjelma menjadi mesin bagi truk Tripp, dari kejaran korporasi kejam milik Reece. Di tengah-tengah petualangan ini, persahabatan unik diantara Tripp dan Creech pun lambat laun mulai terbentuk yang lantas mengungkap fakta lain mengenai Creech. 

Plotnya sangat sederhana. Kentara disasarkan bagi penonton cilik dari rentang usia 4 sampai 12 tahun sehingga jalinan pengisahannya bisa dimaklumi kalau tidak pernah tergali mendalam, guliran konfliknya tidak sampai diperuncing, dan sekuens laganya pun masih dalam tahapan aman. Ya, Monster Trucks memang sebuah film yang ditujukan sebagai hiburan ringan untuk seluruh anggota keluarga. Penonton cilik bakal bersorak sorai menyaksikan truk yang ‘dikendarai’ Creech melompat-lompat liar di atas atap pertokoan, lalu dilanjut kejar-kejaran seru, sementara penonton dewasa boleh jadi akan dibuat mendengus kesal olehnya atau malah cukup menikmati tergantung seberapa tinggi kemampuanmu menolerir kekonyolan yang menghiasi sepanjang durasi dan sejauh mana Monster Trucks sanggup membawamu bernostalgia ke film-film keluarga pada dekade 80-an serta 90-an. Mau tidak mau, Monster Trucks melayangkan ingatan ke film-film keluarga bernafaskan fantasi di era tersebut semacam E.T., Flight of the Navigator, hingga Small Soldiers yang celotehannya turut mengusik seputar perkawanan ganjil antara manusia dengan makhluk ajaib. 

Monster Trucks mencuri perhatian saya karena faktor terakhir. Aroma nostalgianya menguar kuat sampai-sampai sulit menahan sisi kanak-kanak dalam diri untuk tidak ikutan bersuka cita. Hey, semakin jarang kan sekarang menjumpai film keluarga tentang persahabatan lintas spesies? Mulanya memang agak susah terkoneksi pada film mengingat skrip tipisnya tidak memungkinkan penonton memperoleh informasi memadai mengenai bangunan dunianya maupun terkoneksi ke barisan karakternya. Belum lagi, Creech lebih sering tampak menjijikan ketimbang imut-imut menggemaskan. Tapi seiring berjalannya waktu, ketika Creech diketahui sanggup melebur manis dengan truk yang menyebabkan truk dapat meluncur gesit dan misi melarikan diri dari kejaran antek-antek Reece dimulai, film mulai menunjukkan daya pikatnya. Wedge berhasil menginjeksikan kesenangan dalam rentetan adegan kejar-kejarannya yang mengambil lokasi di jalan raya, tengah kota, sampai tebing. Interaksi Tripp bersama Creech dan Meredith pun berangsur enak disimak. Meski secara perawakan tampak kurang meyakinkan sebagai pelajar SMA, Lucas Till beserta Jane Levy mempunyai karisma untuk membuat karakter masing-masing tidak berakhir menyebalkan dan mudah disukai. Kombinasi cukup baik antara laga seru bersama hubungan hangat antar karakter (plus, adanya nostalgia!) inilah yang kemudian pada akhirnya menggugurkan kata “mengecewakan” untuk mendefiniskan Monster Trucks dan digantikan oleh kata “menyenangkan”.

Acceptable (3/5)


REVIEW : RESIDENT EVIL: THE FINAL CHAPTER


We’re finally here, instalmen terakhir dari franchise Resident Evil yang didasarkan pada video game laris berjudul sama rekaan Capcom... atau setidaknya begitulah sangkaan kita. Usai dua jilid pendahulu, Afterlife dan Retribution, yang benar-benar melempem, sebetulnya pengharapan terhadap franchise ini telah sepenuhnya sirna. Kejar-kejaran antara sang protagonis, Alice (Milla Jovovich), dengan para zombie ganas yang didalangi oleh Umbrella Corporation telah sampai pada titik jenuh sehingga ketidakpedulian pada nasib Alice pun tak terelakkan. Maka begitu mendengar gagasan Paul W.S. Anderson berniat untuk mengkreasi seri lanjutan Resident Evil dan sekali ini menggunakan subjudul The Final Chapter yang besar kemungkinan berarti jilid penghujung, ada kelegaan disertai sekelumit kepenasaran terkait bagaimana Anderson akan menutup salah satu film adaptasi game tersukses di muka bumi ini. Membawa turut serta segala sikap skeptis ke gedung bioskop kala menyimak Resident Evil: The Final Chapter, alangkah terkejutnya diri ini begitu mendapati bahwa film ini menunjukkan peningkatan cukup signifikan dari dua instalmen sebelumnya. Whoa? 

Berselang tiga pekan selepas peristiwa di penghujung Retribution, Alice melanjutkan pengembaraannya seorang diri. Pasca diserang oleh monster-monster beringas, pahlawan kita ini memperoleh pesan mengejutkan dari Red Queen yang mendadak menunjukkan itikad baik. Dalam pesan tersebut, Red Queen menginformasikan bahwa Umbrella berencana melepas virus guna memberangus secara total peradaban manusia dan Alice adalah satu-satunya harapan untuk menghentikannya. Berpacu dengan waktu serta tidak mempunyai banyak pilihan, Alice pun seketika bertolak ke tempat semua kekacauan ini bermula, Raccoon City. Membopong misi besar, tentu perjalanan Alice tidak serta mudah karena salah satu pemegang saham tertinggi di Umbrella yang juga musuh bebuyutannya, Dr. Alexander Isaacs (Iain Glen), dan Albert Wesker (Shawn Roberts) yang telah mengkhianatinya, berupaya untuk menghalau langkah Alice. Untung di tengah perjuangannya menembus laboratorium bawah tanah Umbrella, Hive, Alice berjumpa lagi dengan rekan seperjuangannya, Claire Redfield (Ali Larter), dan sekutu-sekutu baru Claire yang bersedia bahu membahu memberikan bantuan melawan korporasi lalim Umbrella usai mengetahui rencana terkutuk mereka. 

Ya, The Final Chapter adalah sebuah kemajuan jika disandingkan dengan Afterlife dan Retribution yang seringkali mendatangkan kebosanan. Bagi penonton yang telah antipati ke franchise ini sedari mula atau memang tak pernah menunjukkan ketertarikan lebih, berita bagus tersebut tidak berarti apapun. Tapi jika berinvestasi secara penuh entah karena faktor penggemar berat versi video game-nya maupun semata-mata kepincut dengan tiga jild awal yang harus diakui amat seru, jelas sebuah berkah. Paling tidak, Resident Evil berakhir – jika memang demikian adanya – mencapai konklusinya dengan kepala menengadah ke atas. Letak keberhasilan The Final Chapter adalah bagaimana Paul W.S. Anderson memanfaatkan bujet $40 jutanya secara maksimal dengan menciptakan setiap momen yang senantiasa berdentum keras. Lagipula, apa lagi sih motivasi penonton menyimak franchise ini di layar lebar selain mencari tontonan eskapisme yang berarti sarat adegan laga dan nuansa cekam? Instalmen keenam ini mencoba memenuhi itu. Berupaya kembali ke akarnya seperti jilid pertama dan kedua. Dipenuhi atraksi Mbak Alice melompat-lompat kesana kemari membantai para zombie yang senantiasa mengintai serta kelaparan. 

