Cara Mengidentifikasi Link Alternatif SBOBET yang Terpercaya



Mendaftarkan diri Anda melalui link SBOBET di Indonesia menjadi salah satu kesalahan yang tidak Anda sadari sebagai penggemar berat taruhan olahraga dan kasino online. 

Seorang penjahat tidak peduli dengan Anda dan tidak akan berhenti untuk membekukan akun Anda ketika Anda menyetor atau memenangkan sejumlah besar kemenangan. Beberapa bahkan akan menyita informasi pribadi dan bank Anda. Hal itulah yang kerap menjadi salah satu akibat dari kesalahan mendaftarkan diri Anda pada agen SBOBET yang tidak terpercaya.

Jika Anda adalah penggemar sportsbook tentu ada banyak langkah-langkah yang tepat untuk memastikan Anda hanya mendaftar dengan agen taruhan online tepercaya. Berikut adalah tahapan yang harus Anda lakukan sebelum Anda bergabung dengan agen bola sbobet.

Banyak Anggota Aktif

LinkAlternatif SBOBET yang terpercaya tentu saja dikenal di seluruh Indonesia dan akan memiliki banyak anggota aktif. Sementara itu, situs agen SBOBET palsu  akan memiliki jutaan anggota yang tidak aktif. Mereka akan melakukan segala yang mungkin untuk membuat Anda percaya bahwa mereka asli tetapi pada kenyataannya, mereka hanyalah robot.

Berinteraksi dengan anggota di situs taruhan akan memberi tahu Anda jika situs tersebut benar-benar asli dan dapat dipercaya. Disamping itu, melihat ulasan juga akan banyak membantu Anda karena Anda akan tahu apakah agen yang akan Anda daftar dapat dipercaya atau tidak.

Keamanan dan Realitas

Agen SBOBET Link Alternatif terbaik dan tepercaya tentu menghargai keselamatan para membernya. Mereka beroperasi di situs berlisensi yang menawarkan keamanan serta  memiliki lisensi keselamatan yang resmi. Mereka secara bertanggung jawab terus melindungi akun Anda agar tidak disita atau diretas. Mereka juga memiliki robot dan server aktif yang akan secara instan memblokir semua pemain yang mencurigakan. Mengetahui lebih lanjut tentang langkah-langkah keamanan yang diterapkan untuk menjamin keamanan pemain sangat penting sebelum Anda mendaftar ke situs taruhan yang menawarkan permainan olahraga dan kasino.

Bonus Besar dan Nyata

Situs linksbobet alternatif palsu dijalankan oleh para penipu cerdas yang memahami bahwa pemain sangat menyukai bermain di situs yang memiliki bonus besar. Mereka mengiklankan bonus dan jackpot besar yang tidak nyata.

Ketika mereka membuat Anda terjebak, mereka kemudian akan menggunakan Anda jembatan untuk mendapatkan kebebasan finansial. Saat mengevaluasi situs taruhan, Anda harus memastikan bahwa Anda puas dengan situs yang menawarkan bonus nyata dan jackpot besar.

Anda pun juga dapat berkonsultasi dengan pemain yang ada untuk mengetahui apa yang mereka katakan tentang kenyataan bonus dan jackpot yang mereka miliki. Jangan ragu membaca ulasan online untuk lebih memahami apakah jackpot dan bonus itu nyata.

Kelayakan Situs

Kepercayaan link sbobet yang dipermasalahkan juga harus menjadi pertimbangan besar. Anda tidak ingin membuat perjanjian dengan situs taruhan yang tidak dapat dipercaya. Ada banyak cara untuk mengetahui apakah situs taruhan dapat dipercaya.

Pertama adalah memeriksa validitas opsi pembayaran yang mereka miliki dan batasan setoran dan penarikan mereka. Kedua adalah membaca ulasan dan testimoni pelanggan untuk melihat bagaimana perasaan pelanggan sebelumnya dan katakan tentang layanan yang ditawarkan oleh situs-situs tersebut.

Cara ketiga yang paling penting bagi Anda untuk mengetahui apakah situs taruhan yang akan Anda pilih dapat dikatakan terpercaya dengan memeriksa berbagai permainan yang mereka miliki dan seberapa sering mereka melakukan pembaruan.




REVIEW : OCEAN'S 8


“In three and a half weeks the Met will be hosting its annual ball and we are going to rob it. Sixteen point five million dollars in each of your bank accounts, five weeks from now.” 

Apabila ditanya mengenai film perampokan terbaik yang pernah dibuat, rasanya kurang afdol kalau tak menyebut judul Ocean’s Eleven (2001) yang didasarkan pada film berjudul sama rilisan tahun 1960. Kisah perampokan beserta pembalasan dendam yang memercikkan ketegangan, kejutan, serta humor dipadupadankan dengan begitu elegan sehingga sulit untuk menyangkal pesonanya. Terlebih lagi, film ini dianugerahi pemain ansambel menggiurkan seperti George Clooney, Brad Pitt, Matt Damon, Andy Garcia, Don Cheadle sampai Julia Roberts. Menilik kombinasi mautnya tersebut, tak mengherankan jika resepsi hangat berhasil diperolehnya dari kritikus maupun penonton sehingga melahirkan dua buah sekuel yang juga renyah buat dikudap, Ocean’s Twelve (2004) dan Ocean’s Thirteen (2007). Satu dekade berselang sejak jilid ketiga dilepas, seri lain bertajuk Ocean’s 8 dikreasi yang masih menerapkan konsep serupa; perekrutan tim dengan jumlah beserta keahlian tertentu, perampokan besar yang penuh gaya, dan didukung barisan pemain ansambel. Yang kemudian membedakan Ocean’s 8 dengan trilogi utama adalah ini sebentuk spin-off alih-alih sekuel langsung dan seluruh pemain utamanya adalah perempuan alih-alih laki-laki. Jadi mari kita ucapkan selamat tinggal kepada Danny Ocean (George Clooney), lalu ucapkan selamat datang kepada sang adik, Debbie Ocean (Sandra Bullock). Era baru dari kisah perampokan yang dinahkodai klan Ocean yang lain telah dimulai! 

