Archive for October 2016

REVIEW : DOCTOR STRANGE


“You think you know how the world works. You think this material universe is all there is. What if I told you the reality you know is one of many?” 

Dengan pustaka film kepunyaan Marvel Studios telah mempunyai sejumlah koleksi terhitung sangat impresif semacam Iron Man 2, Captain America: Winter Soldier, sampai The Avengers, sejatinya sudah cukup sulit membayangkan langkah apa selanjutnya yang bakal mereka tempuh guna mempertahankan posisi sebagai penghasil adaptasi film komik terkemuka di dunia saat ini. Di kala pesimistis mulai mengusik, serentetan kejutan satu demi satu menyeruak berwujud Guardians of the Galaxy yang berjasa mempopulerkan kembali tembang-tembang dari era 60-70’an, Ant-Man mencuplik elemen heist movie, hingga paling anyar, Doctor Strange, yang menguatkan kembali keyakinan bahwa studio ini tidak akan membuat film buruk... setidaknya dalam waktu dekat. Tajuk utama dari film keempat belas dalam rangkaian Marvel Cinematic Universe ini sendiri telah berteriak cukup lantang untuk menggambarkan seperti apa tontonan yang bakal kita dikonsumsi, yaitu strange (aneh) – meski kata “strange” disini merujuk pada nama belakang si karakter utama, bukan berfungsi sebagai kata sifat. Akan terdengar cenderung hiperbolis memang menyebut Doctor Strange sebagai sebuah “the strangest mainstream movie I’ve ever seen!”, tapi memang begitulah adanya. Mendobrak segala batasan-batasan yang ada, film arahan Scott Derrickson ini membawamu menjelajahi dunia imajinasi yang boleh jadi tak pernah kamu bayangkan akan bisa dicicipi di film superhero sebelumnya. 

Sebagai sebuah origin story, Doctor Strange memang tidak membawa banyak pembaharuan dari sektor plot. Polanya serupa tapi tak sama dengan film-film Marvel Studios terdahulu, utamanya Iron Man, mengingat karakter Dokter Stephen Strange (Benedict Cumberbatch) adalah seorang jenius kaya nan arogan seperti halnya Tony Stark. Arogansi Strange terbentuk lantaran dia memiliki kecerdasan diatas rata-rata yang berkontribusi dalam melesatkan karirnya menjadi salah satu dokter spesialis bedah syaraf paling berpengaruh. Akan tetapi, segala kesempurnaan dalam hidup Strange seketika terenggut saat kedua tangannya tidak bisa lagi berfungsi secara semestinya pasca dia mengalami kecelakaan mobil hebat. Jangankan untuk berakrobatik di ruang operasi, sekadar mencukur jambang saja kesulitan bukan main. Berbulan-bulan memburu bantuan dari dunia medis modern guna memulihkan tangannya namun tak satupun membawa hasil, pencarian Strange lantas membawanya ke Nepal setelah memperoleh informasi dari mantan penderita paraplegia (kelumpuhan syaraf di bagian bawah tubuh) yang kini telah bisa berjalan. Konon di sebuah tempat bernama Kamar-Taj, tersimpan keajaiban dan kekuatan sulit terjabarkan yang memungkinkan para penghuninya menembus dimensi ruang serta waktu. Terbiasa menggunakan nalar sebagai solusi, logika berpikir Strange pun terusik sampai kemudian pemilik tempat keramat tersebut, The Ancient One (Tilda Swinton), menunjukkan apa yang bisa diperbuatnya apabila dia mampu menguasai ilmu-ilmu mistis. 

