Archive for November 2016

REVIEW : UNDER THE SHADOW


"They travel on the wind, moving from place to place until they find someone to possess"

Sebelum lahirnya A Girl Walks Home Alone at Night (2014), tidak sedikit publik internasional yang dibuat bertanya-tanya, “bagaimana sih wajah sinema Iran dalam film horor?,” lantaran selama ini referensi atas film asal Iran mayoritas terbatas di sektor drama. Memang sih film vampire berhijab ini merupakan keluaran Negeri Paman Sam, namun paling tidak khalayak ramai memperoleh cukup pandangan bakal seperti apa wujudnya kalau-kalau sineas Persia mencoba mempermainkan rasa takut penonton dalam produk kreatif. Tontonan terbaru kreasi sutradara debutan Babak Anvari yang mewakili Inggris Raya di ajang Oscars tahun depan, Under the Shadow, pun tak beda jauh kasusnya dengan A Girl Walks Home Alone at Night. Memperoleh banyak dukungan dari pemain serta kru berdarah Iran, nyatanya film ini merupakan hasil kerjasama antara Inggris dengan Qatar dan Yordania alih-alih produk lokalan seperti kerap dikira banyak pihak. Berita buruk? Sama sekali tidak. Malahan adanya keuntungan tersendiri tidak terbentur dengan persoalan sensor membuat Under the Shadow lebih lugas dan bebas dalam menyuarakan kegundahan hati si pembuat filmnya terkait mimpi buruk yang terlahir dari situasi sosial politik dan represi terhadap perempuan di Iran. Yang membuatnya terdengar semakin menarik, segala bentuk komentar sosial ini disampaikan melalui film bergenre horor. 

Under the Shadow mengambil latar cerita di Tehran, Iran, pada era 1980-an kala Perang Revolusi Iran tengah berkecamuk hebat. Satu persatu penduduk ibukota memilih mengungsi ke pinggiran – atau malah bertolak ke negara lain – karena keadaan yang jauh dari kata kondusif. Bayangkan, saat misil yang dilontarkan oleh Irak bisa saja mendarat manis di atas atap rumahmu sewaktu-waktu, bukankah perasaan tentram lantas menjadi barang paling mewah yang bisa kamu peroleh? Sekalipun dirundung situasi mencekam seperti ini dan sang suami ditugaskan ke garda depan, Shideh (Narges Rashidi) bersikukuh dengan pendiriannya untuk tetap bertahan di rumah bersama putri semata wayangnya, Dorsa (Avin Manshadi), alih-alih bergabung bersama keluarga mertuanya seperti saran dari sang suami. Alasannya, Shideh ingin membuktikan kepada suaminya bahwa dia mampu mengurus Dorsa seorang diri. Mula-mula sih tanggung jawab ini terkesan remeh saja bagi Shideh apalagi ada bantuan dari tetangga dekat dan alarm beserta bunker selalu bisa diandalkan apabila ada misil mendekat. Namun keadaan perlahan kian memburuk pula aneh selepas sebuah misil nyaris meluluhlantakkan gedung apartemen yang didiami Shideh, berlanjut pindahnya satu persatu penghuni gedung. Dorsa percaya ada kekuatan jahat berwujud Jin sedang mengincar mereka berdua.  

Aroma horor belum terendus di menit-menit pertama film. Titik lontar Under the Shadow sedikit banyak mengingatkan kita ke tontonan drama buatan Asghar Farhadi, semisal A Separation, yang mengetengahkan pada pertikaian pasangan berskala domestik. Teror yang mendera karakter utama di paruh ini tidaklah berelemen supranatural nan menggedor jantung, melainkan lebih ke psikis akibat rongrongan lingkungan sekitar yang tidak ramah pada perempuan. Ya, Shideh telah dikondisikan dalam posisi tercekam sejak Babak Anvari mulai menggulirkan narasinya. Disamping misil dari Irak yang rutin dikirim untuk menerjang Tehran (which is, ini adalah teror bagi seluruh penduduk yang masih bertahan), Shideh dikungkung oleh ketidaknyamanan lainnya. Pertama, fakta bahwa dia tidak mungkin lagi mewujudkan mimpinya menjadi dokter karena keterlibatannya dengan kelompok sayap kiri penentang pemerintah pada beberapa tahun silam. Dan kedua, sang suami meragukan kompetensinya sebagai seorang ibu. Kedua perkara ini adalah teror bagi Shideh belum lagi ditambah peraturan bersifat opresif dari pemerintah Iran terkait penggunaan hijab di ruang publik yang di suatu waktu malah menambah beban masalah Shideh. Guna melepas stres, Shideh kerap kali diperlihatkan berolahraga mengikuti instruksi dari Jane Fonda melalui video yang diputar di VCR hanya mengenakan tank top yang ironisnya termasuk bentuk pelanggaran lain menurut undang-undang pemerintah (VCR terhitung barang ilegal kala itu). 