Sang sutradara menggeber serentetan laga yang meliputi pertarungan Alice dengan monster-monster ganas, berhadapan dengan antek-antek Umbrella termasuk musuh lamanya Dr. Alexander Isaacs di atas Hummer berjalan yang di sekelilingnya dikerumuni zombie, menyusup ke Hive yang menyimpan jebakan-jebakan maut tak terduga (ucapkan halo pada sinar laser dari film pertama!), hingga konfrontasi akhir yang menghadirkan pelintiran cukup mengejutkan dalam plot, nyaris tanpa putus. Satu kehebohan selesai langsung disambung kehebohan lain, terus menerus seperti itu sampai tutup durasi. Tidak memberi ruang bagi Alice untuk sekadar ngopi-ngopi cantik bersama Claire seraya bernostalgia. Menariknya, ada intensitas yang bisa dirasakan dalam setiap pertempuran yang dijabani oleh Alice sehingga menyulitkan rasa jenuh menyambangi penonton. Penggunaan jump scares untuk menimbulkan daya kejutnya memang agak berlebihan, begitu pula dengan kamera bergoncangnya dan penyuntingan bermetode quick cut-nya, tapi saat Milla Jovovich terlihat kembali bersemangat menghidupkan sosok Alice lalu mencuat pula sejumlah momen seru nan mencekam utamanya setelah pasukan Alice menyelinap ke Hive, titik lemah pun bisa diabaikan. Toh yang penting sebagai sebuah popcorn movie yang mengasyikkan ditonton beramai-ramai bersama teman, Resident Evil: The Final Chapter telah mencapai tujuannya, kan?

Noted : ada bonus di penghujung film yang penting-penting nggak penting. Jika kamu penggemar berat, kebetulan sedang tidak tergesa-gesa, dan bersedia menunggu sampai akhir, silahkan disimak. 

Exceeds Expectations (3,5/5)

(Special) 20 FILM TERBAIK 2016 VERSI CINETARIZ


Ternyata, banyak juga film berkesan yang berkeliaran sepanjang tahun 2016. Berulang kali dibuat merepet tak berkesudahan oleh sejumlah judul film sempat membuatku berpikir 2016 bukanlah tahun yang bagus bagi perfilman dunia. Pemikiran tersebut seketika terhempas, lalu sirna, tatkala mulai menyusul daftar 20 film terbaik 2016 versi Cinetariz. Menduga akan tuntas dalam sekejap, realitanya justru berkata lain. Tak mengira sama sekali memilih 20 judul saja dari 200-an film di tahun yang (awalnya) dianggap semenjana bakal menimbulkan sakit kepala. Banyak pilihan! 

Didapat 37 film pada seleksi tahap pertama. Harus mengeliminasi 17 judul menghadirkan pergolakan batin karena jujur saja, kesemuanya adalah film-film yang dengan senang hati akan saya rekomendasikan kepada para pembaca. Tapi mau bagaimana lagi, peraturan tak tertulis untuk daftar tahunan di Cinetariz hanya mengizinkan 20 film saja yang lolos. Maka setelah menimbang-nimbang beberapa kali dengan kebanyakan dilandasi faktor “seberapa tinggi kemungkinan film-film ini akan ditonton ulang ke depannya dan tetap lezat disantap meski dalam medium berbeda”, berikut adalah 20 film yang meninggalkan impresi paling mendalam sepanjang tahun 2016: 

#20 Hunt for the Wilderpeople


Perpaduan antara road movie dengan coming of age yang menautkan seorang bocah bersama ayah angkatnya ini berlangsung cukup gila. Memang tak seliar What We Do in the Shadows yang berasal dari sutradara sama, tapi efektif membelalakkan mata beberapa kali. Sudah bisa diterka akan jenaka dan menyentuh hati berkaca pada materi kisahnya, namun yang tak diantisipasi sebelumnya, diam-diam Hunt for the Wilderpeople punya momen-momen seru penggenjot adrenalin juga. 

#19 The Wailing 


Bagaimana seandainya seorang misterius tiba-tiba datang ke desamu dan sejurus kemudian wabah sulit terjelaskan melanda seantero desa? Pertanyaan andai-andai tersebut jelas mengerikan saat betul terjadi, bahkan ketika sebatas kisah fiksi dalam The Wailing pun telah sanggup memberi efek ngeri. Pemicunya adalah permainan atmosfer mengusik kenyamanan, jalinan pengisahan sarat misteri yang memicu bahan diskusi usai menyimaknya, serta... faktor kedekatan. Ya gimana, aktivitas berbau klenik mudah dijumpai di sekitar kita sih. 

#18 Kapoor & Sons


Sebetulnya Kapoor & Sons terhitung klise ditilik dari premisnya: reuni keluarga berujung kekacauan hebat. Akan tetapi, seperti rata-rata film mengenai keluarga disfungsional, Kapoor & Sons mempunyai daya pikat hebat yang menyulitkanmu untuk melepaskan tatapan dari layar beberapa menit setelah film memulai pengisahannya. Tanpa tersadar kamu telah ikut tergelak-gelak, merasakan kehangatan, sampai akhirnya hancur lebur dibuatnya pada 30 menit terakhir yang sangat menguras emosi. 

#17 Kubo and the Two Strings 


Dari segi konten, salah satu pesaing tangguh Disney di sektor animasi tahun lalu adalah Laika dengan produknya, Kubo and the Two Strings. Dihadirkan dalam format animasi stop motion, film tak ada henti-hentinya mendorong munculnya reaksi terperangah lantaran visualisasinya terhampar sungguh imajinatif. Berkelas premium. Lebih dari itu, film menghadirkan jalan penceritaan lucu-lucu menggelitik, mengharu biru, sekaligus membius yang akan membuatmu tidak keberatan untuk didongengi sekali lagi selepas menontonnya. 

#16 Captain America: Civil War 


Ditetapkan untuk mengalun sepanjang dua setengah jam lebih, Civil War tidak pernah berbenturan dengan kata “melelahkan” apalagi “membosankan”. Plotnya padat berisi, gelaran adegan laganya layak diacungi dua jempol, dan selera humornya yang cenderung ugalan-ugalan begitu menyegarkan suasana. Civil War telah menghadirkan spektakel gegap gempita yang sekaligus menempatkannya sebagai produk terunggul Marvel Studio sejauh ini. 

#15 Don’t Breathe


Don’t Breathe mempunyai setumpuk adegan yang memungkinkanmu berkeringat dingin, mengeluarkan sumpah serapah dan kesulitan menghela nafas lega lantaran intensitas tidak main-mainnya. Tanpa perlu diberi peringatan untuk “jangan bernafas”, kita pun sudah terlebih dahulu menahan nafas karena ya bagaimana mau bisa bernafas lha wong Don’t Breathe sedemikian mencekamnya. 