Doctor Strange itu aneh, memang benar. Tapi bukan aneh dalam makna peyorasi, melainkan justru sebaliknya dimana kamu akan disuguhi pertunjukkan visual sinting yang akan membuatmu mengucap syukur karena teknologi telah berkembang pesat dewasa ini. Tidak sekadar ingin pamer kecanggihan efek khusus buat gaya-gayaan kepada penonton – tanpa ada sedikitpun signifikansi terhadap pergerakan plot film itu sendiri seperti sering dilakukan oleh mayoritas film blockbuster – penerapan keajaiban teknologi dalam Doctor Strange dilakukan sebagai medium buat bercerita. Ada kebutuhan mendesak dibaliknya yaitu demi memvisualisasikan konsep dimensi lain (seperti Dimensi Cermin), keberadaan multisemesta, serta unsur magis yang bisa digapai dari pembelajaran soal mystic arts seperti dimaui sang kreator, Steve Ditko. Mendeskripsikan seperti apa kreativitas visualisasinya dalam bentuk untaian kata-kata tidak juga mudah sehingga penggunaan referensi film Inception arahan Christopher Nolan pun tak terelakkan. Ini berlaku untuk Dimensi Cermin dengan gravitasi jungkir balik, bangunan-bangunan pencakar langit yang terlipat-lipat bak kertas origami, sampai pergantian tanpa henti struktur kota. Sedangkan saat jiwa raga Strange diboyong The Ancient One menjelajahi dimensi lain, Scott Derrickson mengaplikasikan visual bergaya psychedelic yang akan turut memberimu ketakjuban sekaligus kecemasan di saat bersamaan hasil dari rasa sangat mengganggu yang ditimbulkan oleh visual tersebut. 

Unggul banyak dari sisi tampilan, Doctor Strange tidak kemudian berakhir sebagai tontonan style over substance. Walau plotnya kagak istimewa-istimewa amat – keluhan terbesar adalah polanya seirama dengan beberapa film Marvel sebelum ini – Scott Derrickson dan penulis skenario C. Robert Cargill tetap sanggup membentuk guliran pengisahan yang renyah buat dikudap serta mudah dinikmati. Hentakan telah dimulai sedari menit pertama saat The Ancient One memburu mantan muridnya yang membelot, Kaecilius (Mads Mikkelsen), dalam sebuah adegan kejar mengejar penuh energi dengan sebelumnya penonton terlebih dahulu diberi pemandangan mengejutkan terkait pemenggalan kepala (seriously, didn’t see that one coming!). Nada film yang terbentuk agam suram di permulaan lantas berlanjut, menggelayuti hari-hari Strange usai kecelakaan mencederai parah kedua tangannya. Mencapai titik ini sempat muncul tanda tanya besar apakah Marvel Studios mencoba merevolusi cara bertutur mereka melalui tone yang lebih kelam, sampai si titular character menjejakkan kaki di Kathmandu, Nepal, dan diantar Karl Mordo (Chiwetel Ejiofor) menuju Kamar-Taj dimana humor-humor one-liner pemicu gelak tawa mulai berhamburan satu demi satu mencerahkan suasana. Alih-alih mendistraksi, pembubuhannya mulus menyatu bersama plot dan turut mengeskalasi level excitement dari film. 

Tentu, salah satu kunci keberhasilan dari tersampaikannya serentetan kelakar lucu adalah performa jitu para pelakonnya terutama Benedict Cumberbatch yang perannya disini sedikit banyak mengingatkan pada Sherlock. Ya, kejelian dalam kasting pemain merupakan satu dari sejumlah keunggulan utama yang dipunyai Marvel Studios. Doctor Strange bisa jadi tidak akan sememikat ini apabila tidak memperoleh sokongan mengagumkan dari ensemble cast-nya yang kompak bermain bagus. Benedict Cumberbatch, sang punggawa departemen akting, menyuntikkan jiwa bagi sosok Strange. Terkadang dia sungguh menyebalkan sampai-sampai kita berharap tidak mempunyai rekan kerja seperti dia, terkadang dia memberi keceriaan di tengah-tengah suasana serba kaku maupun tegang melalui celetukan-celetukan konyolnya, terkadang dia tampak cerdas nan berwibawa sehingga kita memahami mengapa The Ancient One memberi kepercayaan besar padanya, dan terkadang pula dia terlihat sebagai sosok rapuh yang membutuhkan pelukan hangat dari kita. Kepiawaian Cumberbatch berolah-alih mempermainkan rasa sesuai kebutuhan membuat penonton tidak kesulitan untuk menginvestasikan emosi. Begitu pula Tilda Swinton yang karismatik (salah satu momen terbaiknya ada di adegan balkon), Chiwetel Ejiofor yang sikapnya dipenuhi ambiguitas, Mads Mikkelsen yang menguarkan aroma mengancam, Benedict Wong sebagai pustakawan Kamar-Taj senantiasa mencuri perhatian di setiap kemunculannya, dan Rachel McAdams dengan jatah tampil terbatas sebagai rekan kerja Strange berkontribusi memaksimalkan akting Cumberbatch tiap kali keduanya bersinggungan. Mereka adalah senjata bagi Doctor Strange untuk memenuhi potensinya disamping hamparan visual mengagumkan beserta penuturan mengasyikkan.