Anvari mendayagunakan elemen drama ini sebagai corongnya untuk menyuarakan keresahan-keresahannya terhadap para perempuan yang menghadapi diskriminasi gender, selain tentunya demi membentuk karakterisasi dari dua tokoh utamanya agar membentuk ikatan emosi dengan penonton. Bagi penonton yang hanya ingin ditakut-takuti seraya mencemil berondong jagung tanpa mau ribet, laju film ini mungkin akan bermasalah. Cenderung lambat, seringkali sunyi, namun sejatinya tidak pernah berasa menjemukan lantaran rentetan konfliknya mengusik pikiran dengan komentar-komentar sosialnya yang masih terdengar sangat relevan dan performa brilian kedua pelakon utamanya memustahilkan kita untuk masa bodoh pada apa yang mereka alami. Penonton sangat bisa terhubung dengan masing-masing tokoh. Narges Rashidi memberi potret meyakinkan sebagai perempuan tangguh yang mengalami tekanan dari lingkungan di sekitarnya. Amarahnya, kegelisahannya, sampai ketakutannya tersalurkan sangat baik lewat air muka. Begitu juga Avin Manshadi yang memerankan putrinya, menunjukkan performa sangat kuat dalam debut aktingnya. Tatapan matanya mampu berbicara banyak; kadang menunjukkan ketakutan, kebingungan, kadang pula memberi sinyal kejengkelan luar biasa pada sang ibu. Rasa-rasanya apabila Oscars mempunyai kategori Pemain Cilik Terbaik, mungkin saja dia terdaftar sebagai salah satu nomine. Yup, she’s that good

Sekalipun Under the Shadow menaruh perhatian teramat tinggi pada lantunan dramatiknya, Anvari tidak lupa menunaikan tugasnya untuk turut mendorong munculnya rasa takut penonton. Ada satu dua jumpscares berdaya sentak mencukupi disertakan olehnya yang akan membuatmu terlonjak dari kursi bioskop, namun bagi saya secara personal, ketakutan lebih banyak diperoleh dari permainan atmosfir atau masa-masa saat si lelembut tidak menunjukkan rupanya ke penonton. Ketika Shideh merasakan adanya ketidakberesan di tempat tinggalnya tapi tak bisa benar-benar mengonfirmasi apakah memang ada makhluk lain di dekatnya seperti berulang kali diutarakan Dorsa atau itu hanya ilusi belaka hasil dari tekanan demi tekanan. Terlepas dari apapun jawabannya, penonton berada di fase terteror sesuatu yang bersifat supranatural. Mengerikannya, ini seperti ketika kita sedang berada di rumah atau kos sendirian (yup, tak ada seorangpun!) lalu menyadari adanya keganjilan sulit terjelaskan dan kita tidak bisa memastikannya entah karena pandangan mata terbatas atau sekadar ulah dari imajinasi yang kelewat liar. Rasa takutnya ada di level berbeda. Ya, karena mengetahui ada sesuatu yang salah tetapi tidak bisa melihatnya itu seringkali lebih menyeramkan ketimbang dapat mendeteksi secara jelas dimana letak kesalahannya. Cara inilah yang ditempuh Anvari dalam mempermainkan ketakutan penontonnya di Under the Shadow dan harus diakui, itu sangatlah jitu!

Outstanding (4/5)

REVIEW : FANTASTIC BEASTS AND WHERE TO FIND THEM


“Yesterday, a wizard entered New York with a case. A case full of magical creatures. And unfortunately, some have escaped.” 

Gagasan mengalihrupakan buku Fantastic Beasts and Where to Find Them hasil tulisan J.K. Rowling (menggunakan nama samaran Newt Scamander) ke medium audio visual sebetulnya sudah terdengar maksa, apalagi merentangkannya menjadi franchise baru dengan total jenderal lima seri. Jelas sudah jauh lebih gila pula ambisius dari The Hobbit tempo hari. Pasalnya, Fantastic Beasts bukanlah berbentuk novel konvensional yang didalamnya mengandung plot runtut melainkan sebuah ensiklopedia mini berisi panduan atas satwa magis yang dijadikan buku teks wajib bagi siswa-siswi Hogwarts. Jadi pertanyaannya adalah, akankah versi filmnya berceloteh mengenai petualangan si pengarang dalam berburu binatang-binatang fantastis ini seperti, errr... Pokemon? Bisa jadi. Pun demikian, segala bentuk skeptisisme terhadap spin-off sekaligus prekuel bagi kedelapan seri film Harry Potter ini perlahan tereduksi begitu dikonfirmasi bahwa J.K. Rowling ikut turun tangan secara langsung sebagai penulis skrip. Keterlibatan ibunda, disamping sedikit banyak memberikan jaminan bahwa Fantastic Beasts tidak akan melenceng jauh dari jalurnya, juga membantu meningkatkan excitement di kalangan Potterhead karena ini kesempatan emas untuk bernostalgia pula mengeksplor lebih jauh wizarding world dalam semesta Harry Potter rekaan Rowling. 

Fantastic Beasts melempar kita jauh ke pertengahan dekade 20’an – atau 70 tahun sebelum peristiwa di Harry Potter and the Sorcerer’s Stone – dengan fokus penceritaan diletakkan pada seorang zoologist satwa ajaib bernama Newton Scamander (Eddie Redmayne) yang melakukan penjelajahan mengarungi berbagai belahan dunia guna menemukan hewan-hewan magis. Di jilid pertama ini, Newt menyambangi The Big Apple. Beberapa saat setelah menjejakkan kaki di New York, Newt dihadapkan pada suatu insiden yang menyebabkan kopernya tertukar dengan seorang No-Maj (sebutan bagi Muggle, manusia biasa tanpa kekuatan sihir, di Amerika), Jacob Kowalski (Dan Fogler). Koper Newt bukan sembarang koper, saudara-saudara. Ini semacam portal ke dimensi lain yang didiami satwa-satwa magis ‘peliharaan’ si empunya koper. Maka alangkah paniknya tatkala benda tersebut menghilang dari pandangannya dan terlebih lagi, beberapa penghuninya melepaskan diri. Mengingat situasi di New York tengah tidak kondusif bagi para penyihir dengan munculnya grup ekstrimis ‘Salem Kedua’ yang menentang keberadaan penyihir, Newt dibantu oleh Tina (Katherine Waterston), mantan Auror di Magical Congress of the United States of America, dan Jacob, harus berpacu waktu untuk mengumpulkan kembali satwa-satwa yang terlepas sebelum situasi dan kondisi semakin merunyam. 