#14 Spotlight


Sekalipun kamu telah mengenal cukup baik pemberitaan yang menghebohkan Boston dan berbagai penjuru dunia ini yang menjadi dasar utama film, kenikmatan dalam menyantap Spotlight sama sekali tidak berkurang. Selama kurun durasi dua jam, film akan terus menerus mencengkram erat perhatianmu lewat pemaparan yang begitu padat, rapi, sekaligus dihantarkan dalam wujud investigasi yang seru, penuh penemuan mencengangkan, dan menghantam emosi. 

#13 Train to Busan 


Kita bisa berteriak-teriak “ayo lekas lari, lekas!” saat gerombolan zombie bersiap memangsa mereka, ikut diliputi amarah membara tatkala salah seorang penumpang egois berikut penumpang-penumpang hasutannya mengisolasi mereka, sampai merasakan ketidakrelaan teramat sangat ketika satu persatu mulai terinfeksi. Kemampuan melibatkan emosi inilah yang membuat atensi penonton terpancang sepanjang durasi Train to Busan

#12 A Monster Calls


Mengira tidak lebih dari sekadar kisah fantasi biasa mengenai petualangan seorang bocah bersama sesosok monster pohon, nyatanya ini drama ‘keji’ tentang pendewasaan dan berdamai dengan duka mendalam akibat kehilangan yang dimetaforakan ke dalam dongeng bervisualisasi menakjubkan. Bukan bagaimana Juan Antonio Bayona mempresentasikan keajaiban visual yang membuat A Monster Calls sulit terlupakan, melainkan ceritanya yang amat personal utamanya jika kamu pernah berada di situasi si tokoh utama: mencoba merelakan kepergian ibu yang dijemput malaikat maut. 

#11 Neerja


Didasarkan pada kisah nyata pembajakan pesawat yang menghadiahi seorang pramugari, Neerja Bhanot, gelar pahlawan kemanusiaan, Neerja dihantarkan dalam nada penceritaan yang memungkinkan penontonnya untuk mencengkram erat-erat kursi bioskop hampir sepanjang durasi. Mencekam. Dengan ruang gerak serba terbatas, sungguh mengagumkan intensitas film bisa dijaga stabil tanpa pernah sekalipun mengendur. Mengingat film ini soroti pula hubungan antar manusia, menontonnya seraya membawa tissue pun suatu keharusan. 

#10 Moana


Moana menunjukkan bahwa tontonan mengikat tidak melulu harus bersumber dari gagasan serba bombastis, malah seringkali kesederhanaan dengan eksekusi dan pengemasan yang tepat lebih mampu menghadirkan kejutan-kejutan menyenangkan. Pengalaman menonton Moana terasa mengasyikkan karena film ini dihidupkan oleh serentetan momen yang menimbulkan gelak tawa maupun perasaan bersemangat penonton, subteks perihal women empowerment, visualisasi menakjubkan, sumbangsih mengagumkan para pengisi suara, serta barisan nomor-nomor musikal mudah didendangkan yang susah dilupakan. 

#9 Ada Apa Dengan Cinta? 2


Penantian selama ratusan purnama untuk sekuel Ada Apa Dengan Cinta? terbayar memuaskan. Daya pikat hubungan percintaan Cinta dengan Rangga atau persahabatan Genk Cinta masih kuat terasa sekalipun kita telah terpisahkan dari mereka sepanjang belasan tahun. Jika ada dua kata paling pas untuk mendeskripsikan Ada Apa Dengan Cinta? 2, maka itu adalah “juarak!” dan “ngangenin” karena setelah menontonnya ada rasa rindu besar untuk ingin kembali menontonnya lagi, dan lagi. Total jenderal, saya menyaksikan film ini sebanyak enam kali sepanjang tahun 2016. 

#8 Our Times


Seorang cewek SMA tak populer naksir cowok ternama di sekolahnya padahal ada cowok lain yang tulus mencintainya. Klise? Banget. Tak terhitung sudah berapa kali plot semacam ini didaur ulang, meski hanya segelintir pula yang berhasil. Our Times merupakan bagian dari yang sedikit itu. Pesonanya telah memancar sangat kuat sedari mula, mengajak penonton bernostalgia dengan masa-masa ‘nista’ semasa duduk di bangku sekolah. Gesekan molekul cinta antar pemain meyakinkan, humornya tepat sasaran, romansanya bikin senyum-senyum gregetan, dan penempatan lagu temanya sangat efektif. 7 dari 10 teman perempuanku yang menonton film ini sukses dibikin kesengsem oleh karakter bernama Tai Yu. 

#7 Arrival


Karya terbaru dari sineas Denis Villeneuve, Arrival, ini bukanlah film fiksi ilmiah mengenai penyelamatan umat manusia dari serangan alien yang didalamnya bermuatan adegan-adegan eksplosif. Bukan. Alurnya cenderung berpilin yang meminta fokus penuh dari penontonnya. Saat kita sanggup memenuhi permintaan tersebut, mencuat kekaguman atas penyampaian cerdas pada kisah mengenai pentingnya membangun komunikasi, kemanusiaan, serta menentukan pilihan hidup yang terbentuk dari hasil interaksi mendalam bersama makhluk asing. Berkat sang sutradara dan performa subtil Amy Adams, pekerjaan sebagai ahli bahasa tampak sangat keren. 

#6 A Man Called Ove


Film asal Swedia ini sejatinya lucu, menengok pertentangan seorang tua pemarah bernama Ove dengan orang-orang di sekitarnya. Kita dibikin geli, gemas dan geleng-geleng kepala sendiri menyaksikan Ove yang sangat saklek. Lalu datang tetangga baru, menyusuplah cerita masa lalu si tokoh utama, yang menghadirkan kehangatan di hati pula rasa haru. Penonton disadarkan, cara jitu melumerkan kerasnya hati adalah membangun komunikasi, keterbukaan, dan ketulusan. A Man Called Ove bentuk bukti lain yang menguatkan pernyataan kritikus kenamaan Roger Ebert bahwa kebaikan seringkali lebih ampuh mengundang air mata ketimbang kesedihan. 

#5 Sing Street


Sekali ini mencoba memotret jiwa-jiwa usia belasan yang semangatnya meletup-letup, Sing Street adalah persembahan menawan lainnya dari seorang John Carney usai dua film melodius, Once dan Begin Again. Cecapan emosinya masih serupa, jenaka dan manis, dengan penambahan enerjik khusus untuk Sing Street. Deretan tembangnya yang bernafaskan nuansa 80-an mengikuti latar waktu film terdengar renyah di telinga dan sulit dihempaskan begitu saja dari benak sampai berhari-hari lamanya. Jika Arrival membuat linguist tampak cool, maka Sing Street memberi kesan amat baik pada anak band sehingga mungkin saja kamu tiba-tiba mengontak teman lama lalu mengajak mereka membentuk band usai menonton ini. 