Seperti halnya Ocean’s Eleven, guliran penceritaan di Ocean’s 8 dimulai dengan adegan yang memperlihatkan karakter utama, Debbie, baru saja menghirup udara kebebasan usai meringkuk di tahanan selama lima tahun lamanya. Kakak tercintanya, Danny, diceritakan telah meninggal dan Debbie yang mewarisi bakat kriminal sang kakak sudah merencanakan perampokan akbar di helatan prestisius tahunan, Met Gala. Bukan uang yang menjadi incaran utamanya, melainkan kalung Toussaint senilai $150 juta yang akan dikenakan oleh seorang aktris yang tengah naik daun, Daphne Kluger (Anne Hathaway). Demi memuluskan rencananya, Debbie pun merekrut enam anggota yang konfigurasinya terdiri dari Lou (Cate Blanchett) yang merupakan sahabat baik Debbie, Amita (Mindy Kaling) si pengrajin perhiasan, Nine Ball (Rihanna) si peretas, Constance (Awkwafina) si pencopet jalanan, Tammy (Sarah Paulson) si penadah barang curian, serta Rose Weil (Helena Bonham Carter) si perancang busana. Lagi-lagi seperti halnya Ocean’s Eleven, motif utama Debbie dalam merancang perampokan ini bukanlah semata-mata untuk memperoleh penghasilan dari barang jarahannya melainkan demi membalas dendam kepada seseorang yang telah mengkhianatinya dan menghancurkan hidupnya. Seseorang tersebut adalah mantan kekasihnya, Claude Becker (Richard Armitage), yang telah menjadikan Debbie sebagai kambing hitam dalam suatu kasus penipuan sehingga dia berakhir di penjara selama lima tahun.


Sebagai sebuah tontonan yang mengatasnamakan hiburan, Ocean’s 8 sejatinya bisa dibilang cukup berhasil. Menyaksikan segambreng aktris-aktris kenamaan pemenang penghargaan dalam satu frame di Ocean’s 8 jelas merupakan keistimewaan dan kesenangan tersendiri bagi para penikmat film. Kapan lagi coba kita bisa melihat Sandra Bullock beradu akting dengan Cate Blanchett, Anne Hathaway, Helena Bonham Carter, dan Sarah Paulson? Ocean’s 8 menyediakan kesempatan langka tersebut dan aktris-aktris ini menyanggupinya dengan mempersembahkan performa yang tidak mengecewakan. Bullock memperlihatkan karisma sebagai pemimpin grup lalu menjalin chemistry rekat bersama Blanchett, sementara Hathaway yang memiliki sensitivitas kuat dalam ngelaba membentuk ‘duo gesrek’ bersama Carter yang memungkinkan keduanya untuk senantiasa mencuri perhatian sekaligus mengundang gelak tawa di setiap kemunculan. Harus diakui, performa dari jajaran pemain (khususnya Hathaway sebagai seorang aktris yang ego besarnya tidak sejalan dengan kapasitas otaknya) plus ditambah Awkwafina dan James Corden yang baru nongol di babak ketiga adalah sumber energi utama yang dimiliki oleh film. Penampilan mereka yang cenderung nyantai kayak di pantai terasa menyenangkan untuk disimak sekaligus membantu menyelamatkan film dari keterpurukan akibat penggarapan kurang bertenaga dari Gary Ross (Pleasantville, The Hunger Games) serta skrip lemah yang diracik Ross bersama dengan Olivia Milch. 

Di tangan Ross, Ocean’s 8 tak ubahnya versi inferior dari Ocean’s Eleven. Jalinan kisahnya bisa dikata serupa tapi tak sama (termasuk pembentukan karakter yang sebagian besar sekadar copy paste) dengan elemen komedi lebih ditekankan dan ketegangan yang anehnya malah direduksi. Jika Ocean’s 8 semata-mata menyebut dirinya sebagai komedi, tentu tidak ada keluhan berarti. Akan tetapi sebagai anggota keluarga Ocean dan heist film, Ocean’s 8 terasa kurang bernyali. Kemana perginya fase berdebar-debar serta harap-harap cemas kala para personil mengeksekusi rencana mereka? Terlihat mewah sih, menghibur juga sih, cuma saya tidak mendapatkan gregetnya. Tidak ada momen yang membuat saya bercucuran keringat seraya meremas-remas gemas kursi bioskop seperti saat menyaksikan Ocean’s Eleven. Ross terlalu banyak menghabiskan waktu pada perencanaan yang seringkali berlangsung monoton dan pertaruhan yang dihadapi oleh Debbie and the gang pun tidak ada apa-apanya dibandingkan Danny and the gang. Jika Danny mesti mengakali Terry (Andy Garcia) yang bengis, maka lawan terberat Debbie sebatas sistem keamanan yang ketat di lokasi perampokan. Itupun bisa diakali dengan satu jentikkan jari. Minimnya ketegangan yang mencekat ditambah guliran kisah yang kekurangan daya kejut membuat Ocean’s 8 kesulitan untuk memenuhi potensi besar yang dimilikinya dan gagal mengulangi pesona jilid-jilid terdahulu. Beruntung jajaran pemainnya bermain apik (kecuali Rihanna yang aposeeee) sehingga setidaknya film masih bisa dinikmati di kala senggang sekalipun akan sangat mudah untuk dilupakan dalam hitungan hari.

Acceptable (3/5)


REVIEW : JURASSIC WORLD: FALLEN KINGDOM


“Do you remember the first time you saw a dinosaur? You don’t really believe it. It’s like a miracle.” 

Masih terpatri dengan baik di benak bagaimana seorang Steven Spielberg mampu membuat saya terperangah kala melihat sekumpulan dinosaurus berjalan-jalan santai di pulau fiktif Isla Nublar sekaligus membuat saya terpaksa mengintip dari balik telapak tangan kala seekor T.rex mengamuk melalui Jurassic Park (1993). Sebuah film yang mendefinisikan istilah ‘keajaiban sinema’ secara jelas dan salah satu alasan mengapa saya jatuh hati kepada film. Meski dua film kelanjutannya, The Lost World (1997) dan Jurassic Park III (2001), tidak meninggalkan sensasi menonton yang serupa, keduanya tetap terbilang sebagai sajian eskapisme yang menyenangkan buat disimak. Dalam Jurassic World yang dilepas pada tahun 2015, Colin Trevorrow mencoba memunculkan kembali sisi magis dari sang dedengkot. Mengingat standar film pertama sudah teramat tinggi, bisa dimafhumi saat hasil akhirnya tidak persis sama. Akan tetapi yang mengejutkan, Jurassic World mampu berdiri setingkat di atas dua seri terakhir dari segi kualitas sekaligus mengingatkan kita kembali mengapa franchise ini bisa sedemikian populer dan dicintai banyak kalangan. Resepsi hangat yang diperolehnya lantas mendorong Universal Pictures untuk memberikan lampu hijau pada rencana penggarapan trilogi baru. Berselang tiga tahun kemudian, instalmen kedua dalam trilogi baru bertajuk Jurassic World: Fallen Kingdom yang sekali ini dikomandoi oleh J. A. Bayona (The Impossible, A Monster Calls) pun dilepas ke pasaran dengan nada penceritaan yang cenderung lebih gelap dibanding instalmen-instalmen terdahulu. 