Film telah menguarkan aroma magis familiar yang kuat sedari menit-menit pertama dengan penampakkan surat kabar dunia sihir dengan foto-foto bergeraknya. Tak berselang lama, tanpa banyak berbasa-basi, penonton langsung digiring mengikuti adegan kejar-mengejar mengasyikkan tatkala seekor Niffler (menyerupai possum secara bentuk fisik) menyelinap keluar dari koper Newt, berburu benda-benda berkilauan di bank, dan membuat Newt terpontang-panting dalam upayanya menangkap sekaligus menahan perhatian dari kaum No-Maj. Harus diakui, perburuan si tokoh utama atas para satwa yang berlari-larian di sekitar kota New York merupakan salah satu bagian terbaik dari film. Selain Niffler, Newt juga harus menangkap beberapa hewan lain seperti Erumpent (mirip badak bercula satu) dan Occamy (perpaduan burung dengan ular) yang masing-masing menghadirkan momen mendebarkan, bernuansa magis, serta berbalut gelak tawa. Pemicunya, selain tingkah laku dari para satwa itu sendiri, reaksi Jacob terhadap hal-hal ajaib yang belum pernah dilihatnya sebelumnya pun priceless. Ya, sosok Jacob yang tidak lain yakni Muggle pertama dengan peran krusial di lini utama dalam franchise Harry Potter memang dimanfaatkan sebagai comic relief bagi Fantastic Beasts. Keberadaannya yang senantiasa memberikan keceriaan ke nada film merupakan salah satu faktor mengapa Fantastic Beasts terasa segar untuk disimak. 

Sementara di paruh awal Fantastic Beasts seringkali menghidupkan setelan mode ‘cerah’ seperti dua jilid pertama film Harry Potter, David Yates yang juga menangani empat jilid terakhir Harry Potter lantas mengaktifkan tone ‘suram’ seperti halnya seri ketiga sampai akhir di paruh sisanya seiring kian terdeteksinya ancaman. Fantastic Beasts bukan semata-mata berceloteh mengenai perjuangan Newt dalam mengumpulkan kembali piaraannya karena gambaran lebih besarnya adalah perkara klasik dari franchise ini; pertarungan antara kubu putih dengan kubu hitam. Sejatinya penonton telah bisa mengendusnya dari awal mula melalui eksistensi Salem Kedua dan satu dua karakter ambigu, namun Yates bersama Rowling baru benar-benar menaruh fokus ke guliran penceritaan yang kentara terasa merupakan pijakan awal dari intrik utama di franchise ini usai Newt menuntaskan ‘misi kecilnya’. Saya tidak akan menyebutkan secara spesifik pertentangan apa (dan siapa) yang dihadapi oleh Newt demi menjaga ketertarikanmu terhadap film, satu petunjuk yang bisa disebar adalah ada kemunculan kekuatan jahat berwujud Obscurial. Plot dalam pergulatan dengan sisi gelap sendiri sejatinya terbentuk dari ide dasar yang generik – sedikit banyak melemparkan ingatan ke seri-seri awal Harry Potter – namun pengolahan Rowling dan Yates membuatnya tetap mempunyai daya pikat maupun daya sentak. Malah, hasil akhirnya juga memberi daya sentuh ke emosi penonton. 

Memperoleh bala bantuan dari sang kreator bisa dikata membawa keuntungan tersendiri bagi Fantastic Beasts. Penceritaannya melaju cukup mulus – pembentukan world building-nya di era Roaring Twenties tertata rapi dan pendeskripsian barisan karakternya juga menarik – dengan perpaduan dua warna film yang bertolak belakang serasa saling melengkapi. Dampaknya, durasi sepanjang dua jam pun berlangsung cepat, mengikat, serta menyenangkan. Tidak sekalipun momen-momen menjemukan menyergap sepanjang berlangsungnya Fantastic Beasts malahan setiap menitnya terasa kian menyenangkan dan menyenangkan. Ndilalah, para pelakon yang direkrut untuk ambil bagian disini pun sadar akan tanggung jawab masing-masing. Eddie Redmayne begitu menyatu dengan sosok Newt yang canggung – membuktikan bahwa dia adalah salah satu aktor terbaik Britania Raya dewasa ini, lalu Katherine Waterston yang mengisi peran utama perempuan pertama di franchise (catatan, Hermione berada di posisi pendukung) menunjukkan kemesraan bersama Redmayne, sedangkan duo Dan Fogler beserta Alison Sudol yang merupakan versi lebih konyolnya Ron-Hermione pun tampil sesuai porsi tanpa pernah mendistraksi. Mereka bersatu padu dengan iringan musik membius dari James Newton Howard dan efek khusus mengagumkan yang lihai memvisualisasikan keajaiban wizarding world-nya Rowling maupun New York era 20-an, sehingga hasilkan tontonan fantasi menggelegar yang akan seketika menghapus keraguan terhadap dicetuskannya lima seri sekaligus menyulut ketidaksabaran penonton untuk sesegera mungkin mencicipi jilid selanjutnya dari Fantastic Beasts

Outstanding (4/5)




REVIEW : HACKSAW RIDGE


“While everybody is taking life I’m going to be saving it, and that’s going to be my way to serve.” 

