Archive for December 2016

REVIEW : CEK TOKO SEBELAH


"Nggak usah janji dulu kalau nggak yakin bisa menepati."

Dalam Cek Toko Sebelah, kita diperkenalkan kepada seorang pemilik toko kelontong bernama Koh Afuk (Chew Kin Wah). Memasuki usia senja yang menyebabkan dirinya sering sakit-sakitan, Koh Afuk berniat mewariskan tokonya ke putra bungsunya, Erwin (Ernest Prakasa). Mendengar keputusan ini, si sulung, Yohan (Dion Wiyoko), tentu naik pitam karena merasa dilangkahi terlebih lagi dia dan istrinya, Ayu (Adinia Wirasti), selama ini telah banyak mendedikasikan waktu mereka untuk merawat Koh Afuk. Bukannya tanpa alasan Koh Afuk lebih memilih Erwin ketimbang Yohan sebagai penerus kepemilikan toko. Masa lampau si sulung yang carut marut serta sifat cenderung temperamentalnya menyebabkan sang ayah sulit mempercayakan bisnis keluarga ke Yohan. Satu kalimat berbunyi, “mengurus hidup kamu sendiri saja belum bener, bagaimana kamu mengurus karyawan-karyawan toko?,” bentuk penegasan keputusan Koh Afuk. Di lain pihak, Erwin yang memperoleh kepercayaan justru mengalami kebimbangan. Karirnya tengah meroket dan kekasihnya, Natalie (Gisella Anastasia), terang-terangan menunjukkan keberatan menyusul kebersediaan Erwin untuk menjajal mengurus toko selama sebulan. Tak bisa terelakkan lagi, konflik dalam keluarga kecil ini yang sejatinya telah tersulut sedari bertahun-tahun silam pun akhirnya meledak juga. 

Cek Toko Sebelah merupakan bukti kematangan Ernest Prakasa sebagai seorang sineas. Dia menunjukkan bahwa langkah awalnya yang sangat meyakinkan dalam Ngenest – membuahkan dia banyak trofi dari beragam ajang penghargaan film – bukan semata-mata keberuntungan pemula. Seperti halnya film debutannya, laju pengisahan dalam Cek Toko Sebelah pun dialirkannya secara lancar, gesit, pula dinamis sehingga tak mempersilahkan kejenuhan menyergap penonton barang sedetik pun. Perpaduan antara momen komedik dengan dramatiknya melebur mulus dengan masing-masing berhasil hadir sama kuatnya. Oleh karena itu, ketika kamu akhirnya memutuskan untuk menonton film ini di bioskop, jangan lupa membawa persediaan tissue karena Cek Toko Sebelah akan membuat pelupuk matamu basah berulang-ulang kali sepanjang durasinya mengalun. Bukan semata-mata air mata haru berkat kehangatan plotnya yang menyinggung soal betapa berharganya sebuah keluarga, tetapi juga air mata akibat terlalu banyak tertawa lantaran rentetan humor yang dilontarkannya bekerja sangat efektif. Ada lebih banyak momen-momen dimana bom kelakar berhasil diledakkan sempurna yang menghasilkan derai-derai tawa berkepanjangan ketimbang berakhir melempem sampai terdengar bunyi “krik krik” teramat jelas dari kebun sebelah. 

Pendayagunaan rekan-rekan komika untuk memanggul pilar-pilar komedi mula-mula memang bikin hati cemas mengingat formasinya terhitung besar. Apa mungkin tidak akan saling tumpang tindih atau malah membuat filmnya menjadi terlalu konyol dan berdampak ke mengaburnya fokus penceritaan? Lagi-lagi kelewat mendeskreditkan kapabilitas Ernest, karena kenyataannya, bagian komedi mampu berjalan semestinya tanpa pernah mendistraksi elemen lain dalam film. Memang sih saya berharap ada beberapa bagian lawak yang dipangkas demi memberi ruang lebih bagi tumbuh berkembangnya momen emosional termasuk menggali lebih dalam satu dua karakter inti, namun guyonan-guyonan yang dikedepankan Cek Toko Sebelah memiliki level kocak terhitung tinggi sampai-sampai memupuskan keluhan lebih lanjut. Ya, ketepatan mengatur kemunculan guyonan (karena komedi juga soal timing yang pas!), beragamnya materi kelakar yang dilemparkan dari sesederhana ledek meledek, lalu sesekali bermain-main dengan isu seperti pelecehan seksual hingga menggunakan referensi (ehem, Keluarga Cemara?), serta pemilihan pelaku sesuai dengan kebutuhan adalah kunci dari bernyawanya elemen komedi disini. Sulit untuk tidak terpingkal-pingkal setiap kali Dodit Mulyanto, Adjis Doaibu, Awwe, Yusril Fahriza, sampai paling juara hebohnya, Asri Welas, menampakkan diri di layar. Mereka sangat mencuri perhatian di setiap kemunculan masing-masing. 

Yang kemudian membuat Cek Toko Sebelah kian memikat adalah kemahiran Ernest mengorkestrasi sektor drama. Dibanding Ngenest, Cek Toko Sebelah memang mempunyai muatan drama lebih pekat mengingat lahan konfliknya berkisar pada keluarga. Penonton telah diberi aba-aba sedari awal seperti adegan Yohan meminjam uang ke Koh Afuk atau adegan makan bersama yang berlangsung dingin bahwasanya laju film tidak akan sepenuhnya hura-hura belaka. Ini menarik. Dengan umpan telah dilemparkan sejak menit-menit pertama, penonton pun tak kelabakan bingung kala masinis lantas membelokkan kereta ke arah lain. Apabila kamu memendam keraguan akan sulit terkoneksi ke tuturan kisah yang digulirkan oleh Ernest karena berkutat di persoalan keluarga keturunan Tionghoa, tak perlu risau. Pada dasarnya film ini mengapungkan konflik yang sifatnya universal sekaligus personal bagi sebagian besar penonton. Coba ingat-ingat lagi, pernahkah kita bertikai dengan orang tua? Pernahkah kita merasa telah berbuat apapun untuk orang tua tapi kemudian tak dianggap? Pernahkah kita mengiyakan permintaan orang tua semata-mata demi tidak membuat hati mereka kecewa meski itu berarti mengkhianati keinginan diri sendiri? Pernahkah kita dihantui penyesalan teramat dalam karena merasa belum bisa membahagiakan orang tua semasa hidup? Pernahkah kita merasa orang tua lebih menyayangi kakak/adik ketimbang kita? Kalau setidaknya satu diantaranya pernah kamu alami, mudah untuk memahami pergolakan batin Koh Afuk, Yohan, maupun Erwin. 