#4 Eye in the Sky 


Menyaksikan perdebatan dalam Eye in the Sky yang hasil akhirnya terus menerus mengalami tarik ulur sepanjang durasi membawa kita melalui beberapa macam fase; tertawa lepas, teriak-teriak gemas, menitikkan air mata, sampai bertepuk tangan penuh kelegaan. Tanpa harus mengobral keberisikan medan peperangan, malah tak jarang senyap, film tetap mampu memunculkan teror sekaligus genjotan hebat pada adrenalin. Kapan coba kamu pernah merasakan gregetan setengah mati dengan keringat mengucur deras menyaksikan seseorang berjualan roti? Sensasi yang rasa-rasanya baru akan kamu peroleh untuk pertama kalinya di Eye in the Sky

#3 Room 



Mengambil pendekatan berbeda dalam menerjemahkan pesan kekuatan cinta seorang ibu kepada anaknya, Room memberi kehangatan di titik awal saat hubungan antara Ma dengan putranya, Jack, masih ‘normal’, lalu menghadirkan ketegangan begitu sebuah fakta terbeberkan, dan diakhiri emosi meletup-letup yang perlahan tapi pasti melembut ketika masing-masing mencoba beradaptasi ke ‘dunia baru’ mereka. Room membawa kita pada permainan emosi penuh hentakan yang tidak memungkinkan matamu tetap kering selama menontonnya. Adegan pertemuan kembali Ma dengan Jack ditengah-tengah keriuhan polisi masih menghantui sampai sekarang. 

#2 Your Name


Bagaimana jadinya saat film komedi tentang body swap ]dicampurkan dengan romansa, disaster movie, dan fiksi ilmiah? Memang terdengar amat penuh, namun Your Name berhasil meleburkannya mulus sehingga menjadi tontonan yang tersusun atas beragam emosi didalamnya dimana masing-masing mencuat untuk saling menguatkan alih-alih melemahkan. Kamu akan dibuat tertawa olehnya, lalu merasakan kecemasan, kemudian mendapatkan sensasi tegang, dan pada akhirnya dibikin menangis entah disebabkan haru atau keindahan filmnya. Meminjam istilah anak muda zaman sekarang, Your Name akan membuatmu baper. Inilah sebuah mahakarya dari seorang Makoto Shinkai dan saya berani memastikan bahwa pernyataan tersebut tidaklah hiperbolis. 

#1 La La Land


Dihantarkan secara gegap gempita pula manis-manis nyelekit, La La Land akan memukaumu melalui bagaimana Damien Chazelle mengkreasi setiap momen dalam film yang memiliki cita rasa indah pula intim, lalu memberikan kebahagiaan, dan melayangkan tusukan begitu penonton disadarkan bahwa realita tidaklah seindah mimpi. Ya, La La Land mempunyai jiwa di setiap hentak kaki, setiap alunan melodi, dan setiap untaian lirik yang menciptakan tawa, kekaguman, serta air mata. Sungguh sebuah film yang magis!

* La La Land memperoleh 14 nominasi di Oscars yang menempatkannya berdampingan dengan All About Eve dan Titanic sebagai film paling banyak meraih nominasi Oscars sepanjang sejarah. 

REVIEW : BALLERINA


“Never give up on your dreams.” 

Plot mengenai anak muda yang berkelana ke kota besar untuk merealisasikan mimpi-mimpinya sejatinya telah berulang kali dibongkar pasang oleh para sineas dunia. Bahkan baru beberapa hari lalu kita menjumpai penceritaan segendang sepenarian dalam film musikal jempolan, La La Land. Bagi mereka yang mudah bersikap sinis, tentu akan melabelinya dengan “klise” atau “mudah ditebak”. Tapi seperti kita buktikan bersama melalui La La Land, tak peduli seberapa familiar kisah yang kamu bagikan ke khalayak ramai, eksekusi dari sang sutradara lah penentu segalanya. Di tangan Damien Chazelle, film beraroma klise ini berhasil memberi cecapan rasa segar pula magis bagi penontonnya. Belajar dari pengalaman tersebut yang menunjukkan bahwasanya gagasan sederhana maupun usang tidak selalu berkonotasi buruk, saya membawa sikap positif saat memutuskan menyimak film animasi 3D produksi kerjasama antara Kanada dengan Prancis, Ballerina (akan dipasarkan menggunakan judul Leap! di Amerika Utara), yang memiliki jalinan kisah yang senada dengan La La Land. Hasilnya, kepercayaan saya tak dikhianati. Malahan Ballerina lebih menyenangkan dan membahagiakan melebihi ekspektasi. 

Karakter utama dari Ballerina adalah seorang perempuan belia yatim piatu bernama Félicie (Elle Fanning) yang telah bermimpi menjadi penari sedari masih kecil. Terbelenggu oleh peraturan ketat panti asuhan yang juga mendikte pemikirannya kalau mimpi bukanlah realita, Félicie kesulitan mewujudkan mimpinya. Sampai suatu hari segalanya berubah usai sahabatnya, Victor (Dane DeHaan), yang bercita-cita menjadi penemu membawanya kabur dari panti dan bertolak ke Paris. Tidak mempunyai kerabat maupun tujuan jelas, keduanya sempat terkatung-katung lalu berpisah jalan. Tapi mereka tidak menyerah begitu saja dan bermodalkan kenekatan, Félicie mengikuti audisi dalam pertunjukkan The Nutcracker yang digelar Paris Opera Ballet menggunakan identitas Camille Le Haut (Maddie Ziegler) yang dicurinya. Tanpa adanya dasar tari balet, Félicie jelas kelimpungan menjalani audisi ini hingga Odette (Carly Rae Jepsen), penjaga misterius di sekolah tari terkemuka tersebut, memutuskan mengajarinya beberapa teknik dasar yang kudu dikuasai para balerina. Bukan perkara mudah bagi Félicie untuk bisa mencapai garis akhir. Disamping balet tergolong sulit dipelajari, Camille Le Haut tentu tidak begitu saja tinggal diam mengetahui identitasnya dicuri. 

Dari permukaan, Ballerina memang tak ubahnya film animasi yang dipasarkan untuk perempuan cilik menilik sorotannya pada dunia tari balet. Tapi percayalah, Ballerina bukan sekadar film yang diproyeksikan ke pemirsa berusia dan bergender tertentu sehingga mengalienasi penonton dewasa yang menemani penonton cilik ke bioskop atau mereka yang memilih Ballerina sebagai tontonan karena alasan tertentu. Duo sutradara Eric Summer dan Eric Warin mengupayakan agar seluruh anggota keluarga dapat menikmati keriaan yang dihadirkan oleh Ballerina. Bahkan pesan inspiratif yang diusungnya yakni “jangan pernah menyerah dalam mewujudkan mimpimu” maupun “jalani apapun di kehidupan ini dengan menggunakan hati” bersifat universal yang pastinya akan mengena bagi siapapun yang mempunyai angan, harapan, serta impian. Ya, pada dasarnya ini adalah film untuk para pemimpi. Seperti versi animasi dari La La Land hanya minus momen-momen musikal, tidak terlalu mengakrabi elemen romansanya, dan meninggikan unsur gegap gempita berbalut petualangannya demi menambat perhatian penonton belia. 