Mengistirahatkan diri dari karir penyutradaraan selama satu dekade tercatat sedari Apocalypto (2006) dan lantas mengalihkan energinya ke bidang lakonan maupun produser yang kurang menuai sukses, Mel Gibson akhirnya memutuskan untuk kembali menekuni karir yang telah menghadiahinya satu piala Oscars (berkat Braveheart) lewat Hacksaw Ridge. Masih mengusung elemen epik kolosal seperti ketiga garapan terdahulunya – termasuk pemenang Oscars, Braveheart, dan film kontroversial tentang Yesus, The Passion of the ChristHacksaw Ridge didasarkan pada kisah nyata menakjubkan dari seorang prajurit bagian medis bernama Desmond T. Doss yang dianugerahi Medali Kehormatan atas jasa-jasanya menyelamatkan puluhan nyawa pada Perang Dunia II. Apabila fakta yang menyebutkan dia bisa membawa pulang sebanyak 75 prajurit (malah ada kemungkinan lebih dari itu!) secara selamat dari medan peperangan belum cukup membuatmu takjub, tunggu sampai kamu mengetahui kenyataan bahwa Doss sukses melakukan aksi penyelamatan tersebut sekalipun dirinya sama sekali enggan memanggul senjata selama diterjunkan mengikuti pertempuran melawan Nippon. 

Ya, Doss (Andrew Garfield) telah menyatakan keberatannya untuk memegang senjata sejak berada di kamp pelatihan lantaran membunuh orang bertentangan dengan ajaran agama yang dianutnya – Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh. Selain itu, mengingat Sabtu merupakan hari Sabat, Doss juga memilih tidak mengikuti pelatihan di hari Sabtu. Keteguhan hati Doss untuk mempertahankan keyakinannya tentu mengundang kontroversi terlebih, hey, mana mungkin kamu bisa ikut berperang tanpa dilengkapi senjata dan peluru? Terdengar seperti misi bunuh diri. Nyatanya, sekalipun atasannya, Sersan Howell (Vince Vaughn), dan rekan-rekan infanterinya telah mengerahkan beragam upaya guna menggoyahkan imannya termasuk melancarkan aksi perundungan berbentuk verbal (menyebutnya seorang pengecut, salah satunya) dan fisik, menyeretnya ke pengadilan karena keenggannya berkompromi dengan keyakinannya berpotensi membahayakan nyawa prajurit lain, sampai memenjarakannya yang berdampak ke tertundanya pernikahan Doss dengan sang kekasih, Dorothy (Teresa Palmer), Doss bergeming. Dia tetap menunjukkan tekad bulatnya berpartisipasi dalam Pertempuran Okinawa tanpa sedikitpun bersentuhan dengan senjata karena tujuannya mengikuti perang bukanlah menundukkan musuh melainkan menyelamatkan nyawa orang lain. 

Diam-diam, ternyata Hacksaw Ridge bermain-main di ranah religi horor, atau setidaknya demikian berdasarkan pandanganku. Sebetulnya, apabila kita berpatokan pada karya terdahulu Mel Gibson – plus fakta bahwa dia adalah penganut Katolik – pendekatan yang diambil oleh si pembuat film untuk menyampaikan kisah hidup penuh keajaibannya Desmond Doss tidak lagi mengejutkan. Apalagi, sang subjek dideskripsikan pula taat beragama. Tapi jangan risau akan diperdengarkan ceramah-ceramah agama berkepanjangan (lengkap dengan kutipan satu dua ayat dari Injil) karena Gibson tak berniat mencekoki penonton dengan dogma-dogma. Dia berusaha sebisa mungkin agar nilai-nilai relijius yang diaplikasikan oleh Doss dalam kehidupannya tidak terlampau tersegmentasi ke agama tertentu, melainkan dapat terkoneksi ke audiens secara universal. Penonton diharapkan memahami pesan yang coba dilontarkan Gibson melalui tindak-tanduk Doss. Bukan semata-mata mengenai patriotisme, keberanian, pembuktian diri, maupun determinasi, tetapi juga bagaimana mempertahankan keyakinan yang kamu miliki ditengah-tengah gempuran pihak-pihak yang mencoba meruntuhkannya. Juga, sedikit banyak menyentil khalayak ramai yang berani mengklaim dirinya ‘beriman’ sekalipun perangainya tergolong kontradiktif – lebih memilih menyebarkan kebencian alih-alih kebaikan. Familiar? 

Dari penjabaran sekelumit ini, telah terkuak sisi religiusitas yang dikulik Hacksaw Ridge. Lalu, dimana letak horornya? Well, untuk sekali ini, istilah ‘horor’ tidak dipegunakan untuk merujuk kepada kehebatan film menggempur emosi pemirsanya sedemikian rupa, melainkan pada visualisasi yang nyata-nyata meneror. Disamping kerap mengusung tema berbau samawi, Gibson dikenal dengan kecintaannya mempresentasikan kekerasan serealistis mungkin. Ingat adegan penyaliban Yesus di The Passion of the Christ yang luar biasa bikin ngilu? Saya bisa meyakinkan, itu tidak ada apa-apanya dibanding apa yang terpampang dalam Hacksaw Ridge. Medan pertempuran yang biasanya terlihat tak ubahnya wahana paintball di kebanyakan film Hollywood – salah satu alasan, demi memperendah batasan klasifikasi usia penonton – disini menunjukkan kengeriannya. Peringatan bagi kalian yang tidak tahan melihat darah, apalagi bagian-bagian tubuh manusia tercecer, visualisasi dalam Hacksaw Ridge mungkin akan menonjok perutmu hebat-hebat. Gibson tak berkeberatan menampilkan pemandangan mengganggu kenikmatan menyantap cemilan semacam semburat otak akibat kepala tertembus peluru, kaki-kaki terpenggal, usus terburai kemana-mana, sampai gelimpangan mayat yang dikerumuni hewan pengurai bangkai. Semuanya dipertahankan atas nama ‘rasa’. 