Pergolakan batin ini diterjemahkan ke bahasa visual secara subtil oleh Ernest dan memperoleh sumbangan akting jempolan dari Chew Kin Wah, Dion Wiyoko, serta Adinia Wirasti yang menyokong pilar-pilar drama. Chew Kin Wah memberi interpretasi jempolan untuk sosok ayah yang tampak tangguh di permukaan namun sejatinya menyimpan kegundahan hati mendalam, Dion Wiyoko tampilkan performa menyengat hebat sebagai anak sulung yang berharap dapat berekonsiliasi dengan sang ayah, sementara Adinia Wirasti berbekal karisma kuatnya menghadirkan keteduhan diantara panasnya perseteruan anggota-anggota keluarga lain. Mereka beresonansi menciptakan getaran-getaran emosi yang memang dibutuhkan di elemen drama. Simak pada adegan Ayu mencoba menenangkan suaminya yang meledak-ledak, pertikaian di rumah sakit, sampai adegan di kuburan. Tanpa akting-akting ciamik, kesemuanya sangat mungkin berlalu tanpa kesan. Namun berkat kombinasi lakonan berkelas premium dari ketiga pemain tersebut, momen-momen ini menciptakan hentakan hebat yang akan membuatmu tak ragu-ragu menyeka air mata. Sungguh mengejutkan memang melihat bagaimana Ernest sanggup meng-handle babak komedi dan drama dengan sama baiknya di Cek Toko Sebelah. Jika dia bisa terus konsisten seperti ini, bukan tidak mungkin dalam beberapa tahun ke depan namanya akan berada dalam jajaran “sineas Indonesia paling berpengaruh.” Luar biasa!

Noted : Coba perhatikan merek-merek barang yang ada di toko Koh Afuk. Detil yang kocak!

Outstanding (4,5/5)

REVIEW : HANGOUT


Apakah kamu familiar dengan jalan penceritaan dari novel ternama Agatha Christie berjudul And Then There Were None (atau disini dikenal sebagai Sepuluh Anak Negro)? Apabila tidak, secara garis besar tuturannya berkisar pada sepuluh orang asing tanpa relasi satu sama lain yang memperoleh undangan dari seorang kaya nan misterius untuk berkunjung ke huniannya di sebuah pulau. Berharap memperoleh sambutan gegap gempita, nyata-nyatanya undangan ini tidak lebih dari sekadar jebakan yang menuntun kesepuluh tamu tersebut menemui ajalnya masing-masing. Nah, disamping belasan judul adaptasi resmi bersifat langsung – merentang dari film hingga miniseri televisi – And Then There Were None yang mengusung pola whodunnit (tebak-tebak manggis siapa pembunuhnya) pun telah diutak-atik puluhan sineas untuk diekranisasi secara lepas. Salah satu gelaran terbaru yang menerapkan jalinan kisah senada adalah Hangout, sebuah film bergenre komedi thriller arahan Raditya Dika. Hangout sendiri tampak begitu menggoda lantaran tiga faktor; premis, upaya memadupadankan genre komedi dengan thriller, serta fakta bahwa ini pertama kalinya Dika mencoba sedikit keluar dari zona nyamannya yang tidak jauh-jauh dari persoalan kegundahan hati.

Dari sisi gagasan utama, Hangout sejatinya memang serupa tapi tak sama dengan And Then There Were None. Pembedanya, hanya ada sembilan karakter yang menjadi korban disini, mereka mempunyai latar belakang mata pencaharian sejenis, serta telah aktif berinteraksi bersama-sama sebelumnya. Kesembilan karakter tersebut terdiri atas Raditya Dika, Soleh Solihun, Surya Saputra, Mathias Muchus, Titi Kamal, Dinda Kanya Dewi, Prilly Latuconsina, Bayu Skak, serta Gading Marten yang kesemuanya dikenal sebagai public figure. Mereka menerima undangan secara bersamaan dari seorang misterius yang meminta mereka mengunjungi kediamannya di suatu pulau. Tanpa menaruh kecurigaan apapun – malah Mathias Muchus berspekulasi, mereka akan memperoleh tawaran main film – Dika dan konco-konco pun bertolak ke lokasi dengan menaiki kapal. Tak ada sambutan apapun dari si empunya hajat begitu rombongan mencapai tempat tujuan, kecuali hidangan makan malam yang telah tertata rapi di atas meja makan. Kendati aneh, para artis mencoba untuk tetap berpikir positif sampai kemudian... Mathias Muchus meregang nyawa secara tidak wajar. Terjebak di pulau lantaran kapal jemputan baru berlabuh beberapa hari kemudian sementara para personil mulai berguguran satu demi satu akibat dibunuh, mereka yang tersisa pun akhirnya saling menaruh curiga mengingat besar kemungkinan bahwa salah satu dari mereka adalah sang pembunuh. 

Dalam upayanya untuk menyuguhkan tontonan menghibur bagi penonton, Hangout sebetulnya tidaklah bisa dikata gagal. Serentetan humornya masih bekerja secara semestinya dan tidak sedikit diantaranya tergolong efektif mengundang derai tawa. Memang sih ranah kelakar yang dijamah Dika disini masih belum jauh-jauh dari kisaran toilet jokes dan sebangsanya – salah satunya seperti bagaimana Dinda Kanya Dewi digambarkan sebagai artis yang luar biasa joroknya – yang boleh jadi terasa menjijikan pula mengganggu bagi sebagian orang. Bahkan, sifatnya yang cenderung repetitif juga ada kalanya agak menjengkelkan seolah-olah si pembuat film kehabisan ide dalam ngelaba. Namun satu hal yang menarik serta jarang dieksplorasi lebih jauh oleh Dika di film-filmnya sebelum ini adalah guyonannya dalam Hangout sarat akan referensi budaya populer. Mempunyai barisan karakter dimana kesemuanya merupakan public figure nyata adanya, memungkinkan dirinya untuk lebih bebas melemparkan materi ngebanyol berkenaan dengan dunia hiburan tanah air. Hampir setiap karakter kena tembak – paling habis-habisan nyaris tanpa ampun adalah Gading Marten – walau tidak kesemuanya juga tepat mengenai sasaran. Yang bagi saya terhitung berhasil yakni kala Prilly mengungkit-ungkit soal sinetron Ganteng-Ganteng Serigala atau lebih baik lagi saat Dinda membicarakan tentang Ada Apa Dengan Cinta? 3