Outstanding (4/5)

Note : Dua adegan bonus terselip masing-masing di pertengahan dan penghujung credit title. Sebaiknya bertahanlah hingga film benar-benar habis karena keduanya teramat sayang buat dilewatkan. 



REVIEW : BRIDGET JONES'S BABY


“Well, I can always find time to save the world. And Bridget, you're my world.” 

Pasca bersatunya Bridget Jones (Renee Zellweger) dengan Mark Darcy (Colin Firth) di penghujung Bridget Jones: The Edge of Reason – sebuah sekuel kebablasan nan menggelikan bagi Bridget Jones’s Diary – ditambah resepsi kurang memuaskan bagi film kedua, sebetulnya tidak banyak yang mengantisipasi keberadaan jilid ketiga terlebih rentang waktunya sudah terlampau panjang (lebih dari satu dekade lho!). Namun ternyata pihak studio, Working Title, belum siap untuk memberhentikan franchise ini begitu saja. Mereka lantas merekrut kembali dream team dari seri-seri terdahulu, termasuk Hugh Grant yang kemudian memutuskan hengkang di tengah-tengah pengembangan proyek, dan melahirkan film ketiga bertajuk Bridget Jones’s Baby yang sekali ini materi ceritanya tidak diekranisasi dari novel buatan Helen Fielding selayaknya dua film pertama melainkan hasil urun rembuk Fielding bersama Dan Mazer dan Emma Thompson. Hasilnya, sebuah nostalgia manis pula menhangatkan hati yang akan mengingatkanmu kembali mengapa sosok Bridget Jones banyak dicintai oleh beragam kalangan.

Dibuka dengan gaya khas franchise ini – Bridget Jones tenggelam dalam kesendiriannya seraya menenggak alkohol dan diiringi langgam mendayu-dayu All by Myself – secara cepat kita disuguhi informasi bahwa protagonis kita telah menapaki usia 43 tahun. Di usia kepala empat, Bridget seolah telah memperoleh kebahagiaannya: dia tumbuh lebih dewasa dalam hal pemikiran, mendapatkan berat badan yang selama ini dianggapnya ideal (yay!) dan menduduki jabatan prestisius sebagai produser televisi. Tapi dibalik sederet pencapaian tersebut, kehidupan asmara Bridget masih saja berantakan. Sang pangeran, Mark Darcy, meninggalkannya dan membina rumah tangga bersama perempuan lain, sedangkan Daniel Cleaver diduga tewas dalam sebuah kecelakaan pesawat. Demi merayakan kelajangannya, Bridget mengiyakan ajakan rekan kerjanya, Miranda (Sarah Solemani), untuk gila-gilaan di festival musik yang lantas mempertemukannya dengan Jack Qwant (Patrick Dempsey). Keduanya sekadar berhubungan seksual satu malam saja tanpa pernah ada tindaklanjut di kemudian hari. 