Kehebatan Hacksaw Ridge setidaknya bersumber dari dua pilar, yakni elemen drama bernafaskan siraman rohani yang merasuk di hati dan elemen laga pada adegan peperangannya yang menggedor jantung. Keduanya bersinergi sempurna, turut terbantu pula oleh performa menakjubkan dari barisan bintang-bintang ternamanya. Kita telah mengetahui kapabilitas seorang Andrew Garfield berolah peran, namun Hacksaw Ridge boleh jadi merupakan ‘game changer’ bagi karir keaktorannya. Dengan keimanannya mendekati level Santo, Doss berpotensi menjelma sebagai sosok out-of-the-world yang sulit didekati (dan diyakini ada) apabila dimainkan aktor yang tak tepat. Di tangan Garfield, kita bisa terhubung dengan Doss sekaligus percaya pada perkembangan karakternya sepanjang film yang berujung ke terinspirasi terhadap tindakan-tindakannya. Selain Garfield, Hacksaw Ridge yang begitu hebat menyentuh sensibilitas kemanusiaan penontonnya melalui tuturan mencerahkan nan mencengkram ini juga menjadi saksi atas kemahiran berlakon dari Vince Vaugh, Sam Worthington, Hugo Weaving, Rachel Griffiths, serta Teressa Palmer. Jika ada yang menyebutnya sebagai film perang terbaik sejak Saving Private Ryan, itu tidaklah berlebihan. 

Outstanding (4/5) 

REVIEW : OUIJA: ORIGIN OF EVIL


“He's gone. He lives in the dark and the cold, and he screams, and screams, and screams...” 

Ouija (dibaca wee-jah) adalah sebutan untuk sebuah papan kayu datar yang diukiri huruf-huruf beserta angka-angka, dibubuhi kata berbunyi “yes” “no” maupun “goodbye”, serta berhiaskan ornamen matahari serta bulan di kedua sisi atas. Kegunaannya, sebagai media berkomunikasi dengan arwah – ya mirip-mirip Jelangkung gitu deh. Terdapat tiga peraturan yang kudu dipatuhi selama bermain dengan Ouija; dilarang memainkannya sendiri, dilarang mempergunakannya di atas kuburan, dan wajib mengucap salam perpisahan saban mengakhiri sesi tanya jawab bersama para lelembut. Ketiga peraturan ini sifatnya mutlak, tidak mengenal kompromi dalam bentuk apapun. Jika berani melakukan pelanggaran, bersiaplah menerima konsekuensi mengerikan seperti biasa dialami oleh karakter-karakter mengenaskan di film horor. Kebenaran mengenai Ouija sendiri sebetulnya masih dipertanyakan, namun board game keluaran Hasbro ini sempat mengalami lonjakan popularitas di era 60-an dan perlahan tergerus keberadaannya oleh modernitas. Belakangan Hasbro berniat mempopulerkannya kembali lewat medium film berjudul Ouija di tahun 2014 dan disusul prekuelnya dua tahun kemudian, Ouija: Origin of Evil, yang berupaya memperbaiki citra film pendahulu yang memprihatinkan. 

Masih ingat dengan guliran penceritaan film pertama? Masih? Atau justru telah terhempas jauh-jauh dari ingatan? Apabila kamu tergolong dalam pemilih jawaban terakhir, tidak perlu malu-malu mengakuinya karena kamu mempunyai banyak teman (banyak sekali malahan!) dan sekalipun ada benang merah dari sisi plot yang menautkan kedua jilid, Origin of Evil bisa berdiri sendiri. Dibidani oleh Mike Flanagan (sebelumnya dia mengarahkan dua film seram jempolan, Oculus dan Hush), film mengambil latar penceritaan di Los Angeles pada tahun 1967 dengan menyoroti keluarga Zander. Telah kehilangan sosok kepala keluarga, Alice (Elizabeth Reaser) menjabani profesi sebagai cenayang agar asap dapur tetap ngebul dan tempat tinggalnya bersama kedua putrinya; Lina (Annalise Basso) serta Doris (Lulu Wilson), tidak disita oleh bank. Pun begitu jangan bayangkan Alice sebagai cenayang ulung yang mahir berbincang-bincang bersama para arwah karena pada kenyataannya, dia tidak lebih dari sekadar penipu yang mempergunakan trik untuk menimbulkan efek yakin ke klien-kliennya. Pergesekannya dengan dunia arwah baru benar-benar terjadi saat Alice mencoba mengetes pemakaian Ouija di rumahnya. Tidak disangka-sangka, ada respon. Saking bersemangatnya, Alice melanggar peraturan-peraturan penggunaan Ouija yang lantas berdampak pada terancamnya keselamatan keluarganya. 