Dan, untuk mencapai tahapan menghebohkan ini agak membutuhkan waktu. Hangout terhitung lambat memanas. Setidaknya pada 30 menit pertama sebelum pembunuhan pertama terjadi, film berlangsung agak hambar. Lawakannya banyak meleset, pengisahannya pun kurang mengikat apalagi menciptakan kesan misterius seperti diharapkan. Usai Marmut Merah Jambu, Single, serta Koala Kumal yang begitu lancar lantunan kisahnya, maka tentu mengecewakan (plus mengherankan) melihat Dika cenderung terbata-bata di Hangout. Apakah ini lantaran Dika masih belum terbiasa dengan sesuatu diluar area kekuasaannya? Bisa jadi. Begitu jatuh korban pertama, film perlahan mulai enak buat dinikmati meski tidak sampai pada tahapan benar-benar mulus. Perpaduan elemen komedi bersama thriller berulang kali terasa janggal. Sang sutradara tidak tampak kesulitan mengorkestrasi momen-momen pengundang tawa karena bagaimanapun juga inilah keahliannya, tapi berbeda halnya ketika menyajikan daya cekam. Sejumlah adegan yang seharusnya mampu membuat penonton tersentak, memegang erat bangku bioskop atau mengucurkan keringat dingin, berlalu begitu saja tanpa kesan. Malah memunculkan reaksi, “lho, kok begitu saja?,” khususnya di babak klimaks yang tensinya terus mengendor dan ini kian dilukai oleh momen pengungkapan si pelaku dengan motif jauh dari kata kuat. 

Kendati menghadapi serentetan problematika yang menghempaskan Hangout seketika dari jajaran film terbaik Dika, seperti telah disinggung di beberapa paragraf sebelumnya, ini bukanlah tontonan yang layak dilabeli “gagal” apalagi “buruk”. Usahanya untuk menghadirkan warna baru bagi perfilman tanah air (beserta filmografi Dika) tetap perlu mendapatkan angkat topi. Selain masih mampu memberikan penghiburan lewat gelak-gelak tawa, Hangout teramat sangat beruntung karena memiliki barisan pemain yang menghadirkan performa sangat memuaskan. Setiap pelakonnya terlihat begitu bersenang-senang dengan peran yang mereka mainkan. Dika memang masih tampak lempeng seperti biasa, namun Dinda Kanya Dewi, Surya Saputra, Prilly Latuconsina, Gading Marten serta Soleh Solihun membuktikan kelayakan masing-masing untuk mendapatkan peran di Hangout. Berkat mereka, banyak energi positif berhasil tersalurkan ke film. Kemunculan mereka memberi keriaan tersendiri khususnya Dinda dan Soleh yang senantiasa dinanti-nanti sepak terjangnya oleh penonton karena mampu memberikan tawa secara konstan.

Acceptable (3/5)

REVIEW : THE ISLAND FUNERAL


Menandai kembalinya Pimpaka Towira ke ranah film fiksi panjang usai dua belas tahun terakhir berkutat dengan karya dokumenter dan film pendek, The Island Funeral yang setahun silam berhasil memboyong penghargaan Best Asian Future Film Award di Tokyo International Film Festival adalah sebuah sarana sempurna untuk kembali ke dunia layar lebar. Sepintas, ini bak film berpendekatan road movie biasa yang mengetengahkan pencarian jati diri dari barisan karakter utamanya, namun seiring penonton semakin terlibat ke dalam film, nyata-nyatanya The Island Funeral lebih dari sekadar itu. Malahan ada upaya juga dari si pembuat film untuk mencampurbaurkan dengan elemen genre lain semacam horor bersifat supranatural dan dokumenter yang justru menginjeksikan daya tarik tersendiri bagi film bersisipan kritik sosial halus mengenai problematika sosial politik yang beranak pinak di Negeri Gajah Putih dibalik upaya mengadvokasi keberagaman serta kebebasan menyuarakan pendapat ini. 
Mula-mula penonton diperkenalkan pada tiga karakter utama dari film; kakak beradik Muslim, Laila (Heen Sashitorn) dan Zugood (Aukrit Aukrit Pornsumpunsuk), serta teman kuliah dari Zugood, Toy (Yossawat Sittiwong). Berasal dari Bangkok, mereka tersesat dalam perjalanan menuju Pattani – salah satu provinsi paling selatan di Thailand yang tengah mengalami konflik radikal dari kelompok separatis – lantaran ketidakmampuan membaca peta. Pada menit-menit pertama, Towira lebih banyak menyoroti adu mulut ketiga tokoh ini yang saling menyalahkan satu sama lain. Tujuan perjalanan mereka adalah menjumpai bibi Laila dan Zugood yang telah bertahun-tahun lamanya tak terdengar kabarnya. Untuk menjangkau kampung halaman sang bibi di suatu wilayah bernama Al-kaf sendiri tak berlangsung mulus khususnya karena mereka terus menerus salah mengambil jalur yang secara bertahap memupuk rasa tercekam dari masing-masing karakter. 

The Island Funeral memulai hentakan pertamanya ketika Laila tiba-tiba menghentikan mobil yang dikendarainya karena merasa melihat seorang perempuan telanjang berbalut rantai melintas di jalanan. Mencoba membuktikan penglihatannya, dia memutuskan menelusuri keberadaan si perempuan yang lantas tak membawa hasil apapun. Berada dalam kegelapan – well, posisi mereka jauh dari pemukiman warga – menebarkan aroma mistis tak mengenakkan. Apakah Laila benar-benar melihat sesosok perempuan tersebut atau itu sekadar ilusinya saja? Kita memang tidak memperoleh konfirmasi secara langsung dari Towira mengenai peristiwa ini, namun yang jelas, timbul ketertarikan mengikuti jalannya film dan jika mengaitkannya ke pembacaan film, keadaan terdesak atau terancam dapat mengungkap sifat asli manusia. Untuk kasus ini, bisa dilihat dampaknya pada Toy yang melontarkan komentar bernada prasangka buruk mengenai perasaan tidak amannya berada di Pattani yang notabene didominasi oleh masyarakat Muslim karena dia adalah seorang non-Muslim. 