Berlatar tiga tahun setelah peristiwa di penghujung seri sebelumnya, Jurassic World: Fallen Kingdom menyoroti nasib para dinosaurus yang sekali lagi berada dalam ambang kepunahan. Pemicunya, letusan besar gunung berapi di Isla Nublar. Claire Dearing (Bryce Dallas Howard) yang kini menjabat sebagai pemimpin dari organisasi pembela hak-hak dinosaurus tentu tak akan membiarkan hewan-hewan langka ini kembali lenyap dari peradaban. Menilik proses evakuasi membutuhkan suntikkan dana besar, Claire mustahil untuk bergerak sendiri. Pemerintah jelas tidak bisa diharapkan karena mereka memilih untuk lepas tangan dalam misi penyelamatan para dinosaurus berdasarkan saran dari Dr. Ian Malcolm (Jeff Goldblum). Bala bantuan untuk Claire lantas datang dari seorang miliarder, Benjamin Lockwood (James Cromwell), yang berencana memindahkan para dinosaurus ke sebuah suaka di pulau lain secara diam-diam sehingga tidak mendapat gangguan dari manusia. Dibantu oleh mantan kekasih Claire, Owen Grady (Chris Pratt), lalu Eli Mills (Rafe Spall) selaku tangan kanan Benjamin, dan Ken Wheatley (Ted Levine) yang mengomandoi pasukan penyelamat, proses evakuasi dinosaurus dari Isla Nublar pun dilancarkan. Tanpa disadari oleh Claire dan Owen, sebuah pengkhianatan terjadi ditengah-tengah evakuasi. Alih-alih diboyong menuju suaka, para dinosaurus ini justru dibawa ke daratan untuk dijual ke sejumlah pembeli dari berbagai negara. Si pengkhianat melihat potensi dinosaurus sebagai senjata perang yang mumpuni dan mesin uang sehingga dia memilih untuk menjadikannya komoditas ketimbang melindunginya.


Saat ditanya seorang teman melalui pesan singkat mengenai pendapat saya mengenai Jurassic World: Fallen Kingdom usai menontonnya, saya hanya memberi jawaban: seruuuuuuu. Ya mau bagaimana lagi, begitulah perasaan saya selama berkelana ke wahana permainan yang diorkestrai oleh J. A. Bayona ini. Entah dengan kalian, tapi bagi saya Fallen Kingdom adalah seri terbaik kedua dalam franchise ‘taman dino’ setelah Jurassic Park. Bahkan lebih baik dari Jurassic World yang itu artinya Fallen Kingdom sanggup membuat saya berdecak kagum. Film telah membetot atensi sedari adegan pembukanya yang memberikan nuansa mendebarkan: ditengah hujan lebat, satu pasukan yang terbagi ke dalam tiga tim berusaha untuk mengambil DNA dari bangkai Indominus rex. Siluet Mosasaurus yang mengintai dari balik air, siluet Tyrannosaurus yang berkelebat di kegelapan, membuat diri ini meremas-remas kursi bioskop. Sesuatu yang buruk akan menimpa tim ini. Tentu saja, amukan dua makhluk tersebut menghadirkan adegan pembuka yang menjanjikan untuk Fallen Kingdom. Di beberapa menit selanjutnya, intensitas sengaja dikendurkan demi memberi ruang bagi duo penulis skrip, Colin Trevorrow dan Derek Connolly, untuk menjabarkan latar belakang kisah yang bakal dikedepankan sekaligus memperkenalkan karakter-karakter anyar termasuk anak buah Claire; Zia si dokter hewan (Daniella Pineda) dan Franklin si ahli IT (Justice Smith). Skrip buatan mereka memang tergolong generik seperti versi pembaharuan dari The Lost World dan mempersilahkan sederet kekonyolan untuk menyelinap masuk, namun untungnya masih cukup bergigi untuk mengundang ketertarikan terkait sejauh mana franchise ini akan dikembangkan ke depannya. 

Berbicara soal gigi, salah satu alasan yang membuat Fallen Kingdom tampak lebih bertaring dibanding kakak-kakaknya, kecuali si sulung, adalah kelihaian J. A. Bayona dalam menyampaikan cerita. Apabila kamu telah menyaksikan film-film garapan sang sutradara seperti The Orphanage (2007), The Impossible (2012), dan A Monster Calls (2016), rasa-rasanya akan menyadari Bayona memberi sentuhan yang sedikit banyak serupa ke dalam Fallen Kingdom. Paruh pertama film membawa ingatan melayang ke The Impossible dengan elemen disaster movie-nya, sementara paruh akhir mengingatkan pada The Orphanage yang merupakan tontonan horor atmosferik. Di paruh pertama, kita bisa menyaksikan bagaimana para karakter inti beserta dinosaurus berkejar-kejaran dengan aliran dan lontaran lava pijar dalam sekuens laga yang amat mengasyikkan. Ditunjang polesan efek khusus menakjubkan (satu hal yang tidak bisa kamu sangkal), beserta penyuntingan dinamis dan tangkapan kamera yang penuh presisi, hari-hari terakhir Isla Nublar terangkum ke dalam bahasa gambar yang membuat saya terperangah bak anak kecil yang diajak ke istana mainan. Tidak ketinggalan, Bayona menyisipkan momen andalannya yakni momen emosional yang diperlihatkan dalam siluet seekor dinosaurus yang tertutup debu vulkanik. Hanya diiringi suara pekikan, satu shot ini sudah cukup efektif untuk menyesakkan dada maupun mengalirkan air mata manusia-manusia berhati sensitif. Usai shot ini, Fallen Kingdom memang tak memilki shot lain yang menusuk hingga ke ulu hati. Akan tetapi, film mempunyai setumpuk bahan yang bakal membuat admin akun One Perfect Shot melompat-lompat kegirangan.