Menyebut Origin of Evil jauh lebih bermartabat daripada Ouija (2014) sejatinya tidaklah berarti banyak karena film pertamanya adalah definisi dari sebuah kekacauan besar. Ditambah lagi ada bala bantuan dari Mike Flanagan, plus jalinan pengisahan menitiberatkan ke peristiwa pra film pertama yang besar kemungkinan lebih mengikat alih-alih meneruskannya, kita sudah bisa mencium aroma agak menyegarkan di Origin of Evil. Mudahnya, mana mungkin sih bisa lebih buruk dari sebuah film yang buruknya sudah teramat sangat? Dan memang tidak. Setidaknya di paruh pertama, naskah rancangan Flanagan dan Jeff Howard membenamkan penonton ke dalam eksposisi bermuatan cukup daya tarik atas keluarga Zander. Kita telah mengetahui sedari menit pertama bahwa mereka merupakan korban utama dari jilid ini dan duo Flanagan-Howard berniat memberi banyak ruang untuk berkenalan dengan Alice beserta kedua putrinya demi membentuk keterikatan emosi yang acapkali terpinggirkan dalam film memedi. Cara mereka bisa dikata berhasil. Dengan plot yang juga enak diikuti, ada kemauan untuk mengetahui jawaban-jawaban dari pertanyaan “bagaimana nasib mereka berikutnya?” sekaligus “apa yang sesungguhnya terjadi disini?.” Origin of Evil unggul pada kemampuannya bercerita di titik ini. 

Mengingat bagaimanapun juga ranah yang ditekuninya adalah horor, lantas bagaimana dengan gaya menakut-nakutinya? Satu hal yang perlu diketahui, Origin of Evil bukanlah tipe film sejenis (katakanlah) The Conjuring yang terhitung loyal menggeber penampakan atau setidaknya menciptakan momen-momen penggedor jantung. Teror mencuat perlahan disini – sangat, sangat perlahan – dengan dominasi ada di bangunan atmosfir mengganggu. Jika kamu telah akrab dengan gaya Flanagan dan memang tidak berkeberatan memperoleh cekaman dari suasana, maka film ini boleh jadi akan bekerja untukmu. Tapi jika pengharapanmu bertebaran kengerian hasil dari penampakan (ada, tapi sosoknya lebih ke konyol daripada seram. Ugh!), bumihanguskan segera. Itu tidak bisa kamu jumpai disini. Akan tetapi, apakah pendekatan si pembuat film dalam perkaranya menghantui penonton di Origin of Evil terhitung berhasil terlepas dari preferensi hadirkan teror? Well, bagi saya, tidak terlalu. Memang sih saat pertama kali keanehan mulai menghiasi rumah keluarga Zander, tersalur rasa tidak nyaman – dan Lulu Wilson tampak creepy! – namun repetisi serta paruh kedua yang tuturannya juga beralih generik membantu mereduksinya. Mode ‘horor tulen’ di Origin of Evil nyatanya tidaklah sekuat mode ‘drama supranatural’-nya. Ketimbang tercekam, kelelahan berikut kejenuhan adalah apa yang dirasakan di sisa durasi dan saat credit title mulai menampakkan diri, rasanya sungguh lega.

Acceptable (2,5/5)



REVIEW : SHY SHY CAT


“Buat apa saya minta ke kamu? Minta itu ke Allah. Dan dari dulu yang saya minta ke Allah cuma kamu.” 

Apabila kamu berasal dari kota kecil, atau malah pelosok desa, rasa-rasanya pernah berada di fase diteror dua perkara. Pertama, kesulitan menjumpai pekerjaan sesuai minat bakat dengan gaji memadai sehingga bayangan soal meninggalkan kampung halaman lalu menjajal cari peruntungan hidup di metropolitan terus menerus menyembul. Dan kedua, diburu-buru menikah dengan ‘ancaman’ akan dijodohkan jika belum kunjung menemukan calon pendamping hidup kala menapaki usia tertentu. Melalui kolaborasi ketiganya bersama Adhitya Mulya setelah Test Pack: You Are My Baby dan Sabtu Bersama Bapak, Monty Tiwa mencoba merangkum (plus menertawakan) kegelisahan-kegelisahan ini ke bentuk sebuah tontonan komedi romansa sarat kritik sosial yang dimeriahkan barisan bintang-bintang ternama berjudul Shy Shy Cat. Dalam kaitannya sebagai sentilan sentilun, film memang cenderung terbata-bata untuk memenuhi segala potensinya. Tapi dalam tatarannya sebagai sajian yang diperuntukkan bagi para pencari obat pelepas penat, Shy Shy Cat terhitung merupakan salah satu yang paling berhasil tahun ini. 

Konflik di Shy Shy Cat bermula dari panggilan telepon yang diterima Mira (Nirina Zubir) saat dirinya tengah merayakan hari jadi ke-30. Orang tuanya menagih janji yang diikrarkan beberapa tahun silam soal pulang kampung di usia 30 jika jodoh belum kunjung merapat ke Mira. Mengetahui akan dijodohkan dengan Otoy (Fedi Nuril), teman masa kecil yang sejauh ingatan Mira bisa melayang adalah sosok menjengkelkan, dia pun merancang skenario penggagalan upaya taaruf bersama dua sahabatnya, Jessy (Acha Septriasa) dan Umi (Tika Bravani). Membawa prasangka-prasangka buruk atas kampung halamannya, betapa terkejutnya Mira tatkala mendapati Desa Sindang Barang yang menahun ditinggalkannya telah berkembang begitu pesat. Bahkan Otoy yang diperkirakannya hanya akan bikin ilfeel, nyata-nyatanya menjelma menjadi pemuda idaman di desa sehingga menggoyahkan skema sandiwara mereka. Tidak hanya mengacaukan segala bentuk rencana untuk menghindari perjodohan dengan Otoy, perubahan-perubahan tak diantisipasi ini nyatanya turut berdampak pada terujinya tali persahabatan ketiganya. 