Tidak bisa sepenuhnya disalahkan karena wilayah tersebut tengah berkonflik – kadangkala Towira memperlihatkan aktifitas anggota militer – tapi penegasan tentang Toy dapat disimak saat mereka berkunjung ke sebuah masjid yang terhenti pembangunannya. Pun begitu, The Island Funeral bukan semata-mata berbicara mengenai prasangka (kendati, ya, ada banyak prasangka timbul di beberapa bagian), film ini diam-diam lebih kaya dari itu. Ada subteks terkait kegundahan hati Laila sebagai perempuan Thailand modern yang menjalani hidup di kota besar soal identitasnya dan obrolan tentang idealisme berkenaan kerukunan dibalik adanya keberagaman yang boleh jadi merupakan ekspresi kegalauan Towira terhadap situasi sosial politik Thailand yang tak bersahabat. Terdengar berat? Tidak juga. Sekalipun laju film seringkali lambat, The Island Funeral tak pernah menjemukan berkat kepiawaian Towira mengolah rasa dari tuturan yang teramat mengikat. Dia sanggup membetot atensi penonton sedari adegan gaib yang dialami Laila dan secara konstan film lantas dipenuhi teka-teki bernuansa mistis yang akan membuatmu mengalami fase “ingin mengetahui” tentang apa yang sesungguhnya terjadi.

Outstanding (4/5)

REVIEW : YOUR NAME


“There's no way we could meet. But one thing is certain. If we see each other, we'll know. That you were the one who was inside me. That I was the one who was inside you.” 

Setidaknya ada dua alasan kuat mengapa Your Name (atau dalam judul asli, Kimi No Na Wa) banyak memantik rasa keingintahuan besar dari khalayak ramai. Pertama, film ini menempati urutan teratas tangga box office selama 12 pekan (!) dan sekarang telah nyaman berada pada posisi keempat film terlaris sepanjang masa di Negeri Matahari Terbit. Kedua, Your Name merupakan buah karya terbaru dari Makoto Shinkai. Kalau kamu tidak pernah mendengar namanya, beliau adalah sutradara anime papan atas di Jepang saat ini dengan barisan karya menakjubkan bermuatan sentimentil tinggi semacam 5 Centimeters per Second, Children Who Chase Lost Voices, serta The Garden of Words, dan digadang-gadang sebagai penerus sang maestro Hayao Miyazaki. Mendengar Shinkai-sensei merilis film baru saja sebetulnya telah membangkitkan excitement, maka coba tambahkan dengan kabar bahwa karyanya sekali ini direspon luar biasa hangat oleh kritikus maupun penonton. Memang sebagus apa sih Your Name ini sampai-sampai hype di sosial media pun bisa sedemikian tinggi? Apabila itu pertanyaanmu, jawaban yang kemudian bisa saya tawarkan setelah menyaksikan filmnya di layar lebar adalah “believe the hype” 

Penceritaan di Your Name meletakkan fokusnya pada dua remaja SMA, Taki (Ryunosuke Kamiki) dan Mitsuha (Mone Kamishiraishi). Taki tinggal di Tokyo bersama ayahnya, sementara Mitsuha yang diasuh oleh sang nenek menetap di kota pinggiran bernama Itomori. Takdir lantas menautkan dua remaja dari dua wilayah berbeda dan tidak saling mengenal satu sama lain ini melalui cara yang tak lazim, yakni pertukaran tubuh. Mitsuha seringkali tiba-tiba terbangun dalam tubuh Taki, begitu pula sebaliknya. Menjalani kehidupan baru dengan tubuh sama sekali asing pada mulanya menciptakan gegar budaya bagi masing-masing, terlebih mereka tidak sama secara gender. Namun lambat laun, mereka mulai menikmati keanehan ini dan memutuskan untuk saling membantu. Mitsuha mengerahkan ‘kekuatan femininnya’ untuk mendekatkan Taki dengan perempuan yang ditaksirnya di tempat kerja paruh waktu, lalu Taki menyuntikkan keberaniannya pada Mitsuha sehingga dia tidak lagi mengalami penindasan serta menjelma menjadi gadis populer di sekolah. Kendati keduanya hanya bisa berkomunikasi melalui catatan, berbagi pengalaman hidup satu sama lain berdampak ke merekatnya ikatan mereka yang berujung pada keinginan untuk saling berjumpa. Hanya saja, mengatur pertemuan Taki dengan Mitsuha tidaklah semudah yang dibayangkan mengingat jarak ternyata bukanlah satu-satunya penghalang diantara mereka. 

Mengetahui Makoto Shinkai akan mengulik cerita mengenai body swap di Your Name, dahi ini seketika mengernyit. Disamping film bertema sejenis acapkali berakhir memprihatinkan – walau tidak sedikit pula yang terbilang layak simak, genre usungannya pun didominasi oleh komedi. Apakah si pembuat film sedang mencoba bereksperimen menggunakan genre lain selain romansa menghanyutkan? Kemudian kita juga tahu, Your Name bukanlah semata-mata tontonan komedi karena ini turut menggabungkan percintaan khas remaja, fiksi ilmiah, fantasi sampai disaster. Sesuatu yang terdengar sangat ‘penuh’ pula ambisius diatas kertas dan sejujurnya teramat sulit dibayangkan bagaimana kelimanya bisa diresonansi secara tepat tanpa harus ada yang dikorbankan apalagi memberi kesan dipaksakan. Namun Makoto Shinkai (lagi-lagi) berhasil membuktikan bahwa dirinya memang cocok menyandang gelar sebagai Raja Animasi masa kini melalui kepiawaiannya merangkai lima genre berbeda di Your Name. Mula-mula, film memulai langkahnya di jalur komedi – sesuai kodrat film terkait body swap. Menyoroti kecanggungan Taki dan Mitsuha untuk beradaptasi dengan tubuh dari lawan jenis. Guyonannya terletak pada bagaimana Taki mendadak feminin atau kebiasaan Mitsuha meremas-remas payudaranya di pagi hari. Nyerempet banget sih, tapi sama sekali tidak terkesan murahan dan sangat efektif memancing derai tawa penonton. 