Dalam perjalanannya, Ballerina agak kikuk mula-mula. Untung desain animasinya yang ciamik pula detil khususnya dalam penggambaran setting tempat, telah mencuri perhatian sedari awal. Dengan babak perkenalan yang teramat singkat, membutuhkan waktu untuk bisa betul-betul masuk ke dalam dunia Félicie yang berlatar tahun 1880-an. Ketertarikan mulai timbul begitu si karakter utama menjalani hari-hari penuh ujian di Paris Opera Ballet. Dari sini kita mulai mengenal Félicie. Perlahan tapi pasti, Ballerina mulai menguarkan charm-nya terlebih saat Odette turun tangan memberikan bantuannya pada Félicie. Diiringi tembang-tembang pop kekinian yang renyah di telinga dan didukung sumbangan bernyawa dari para pengisi suara – kredit khusus bagi Carly Rae Jepsen yang menyimpan kehangatan dibalik sikap dinginnya dan Maddie Ziegler yang sungguh menjengkelkan – Ballerina pun enak dinikmati. Terlebih lagi proses Félicie dalam menggapai mimpinya dijlentrehkan penuh humor menggelitik yang bersumber dari setiap tokoh (interesting, huh?), guliran konflik mengikat, dan menghangatkan hati. Jika ada keluhan berarti, maka itu terkait cara si pembuat film mengakhiri Ballerina yang cenderung tergesa-gesa dan kurang menghentak. Selebihnya, ini adalah tontonan keluarga yang menyenangkan.

Exceeds Expectations (3,5)

REVIEW : ISTIRAHATLAH KATA-KATA


“Ternyata, jadi buron itu jauh lebih menakutkan daripada menghadapi sekompi kacang ijo bersenapan lengkap yang membubarkan demonstrasi.” 

Wiji Thukul, atau bernama asli Widji Widodo, dikenal sebagai penyair yang kerap melontarkan perlawanan terhadap rezim diktatorial Orde Baru melalui bait-bait sajaknya yang tanpa tedeng aling-aling nan beringas. Terlibat sangat aktif dalam beragam organisasi yang vokal menyuarakan pemberontakan terhadap penguasa lalim, tak pelak menyeret Wiji untuk terus menerus berurusan dengan aparat keamanan. Bahkan, namanya tercatut dalam daftar aktivis yang dianggap bertanggungjawab atas meletusnya Kerusuhan 27 Juli 1996 lantaran sang penyair tergabung di Partai Rakyat Demokratik (PRD). Demi menghindari cengkraman aparat, Widji pun terpaksa meninggalkan keluarga beserta kediamannya di Solo dan berpindah-pindah tempat persembunyian dari satu daerah ke daerah lain dengan sesekali memperbaharui identitas palsunya. Pelariannya tersebut turut membawa Wiji ke Pontianak dimana dia mendiami kota ini selama delapan bulan lamanya dan kepingan kisah pelariannya di kota ini lantas didokumentasikan oleh Yosep Anggi Noen melalui film panjang keduanya bertajuk Istirahatlah Kata-Kata

Mengusung subjek nyata yang mempunyai kontribusi nyata atas peralihan peta politik dengan tergulingnya rezim Soeharto meski berdampak pada keberadaannya yang tak jelas rimbanya sampai sekarang, sang sutradara tidak memilih untuk menggiring Istirahatlah Kata-Kata (atau Solo, Solitude dalam judul internasional) ke ranah film biopik sarat akan glorifikasi dan memposisikan Wiji Thukul (Gunawan Maryanto) bak pahlawan. Tidak. Sebaliknya, ini hanyalah film drama kemanusiaan dengan ruang lingkup kecil yang mempergunakan sosok Wiji semacam studi kasus untuk menunjukkan bahwa para penduduk negeri ini pernah berada dalam satu masa terbungkam rapat-rapat hak mereka dalam menyuarakan pendapat. Lantaran ingin pula menunjukkan bahwasanya Wiji Thukul bukanlah sosok agung atau dalam artian, tidak berbeda dengan masyarakat kelas bawah kebanyakan – hanya bedanya dia mempunyai kemampuan mumpuni dalam mengolah kata menjadi penuh rasa dan makna – yang juga dihantui oleh rasa takut diuber aparat, itulah mengapa Yosep Anggi Noen sekadar mencuplik fase tertentu dalam hidup Wiji Thukul yang dianggapnya cukup merepresentasikan keinginannya dalam menggambarkan Wiji sekaligus mempunyai impak terhadap keputusan besar sang subjek. 

Fase terpilih adalah ketika Wiji menjejakkan kaki di Pontianak. Secara berkala dia berpindah hunian kepunyaan orang-orang yang berbeda, seperti rumah dari seorang dosen bernama Thomas (Dhafi Yunan) dan aktivis asal Medan, Martin (Eduwart Boang Manalu), yang tinggal bersama istrinya, Ida (Melanie Subono). Disamping soroti hari-hari penuh kesunyian mencekam yang dilalui oleh Wiji, Istirahatlah Kata-Kata juga memberi kesempatan bagi penonton untuk melongok sekejap ke situasi di kampung halaman Wiji. Rumahnya mendapat pengawasan ketat dari intel, bahkan istrinya, Sipon (Marissa Anita) dan anaknya sempat pula diinterogasi guna memperoleh petunjuk mengenai keberadaan Wiji. Tapi Anggi – begitu sapaan akrab sang sutradara merangkap penulis naskah – tidak pernah lebih jauh dari itu. Dia memang enggan menelanjangi masa lalu maupun masa depan penuh tanda tanya dari si tokoh utama, penyampaian informasi mengenai situasi politik yang menyelubungi film pun sebatas didapat melalui narasi teks di awal dan akhir serta siaran berita di radio. Perhatian utama dari Istirahatlah Kata-Kata adalah bagaimana sesosok wong cilik terpaksa terkorbankan kebebasannya karena keberaniannya menggugat sikap-sikap keliru pemerintah. Dalam cakupan lebih luas, ini adalah potret masyarakat kelas bawah yang tertindas.