Berbincang soal komedi, pendefinisian paling tepat bagi Shy Shy Cat adalah heboh, norak serta luar biasa konyol – semuanya in a good way. Ya, bom tawanya tidak serta meledak beberapa menit seusai film lepas landas, namun setahap demi setahap dan berangsur tidak terkontrol semenjak Mira beserta rombongan menginjakkan kaki di Desa Sindang Barang. Guyonan-guyonannya bercita rasa ‘liar’ dengan kebanyakan berhasil mengenai target yang disasar berkat lakonan ajaib pula dari barisan pemainnya. Diantara ensemble cast-nya yang rata-rata bermain sangat baik seperti Nirina Zubir, Soleh Solihun, serta Titi Kamal, dua pelakon paling bertanggung jawab atas meledaknya riuh tawa penonton adalah Tika Bravani dan Acha Septriasa. Ketepatan Tika dalam menghantarkan lawakan sejatinya tidak perlu dipertanyakan lagi karena kita pernah melihatnya menggila di Hijab, namun di Shy Shy Cat, dia membawanya ke level lebih sinting yang akan membuatmu yakin bahwa dia adalah aktris Indonesia ber-coming timing paling menakjubkan saat ini. Tengok saja ekspresi polosnya kala mengucap, “mau berjalan-jalan di desa yang indah ini,” yang merupakan salah satu momen terbaik di Shy Shy Cat

Sedangkan Acha Septriasa, well, it’s a pleasant surprise. Acha bukannya asing dengan genre komedi huru-hara, hanya saja perannya sebagai aktris esek-esek jelmaan Sally Marcellina bernama Jessy Bomb disini adalah pertama kalinya Acha tampil begitu effortless dalam ngelawak. Setiap kemunculannya menaikkan level keriaan bagi film, sampai-sampai ada rasa rindu menyergap tatkala sosoknya menghindar sejenak dari sorotan. Saking primanya performa dari para bintang ini, terlebih ketika mereka menyampaikan banyolan, sedikit banyak mengampuni terpinggirkannya plot. Semangat ngelaba Shy Shy Cat yang kelewat tinggi berdampak ke berkurangnya kuota bercerita. Obrolan bertopik kearifan lokal nan mengikat yang akan mudah relate ke banyak penonton seperti perjodohan, nikah muda, kalangan muda-mudi yang lebih memilih mengikuti gelombang urbanisasi ketimbang membangun desa sendiri, sampai pentingnya menyeimbangkan bisnis dengan agama maupun sebaliknya, yang kentara diniatkan sebagai bahan melontarkan kritik sosial tidak pernah terjamah lebih jauh. Andai saja duo Adhitya Mulya dan Monty Tiwa menentukan fokus pada topik tertentu lalu mengembangkannya, bisa jadi Shy Shy Cat akan sekuat Get Married jilid awal atau Kapan Kawin?. Agak disayangkan memang karena sebetulnya potensi besar telah terpampang nyata dengan dipunyainya satu dua momen cukup menggelitik pikiran, manis sekaligus haru di titik tertentu.

Exceeds Expectations (3,5/5)

REVIEW : AE DIL HAI MUSHKIL


“We can’t choose when to fall in love, but we can choose when to walk away.” 

Sudah cukup lama diri ini tidak mendapati nama Karan Johar mengemban kredit sebagai sutradara. Selepas meluncurkan Student of the Year (2012), putra dari sutradara legendaris, Yash Johar, yang kini mengelola rumah produksi Dharma Productions ini lebih asyik menempati kursi produser. Baru menjelang perayaan Diwali (hari raya bagi umat Hindu di India) di tahun 2016, Karan yang memulai karir penyutradaraannya dengan menggarap film fenomenal Kuch-Kuch Hota Hai kembali menyapa para penikmat tontonan Bollywood. Lewat kreasi termutakhirnya bertajuk Ae Dil Hai Mushkil, atau mempunyai makna this heart is complicated, sekali lagi Karan bermain-main di zona yang membesarkannya, disayanginya, serta dikuasainya betul-betul. Itu berarti, film tersusun atas elemen-elemen berikut ini: 1) pelakon utama bertampang rupawan, 2) lokasi pengambilan gambar mengagumkan yang kebanyakan berada di luar India, 3) plot terkait hubungan percintaan rumit, 4) nomor-nomor musikal renyah di telinga, 5) melodrama penguras air mata, 6) tata produksi diatas rata-rata, dan 7) durasi melampaui 2,5 jam. Pengecualian untuk My Name is Khan, kamu bisa mendapati adanya tujuh unsur tersebut di film-film Karan termasuk Ae Dil Hai Mushkil

Seperti hasil dari pernikahan antara Kuch-Kuch Hota Hai dengan Kal Ho Naa Ho (skripnya ditulis Karan dan Niranjan Iyengar yang juga meracik film ini), Ae Dil Hai Mushkil bertutur mengenai rumitnya hubungan dua sahabat, Ayan (Ranbir Kapoor) dan Alizeh (Anushka Sharma). Bermula dari kegagalan mereka bercumbu mesra lantaran ciuman Ayan dianggap aneh bagi Alizeh, keduanya lantas memilih menghabiskan waktu bersama dengan ngobrol sana-sini soal kehidupan percintaan sampai kegemaran masing-masing. Dipersatukan oleh kecintaan terhadap Bollywood di era 80’an, Ayan dan Alizeh akhirnya memutuskan untuk lebih sering nongkrong bareng terlebih keduanya tidak mempunyai kesibukan berarti. Keriaan demi keriaan yang dilewati bersama mencapai ujungnya kala mereka bertandang ke Paris demi mengobati lara di hati Ayan setelah putus dari sang kekasih. Siapa menyangka di sana Alizeh justru berjumpa dengan seseorang dari masa lalu yang seketika merenggangkan persahabatannya dengan Ayan. Dibuat kecewa oleh keputusan Alizeh yang sejatinya dicintainya, Ayan memutuskan menjauhi sahabatnya tersebut dan mencoba menjalin hubungan bersama Saba (Aishwarya Rai Bachchan). Saat tampaknya masing-masing telah melanjutkan hidup, sebuah reuni kecil meruntuhkan segalanya. 