Yang kemudian mengejutkan – terutama jika kamu tidak tahu menahu perihal film ini atau karya-karya Makoto Shinkai, paruh kedua mempunyai nada pengisahan bertolak belakang. Intensitas kelakarnya mulai tereduksi dan perlahan-lahan menguarkan aroma sentimentil, menyusul keputusan Taki untuk menemui Mitsuha secara langsung di Itomori. Menceritakan apa yang terjadi sesudahnya akan berpengaruh pada kenikmatanmu menonton Your Name, jadi lebih baik saya berhenti sampai disini. Satu hal yang jelas, momen pencarian ini merupakan titik balik dari film dengan terbukanya pintu bagi genre lain yang lantas menggiringmu memasuki fase “harap-harap cemas”. Penonton merasakan kecemasan lantaran terkoneksi secara emosi pada Taki dan Mitsuha. Mereka adalah karakter biasa-biasa saja yang bisa kamu temui di sekitaran entah dalam wujud saudara, teman, tetangga, atau malah diri kita sendiri. Itulah mengapa begitu probabilitas perjumpaan keduanya menciut, muncul ketidakrelaan. Kita ingin melihat mereka bersatu, entah bagaimana caranya. Dengan turut dipermainkannya ekspektasi penonton, proses menuju akhir cerita kian menarik buat disimak. Bagusnya, Shinkai-sensei tak semata-mata mengabdikan dirinya untuk mengkreasi jalinan kisah mendayu-dayu dalam perjalanan asmara Taki dengan Mitsuha demi menguras air mata penonton. Dia menaruh perhatian juga pada detil-detil lain semacam kultur setempat, unsur mistis Jepang, hingga rancangan latar lokasi yang mendekati kenyataan sampai-sampai sanggup meyakinkan penonton bahwa ini lebih dari sekadar film animasi berbasis romansa fantasi belaka. 

Ya, Your Name tidak saja cantik ditinjau dari cara si pembuat film menggulirkan cerita, tetapi juga cantik secara visual. Kelihaian Shinkai-sensei membentuk spektakel memanjakan mata memang tidak perlu diragukan mengingat itulah keunggulan utamanya (tontonlah The Garden of Words yang ajaib itu!), tapi lewat Your Name – berkat sokongan dana berlimpah, dia menciptakan standar lebih tinggi lagi. Menunjukkan, corat coret di atas kanvas pun bisa menghasilkan daya magis sama besarnya dengan CGI. Komet, aurora, senjakala, bulir-bulir salju, lanskap kota Itomori yang tersusun atas pegunungan dan danau, sampai pemandangan kota Tokyo digoreskan menakjubkan. Bersatu padu dengan iringan musik menghentak namun menghanyutkan dari RADWIMPS, visual cantik ini menyokong sempurna penceritaan yang digulirkan begitu mulus oleh Shinkai-sensei – ini hebat, berkaca pada fakta banyaknya genre dileburkan disini, sehingga memperkaya rasa yang ada pada film. Betul, Your Name adalah sebuah tontonan yang tersusun atas beragam emosi didalamnya dimana masing-masing mencuat untuk saling menguatkan alih-alih melemahkan. Kamu akan dibuat tertawa olehnya, lalu merasakan kecemasan, kemudian mendapatkan sensasi tegang, dan pada akhirnya dibikin menangis entah disebabkan haru atau keindahan filmnya. Meminjam istilah anak muda zaman sekarang, Your Name akan membuatmu baper. Inilah sebuah mahakarya dari seorang Makoto Shinkai dan saya berani memastikan bahwa pernyataan tersebut tidaklah hiperbolis.

Intermezzo: Habis nonton Your Name jadi kepikiran. Pernah berpapasan dengan orang asing, dan serasa mengenalnya padahal ingat betul kalau kita berdua belum pernah berjumpa. Atau jangan-jangan, kita pernah suatu waktu bertukar tubuh seperti Taki dengan Mitsuha? Hmmm...

Outstanding (4,5/5)


DAFTAR NOMINASI PIALA MAYA 2016


Deretan peraih nominasi Piala Maya 2016 baru saja diumumkan di Galeri Indonesia Kaya, Grand Indonesia, Jakarta Pusat, pada Rabu (30/11) siang. Turut hadir memeriahkan acara pengumuman nominasi antara lain Acha Septriasa, Morgan Oey, Niniek L Karim, Marcella Zalianty, serta Nazyra C. Noer. Film arahan Riri Riza, Athirah, memimpin raihan nominasi dengan total sebanyak 13 kategori dari keseluruhan lebih dari 30 kategori yang dikompetisikan oleh Piala Maya tahun ini. Beberapa kategori utama yang menempatkan Athirah di jajaran nominasi antara lain Film Terpilih, Sutradara Terpilih, Skenario Adaptasi Terpilih, Aktris Utama Terpilih, serta Aktor Pendukung Terpilih.

Menguntit ketat di belakangnya yakni Surat Dari Praha (11 nominasi), A Copy of My Mind (9 nominasi), serta tiga film yang sama-sama mengumpulkan 7 nominasi, yakni Ada Apa Dengan Cinta? 2Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss Part 1, dan Aisyah Biarkan Kami Bersaudara. Kelima film tersebut kesemuanya diunggulkan dalam kategori Film Terpilih. Melengkapi konfigurasi dari kategori Film Terpilih adalah My Stupid Boss (6 nominasi) dan Sunya (2 nominasi). Sedikitnya 183 anggota komite yang terbagi atas komite umum, komite profesi, serta komite kehormatan dari berbagai profesi akan menentukan para pemenang Piala Maya 2016 yang akan diumumkan dalam malam penganugerahan pada 18 Desember mendatang bertempat di Grand Kemang, Jakarta Selatan.