Peralihan nada penceritaan ke arah lebih kelam mulai ditunjukkan saat para manusia (dan dinosaurus) kembali ke daratan. Menapaki babak pamungkas, Fallen Kingdom dilantunkan bak tontonan horor yang bermain-main dengan antisipasi penonton dan atmosfer mengusik. Jika kamu mendamba film bakal diakhiri dengan ‘boom boom bang’ yang membahana, bisa jadi akan sedikit mendengus kecewa. Bukannya tidak ada, hanya saja Bayona lebih memilih untuk fokus pada menciptakan ketegangan yang merangkak perlahan tapi pasti. Ekspektasimu di babak ini sebaiknya ditetapkan saja menjadi ‘menyaksikan sajian seram’, niscaya ada kepuasan tersendiri ketika memasuki wahana permainan milik Bayona yang sejatinya cukup banyak diilhami dari Jurassic Park. Niscaya kamu juga akan mengamini bahwa adegan bersembunyi di dalam kamar itu bikin jantung berdebar-debar. Phew! Menilik jajaran pelakonnya yang bermain bagus; baik chemistry Pratt-Howard yang menguat, Pineda dan Smith sebagai comic relief yang cukup menyegarkan, sampai aktris cilik Isabella Sermon sebagai cucu Maisie yang kemunculannya senantiasa mencuri perhatian, maka satu-satunya keluhan saya untuk Fallen Kingdom adalah musik tema Jurassic Park warisan John Williams yang hanya memiliki peranan kecil di sini sekalipun kemunculannya berada di posisi yang tepat. Andai saja musik ikonis tersebut memperoleh tempat lebih besar, bukan tidak mungkin Fallen Kingdom yang bercita rasa megah nan mewah tetapi tetap mempunyai hati ini akan terasa semakin greget.

Note : Jurassic World: Fallen Kingdom memiliki satu adegan tambahan di penghujung durasi. Jika kalian seperti saya (tidak mau rugi sepeserpun, jadi jika masih ada adegan yang sekalipun tidak penting ya mesti ditunggu), maka bertahanlah sampai detik terakhir.

Outstanding (4/5)


REVIEW : TULLY


“You’re convinced that you’re this failure, but you actually made your biggest dream come true.” 

Tully, suguhan terbaru dari Jason Reitman yang sekali lagi berkolaborasi dengan penulis naskah Diablo Cody usai Juno (2007) dan Young Adult (2011) yang amat mengesankan, dipersembahkan secara khusus untuk para ibu. Teruntuk para ibu yang mendedikasikan seluruh waktunya untuk mengasuh anak tanpa bala bantuan dari pengasuh anak bersertifikat. Teruntuk para ibu yang rela berjuang seorang diri dalam mengurus anak tanpa (atau minim) uluran tangan dari suami. Dan, teruntuk para ibu yang ikhlas seluruh mimpinya di masa muda terkubur dalam-dalam demi memastikan mimpi sang anak dapat tercapai. Tully tidak ubahnya sebuah surat cinta dari Reitman beserta Cody untuk para ibu di luar sana yang telah berjuang sepenuh tenaga demi memastikan anak-anak mereka memperoleh kehidupan yang layak. Menengok materi pembahasannya yang berjibaku dengan perjuangan seorang ibu, mudah untuk mengira bahwa film ini akan dikemas bak melodrama yang dipenuhi ratapan atau tangis haru. Kalaupun tidak, ya sarat letupan-letupan emosi dan dialog-dialog sinis khas Cody. Akan tetapi, alih-alih melantunkan kisah dengan pendekatan-pendekatan tersebut, Tully justru memilih untuk berbincang-bincang secara kalem. Ini seperti seorang sahabat yang menceritakan pengalaman-pengalaman serunya sebagai seorang ibu kepada sahabat terdekatnya seraya menyeruput teh di teras rumah pada sore hari yang cerah. Terdengar intim, jujur, tetapi juga lucu. 

Guliran penceritaan yang ditawarkan oleh Tully pun tidak rumit-rumit gimanaaaa gitu, malah cenderung sederhana. Fokusnya terletak pada seorang ibu bernama Marlo (Charlize Theron) yang telah dikaruniai dua buah hati dan kini sedang gelisah menanti lahirnya anak ketiga. Kegelisahan ini bukannya tanpa alasan karena Marlo sendiri sejatinya tidak mengantisipasi dirinya akan kembali hamil. Terlebih, si bungsu Jonah (Asher Miles Fallica) yang menunjukkan tanda-tanda mengidap autisme membutuhkan perhatian khusus dari Marlo dan sang suami, Drew (Ron Livingston), terlalu letih dengan rutinitasnya di kantor sehingga tidak memberi banyak bantuan terkait urusan rumah tangga. Tapi bagaimanapun, kehamilan itu terjadi dan dia pun melahirkan anak ketiga. Pada mulanya Marlo berniat mengurus kebutuhan si kecil dan krucil-krucil lainnya seorang diri sekalipun saudaranya, Craig (Mark Duplass), menunjukkan iktikad baik untuk membantu. Namun seiring berjalannya waktu, Marlo yang tidak lagi bisa tidur dengan nyenyak di malam hari perlahan tapi pasti mulai kewalahan sampai kemudian memutuskan untuk meminta bantuan pada night nanny seperti disarankan oleh Craig. Kehadiran night nanny bernama Tully (Mackenzie Davis) ini seketika mengubah kehidupan Marlo yang sebelumnya awut-awutan. Rumahnya bersih dari kotoran, dia bisa tidur dengan nyenyak, memasak untuk seluruh anggota keluarga, serta memuaskan Drew di ranjang. Berkat bantuan Tully, Marlo seperti menemukan gairah baru untuk menjalani hidup sebagai seorang manusia, seorang istri, dan seorang ibu.


Selepas menyaksikan Tully, ada satu perasaan ajaib yang mengemuka sehingga membutuhkan waktu bagi saya selama beberapa saat untuk akhirnya berhenti memandangi layar bioskop yang telah menggulirkan credit title, lalu beranjak dari kursi bioskop, dan melenggang pergi meninggalkan gedung pemutaran. Perasaan itu memunculkan kehangatan di hati. Membuat saya ingin memeluk diri sendiri serta (tentunya) ibu di rumah. Sungguh film yang sangat indah. Betapa tidak, melalui Tully, Reitman dan Cody kembali mengingatkan penonton betapa besarnya perjuangan dan pengorbanan yang telah dilakukan oleh para ibu agar anak-anaknya mendapatkan kehidupan yang layak. Tully tidak menceramahi penonton dengan setumpuk dialog-dialog pengobar semangat yang dirangkai puitis atau dramatisasi berlebihan yang memperlihatkan kehebatan seorang ibu. Yang dilakukannya semata-mata menyoroti rutinitas harian Marlo yang tidak jauh-jauh dari menyusui, mengganti popok, terbangun di tengah malam, mengantarkan anak-anaknya ke sekolah, menghadapi keluhan pihak sekolah mengenai perilaku putranya yang dianggap ‘unik’, mendengarkan rajukan atau tangisan yang bikin gendang telinga pengang, membereskan cucian seraya mengawasi anak, tertidur di sofa pada siang bolong karena kelelahan, menyiapkan makan malam, dan siklus ini terus berulang selama berbulan-bulan (bahkan bertahun-tahun) lamanya. Serentetan aktivitas yang pastinya akan membuat para orang tua terkekeh-kekeh seraya berujar, “saya pernah berada di fase itu!,” dan menumbuhkan empati kepada para ibu dalam diri mereka yang belum mengalami fase menimang-nimang bayi. 