Kita pun bertanya-tanya, “dimana si bayi yang menjadi tajuk utama dari film?.” Nah, itulah akar permasalahan yang dikulik oleh film arahan Sharon Maguire (turut menyutradarai Bridget Jones’s Diary) ini. Selepas berasyik masyuk bersama Jack, dilanjut dengan Mark yang mengaku sedang mengurus berkas-berkas perceraian, Bridget mendapati dirinya berbadan dua. Lantaran jarak waktu kedua hubungan badan berdekatan plus heroine film romansa komedi kesayangan masyarakat Britania Raya ini secara sembrono mengenakan kondom kadaluarsa, Bridget tak bisa benar-benar memastikan sperma siapa yang berkontribusi besar atas terbentuknya janin. Penonton pun dibuat menerka-nerka, “siapa ya kira-kira ayah kandung dari bayi Bridget?.” Dari pertanyaan tersebut, tim peracik skenario mengembangkannya menjadi plot mengikat yang didalamnya bertaburan ranjau-ranjau tawa yang siap meledak saban menit. Candaan-candaannya segar pula cerdas – beberapa kemunculan mengejutkannya akan membuatmu guling-guling hebat di lantai bioskop (and I won’t spoil that!) – yang alih-alih mendistraksi justru kian memperkuat bangunan kisah maupun karakteristik tokoh-tokoh tertentu. Sedikit banyak melemparkan ingatan pada Diary

Selain itu, ada pula cita rasa manis yang terbentuk dari relasi antara Bridget bersama Mark serta Jack dan sensitifitas bernuansa hangat saat Bridget menapaki babak baru dalam hidupnya yang sempat absen dari film kedua. Menguatnya naskah, dibarengi pula oleh performa bagus dari setiap pemainnya. Renee Zellweger adalah Bridget Jones yang kita kenal dari film pertama dengan segala pesona berbalut kekikukan menghiburnya dan presisi comic timing yang jitu, Colin Firth memberi kita gambaran atas seorang gentleman sejati khas Inggris melalui karismanya, sementara Patrick Dempsey menguarkan kesan charming kuat sebagai miliarder asal Amerika yang digilai para perempuan. Dempsey tampil serasi kala disandingkan dengan dua lawan mainnya tersebut – utamanya Zellweger, tentu saja, sehingga kita maklum mengapa Bridget kesengsem pula padanya – sekaligus menghadirkan kesegaran tersendiri sampai-sampai penonton tidak merasakan kekosongan berarti lantaran ditinggal pergi Hugh Grant. Jika benar Bridget Jones’s Baby adalah jilid penutup bagi franchise, maka ini jelas adalah penutup yang memuaskan. Meski hati sebetulnya memberontak menginginkan adanya seri lain bagi Bridget Jones karena masih ingin menghabiskan waktu untuk bercengkrama lebih lama lagi bersama Bridget, Mark, Jack, dan... ehem, Daniel?

Exceeds Expectations (3,5/5)

Previous installments: Bridget Jones's Diary (4/5) and Bridget Jones: The Edge of Reason (2,5/5).

REVIEW : ME VS MAMI


Dengan dibekali skrip, pengarahan beserta lakonan ciamik dan bukan semata-mata bentuk perpanjangan dari video pariwisata, probabilitas sebuah road movie berakhir menggelorakan semangat dalam artian asyik buat disantap sebetulnya cenderung lebih besar ketimbang kering kerontang. Me Vs Mami, keluaran teranyar MNC Pictures, mempunyai modal mumpuni untuk tegak berdiri diantara jajaran film-film yang mengambil pendekatan road movie. Betapa tidak, film ini mempunyai Cut Mini (salah satu aktris terbaik di perfilman Indonesia) di lini utama, disutradarai Ody C. Harahap yang berjasa memberi penonton kekacauan seru nan menyenangkan dalam wujud Kapan Kawin? maupun Skakmat, dan premisnya perihal perjalanan darat penuh lika-liku pasangan ibu-anak perempuan yang tidak akur begitu menggiurkan. Jaminan mutu seolah telah jelas ada dalam genggaman. Dengan rilisan pekan lalu bertajuk Wonderful Life yang mengangkat semangat senada – hanya saja aura sentimentilnya lebih pekat – melampaui ekspektasi, ada sejumput euforia menyertai buat sesegera mungkin menyantap Me Vs Mami yang ternyata oh ternyata, sayang beribu sayang, merupakan anggota baru dari klub “film yang kesulitan memenuhi potensi besarnya”. 