Ae Dil Hai Mushkil adalah kesempatan paling tepat bagi kita untuk mengucap, “selamat datang kembali, Karan Johar!.” Memang sih ini bukan tergolong film terbaik yang pernah diproduksi Karan bersama Dharma – bagaimanapun juga, Kuch-Kuch Hota Hai dan Kabhi Khushi Kabhie Gham adalah karyanya paling juara sampai sekarang – namun tetap sebuah comeback memuaskan apalagi seusai Student of the Year yang kurang greget itu. Ae Dil Hai Mushkil yang jelas-jelas berada di ranah kekuasaan Karan merupakan bukti bahwa sutradara ini masih cakap dalam menghantarkan cerita. Tengok saja, sepintas muatan cerita dari film keenamnya ini terdengar usang mengingat plot “teman tapi mesra” atau friendzone sudah berulang kali dijamah. Yang kemudian membuatnya berasa segar sekaligus lezat untuk disantap adalah kepiawaiannya mengemas berikut menyampaikannya ke khalayak ramai. Ini tidak semata-mata gelaran melodrama picisan perihal cinta bertepuk sebelah tangan seperti pernah dikuliknya melalui Kuch-Kuch Hota Hai atau Kal Ho Naa Ho, tapi dia mencoba menggalinya lebih mendalam dengan memberi pembacaan sarat dialog-dialog menggugah pemikiran terhadap beberapa jenis cinta lain yakni cinta berlandaskan nafsu dan cinta platonik, yang akan membawamu pada perenungan soal ‘relationship’

Berat? Sama sekali tidak. Dibalik kupasan cenderung filosofisnya, di permukaan Ae Dil Hai Mushkil masihlah tontonan meriah ala Karan Johar yang memuat tujuh unsur seperti dikemukakan pada paragraf pembuka. Mula-mula film disajikan energik mengenalkan kita ke sosok Ayan dan Alizeh. Selama setidaknya satu jam pertama ini, film bergerak semau-mau gue mengikuti jiwa penuh kebebasan – kalau tak mau juga dibilang agak kekanakan – dari kedua tokoh utamanya. Antisipasi munculnya tembang-tembang menghentak bernafaskan EDM disertai koreografi heboh, referensi cerdas ke dunia Bollywood era 80’an, sampai riuh tawa bersumber dari tingkah laku konyol Ayan maupun ledekan terhadap keklisean film-film Bollywood (contoh: adegan tari hanya berbalut kain sari di pegunungan bersalju), di paruh ini. Lalu, terhitung sedari dilantunkannya nomor sendu berjudul Channa Mereya yang menandai pertama kalinya Ayan mampu memaknai patah hati, nada film berkelok ke arah melodrama. Tanpa pernah tersandung menjadi kelewat menye-menye, dari sisi muram, Ae Dil Hai Mushkil pun mempunyai satu dua momen merobek hati yang berkesan ditambah nomor-nomor balada cakep (favorit ada di Ae Dil Hai Mushkil dan Bulleya) yang turut memosisikannya sebagai film India dengan soundtrack paling ciamik tahun ini. Bagi saya, gugurnya air mata paling hebat terjadi di adegan melatari mengalunnya Channa Mereya dan makan malam yang mempertemukan Ayan, Alizeh, serta Saba untuk pertama kali. Tanpa banyak dilontari kata-kata, hanya mengandalkan air muka dari ketiga pemain utama, momen ini menyuarakan kekecewaan dan sakit hati secara lantang. 

Kunci terletak di akting jempolan barisan pemainnya. Ae Dil Hai Mushkil sangat diberkahi mempunyai aktor aktris sekaliber Ranbir Kapoor, Anushka Sharma, dan Aishwarya Rai Bachchan di lini terdepan lalu penampil singkat seperti Fawad Khan, Lisa Hayden, serta Shah Rukh Khan yang mencuri perhatian di kemunculan masing-masing. Ranbir mencurahkan segenap kemampuannya demi menghidupkan karakter Ayan yang labil pula sedikit childish. Ada kalanya berasa menyebalkan, namun seringkali dia terlihat sebagai sosok adorable yang sulit dibenci. Interaksi hidupnya bersama Anusha Sharma – sekali lagi menunjukkan bahwa dia salah satu aktris Bollywood masa kini yang bagus – menggerakkan roda film. Kita meyakini mereka adalah sahabat sejati dan saat salah satu memutuskan berpisah, tertinggal luka di hati penonton. Aishwarya Rai Bachchan yang ternyata oh ternyata mendapatkan jatah porsi tampil sekelumit (damn!) juga jauh dari kata mengecewakan. Malah, dia tampil sangat menghipnotis. Di tangannya, Saba menjelma sebagai sosok ‘mematikan’ yang mencuat dari hasil kombinasi cantik, cerdas, seksi, dan elegan. Tambahkan dengan pengarahan jempolan dari Karan, skrip cukup berisi, dan tembang-tembang musikal gubahan Pritam yang easy listening, Ae Dil Hai Mushkil adalah salah satu persembahan paling menawan dari Bollywood tahun ini.

Exceeds Expectations (3,5/5)