Mengingat Cody menulis naskah Tully tatkala dia baru saja melahirkan anak ketiga, maka bukan sesuatu yang mengherankan jika dia memahami betul pergulatan yang dialami oleh Marlo. Dibantu oleh Reitman yang mempunyai kepekaan tinggi, keduanya memberi penggambaran yang realistis mengenai keseharian seorang ibu dalam menyambut datangnya bayi baru. Agar tidak terasa menjemukan, humor ditaburkan disana sini yang tidak sedikit diantaranya membuat tawa saya meledak di dalam bioskop. Perihal meramu dialog tajam dan guyonan sinis, Cody memang jago. Sensitivitas naskah dan pengarahan dalam Tully ini beruntung sekali memperoleh sokongan yang sangat baik dari jajaran pemainnya, terutama Charlize Theron yang totalitasnya berperan bisa kalian tengok melalui transformasi fisiknya: berat badannya menjulang tinggi hingga tubuhnya terlihat seperti kumpulan lemak. Maka begitu putrinya bertanya, “apa yang terjadi dengan tubuhmu, Bu?,” penonton tidak sukar diyakinkan apa yang memantik pertanyaan tersebut. Performa Theron yang ciamik membuat kita dapat menyematkan empati kepada Marlo yang digambarkan tak ubahnya emak-emak kebanyakan. Terlampau fokus pada tiga buah hatinya, Marlo tidak memiliki waktu untuk mengurus diri sendiri sampai kemudian Tully mengetuk pintu rumahnya dan memberinya kesempatan membenahi hidup. Theron menjalin chemistry menyengat bersama Mackenzie Davis yang gairah mudanya meletup-letup. Interaksi keduanya terasa nyata dan mengalir sampai-sampai muncul keinginan untuk bergabung dengan klub kecil ini. Saking nyamannya bersama mereka, saya tidak rela untuk berpisah dengan Marlo maupun Tully kala film telah mencapai detik terakhir. Ah, andai saja Tully memiliki durasi lebih panjang!

Outstanding (4/5)


REVIEW : GONJIAM: HAUNTED ASYLUM


“The rumors were all true!” 

Keberadaan bekas Rumah Sakit Jiwa Gonjiam yang terletak di kota Gwangju, Korea Selatan, jelas merupakan sebuah aset berharga bagi perfilman Negeri Gingseng. Betapa tidak, popularitasnya sebagai salah satu lokasi terangker di dunia menurut versi CNN Travel dalam artikel berjudul “7 of the freakiest places on the planet”, ditambah latar belakangnya yang menyebutkan bahwa tempat ini menjadi saksi bisu atas terjadinya bunuh diri massal yang dilakukan oleh pasien RSJ bersangkutan, telah memberikan modal yang lebih dari cukup untuk diejawantahkan ke dalam bentuk film. Apabila kamu melakukan survey ke para penggila film horor atau generasi milenial yang gemar ditakut-takuti dan menyukai apapun yang sedang hits, rasa-rasanya mereka tidak akan keberatan untuk menyaksikan film seram mengenai RSJ angker ini. Lagipula, siapa sih yang bisa menolak pesona film horor tentang lokasi berhantu? Menyadari potensi besar yang dimiliki oleh RSJ Gonjiam, Jung Bum-shik yang sebelumnya menggarap Epitaph (2007) pun berinisiatif mengkreasi tontonan memedi bertajuk Gonjiam: Haunted Asylum. Teknik yang dipilih oleh si pembuat film dalam bercerita adalah found footage – seperti diterapkan oleh The Blair Witch Project (1999) dan Paranormal Activity (2007) – demi semakin menguarkan nuansa creepy dari tempat tersebut sekaligus memberi kesan riil pada penonton. 

Dibuka dengan adegan dua remaja nekat melakukan permainan uji nyali di bekas RSJ Gonjiam yang berakhir petaka, Gonjiam: Haunted Asylum lantas memperkenalkan kita pada seorang pemuda yang berniat untuk menerobos tempat yang sama. Si penggagas ide yang mempunyai kanal Youtube bernama Horror Times, Ha-joon (Wi Ha-joon), menganggap petaka yang menghinggapi dua remaja tersebut sebagai peluang emas baginya. Ha-joon membayangkan seberapa tinggi popularitas yang akan berhasil dicapai oleh kanal Youtube asuhannya apabila dia menyiarkan tayangan uji nyali secara langsung dari RSJ Gonjiam. Guna merealisasikan impiannya tersebut, Ha-joon pun merekrut enam anggota yang terdiri atas A-yeon (Oh A-yeon), Charlotte (Moon Ye-won), Sung-hoon (Park Sung-hoon), Seung-wook (Lee Seung-wook), Je-yoon (Yoo Je-yoon), dan Ji-hyun (Park Ji-hyun). Diiming-imingi imbalan uang yang didapat dari iklan, keenam anak muda ini mengiyakan tawaran dari Ha-joon untuk diterjunkan ke RSJ Gonjiam pada malam hari. Mereka akan berkeliaran di dalam gedung mencari aktivitas supranatural sementara Ha-joon berdiam di tenda untuk menyiarkan rekaman dari keenam relawan. Tentu saja seperti film horor pada umumnya, mulanya tidak ada kejanggalan yang dijumpai oleh sekelompok anak muda kurang kerjaan tersebut. Hingga kemudian mereka melakukan kesalahan klasik yang berujung pada teror demi teror mengerikan yang seketika mengancam keselamatan setiap personil. 


Dalam mencelotehkan pengalaman supranatural yang berlangsung dalam Gonjiam: Haunted Asylum, Jung Bum-shik sejatinya hanya memberikan tanda centang ke sederet keklisean yang mudah kalian jumpai di film sejenis. Segerombolan karakter stereotip yang sok berani menerima tantangan berhadapan dengan makhluk gaib karena mereka tidak pernah benar-benar memercayainya? Centang! Menerobos sebuah rumah (atau suatu tempat) yang disebut-sebut angker hanya untuk melakukan hal-hal tak berfaedah? Centang! Melakukan pemanggilan arwah di dalam tempat angker karena mereka menganggap itu sebagai sesuatu yang wajar, lucu dan tidak berbahaya? Centang! Berpisah jalan dengan rombongan sementara (kita semua tahu) berpisah di film horor sama saja dengan bunuh diri? Centang! Dan, baru menyadari bahwa nyawa mereka terancam saat aktivitas supranatural telah berada di level tinggi atau dengan kata lain, saat segalanya telah terlambat? Centang! Ya, bagi kalian yang sudah khatam tontonan horor secara umum, found footage secara spesifik, bisa jadi akan beberapa kali memutar bola mata tatkala mendapati keputusan-keputusan ngawur yang diambil oleh para karakter dalam Gonjiam: Haunted Asylum. Selama setidaknya satu jam pertama yang nyaris tidak terjadi apa-apa (mengikuti tradisi film bergaya found footage), kita diminta memafhumi tindakan tujuh muda-mudi yang tingkat kebodohan beserta menjengkelkannya berada di level dewa. Saya sama sekali tidak keberatan jika penghuni RSJ Gonjiam memutuskan untuk memangsa mereka semua. Silahkan, dengan senang hati. 