Diadaptasi dari FTV populer berjudul sama, Me Vs Mami memberi penekanan pada naik turunnya relasi seorang celebrity chef bernama Maudy (Cut Mini) dengan putri semata wayangnya, Mira (Irish Bella), selama perjalanan menuju Payakumbuh, Sumatera Barat. Perjalanan mereka dimulai saat Uci, nenek dari ayah Mira, yang tengah sakit keras menelpon dan meminta Mira untuk menjenguknya lantaran belum pernah melihat secara langsung cucu buyutnya tersebut. Tidak ingin putrinya melancong seorang diri sekaligus sebagai upayanya memperbaiki hubungan dengan Mira yang telah merenggang – meski keduanya lebih disebabkan atas desakkan pihak lain – Maudy mengambil cuti dari pekerjaannya dan menemani Mira bersilaturahmi ke Payakumbuh. Apabila tidak ada aral melintang (jadi nggak seru dong, bu, filmnya!), segala urusan ini bisa saja kelar dalam satu hari. Akan tetapi cobaan mulai datang menghadang tatkala sopir travel yang bertujuan mengantarkan mereka sampai ke tempat tujuan mendadak undur diri karena istrinya hendak melahirkan. Mau tak mau, pasangan ibu anak ini pun mengendarai mobil sendiri berbekal bantuan insting dan GPS yang kemudian menghantarkan mereka pada berbagai macam insiden-insiden konyol yang perlahan tapi pasti turut membantu menyembuhkan luka diantara mereka. 

Jika apa yang kamu butuhkan adalah tontonan eskapisme, Me Vs Mami memenuhinya. Terhitung sedari ditelantarkannya Maudy dan Mira di sebuah rumah makan, kelakar demi kelakar – entah itu mencuat dari celetukan-celetukan dua karakter utamanya maupun situasi-situasi yang tidak mereka harapkan terjadi – menghiasi film yang mayoritas diantaranya bekerja cukup efektif untuk memancing gelak-gelak tawa penonton dalam level “heboh”. Selama setidaknya satu jam pertama dari durasi secara keseluruhan, Me Vs Mami was freaking hilarious. Benar-benar kocak. Satu kelucuan undur diri, kelucuan lain menyelinap masuk menggantikan, dan begitu seterusnya. Dari kagoknya Maudy dalam mengendarai mobil, buang-buang gawai yang dianggap mendistraksi, keliru mengidentifikasi perampok, memporakporandakan sebuah penginapan, menyelamatkan Udo yang berencana menenggelamkan diri, sampai menabrak seekor kerbau yang tengah melintas, tawa boleh dikata terjaga konstan. Serentetan momen komedik ini pun kian mempertegas kualitas keaktoran dari seorang Cut Mini. Performa enerjik Cut Mini, comic timing-nya yang berakurasi jempolan, dan chemistry solid-nya bersama Irish Bella adalah kunci mengapa kelucuan di Me Vs Mami dapat tersampaikan dengan semestinya. 

Ya, tanpa sokongan akting bagus pula meyakinkan Cut Mini sebagai mami-mami yang bawelnya sudah berada di tahapan “tiada ampun lagi”, Me Vs Mami bisa jadi tidak akan semenghibur ini mengingat dua sektor penting lain kurang bergema, yakni penyutradaraan oleh Ody C. Harahap dan skrip olahan Vera Varidia. 30 menit terakhir menjadi saksi bahwa film ini tidak dibangun di atas pondasi cerita kokoh seiring berpindahnya mode film dari ‘riang’ menuju ‘sendu’. Meski sudah diberi ancang-ancang bahwa film akan melembut, tetap saja dibuat tersentak tatkala Me Vs Mami dikuasai situasi dramatis. Bukan karena kekontrasannya, melainkan pada perpindahannya yang sama sekali tak mulus sehingga meninggalkan rasa janggal beserta dipaksakan. Ini masih belum ditambah bagaimana cara si pembuat film mengakhiri Me Vs Mami yang sungguh... menyebalkan (sangat, sangat menyebalkan!). Saking menyebalkannya, saya bahkan sampai ngoceh berpanjang-panjang ke seorang kawan usai menontonnya. Jika filmnya mengecewakan sedari awal, saya tentu tidak ambil pusing mengenai perlakuan terhadap ending. Masalahnya, Me Vs Mami jauh dari kata buruk. Ini road movie yang menyenangkan buat ditonton paling tidak di satu jam pertama sebelum akhirnya laju terburu-buru di sisa durasi membuyarkan potensinya. Maka memperoleh penyelesaian yang memicu reaksi “hah, kok gitu sih?” bukanlah sesuatu yang diharapkan terlebih saat momen ini seharusnya menjadi gong bagi film dan menebus kekacauan di menit-menit sebelumnya. Duh, sayang sekali.