Dalam memvisualisasikan keseharian Wiji, atau saat sesekali diajak menengok Sipon, Anggi memilih untuk lebih sering mengistirahatkan kata-kata dan membiarkan gambar-gambar indahnya berbicara dengan sendirinya. Kadangkala terdengar iringan musik maupun suara lirih nan menyayat-nyayat hati dari Gunawan Maryanto yang mengumandangkan sajak-sajak Wiji Thukul, namun lebih sering kesunyian yang menghinggapi. Bukan kesunyian menenangkan, melainkan kesunyian menggelisahkan yang didalamnya sarat akan misteri. Andaikata aparat mengetahui posisi persembunyian Wiji, bukankah mereka akan melakukan penyergapan dalam diam ketimbang penuh kegaduhan yang justru menyadarkan si buron mengenai keberadaan mereka? Dihantui oleh paranoia semacam ini, Wiji pun kesulitan memejamkan mata di malam hari karena kesunyian bukan juga pertanda bagus baginya. Kesunyian bisa berarti memang “tidak ada apa-apa” atau justru “ada apa-apa tapi terselubung”. Dikomando oleh performa jempolan Gunawan Maryanto yang air muka dan gesturnya senantiasa menyiratkan rasa gusar, ketidaknyamanan pun mengusik penonton habis-habisan dalam beberapa titik. Jangan-jangan, sebetulnya ada intel tengah mengawasi gerak-gerik Wiji kala dia makan, membuat rencana pelarian, menciptakan puisi-puisi baru, atau sedang tidur... 

Itu baru gangguan secara implisit. Istirahatlah Kata-Kata juga sempat menggedor jantung secara nyata ketika Wiji dan Thomas berpapasan dengan tentara gadungan yang mengulik identitasnya atau saat seorang tentara betulan melibatkannya dalam obrolan basa-basi agak-agak nyerempet bahaya di sebuah tempat cukur. Tak terelakkan, keringat dingin sempat mengucur deras. Ikut merasakan kecemasan maksimal yang menggelayuti Wiji. Bagaimana jika salah satu dari perjumpaan ini merupakan alasan berakhirnya pelariannya? Nuansa cekam yang menghiasi Istirahatlah Kata-Kata di paruh awal, sedikit demi sedikit tersisihkan menyusul tumbuh laginya keberanian yang sempat menyusut pada diri Wiji dan kerinduan tak tertahankan terhadap Sipon. Anggi mulai menyusupinya dengan candaan-candaan seperti tampak dalam obrolan warung kopi di bibir sungai Kapuas lalu sentilannya pada 'keusilan' PLN, dan menginjeksikan sisi manis namun getir melalui perjumpaan kembali Wiji dengan Sipon yang setapak demi setapak berkembang lebih dramatis hingga sampai pada klimaks menghantam emosi yang bukan semata tonjolkan lakonan bagus dari Gunawan Maryanto tetapi juga hebatnya penampilan Marissa Anita. Pada akhirnya, tanpa harus banyak berkata-kata, hanya dalam kesunyiannya, Istirahatlah Kata-Kata mampu pancarkan rasa cekam dan goreskan rasa pilu yang cukup dalam.

Outstanding (4/5)

REVIEW : XXX: RETURN OF XANDER CAGE


“X looks out for his own.” 

Menengok resepsi mengenaskan yang diterima oleh XXX: State of Union baik dari kritikus maupun penonton, cukup mengherankan sebetulnya mengapa seri XXX (dibaca Triple X) masih berlanjut. Telah dicanangkan sejak satu dekade silam, agak-agaknya pihak studio masih menaruh harapan sekaligus melihat potensi XXX dapat dikembangkan sebagai franchise seperti dua inspirasinya, James Bond dan The Fast and the Furious. Dengan lahan jamahannya berada di ranah spionase yang menyimpan setumpuk materi menarik, tentu kesempatan tak disia-siakan begitu saja. Demi mewujudkan rencana jangka panjang tersebut, satu hal musti dilakukan adalah memperbaiki kesalahan besar lantaran menendang Vin Diesel dari posisi pemeran utama. Vin Diesel yang membintangi seri awal namun absen di jilid kedua setelah karakternya diceritakan tewas dan posisinya digantikan Ice Cube (yang tidak berkarisma sama sekali!) pun kembali direkrut. Sosok “segera menjadi ikonik” Xander Cage dibangkitkan dari kubur, lalu diminta memimpin pergerakan kisah seperti seharusnya dilakukan pula oleh film kedua. 

Bertajuk XXX: Return of Xander Cage, seri ketiga yang dikomandoi D.J. Caruso (Eagle Eye, I Am Number Four) memulai pengisahannya usai raibnya sebuah senjata mematikan bernama Pandora’s Box yang dapat mengontrol penuh satelit-satelit di dunia dan menyebabkan kehancuran luar biasa. Diketahui, pelakunya adalah Xiang (Donnie Yen) bersama komplotannya yang terdiri atas Serena (Deepika Padukone), Talon (Tony Jaa), serta Hawk (Michael Bisping). Demi melacak keberadaan empat sekawan ini, lalu meringkus mereka, dan kemudian mengamankan Pandora’s Box, pihak NSA yang sekali ini mengamanatkan jalannya operasi pada Jane Marke (Toni Collette) paska tewasnya Gibbons (Samuel L. Jackson) lantas memutuskan untuk mengontak Xander Cage (Vin Diesel) yang sejatinya telah bertahun-tahun lamanya hidup dalam pengasingan. Cage pun tak bekerja sendirian. Agar perburuan berjalan mulus, dia merekrut tiga agen lain yang tergabung dalam program XXX, yakni Adele sang penembak jitu (Ruby Rose), Nicks sang DJ karismatik (Kris Wu), dan Tennyson sang pengemudi gila (Rory McCann), untuk membantunya. 

Jika kamu telah mengikuti XXX sedari film pertama – tak terhitung udah berapa kali tayang di stasiun televisi swasta – tentu paham betul bahwa film ini memang tak pernah menganggap dirinya serius. Dalam artian, sengaja dikreasi sebagai tontonan seru-seruan semata yang bisa dinikmati sambil ngunyah cemilan plus nyeruput minuman bersoda tanpa harus ribet memikirkan jalannya plot. Kurang lebih, semacam James Bond bercita rasa Fast and Furious lah. XXX: Return of Xander Cage pun masih menerapkan formula serupa dengan pendahulunya. Hempaskan saja plotnya dari pikiranmu daripada kepala malah pening saking menggelikannya karena keberadaannya pun hanya agar filmnya bisa berjalan. Cara untuk menikmati XXX: Return of Xander Cage adalah fokus terhadap bagaimana si pembuat film mempresentasikan gelaran laganya. Meski tingkat keberhasilannya masih dibawah jilid pertama, namun jelas jauh lebih menghibur dibanding seri kedua yang lebih banyak mendemnya. Keseruan instalmen ini telah terbaca sedari pengenalan karakter-karakter barunya (plus Xander Cage) yang tengah menunaikan misi masing-masing di menit-menit awal. 

Sayangnya, Caruso agak keteteran menjaga intensitas film untuk tetap stabil sampai penghujung durasi. Usai Xander mengumpulkan timnya, daya pikat XXX: Return of Xander Cage mulai mengendur dengan rentetan laganya kurang bisa memunculkan reaksi takjub lantaran sebagian besar diantaranya pernah kita saksikan di film lain. Disamping itu, lantaran penuh sesaknya sektor akting yang cenderung menonjolkan karisma Vin Diesel plus pesona Deepika Padukone, beberapa pemain pun dikorbankan kesempatannya buat unjuk gigi seperti Tony Jaa, Kris Wu, Michael Bisping, dan Rory McCann yang dihadirkan sebatas untuk ‘tim hore’ biar filmnya tak berkesan sepi. Duh. Tapi tenang saja, melemasnya film di pertengahan tak bertahan lama karena selepas dalang sesungguhnya atas segala kekacauan terendus, geberan momen-momen konyol nan mengasyikkan dalam XXX: Return of Xander Cage lantas dimaksimalkan levelnya. Memang sih tidak pernah sampai pada tahapan inovatif yang bikin rahang jatuh, tapi “bertarung di tengah-tengah padatnya arus lalu lintas” lalu “berantem sambil melayang” rasa-rasanya sudah cukup untuk membuat para pencari spektakel gegap gempita tersenyum bahagia kala melangkahkan kaki ke luar bioskop.