Yang kemudian menyelamatkan Gonjiam: Haunted Asylum dari ‘kutukan’ yang acapkali menimpa film horor dengan pendekatan found footage (terbukti dari sedikitnya film sejenis yang berkualitas diatas rata-rata) adalah kombinasi memuaskan antara desain produksi, pengambilan gambar, serta kejelian sang sutradara. Desain produksi film ini amat niat, menyulap sebuah gedung SMA di Busan sehingga menyerupai lokasi sesungguhnya yang sanggup membuat ciut nyali hanya dengan memandang dari luar. Ditunjang pengambilan gambar yang tangkas sekaligus memberi kesan meyakinkan kepada penonton bahwa kita sedang menyaksikan live streaming dari RSJ Gonjiam, dan kejelian sang sutradara dalam menempatkan trik menakut-nakuti (walau sejatinya sebagian besar diantaranya amat klasik!) di waktu yang tepat membuat Gonjiam: Haunted Asylum memiliki sejumlah momen yang dapat membuat penonton meringkuk, melonjak, maupun berteriak di dalam bioskop. Tidak ada skoring musik memekakkan telinga di sini demi menciptakan kesan otentik. Lagipula siapa butuh musik untuk menciptakan kekagetan atau rasa ngeri saat latar tempatnya telah sanggup menghembuskan nuansa creepy sehingga membuat bulu kuduk ini meremang? Sedari tujuh muda-mudi menjejakkan kaki di RSJ Gonjiam, saya telah dilingkupi rasa tidak nyaman yang menggelisahkan sampai mencapai puncaknya di 20 menit terakhir yang menyeramkan. Apa yang terjadi di babak pamungkas ini sedikit banyak membuat saya akhirnya dapat menolerir penceritaan dan bangunan karakter film ini yang generik.

Acceptable (3/5)


REVIEW : THE GIFT (2018)


“Setiap kali kamu cerita, imajinasi kamu membuat dunia semakin luas. Dan aku ingin menaklukkan itu.” 

Sejujurnya, saya lebih antusias tatkala Hanung Bramantyo menggarap film-film ‘kecil’ ketimbang film-film berskala raksasa. Saat menggarap film yang jauh dari kesan ambisius (dan tendensius), Hanung terasa lebih jujur, intim, dan mampu menunjukkan kepekaannya dalam bercerita sehingga emosi yang dibutuhkan oleh film berhasil tersalurkan dengan baik ke penonton. Tengok saja beberapa karya terbaiknya seperti Catatan Akhir Sekolah (2005), Jomblo (2006), Get Married (2007), dan Hijab (2015). Bangunan komediknya amat jenaka sekaligus menyentil di waktu bersamaan sementara elemen dramatiknya sanggup membuat baper manusia-manusia berhati sensitif secara berkepanjangan. Melalui film-film tersebut, kita bisa memafhumi statusnya sebagai salah satu sutradara tanah air terkemuka saat ini. Maka begitu Hanung bersiap untuk merilis proyek kecilnya yang mengambil genre drama romantis bertajuk The Gift – saya tidak tahu menahu mengenai film ini sampai diputar perdana di Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2017 – ada rasa penasaran yang menggelayuti. Lebih-lebih, dia mengajak turut serta sejumlah pemain besar yang terdiri atas Reza Rahadian, Ayushita Nugraha, Dion Wiyoko, beserta Christine Hakim untuk menyemarakkan departemen akting. Kombinasi maut yang terlalu menggoda untuk dilewatkan begitu saja, bukan? 

Dalam The Gift, Hanung memanfaatkan relasi dan interaksi dua manusia yang tidak mengenal cinta, Tiana (Ayushita Nugraha) dan Harun (Reza Rahadian), sebagai pemantik konflik. Perkenalan diantara mereka bermula ketika Tiana, seorang penulis novel asal Jakarta yang sedang mencari ilham untuk menuntaskan novel terbarunya, menyewa sebuah kamar kos di rumah Harun yang berlokasi di Jogjakarta. Mengingat akses ke rumah utama senantiasa tertutup dan Harun bukanlah pria yang gemar beramah tamah, hubungan baik tidak seketika terbentuk. Malah, kesan pertama bagi masing-masing individu terbilang buruk. Pangkal permasalahannya, Harun memutar musik keras-keras yang membuat Tiana merasa terganggu. Sebagai permintaan maaf, lelaki tunanetra ini pun berinisiatif mengajak tamunya tersebut untuk sarapan bersama yang sayangnya tidak berjalan mulus karena tukar dialog diantara mereka berujung pada pertikaian verbal lebih lanjut. Menilik karakteristik Harun dan Tiana yang sama-sama keras, sebetulnya agak sulit membayangkan keduanya dapat menciptakan koneksi tanpa harus saling menyinggung satu sama lain. Tapi baik Tiana maupun Harun mencoba untuk melunak, lalu berusaha untuk saling memahami. Di saat inilah, benih-benih asmara perlahan mulai bersemi sampai kemudian datangnya teman masa kecil Tiana, Arie (Dion Wiyoko), membuyarkan kisah cinta yang siap dirajut oleh Tiana dan Harun.


Menyodorkan problematika “benci jadi cinta” lalu menghadirkan orang ketiga dalam hubungan asmara yang bersiap untuk mekar, tidak bisa dipungkiri bahwa The Gift memang terdengar generik di permukaan. Akan tetapi, apa yang kemudian membuat film ini tidak lantas menjelma sebagai ‘film percintaan pada umumnya’ adalah cara Hanung Bramantyo mengemasnya. Tidak ada lontaran dialog-dialog rayuan puitis, melainkan bergantung pada interaksi yang terbentuk diantara Tiana dengan Harun. Guliran penceritaannya sendiri mengalun lambat demi memberi cukup waktu dan ruang bagi penonton untuk mengobservasi dua karakter utama lebih dalam. Mereka digambarkan sebagai dua manusia yang tak pernah terpapar hangatnya cinta dan justru memelihara luka, amarah, serta rasa putus asa. Guna mempertegas karakteristik, kilas balik pun kerap disisipkan yang mengajak penonton berkelana ke masa lampau dan menengok masa kecil Tiana yang sungguh kelam. Dari sana, kita bisa mengerti kenapa dia tumbuh sebagai perempuan yang dingin, kaku, dan cenderung antisosial. Harun, sayangnya, tak mendapat perlakuan serupa dan penjabaran mengenai masa lalunya hanya diucapkan melalui beberapa patah kalimat. Akan tetapi, sebuah momen kebenaran yang meninggalkan rasa pilu ketika Harun akhirnya bersedia diri kepada Tiana merupakan titik balik yang menyadarkan penonton bahwa kedua insan ini sebetulnya saling membutuhkan. Mereka adalah korban ‘pengkhianatan’ orang-orang terkasih yang hanya bisa disembuhkan dengan cinta yang tulus. 