Acceptable (3/5)

REVIEW : ADA CINTA DI SMA


Mudah untuk menganggap sebelah mata Ada Cinta di SMA arahan Patrick Effendy. Menilik sejarah ketidakberhasilan Patrick Effendy, manajer CJR, dalam mengarahkan anak-anak asuhnya di film debutannya bertajuk CJR the Movie yang tak ubahnya film jalan-jalan banal adalah salah satu alasan. Alasan lain, menjumpai film remaja berbasis percintaan buatan sineas tanah air yang nyaman buat ditonton sudah teramat sangat sulit. Jika bukan epigon dari Ada Apa Dengan Cinta? yang simpul penceritaannya sengaja dirumit-rumitkan padahal pokok konfliknya sederhana, ya berusaha terlalu keras menjadi romantis lewat untaian dialog-dialog yang harus banget bisa dikutip. Boleh dikata, skeptisisme atas film romansa muda mudi sudah sama tingginya dengan skeptisisme pada film horor dalam negeri. Itulah mengapa Ada Cinta di SMA yang dijual sebagai film perpisahan CJR kepada para Comate (sebutan untuk jajaran penggemar beratnya) tidak secara instan mencuri perhatian begitu dilepas, kecuali bagi basis penggemarnya. Dilingkungi sikap suudzon bahwa ini hanyalah film remaja menjemukan nan menjengkelkan lainnya, Ada Cinta di SMA nyatanya justru membawa kejutan besar bagi mereka yang telah meremehkannya. Manis, menggemaskan, dan menghibur, ini adalah film yang akan membuat para penontonnya tersenyam-senyum bahagia sepanjang menontonnya. 

Guliran penceritaan Ada Cinta di SMA sejatinya sederhana saja. Fokus ada pada Iqbal (Iqbaal Dhiafakhri Ramadhan), remaja usia belasan dengan pembawaan easy going dan cenderung jahil, yang kerap diremehkan oleh keluarga besar dan rekan-rekan sebayanya lantaran tak pernah mencetak prestasi di bidang tertentu. Lelah dicibir sekaligus demi membuktikan bahwa dia mempunyai kemampuan, Iqbal mencalonkan diri sebagai ketua OSIS periode terbaru dibantu oleh teman baiknya, Aldi (Alvaro Maldini), sebagai tim sukses. Mempunyai jaringan pertemanan yang luas, seharusnya mudah bagi Iqbal buat menjaring banyak suara. Hanya saja, dia harus bersaing melawan siswi teladan, Ayla (Caitlin Halderman), yang memiliki visi misi jauh lebih mumpuni serta jelas-jelas berambisi meraih gelar ketua OSIS guna mempercantik aplikasi beasiswa. Ditengah-tengah pertarungan keduanya – plus kedua tim sukses, Aldi dan Tara (Gege Elisa) – memperebutkan tahta di OSIS yang berlangsung sengit, benih-benih asmara perlahan tapi pasti mulai tumbuh diantara Iqbal dan Ayla seiring meningkatnya intensitas perjumpaan mereka. Ayla sendiri menemukan kenyamanan yang tidak bisa dijumpainya di rumah tatkala berkumpul bersama keluarga besar Iqbal yang guyub. 