Note : Untuk dapatkan pengalaman nonton maksimal, disarankan untuk menyaksikannya dalam format 4DX 3D. 

Acceptable (3/5)

REVIEW : PATRIOTS DAY


“Welcome to Watertown, motherfuckers!” 

Hanya berselang tiga bulan sejak dilepasnya Deepwater Horizon – sebuah film berbasis peristiwa nyata mengenai kebakaran hebat pengeboran kilang minyak di lepas pantai – yang menandai kolaborasi kedua antara Peter Berg dengan ‘male muse’-nya, Mark Wahlberg, seusai Lone Survivor (2013) hadir film lain yang juga dicuplik dari kejadian penghias tajuk utama media-media Amerika Serikat beberapa waktu lampau yang sekali lagi (!) mempertemukan Berg bersama Wahlberg yakni Patriots Day. Didasarkan buku nonfiksi gubahan Casey Sherman dan Chris Wedge, Boston Strong, serta beberapa materi yang pernah ditayangkan oleh program televisi 60 Minutes, Patriots Day soroti tragedi pengeboman di Boston kala helatan tahunan Maraton Boston pada 2013 silam. Berbeda halnya dengan baik Lone Survivor yang luar biasa mencekam maupun Deepwater Horizon yang separuh awalnya cenderung lempeng jaya, Wahlberg tidak memerankan karakter betulan dalam Patriots Day. Sosok Tommy Saunders yang dimainkannya hanyalah tokoh bentukan untuk film yang terinspirasi dari sejumlah petugas-petugas kepolisian Boston. Keberadaan Tommy Saunders sendiri dimanfaatkan Berg sebagai ‘mata’ bagi penonton sekaligus demi menggenjot efek dramatis. 

Melalui Saunders, kita ikut merasakan, mengamati, serta menyelidiki kekacauan yang disebabkan oleh peristiwa pengeboman yang meminta tumbal tiga jiwa tersebut. Keterlibatan lebih jauh Saunders dalam menuntaskan kasus Tragedi Boston dimulai kala dirinya diminta bekerja sama dengan Agen Khusus FBI, Richard DesLauriers (Kevin Bacon), lantaran dianggap mengenal baik setiap sudut kota Boston. Berkat ketajaman daya ingatnya akan keberadaan CCTV, wajah kedua pelaku dapat teridentifikasi secara cepat dan identitas mereka, Tamerlan (Themo Melikidze) serta Dzhokhar (Alex Wolff), pun mengemuka beberapa saat setelahnya. Telah memiliki modal lebih dari cukup untuk melakukan penangkapan, sayangnya tidak semudah itu melacak keberadaan dua bersaudara tersebut. Tamerlan dan Dzhokhar yang sangat aktif mengikuti perkembangan berita lantas bergerak begitu pihak kepolisian berhasil mengendus identitas mereka. Ditengah-tengah pelarian yang melahirkan gesekan satu sama lain, keduanya berbuat blunder setelah memutuskan membajak mobil seorang mahasiswa. 

Bagi penonton yang getol mengikuti perkembangan berita pengeboman Boston – dari liputan di TKP sampai perburuan terhadap tersangka – yang ramai dibahas tiada habis-habisnya di beragam jenis media hampir empat tahun lalu, Patriots Day boleh jadi tidak memberikan informasi atau perspektif baru karena apa yang dipaparkannya merupakan rahasia umum. Bagaimana prosesnya, lalu bagaimana ujungnya telah dikupas secara menyeluruh oleh media. Daya tarik tersisa terletak pada cara Berg mepresentasikannya ke medium film. Baik gayanya merekonstruksi momen-momen memburu kedua tersangka, penekannya pada sisi humanis, sampai keleluasaannya untuk hadirkan suasana mencekam di TKP yang pastinya luput di pemberitaan sarat sensor. Dibumbui dengan dramatisasi disana sini, tentu masih ada sensasi berbeda kala menyimak Patriots Day sekalipun materinya amat familiar. Apalagi, kita tidak bisa melihat tubuh bersimbah darah, luka-luka menganga, sampai potongan-potongan tubuh menghiasi layar secara eksplisit saat kamera menjumpai korban-korban ledakan bom di pemberitaan televisi, bukan? Ya, muatan kekerasan yang eksplisit dalam Patriots Day memang cukup mengganggu utamanya jika kamu mudah ngilu atau mual, tapi tak bisa disangkal, ini menambah efek cekam untuk filmnya itu sendiri. 

Efek cekam akan semakin dirasa buat penonton yang tidak tahu menahu perihal pengeboman Boston atau sebatas tahu permukaannya saja. Dijlentrehkan menggunakan pendekatan prosedural, penonton mengikuti tahap demi tahap penyusunan strategi dari pihak kepolisian guna menangkap para pelaku dengan sesekali kita melihat dari kacamata Dzhokhar yang mulai blingsatan dalam pelarian. Sedari meledaknya bom, intensitas Patriots Day memang merapat dan hampir tidak memberikan ruang bagi penonton untuk sekadar menghembuskan nafas lega. Wahlberg bermain bagus, namun bintang sesungguhnya dari Patriots Day adalah Alex Wolff yang mempertemukan amarah dan ketakutan dalam satu tempat sehingga menghindarkan penggambaran karikatural dari sosok villain. Memperoleh sokongan mantap dari duo Trent Reznor-Atticus Ross dengan iringan musik menghentak-hentaknya plus gerak kamera tangkas nan dinamis, ketegangan Patriots Day terjaga stabil sampai klimaks mendebarkannya. Selepas meredanya ‘badai’ – mengikuti tradisi dari dua film kisah nyata Berg yang lain – adalah kesempatan memberi penghormatan untuk para pahlawan beserta korban yang (sekali lagi) tergolong efektif dalam menyentuh hati-hati sensitif. Menarik.

Exceeds Expectations (3,5/5)

REVIEW : LA LA LAND


“I'm letting life hit me until it gets tired. Then I'll hit back. It's a classic rope-a-dope.” 