Reza Rahadian (tanpa perlu dipertanyakan lagi) memeragakan karakter Harun yang dilingkupi kemarahan dan kekecewaan dengan gemilang. Bersama Ayushita Nugraha dalam akting terbaiknya sebagai penulis dengan masa lalu menyakitkan yang memiliki dunianya sendiri, mereka membentuk chemistry memikat yang menarik atensi penonton untuk menyimak interaksi ‘ajaib’ keduanya. Naskah racikan Ifan Ismail membekali karakter-karakter ini dengan dialog-dialog mengalir nan tajam yang akan membuat penonton terkadang ingin melempar botol air mineral ke mereka, menyunggingkan senyum, tersipu-sipu malu, sampai ingin memberikan pelukan hangat. Turut menguarkan nuansa romantis, interaksi dua insan ini jelas merupakan kekuatan utama yang dimiliki oleh The Gift. Tak jarang pula, interaksi keduanya tidak dibekali dialog melainkan hanya sebatas pada ekspresi atau sentuhan – mengingat Harun tak dapat memandang Tiana secara langsung. Iringan musik merdu dari Charlie Meliala serta sumbangan lagu tema dengan lirik menyayat hati bertajuk ‘Pekat’ yang dibawakan oleh Reza beserta Yura Yunita membantu memperkuat emosi yang sedianya telah hadir sekalipun tanpa disokong skoring menggebu-nggebu. Jika ada titik lemah The Gift, maka itu adalah kebetulan-kebetulan sukar dipercaya yang mengiringi di satu dua sudut penceritaan, utamanya jelang tutup durasi, demi mempermudah penyelesaian konflik (persoalan klasik film Indonesia!). Ada kalanya membuat diri ini meringis geli dan menggaruk-nggaruk kepala, tapi untungnya tak sampai berdampak signifikan pada keseluruhan film.


Pada akhirnya, terlepas dari kekurangan yang ada, The Gift tak saja layak untuk bertengger di deretan karya terbaik Hanung Bramantyo, tetapi juga memperkuat pernyataan saya di paragraf awal bahwa Hanung memang lebih bergigi kala menggarap film kecil. Mungkin ada baiknya Mas Hanung fokus mengerjakan film-film semacam ini saja ketimbang menangani film biopik atau adaptasi dengan bujet bombastis tapi seringkali minim rasa.

Exceeds Expectations (3,5/5)

REVIEW : DEADPOOL 2


“You're no hero. You're just a clown, dressed up like a sex toy.” 
“So dark. You sure you're not from the DC universe?” 

Ditengah-tengah riuhnya film superhero yang menjunjung tinggi kebajikan, Deadpool (2016) yang diproduksi oleh 20th Century Fox berdasarkan komik berseri terbitan Marvel Comics menawarkan sebuah alternatif yang nyeleneh. Dia menjadi antitesis dari para pahlawan yang tergabung dalam Marvel Cinematic Universe berkat tutur kata dan tindakannya yang tak mengenal kompromi. Menerabas habis batasan-batasan rating yang biasanya membelenggu kreativitas dari film sejenis. Mengingat film ini dijual sebagai tontonan dewasa (jangan bilang belum diperingatkan, wahai para orang tua tukang ngeluh!), sang superhero dengan kostum ketat berwarna merah pekat ini pun mendapat keleluasaan dari pihak studio untuk menghabisi lawan-lawannya menggunakan cara yang berdarah-darah, berasyik masyuk dengan perempuan pujaannya, sampai melontarkan nyinyiran pedas penuh dengan referensi ke budaya populer yang tidak sedikit diantaranya mencakup F-word. Komponen-komponen yang amat sangat jarang dijumpai di film superhero belakangan ini, bukan? Pendekatannya yang berani ditambah gaya tuturnya yang nyentrik – merobohkan dinding keempat (berinteraksi dengan penonton) – ini menjadi sebuah kejutan manis sekaligus membuat Deadpool tampil menjulang. Tidak mengherankan jika kemudian sekuelnya yang bertajuk Deadpool 2 kembali mengaplikasikan formula yang terbukti berhasil ini meski tentunya bakal mengundang satu pertanyaan besar; akankah sensasi yang diberikannya kepada penonton masih sama seperti predesesornya? 

Berlatar dua tahun selepas peristiwa di film pertama, Wade Wilson (Ryan Reynolds) digambarkan telah menikmati kehidupannya sebagai pahlawan pembasmi kejahatan bernama Deadpool. Hubungannya dengan Vanessa (Morena Baccarin) pun kian mesra, bahkan keduanya telah berencana untuk memiliki momongan. Jika segalanya berjalan sesuai rencana seperti ini, lalu apa pemantik konflik dalam Deadpool 2 yang membuat penonton tertarik mengikuti guliran penceritaannya? Demi menghindari spoiler – saya peduli dengan kenyamanan kalian semua, para pembaca yang budiman! – rasa-rasanya tak perlu menjlentrehkan secara detil apa yang kemudian terjadi. Yang jelas, menginjak menit belasan, Deadpool mengalami goncangan hebat dalam hidupnya sampai-sampai mendorong Colossus (Stefan Kapičić) untuk turun tangan dan menyeretnya ke markas X-Men. Pertemuannya dengan para anggota X-Men yang sebagian besar diantaranya tidak terkenal (menurut si karakter tituler yang tak tahu sopan santun ini, tentu saja) perlahan tapi pasti membuat Deadpool menemukan kembali tujuan hidupnya. Bersama dengan sejumlah karakter baru, salah satunya adalah Domino (Zazie Beetz) yang kekuatan utamanya adalah ‘keberuntungan’, Deadpool membentuk kelompok superhero bernama X-Force. Misi besar yang mereka jalankan yakni menyelamatkan seorang mutan remaja bernama Russell (Julian Dennison) yang memiliki kekuatan dalam menyulut api dari mutan penjelajah waktu, Cable (Josh Brolin yang juga memerankan Thanos di Avengers: Infinity War), yang berniat untuk mencabut nyawanya. 