Film Terpilih
  • A Copy of My Mind
  • Ada Apa Dengan Cinta? 2
  • Aisyah Biarkan Kami Bersaudara
  • Athirah
  • My Stupid Boss
  • Sunya
  • Surat Dari Praha
  • Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss Part 1
Sutradara Terpilih
  • Angga Dwimas Sasongko (Surat Dari Praha)
  • Hari Suhariyadi (Sunya)
  • Herwin Novianto (Aisyah Biarkan Kami Bersaudara)
  • Joko Anwar (A Copy of My Mind)
  • Riri Riza (Athirah)
Aktor Utama Terpilih
  • Abimana Aryasatya (Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss Part 1)
  • Chicco Jerikho (A Copy of My Mind)
  • Reza Rahadian (My Stupid Boss)
  • Tyo Pakusadewo (Surat Dari Praha)
  • Vino G. Bastian (Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss Part 1)
Aktris Utama Terpilih
  • Bunga Citra Lestari (My Stupid Boss)
  • Christine Hakim (Ibu Maafkan Aku)
  • Cut Mini (Athirah)
  • Laudya Cynthia Bella (Aisyah Biarkan Kami Bersaudara)
  • Sha Ine Febriyanti (Nay)
Aktor Pendukung Terpilih
  • Adi Kurdi (Catatan Dodol Calon Dokter)
  • Arie Kriting (Aisyah Biarkan Kami Bersaudara)
  • Chew Kinwah (My Stupid Boss)
  • Christoffer Nelwan (Athirah)
  • Deva Mahenra (Sabtu Bersama Bapak)
Aktris Pendukung Terpilih
  • Acha Septriasa (Shy Shy Cat)
  • Adinia Wirasti (Ada Apa Dengan Cinta? 2)
  • Chelsea Islan (3 Srikandi)
  • Titiek Puspa (Ini Kisah Tiga Dara)
  • Widyawati Sophiaan (Surat Dari Praha)
Aktor Pendatang Baru Terpilih
  • Arman Dewarti (Athirah)
  • Bisma Karisma (Juara)
  • Hery “Omo Kucrut” Purnomo (Gila Jiwa)
  • Kevin Anggara (Ngenest)
  • Richard Kyle (Ini Kisah Tiga Dara)
Aktris Pendatang Baru Terpilih
  • Annisa Rawles (Single)
  • Hany Valery (Jingga)
  • Lala Karmela (Ngenest)
  • Sheryl Sheinafia (Koala Kumal)
  • Tatyana Akman (Ini Kisah Tiga Dara)
Aktor/Aktris Muda Terpilih
  • Ajil Ditto (The Fabulous Udin)
  • Caitlin Halderman (Ada Cinta di SMA)
  • Dionisius Rivaldo Moruk (Aisyah Biarkan Kami Bersaudara)
  • Jefan Nathanio (Aku Ingin Ibu Pulang)
  • Sinyo (Wonderful Life)
Penampilan Singkat nan Berkesan (Piala Arifin C. Noer)
  • Adipati Dolken (Koala Kumal)
  • Ence Bagus (Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss Part 1)
  • Jennifer Arnelita (Sabtu Bersama Bapak)
  • Nova Eliza (Aach... Aku Jatuh Cinta)
  • Tora Sudiro (Ada Cinta di SMA)
Skenario Asli Terpilih
  • 3 Srikandi (Swastika Nohara, Iman Brotoseno)
  • A Copy of My Mind (Joko Anwar)
  • Aisyah Biarkan Kami Bersaudara (Jujur Prananto)
  • Surat Dari Praha (M. Irfan Ramli)
  • Talak 3 (Bagus Bramanti, Wahana Penulis)
Skenario Adaptasi Terpilih
  • Ada Apa Dengan Cinta? 2 (Mira Lesmana, Prima Rusdi)
  • Athirah (Salman Aristo, Riri Riza)
  • Catatan Dodol Calon Dokter (Ardiansyah Solaiman, Chadijah Siregar)
  • My Stupid Boss (Upi)
  • Ngenest (Ernest Prakasa)
Tata Kamera Terpilih
  • A Copy of My Mind (Ical Tanjung)
  • Ada Apa Dengan Cinta? 2 (Yadi Sugandi)
  • Athirah (Yadi Sugandi)
  • Rudy Habibie (Ipung Rachmat Syaiful)
  • Surat Dari Praha (Ivan Anwal Pane)
Tata Artistik Terpilih
  • 3 Srikandi (Frans XR Paat)
  • A Copy of My Mind (Windu Arifin)
  • Aach... Aku Jatuh Cinta (Allan Sebastian)
  • Athirah (Eros Eflin)
  • Surat Dari Praha (Chupy Kaisuku)
Tata Musik Terpilih
  • Ada Apa Dengan Cinta? 2 (Melly Goeslaw, Anto Hoed)
  • Athirah (Juang Manyala)
  • Rudy Habibie (Tya Subiakto, Krisna Purna)
  • Sabtu Bersama Bapak (Andhika Triyadi)
  • Surat Dari Praha (Thoersi Argeswara)
Penyuntingan Gambar Terpilih
  • A Copy of My Mind (Arifin Cuunk)
  • Ada Apa Dengan Cinta? 2 (W. Ichwandiardono)
  • Aisyah Biarkan Kami Bersaudara (Wawan I. Wibowo)
  • Pantja Sila: Cita-cita dan Realita (Aline Jusria)
  • Surat Dari Praha (Ahsan Andrian)
Tata Suara Terpilih
  • A Copy of My Mind (Khikmawan Santosa)
  • Bangkit! (Khikmawan Santosa)
  • Comic 8: Casino Kings Part 2 (Khikmawan Santosa)
  • Rudy Habibie (Khikmawan Santosa, Satrio Budiono)
  • Surat Dari Praha (Satrio Budiono)
Tata Efek Khusus Terpilih
  • 3 Srikandi (Rivai)
  • Bangkit! (Raiyan Laksamana)
  • Juara (Enspire Studio)
  • The Doll
  • Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss Part 1 (Epics FX Studios)
Tata Kostum Terpilih
  • Aach... Aku Jatuh Cinta (Retno Ratih Damayanti)
  • Athirah (Chitra Subyakto)
  • Negeri Van Oranje (Quartini Sari)
  • Rudy Habibie (Retno Ratih Damayanti)
  • Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss Part 1 (Adlie Harra, Upay)
Tata Rias Wajah dan Rambut Terpilih
  • 3 Srikandi (Ebah Syebah)
  • Athirah (Jerry Octavianus)
  • My Stupid Boss (Ebah Syebah, Adi Wahono)
  • Rudy Habibie (Darto Unge)
  • Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss Part 1 (Adi Wahono, Tomo)
Desain Poster Terpilih
  • A Copy of My Mind
  • Athirah
  • Comic 8: Casino Kings Part 2
  • Nay
  • Winter in Tokyo
Lagu Tema Terpilih
  • 3 Srikandi (“Tundukkan Dunia”)
  • Ada Apa Dengan Cinta? 2 (“Ratusan Purnama")
  • Athirah (“Ruang Bahagia”)
  • Single (“Sementara Sendiri”)
  • Surat Dari Praha (“Nyali Terakhir”)
Debut Sutradara Berbakat (Piala Iqbal Rais)
  • Agus Makkie (Wonderful Life)
  • Ernest Prakasa (Ngenest)
  • Ginanti Rona Tembang Asri (Midnight Show)
  • Harvan Agustriansyah (Pangreh)
  • Iman Brotoseno (3 Srikandi)
Koleksi DVD Terpilih
  • Ada Apa Dengan Cinta? Remastered
  • Ada Apa Dengan Cinta? 2 Box Set
  • Kapan Kawin?
Kritik Film Terpilih
  • Aef Anas (Ngenest: Penerimaan Rasial)
  • Catra Wardhana (Ulasan Ada Cinta di SMA)
  • Paskalis Damar (A Copy of My Mind: A Copy of Joko Anwar’s Mind)
  • Rachmat Hidayat Mustamin (Review Uang Panai)
  • Rasyid Harry (Athirah: Kekuatan Di Balik Kelembutan)
Film Pendek Terpilih
  • Amelis
  • Bunga dan Tembok
  • Kitorang Basudara
  • Manuk
  • Memoria
  • Nomophobia
  • On the Origin of Fear
  • Pangreh
Film Dokumenter Pendek Terpilih
  • Bibi Siti Switi
  • J(m)ujur
  • Mama Amamapare
  • Mata Elang
  • Teater Tanpa Kata: Sena Didi Mime
Film Dokumenter Panjang Terpilih
  • Indonesia Kirana
  • Pantja-Sila: Cita-cita dan Realita
  • Sihung
Film Animasi Terpilih
  • Ang
  • #KamiTidakTakut
  • Surat Untuk Jakarta
  • Lakuna
  • The Chosen Generation
Videoklip Musik Terpilih
  • Cinta (Gamaliel Audrey Cantika)
  • Kali Kedua (Raisa)
  • Mendekat Melihat Mendengar (MALIQ & D’Essentials)
  • Ruang Bahagia (Endah n Rhesa)
  • Ruang Sendiri (Tulus)