Berkat Whiplash (2014), sebuah film musik tentang mimpi dari seorang penggebuk drum aliran Jazz yang intensitasnya amat kencang bak film laga, sutradara muda Damien Chazelle mendapat sorotan banyak pihak. Mumpung tengah menjadi bahan obrolan hangat, dia pun tidak menunggu waktu lama untuk melepas karya berikutnya – meski realitanya, butuh enam tahun buat meyakinkan para pendana dan rumah produksi! – yang masih berhubungan dengan musik Jazz dan tidak jauh-jauh dari pengalaman pribadi sang sutradara. Jika Whiplash terinspirasi dari gurunya yang luar biasa galak semasa menimba ilmu musik, maka karya terbarunya yang bertajuk La La Land diilhami oleh jatuh bangunnya selama merintis karir di Hollywood. Dalam La La Land, Chazelle mencoba lebih ‘besar’ dengan menggunakan pendekatan musikal yang secara khusus memberikan penghormatan terhadap film-film musikal era 50’an semacam Singin’ in the Rain (1952) atau The Band Wagon (1953) sekaligus merekrut bintang-bintang Hollywood kelas A seperti Ryan Gosling dan Emma Stone guna ditempatkan di lini utama. Hmmm... belum apa-apa sudah terdengar sangat menggiurkan, bukan? Dan kenyataannya, memang semenggiurkan apa yang tertuang di atas kertas. La La Land mempunyai jiwa di setiap hentak kaki, setiap alunan melodi, dan setiap untaian lirik yang menciptakan tawa, kekaguman, serta air mata. Sungguh magis!   

La La Land memulai hentakannya dengan meriah melalui nomor musikal “Another Day of Sun” yang menampilkan tarian dan nyanyian di tengah-tengah macetnya jalan bebas hambatan Los Angeles. Ujung dari adegan ini mempertemukan dua karakter utama film, Sebastian Wilder (Ryan Gosling) dan Mia Dolan (Emma Stone), untuk pertama kalinya meski bukan dalam situasi menyenangkan. Selama kurang lebih 30 menit berikutnya, keduanya tidak lagi saling berjumpa, tidak ada interaksi dalam bentuk apapun. Sebastian diceritakan sebagai musisi Jazz yang kelimpungan mencari sumber penghasilan tetap berdasar keahliannya lantaran idealismenya untuk memainkan musik Jazz tradisional seringkali berseberangan dengan visi pemilik klub, sedangkan Mia yang sehari-harinya memperoleh pemasukan sebagai barista terus berjibaku guna mendapatkan panggilan audisi demi mewujudkan mimpinya menjadi aktris. Mereka akhirnya betul-betul berjumpa kala keduanya menghadiri sebuah pesta. Berjalan bersama untuk beberapa waktu, baik Sebastian maupun Mia menyadari ada ketertarikan satu sama lain terlebih keduanya dipersatukan oleh satu hal: passion. Asmara pun merekah diantara mereka, hubungan penuh kemesraan terbentuk, lalu tiba-tiba ujian menghadang kala mimpi mereka saling berbenturan. 

Berkaca pada sinopsis tersebut, tampak jelas La La Land tak menawarkan guliran pengisahan yang membelalakkan mata. Sebatas menghidupkan premis sederhana mengenai kisah kasih dua sejoli yang diperjumpakan oleh kesamaan nasib. Namun jangan biarkan kesederhanaan ini mengecohmu karena La La Land tidaklah sesederhana itu utamanya jika kita membicarakan soal bagaimana Damien Chazelle mengatur konsep dari setiap jengkal film ini. Mengkreasi elemen musikalnya. Tengok saja nomor pembukanya yang enerjik nan ambisius dimana kurang lebih terdapat 100 penari berlenggak lenggok kesana kemari di tengah padatnya jalan tol. So much fun! Keputusan jitu menempatkan nomor ini di permulaan film karena terbilang sangat efektif untuk membangkitkan mood penonton dalam mengetahui keriaan serta keintiman seperti apa yang ditawarkan si pembuat film selama sisa durasi. Selepasnya, tidak ada lagi tembang heboh seperti ini – paling mendekati adalah “Someone in the Crowd” – lantaran mengikuti laju pengisahan yang kian intim, syahdu, pula merobek hati. Keberadaan lagu dan musik hasil gubahan Justin Hurwitz sendiri bukan sekadar pemeriah suasana melainkan dimanfaatkan betul oleh Chazelle sebagai medium bercerita. 

Ketika rentetan dialog dianggapnya tidak cukup untuk mengungkapkan suatu maksud, musik adalah solusi terbaiknya. Itulah mengapa ada emosi menggelegak yang bisa dirasakan di dalam tiap tembang dan tiap melodi yang mengiringi La La Land, seperti “A Lovely Night”, “City of Stars”, dan “Audition (The Fools Who Dream)”, yang rasa-rasanya akan mengendap lama di benakmu. Musik yang berbicara bukanlah satu-satunya modal Chazelle untuk memberikan kehidupan pada La La Land. Dia beruntung mempunyai tim solid di setiap departemen. Dari pengambilan berikut penyuntingan gambar yang menguarkan nuansa jadul ala film musikal era 50-an, koreografi tari oleh Mandy Moore yang menawarkan beberapa ragam (ada tap, ballroom, hingga waltz) dengan setiap hentakannya berbalut rasa sehingga tanpa perlu adanya pendeskripsian panjang lebar kita telah dapat memahami perasaan dua manusia yang tengah dimabuk cinta ini, sampai tak kalah penting pula, pemain-pemain yang handal menerjemahkan emosi melalui gestur maupun air muka. Pemain dalam konteks ini tentu saja adalah Ryan Gosling bersama Emma Stone. Mereka tampil simpatik saat terpisahkan, sementara ketika berduaan, mesranya tiada ampun sampai-sampai burung-burung cinta pun dibuat iri olehnya. Lihat saat mereka saling lempar dialog, saat mereka menari bersama, saat mereka saling pandang, ughhh... greget!

Karisma kuat Gosling dan kecantikan paripurna Stone merupakan kombinasi sempurna guna menjerat atensi sehingga penonton pun tahu-tahu telah terhanyut pada jalinan kisah percintaan mereka. Just like magic. Ada semacam kebahagiaan tersendiri menyaksikan Sebastian menemukan Mia (begitu juga sebaliknya) karena kita mengetahui bahwa mereka akan saling menguatkan, akan saling melengkapi satu sama lain, lantaran mempunyai kesamaan pada tujuan, harapan, dan mimpi. Dari titik ini, penonton pun lantas disadarkan sejatinya La La Land bukan sekadar menjual dongeng manis semata mengenai kisah percintaan dua insan manusia yang dipertautkan oleh passion karena lebih dari itu, ini merupakan selebrasi bagi mereka yang berani bermimpi dan berani mewujudkannya sekalipun memahami betul ada harga yang harus dibayar mahal. Dihantarkan secara gegap gempita pula manis-manis nyelekit, La La Land akan membuatmu terpukau oleh bagaimana Chazelle mengkreasi setiap momen dalam film yang memiliki cita rasa megah, lalu merasakan kebahagiaan, dan pada akhirnya tertusuk begitu menyadari bahwa realita tidaklah seindah mimpi. Tidaklah semembahagiakan film-film musikal Hollywood. Aach, seandainya saja....

Outstanding (4,5/5)