Tidak ada perubahan signifikan yang bisa dijumpai dalam Deadpool 2 sekalipun kursi penyutradaraan kini bergeser ke David Leitch (John Wick, Atomic Blonde). Leitch bersama dengan tiga penulis skrip memahami betul, tidak ada gunanya memperbaiki sesuatu yang tidak rusak. Oleh karena itu, Deadpool 2 dihidangkan sesuai dengan ekspektasi penonton yang telah menyaksikan jilid pertamanya; kekerasannya berada di level ‘pedas’, humornya yang nakal banyak mencuplik referensi ke budaya populer. Walau unsur kejutannya tak lagi besar, sensasi yang disalurkan kepada penonton kurang lebih masihlah sama. Deadpool 2 tetaplah sebuah sajian eskapisme gila-gilaan yang menghibur. Demi memenuhi aturan tidak tertulis untuk sekuel, cakupan skalanya pun sekali ini ditingkatkan. Si pembuat film mengkreasi lebih banyak laga di seri ini – dimulai dari menit pembuka yang membangkitkan semangat sampai klimaks yang lebih menggigit – begitu pula dengan lawakan-lawakan khas Deadpool yang makin tak terkontrol dan kian bejibun. Semuanya menjadi sasaran empuk nyinyirannya, terlebih jika namamu terafiliasi dengan semesta yang diciptakan oleh Marvel Cinematic Universe atau DC Extended Universe. Deadpool menyentil para personil Avengers sekaligus mencibir DC (duo Martha yang ikonik tentu tak terlewatkan). Dia juga tidak ragu-ragu mempertanyakan orisinalitas lagu ‘Do You Want to Build a Snowman?’ dari Frozen (2013), kebingungan dengan penulisan nama Kirsten Dunst yang benar (saya memahamimu, Deadpool!), mengeluhkan keputusan Logan (2017) untuk ikut-ikutan menjadi film superhero dewasa, menghujat karir aktor berkebangsaan Kanada bernama Ryan Reynolds (!), hingga paling meta: mengkritisi penulis skrip Deadpool 2 yang terlampau malas menciptakan konflik rumit. 

Tak pelak, kekuatan utama Deadpool 2 berada pada materi ngelabanya yang harus diakui cerdas dan kreatif. Ini masih belum ditambah dengan lelucon yang dikembangkan dari situasi-situasi yang berlangsung di sepanjang durasi. Saya juga tidak akan menyebutkannya satu demi satu karena lelucon merupakan bagian dari kejutan yang dimiliki oleh Deadpool 2. Hitung-hitung sebagai bentuk kompensasi atas jalinan kisah yang cenderung lurus-lurus saja, minim kelokan yang digemari sebagian penonton. Leitch mengombinasikan banyolan-banyolan dengan hidangan laga yang lebih gahar (plus sadis) dibandingkan film pertama. Menilik fakta bahwa Deadpool 2 tidak digelontori bujet sejor-joran Avengers: Infinity War, maka sebaiknya hempaskan bayangan adegan laganya bakalan segegap gempita film tersebut. Sebagian diantaranya memang tidak menawarkan pembaharuan (kamu telah melihatnya beberapa kali di film laga), tapi Leitch sanggup meniupkan excitement kedalamnya sehingga tak peduli seberapa pun seringnya kamu menjumpai adegan ini, tetap ada kesenangan tersendiri kala menyaksikannya. Malah, Deadpool 2 mempunyai momen klimaks membekas (sayangnya tak ada guyonan merujuk ke Carrie (1976)!) yang turut mengonfirmasi pelabelan ‘film keluarga’ oleh Deadpool di permulaan film – sekadar info, film pertama disebut ‘film percintaan’. Tentu ini bukan memiliki makna bahwa si pembuat film mempersilahkan penonton-penonton cilik memenuhi gedung bioskop, melainkan menunjukkan bahwa si pahlawan bermulut kotor ini tak lagi berjuang sendirian. Dia menjalin pertemanan dengan karakter-karakter baru yang mengisi kekosongan hatinya.


Pertemanan ini memungkinkan Deadpool 2 untuk menghadirkan sederet momen mengharu biru yang menghangatkan hati. Tidak semuanya bekerja dengan baik – ada kalanya diruntuhkan oleh guyonannya sendiri – seperti persahabatan Deadpool dan Russell yang tak segreget perkiraan, tapi paling tidak masih ada senyum mengembang di penghujung film ketika kita melihat sejauh mana Wade Wilson telah berkembang sebagai seorang manusia. Ryan Reynolds mampu menangani momen dramatik seiring bergejolaknya batin Wade seapik dia menangani momen komedik yang mengharuskannya melontarkan nyinyiran secara cepat seraya bertingkah nyeleneh. Chemistry yang dibangunnya bersama Julian Dennison berlangsung cukup baik, sementara pemeran-pemeran pendukung mampu mengimbangi performa ciamik dari Reynolds. Zazie Beetz mencuri perhatian sebagai Domino yang keberuntungannya tak pernah habis, Karan Soni sebagai Dopinder yang memiliki obsesi menjalani misi bersama Deadpool, dan Josh Brolin menunjukkan sisi rapuh dari Cable dibalik tampilan fisiknya yang sangar. Disamping kombinasi mulus antara banyolan, laga, beserta performa pemain, elemen lain yang membantu menciptakan kesenangan dalam Deadpool 2 adalah pilihan lagu pengiring di setiap adegannya. Bukan lagu-lagu beraliran rap, metal, atau rock yang menghentak-hentak melainkan tembang-tembang lembut dengan sisi emosional tinggi yang mungkin tak pernah terbayangkan akan menghiasi film superhero ‘ngaco’ semacam ini. Tembang-tembang tersebut antara lain ‘Take on Me’ milik A-Ha, ‘We Belong’ oleh Pat Benatar, ‘All Out of Love’-nya Air Supply, ‘Tomorrow’ dari drama musikal Annie (1977), sampai lagu tema film ini, ‘Ashes’, yang dibawakan Celine Dion bak lagu tema dari James Bond. Gokil!

Note : 1) Jangan terburu-buru tinggalkan gedung bioskop karena ada dua adegan bonus yang sangat layak buat dinanti. Keduanya terletak di sela-sela credit title jadi kamu tidak perlu menunggu terlalu lama.
2) Pastikan kamu menuntaskan urusan belakang sebelum film dimulai karena salah satu poin kejutan Deadpool 2 terletak pada cameo. Kemunculannya sangat cepat sehingga jika kamu keluar atau terlalu sibuk mengecek ponsel saat menonton, hampir bisa dipastikan akan terlewat. Blink, and you'll miss it

Outstanding (4/5)