REVIEW : MOANA


“If you wear a dress and have an animal sidekick, you're a princess.” 

Tahun 2016 menjadi saksi bisu atas pembuktian diri bagi divisi animasi Walt Disney bahwa mereka secara resmi telah mengambil alih kembali posisi sebagai pembuat film animasi paling terkemuka dari Pixar dengan diluncurkannya dua produk hebat, yakni Zootopia dan Moana. Ya, tatkala tetangga sebelah tengah menghadapi problematika bernama ‘inkonsistensi’ yang menyebabkan beberapa karyanya lewat begitu saja tanpa kesan, Disney justru kian menggeliat dari tahun ke tahun terhitung sedari Tangled (2010). Zootopia memancangkan standar tinggi bagi film animasi dengan penceritaan cerdas pula terhitung berani untuk ukuran Disney, sementara Moana hasil arahan duo Ron Clements dan John Musker (The Little Mermaid, Aladdin) yang menerapkan pola tutur “back to basic” mengingatkan kita sekali lagi kenapa studio ini dapat menjadi raksasa animasi di dunia film. Moana menunjukkan bahwa tontonan mengikat tidak melulu harus bersumber dari gagasan serba bombastis, malah seringkali kesederhanaan dengan eksekusi dan pengemasan yang tepat lebih mampu menghadirkan kejutan-kejutan menyenangkan. 

Moana membawa kita mengarungi lautan Pasifik untuk kemudian berlabuh di sebuah pulau bernama Motunui. Di sana penonton diperkenalkan pada sang protagonis, Moana Waialiki (Auli’i Cravalho), yang merupakan putri semata wayang sekaligus calon penerus dari kepala suku setempat. Dideskripsikan sebagai sosok cerdas, pemberani, serta sedikit pemberontak, Moana memiliki impian untuk bisa berlayar melewati batu karang yang ditentang keras oleh ayahnya, Tui (Temuera Morrison), karena satu dan lain hal. Moana lantas nekat mewujudkan impiannya tersebut setelah kesehatan ekosistem di Motunui tiba-tiba menurun drastis, mengetahui jati diri sukunya yang sesungguhnya, dan memperoleh dorongan dari sang nenek, Gramma Tala (Rachel House), yang mempercayai Moana sebagai satu-satunya harapan untuk menyelamatkan tempat tinggal mereka. Ditemani seekor ayam yang bodohnya kebangetan, Heihei, Moana yang sejatinya minim pengetahuan berlayar ini harus mengarungi samudera luas untuk menemukan Maui (Dwayne Johnson), manusia setengah dewa, yang konon dianggap bertanggung jawab atas memburuknya kondisi alam di Motunui dan sekitarnya. 

Ditinjau dari garis besar cerita, Moana memang tak tampak mengusung plot progresif. Masih berkutat pada topik pencarian jati diri berbasis petualangan menyelamatkan tanah kelahiran yang telah umum dijumpai di film-film Disney. Tapi seperti halnya Zootopia, film ini menyematkan pula materi perbincangan lain yang boleh jadi tak pernah terlintas di benakmu akan diobrolkan oleh film animasi keluaran Disney pada satu dua dekade silam terkait ketangguhan perempuan – well, Moana jauh lebih feminis ketimbang Frozen – hingga menjaga relasi baik dengan alam. Ini jelas menarik, menyegarkan, juga relevan. Sang tokoh utama yang notabene perempuan digambarkan mempunyai posisi kurang lebih sejajar dengan pria dalam tribe society, tangguh secara fisik maupun mental, dan tidak membutuhkan bantuan lawan jenis untuk menuntaskan perkara (Maui hanya membukakan jalan untuk Moana, itupun karena dialah sumber masalahnya). Mendobrak segala bentuk konstruksi perempuan ideal yang diciptakan sendiri oleh film animasi Disney lebih dari setengah abad silam. Terdengar, errr... berat? Tak perlu risau, kamu hanya akan menjumpai kerumitan tersebut di ulasan sok njelimet ini karena penceritaan Moana sendiri dilantunkan dalam mood penuh keriaan. 