Usai membaca penggalan cerita Ada Cinta di SMA, komentar paling jamak dijumpai pastinya tidak jauh-jauh dari kisaran “mudah ditebak ah”, “klise ya” sampai “FTV banget deh”. Apakah ini berarti buruk? Tergantung dari perspektif mana kamu memandangnya. Duo peracik skenario, Haqi Achmad dan Patrick Effendy, jelas tidak berupaya membentuk jalinan cerita rumit penuh kelak-kelok – atau bahasa kerennya, dipenuhi twist – mengingat filmnya sendiri menarget remaja usia belasan yang membutuhkan hiburan pelepas penat sebagai pangsa pasar utama. Segala bentuk keklisean disini pun sangat bisa diterima karena hey, bukankah masa-masa SMA memang dipenuhi perkara-perkara yang oleh orang dewasa disebut klise dan menggelikan? Lalu soal FTV... sejatinya tak pernah memahami makna dari komentar satu ini mengingat secara teknis penggarapan, Ada Cinta di SMA jelas beberapa tingkat diatas mayoritas FTV di stasiun swasta saat ini yang digarap seadanya. Ya, tidak ada yang salah dengan keputusan Ada Cinta di SMA mengambil pola penceritaan mudah dikunyah. Setidaknya, film ini sadar penuh bahwa dirinya merupakan produk hiburan untuk dikonsumsi para ABG. Tidak mencoba sok serius, tidak pula sok romantis. Kesederhanaan adalah kunci yang justru menerbangkan film ini ke level terhormat. 

Ada Cinta di SMA adalah film yang simple, betul. Tapi ini bukan film yang remeh temeh mengingat penggarapannya matang. Tengok saja dari skrip yang mengakomodir tumbuh berkembangnya karakter dan konflik dalam film. Kita memperoleh kesempatan melongok lebih jauh kehidupan pribadi Iqbal – dalam hal ini keluarga serunya – yang mendasarinya mengambil keputusan menggelikan (bagi Aldi, mulanya) dengan mencalonkan diri sebagai ketua OSIS. Kita mendapatkan pula gambaran cukup dalam atas sosok Ayla sehingga kita bisa mafhum mengapa dia terbentuk sebagai pribadi dingin pula kaku. Saat dia mencair begitu dekat dengan Iqbal, prosesnya pun masuk akal dan tidak ujug-ujug. Selain mereka berdua, penonton turut disuguhi persoalan dalam keluarga Kiki (Teuku Ryzki), ketua OSIS periode sebelumnya, dimana sang ayah (Ikang Fawzi) menentang keras mimpi Kiki menjadi musisi lantaran kegagalannya di masa lampau. Keberadaan serentetan konflik ini bukan saja berfungsi memperkaya karakteristik dari tokoh-tokoh utamanya melainkan dimaksudkan pula menghantarkan pesan-pesan moral secara lembut kepada penonton terkait memberi kepercayaan alih-alih meremehkan, perlunya komunikasi dua arah yang hangat dalam keluarga, sampai memaknai kegagalan. 

Mudahnya penyelesaian masalah di penghujung film memang sedikit disesalkan, namun itu tidak banyak berpengaruh berkat deretan kesenangan-kesenangan sebelumnya yang diperoleh dari skrip manis mengikat dengan penyampaian lancar, tembang-tembang easy listening pengisi momen musikal yang akan membuatmu ikut menghentak-hentakkan kaki, serta akting bagus dari barisan pemainnya. Ada Cinta di SMA merupakan saksi atas lahirnya “the next big thing” dalam perfilman Indonesia. Iqbaal Dhiafakhri Ramadhan (singkatnya, Iqbaal CJR) tampil lepas, santai, serta memberi pancaran karisma kuat. Terlihat begitu menikmati kala membawakan perannya, kemunculannya senantiasa menginjeksi energi positif yang sedikit banyak membantu meningkatkan kadar fun bagi film. Interaksi Iqbaal CJR bersama pemain lain khususnya Caitlin Halderman yang mesra nan kompak mendefinisikan kata chemistry. Momen-momen kebersamaan mereka seringkali memantik reaksi gemas-gemas semacam “cieee...” serta “awww....” dari penonton entah Comate maupun bukan. Dan bukan hanya mereka, Ada Cinta di SMA pun ajang unjuk kebolehan bagi Gege Elisa, Agatha Chelsea (Bella, perempuan yang ditaksir Kiki), serta Tora Sudiro yang kemampuan jitu ngelabanya memberikan kehebohan tepat guna bagi keluarga Iqbal.

Exceeds Expectations (3,5/5)