Keriaan timbul dari serentetan momen yang menimbulkan gelak tawa maupun perasaan bersemangat penonton. Entah itu disebabkan tingkah luar biasa absurd Heihei, interaksi konyol Moana dengan Maui, serangan perompak bertopengkan tempurung kelapa, kepiting raksasa narsis, atau amukan monster lahar. Selain itu, keriaan juga dipersembahkan oleh barisan nomor-nomor musikal melodius gubahan Lin-Manuel Miranda yang karirnya tengah mengangkasa berkat popularitas drama musikal Broadway, Hamilton, dan Opetaia Foa’i. Mereka menyumbangkan lagu-lagu mudah didendangkan semacam “How Far I’ll Go”, “We Know the Way”, “You’re Welcome”, dan “Shiny”, yang hampir dapat dipastikan akan melekat kuat di benakmu sampai berhari-hari setelah melangkahkan kaki keluar dari gedung bioskop. Pengalaman menonton Moana kian terasa mengasyikkan karena film ini dihidupkan pula oleh visualisasi menakjubkan (lihatlah Motunui! tengoklah lautnya! perhatikanlah tato di tubuh Maui!) beserta sumbangsih mengagumkan para pengisi suara seperti pendatang baru Auli’i Cravalho yang memancarkan karisma kuat seorang pemimpin dalam diri Moana dan membentuk chemistry kocak bersama Dwayne Johnson. Dengan kombinasi serba baik seperti ini, tidak mengherankan jika kemudian Moana berhasil tersaji sebagai sebuah tontonan seluruh keluarga yang teramat sangat mengasyikkan.

Note : pastikan untuk tidak terlambat memasuki gedung bioskop karena ada sebuah film pendek bagus berjudul Inner Workings sebelum film utama. 

Outstanding (4/5)


REVIEW : CITY OF JADE


Melalui film dokumenter bertajuk City of Jade, sutradara Taiwan berdarah Myanmar, Midi Z, menghamparkan potret realistis, buram, sekaligus personal mengenai kehidupan para penambang batu giok ilegal di suatu daerah yang kerap disebut Kota Giok. Tidak seperti karyanya terdahulu, Jade Miners, yang lebih banyak menaruh perhatian terhadap siklus kehidupan para penambang dengan gaya bertutur kurang bersahabat bagi penonton kebanyakan – hanya mengandalkan 20 shots selama rentang durasi 100 menit, City of Jade secara spesifik menempatkan saudara laki-laki sang sutradara, Zhao De-chin, sebagai subjek dan adanya dinamika dalam penuturan membuat film akan lebih mudah terhubung ke khalayak luas. Terlebih, kulikan Midi Z disini terhitung sangat menarik karena bukan semata-mata mempergunjingkan soal situasi politik dari tanah kelahirannya yang sarat akan intrik berlarut-larut tetapi juga membahas bagaimana impak besarnya terhadap kehidupan masyarakat Myanmar atau dalam hal ini, keluarganya sendiri.  

Pertanyaan utama yang diajukan film adalah, “apa yang sesungguhnya dialami Zhao De-chin saat dirinya tidak memberikan kabar apapun pada keluarga selama dua puluh tahun lebih?.” Ya, City of Jade semacam sarana rekonsiliasi Midi Z dengan saudaranya, Zhao De-chin, yang telah menghilang dari kehidupannya selama menahun tanpa pernah sekalipun merespon ratusan surat yang dilayangkan oleh sang adik. Selepas Zhao De-chin yang ternyata diketahui mendekam dibalik jeruji besi lantaran mempergunakan obat-obatan terlarang dibebaskan pada tahun 2010, si pembuat film menghampirinya untuk memperoleh jawaban. Hal pertama yang diketahui Midi Z dari saudaranya tersebut adalah keinginannya untuk melanjutkan pencarian batu giok di wilayah konflik Kachin, Myanmar. Konon, perseteruan tak berkesudahan antara pemerintah dengan KIA (Kachin Independence Army) menyebabkan perusahaan-perusahaan besar berhenti beroperasi di tambang batu giok berjulukan Kota Giok. ‘Kosongnya kekuasaan’ ini dimanfaatkan para pengejar mimpi untuk mengeksploitasi area tersebut. 

Salah satunya adalah Zhao De-chin. Midi Z pun mau tak mau kudu rela menempuh perjalanan jauh menaiki kereta dari Mandalay menuju Kachin demi mengikuti ambisi kakaknya. Terhitung semenjak keduanya berada di atas kereta, informasi lebih mendetail dinarasikan oleh si pembuat film terkait bagaimana dia sama sekali kabur soal perjuangan hidup sang kakak di masa-masa menghilangnya dan nelangsanya hari-hari yang harus dijalani oleh Midi Z beserta keluarga sepeninggal Zhao De-chin terlebih situasi politik Myanmar yang tidak kondusif menyulitkan mereka mendapat penghidupan layak. Keingintahuan pada kebenaran yang ditutup rapat-rapat si subjek menjadi fondasi utama ketertarikan mengikuti City of Jade. Well, Zhao De-chin bukannya sepenuhnya enggan untuk buka mulut kala masa lalu kelamnya diungkit-ungkit, hanya saja pengakuannya bersifat umum seperti kecanduan Opium hasil dari pemakaian intensif guna menghempaskan stres pekerjaan dan ketiadaan hiburan (begitu pula dengan para penambang lainnya). Dia emoh berbincang tentang hal-hal yang telah menjurus ranah sangat pribadi sehingga lambat laun penonton turut digelayuti rasa penasaran sejenis dengan pertanyaan utama yang disodorkan Midi Z. 

Penggunaan alat rekam seadanya menjadi semacam blessing in disguise bagi City of Jade. Kesannya teramat kasar, memang, tapi relevan dengan subjek maupun topik yang diperbincangkan mengenai kemiskinan, kekacauan politik, obat-obatan terlarang sampai pupusnya harapan. Memberikan kedalaman rasa yang dibutuhkan oleh film. Tidak berasa palsu – mengonfirmasi bahwa film sepanjang 99 menit ini tidak dibentuk dari skrip, dan kesederhanaannya memperkuat sisi realistisnya. Penonton serasa benar-benar dilibatkan ke dalam film; seolah-olah berada di posisi Midi Z atau setidaknya menemaninya dalam perjalanan ini. Ada momen dibuat terhenyak mendengar penuturan dari Zhao De-chin soal masa lalu berikut pekerjaan yang dilakoninya guna menyambung hidup, terenyuh melihat salah seorang pekerja menelpon istrinya lalu memperoleh kabar sejumlah uang yang kudu didapat untuk melunasi beberapa tagihan, hingga berdebar-debar begitu kamera menyoroti upaya beberapa pekerja ilegal melarikan diri dari tangkapan prajurit KIA yang secara berkala menjalankan operasi di area penambangan.

Exceeds Expectations (3,5/5)